Kursi Presiden=Kursi Panas
Oleh YUSUF WIBISONO
Menjelang pemilihan kepala Negara (Presiden) tahun 2009, bangsa Indonesia dengan segenap komponennya sudah banyak melakukan berbagai persiapan. Mulai dari perangkat undang-undangnya, mekanisme pemilihan, hingga yang berkaitan dengan anggaran biayanya.
Langkah-langkah semua itu dalam rangka mempersiapkan puncaknya pesta demokrasi pasca proses Pilkada di sebagian wilayah Indonesia. Meskipun dalam tataran realita, masih banyak yang harus ditinjau ulang tentang pesta demokrasi yang dilaksanakan di daerah-daerah tertentu. Hal ini merupakan perwujudan dari proses pembelajaran berdemokrasi bagi seluruh bangsa Indonesia setelah runtuhnya rezim Orde Baru -- yang sempat mengalami “mati suri”.
Dalam perjalanan berikutnya, demokrasi di Indonesia mengalami pasang-surut yang berarti. Dampak yang ditimbulkan oleh uji coba demokrasi murni tidak jarang memunculkan sikap-sikap intoleransi, karena atas nama perjuangan hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan. Tak pelak lagi, ujung-ujungnya seringkali menimbulkan gesekan atau konflik horizontal yang berlarut-larut sekaligus sulit untuk dicarikan solusinya. Diakui atau tidak, demokrasi adalah pilihan sistem kenegaraan yang sangat berat, bahkan mungkin merupakan bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit. Tapi sejauh ini hanya sistem demokrasi yang dapat diandalkan accountability –nya ketimbang sistem yang lainnya.
Sekali lagi berkaitan dengan Pilpres yang akan datang di Indonesia, nampaknya perangkat lunak demokrasi sudah dipersiapkan sedemikan rupa meskipun masih perlu diperbaiki di sana-sini. Namun persoalan yang muncul berikutnya, adalah apakah demokrasi yang sedang ditegakkan di bumi pertiwi ini berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya? Ataukah dengan proses demokrasi ala Indonesia ini semakin membawa ke arah yang lebih baik ataukah justru sebaliknya?
Kedua pertanyaan di atas sebetulnya hanya dapat dijawab oleh segenap warga-bangsa yang merasa mempunyai kepedulian yang konprehensip tentang nasib bangsa ke depan. Tanpa kepedulian dan empati tentang nasib seluruh persoalan-persoalan kebangsaan, mungkin sulit diharapkan akan dapat bangkit dari “mati suri” nya bangsa ini.
Siapapun dan dari golongan manapun pimpinan nasional (Presiden) yang akan datang, pada umumnya rakyat tidak akan mempersoalkan sejauh prilakunya menyentuh aspek-aspek substantive-populis. Bagi rakyat, Presiden di masa depan adalah figure yang mempunyai “imajinasi” kerakyatan, atau yang selalu berempati dengan problem-problem rakyat banyak. Mulai dari aspek kesejahteraan, pendidikan, keamanan, partisipasi politik dan perlakuan hukum yang adil dan lain sebagainya. Itu semua yang diidam-idamkan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang latar belakang calon pimpinan nasional di masa depan.
Sebetulnya, hari ini para penyelenggara Negara belum – untuk tidak menyebutkan sama sekali – memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kesejahteraan dan rasa keadilan pada seluruh rakyat. Hari ini pula, rakyat keseluruhan sudah hampir kehilangan kepercayaan kapada seluruh pemimpin di semua lapisan. Mulai dari pemimpin partai politik, birokrasi dan para pejabat publik. Krisis kepercayaan ini pada gilirannya pada pejabat tinggi Negara tidak terkecuali Presiden dan Wakilnya.
Untuk itu, ke depan kursi RI 1 (Presiden) di Indonesia bukanlah sebuah anugerah atau “kursi empuk” bagi siapapun. Tapi, merupakan “kursi panas” yang mempunyai konsekuensi logis terhadap nasib seluruh warga-bangsanya. Setuju atau tidak, kepemimpinan selalu berjalan beriringan dengan hukum alam (natural selection). Jadi artinya, apabila seorang pemimpin yang tidak dapat memenuhi kriteria integritas-universal, maka dengan sedirinya akan tergusur atau terpelanting dari posisi kepemimpinannya alias akan di-lengser-kan atau ter-lengser-kan.
Kamis, 15 Mei 2008
[+/-] |
Kursi |
Rabu, 14 Mei 2008
[+/-] |
BBM |
Dilema Politik SBY Menaikan BBM
oleh Alinur
Naiknya harga minyak dunia ke level US$100 lebih per barel membuat banyak negara di dunia terpukul secara ekonomi. Apalagi bagi negara-negara yang masih mensubsidi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bagi warganya seperti Indonesia.
Tidak seperti Singapore yang membiarkan harga minyak dalam negerinya disesuaikan dengan harga dipasaran dunia, Indonesia mensubsidi harga minyak untuk konsumsi dalam negeri. Karena masih disubsidi pemerintah, maka harga BBM seperti bensin, solar dan minyak tanah di Indonesia lebih murah dari harga pasaran di dunia.
Masalahnya, kalau harga minyak dunia naik, maka subsidi yang harus diberikan oleh pemerintah juga naik dan itu berarti menambah beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai ilustrasi, jika harga minyak dunia naik 1USD/barel, maka pemerintah Indonesia harus menambah subsidi dari APBN sebesar 3 triliun rupiah. Artinya anggaran belanja untuk bidang pembangunan yang lainnya akan terkurangi untuk mensubsidi BBM.
Dengan harga minyak yang semakin melambung bahkan pernah mencapai $120/barel, nampaknya pemerintah sudah tidak mampu lagi untuk terus mensubsidi harga BBM dalam negeri. Tetapi jika subsidi dikurangi maka harga BBM di dalam negeri harus dinaikkan.
Inilah yang menjadi dilema pemerintahan Yudhoyono sekarang. Jika subsidi dikurangi otomatis harga minyak dalam negeri akan naik, tetapi jika terus disubsidi budget APBN pemerintah akan bobol dan bisa menyebabkan inflasi menjadi tinggi. Jika harga minyak di Indonesia tetap maka inflasi di Indonesia tahun ini bisa melonjak menjadi 13,2 persen.
Pemerintahan Yudhoyono nampaknya akan terus mempertimbangkan dan mengkaji apakah akan tetap mempertahankan harga minyak dalam negeri atau terpaksa harus menaikannya.
Banyak pertimbangan politik yang harus dipertimbangkan Yudhoyono kalau harus menaikkan harga minyak dalam negeri. Apalagi sebentar lagi Indonesia akan menghadapi pemilihan umum dan pemilihan presiden tahun depan.
Jika harga minyak naik tentu akan memancing reaksi negative dari masyarakat terutama masyarakat kelas bawah. Logikanya sangat sederhana, kenaikan harga minyak akan membawa multiplier effect meningkatnya harga-harga barang maupun jasa.
Padahal dengan harga bensin dan minyak tanah seperti sekarang saja, rakyat kalangan bawah sudah merasa kesulitan untuk bertahan hidup sehari-hari. Masyarakat Indonesia banyak yang merasakan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan melejitnya harga-harga bahan pokok seperti beras, minyak goreng, terigu, gula pasir dan lain-lain.
Jika ditambah dengan kenaikkan harga minyak tentunya harga-harga barang pokok akan tambah naik karena naiknya biaya produksi dan ongkos transportasi.
Implikasinya, rakyat akan semakin kecewa dengan pemerintahan Yudhoyono dan menganggap presiden tidak mampu memperbaiki ekonomi.
Bagi rakyat bawah mereka tidak peduli dan tidak akan mengerti dengan situasi ekonomi global. Rakyat kecil pikirannya simple, harga barang-barang mahal dan tidak terjangkau maka mereka berkesimpulan pemerintah telah gagal.
Mereka akan langsung menghakimi kalau pemerintah tidak bisa mensejahterakan ekonomi rakyatnya. Dan karena itu harus dihukum dengan idak dipilihnya kembali presiden untuk kedua kalinya pada pemilihan umum tahun depan. Inilah yang dikhawatirkan Yudhoyono dan jajarannya dipemerintahan.
Yudhoyono tentunya tidak mau hal itu terjadi, tetapi masalahnya jika pemerintah terus mempertahankan harga minyak dan mensubsidinya supaya harga dalam negeri tidak naik maka inflasi di Indonesia akan meningkat dan memperburuk situasi ekonomi secara keseluruhan. Lagi-lagi jika ekonomi memburuk masyarakat pula yang akan merasakannya dan Yudhoyono akan menjadi sasaran kritik atas ketidakmampuannya menstabilkan ekonomi negara.
Sungguh sangat dilematis bagi pemerintahan Yudhoyono. Pertanyaannya pilihan mana yang akan dilakukan Yudhoyono dalam posisi seperti ini?
Belum ada keputusan yang akan diambil Yudhoyono, tapi paling tidak sinyal kearah menaikan harga minyak sudah mulai diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menurut Sri, nampaknya pemerintah akan mengambil tindakan yang tidak popular dalam merespon perkembangan ekonomi dunia yang tidak stabil. Artinya kelihatannya pemerintah akan mengambil pilihan mengurangi subsidi minyak dan menaikkan harga minyak, meskipun popularitas pemerintah akan jatuh dimata masyarakat.
Menurut Sri, pemerintahan Yudhoyono akan berhati-hati dari segi pemilihan waktu menaikkan harga minyak karena tiga pertimbangan: Pertama, menjaga perekonomian. Kedua, menjaga beban ekonomi masyarakat. Ketiga, agar keseluruhan kepercayaan terhadap APBN terjaga dan pertumbuhan ekonomi tidak terganggu.
Disinilah kepemimpinan Yudhoyono diuji, apakah dia akan berani mengambil keputusan yang tidak popular di masyarakat demi menyelamatkan ekonomi Indonesia? Apakah presiden berani mengambil keputusan yang beresiko secara ‘politis’ tidak disukai oleh masyarakat demi kepentingan ekonomi Indonesia jangka panjang?
Menurut Harry Azhar, seorang anggota parlemen yang membidangi masalah Keuangan dan Perbankan, Yudhoyono sebaiknya segera mengambil langkah tegas dalam menghadapi makin melejitnya harga minyak mentah internasional.
Jika pemerintah tidak melakukan tindakan apa pun seperti saat ini, angka kemiskinan malah makin tinggi. Inflasi juga makin melambung jika pemerintah tak segera menaikkan harga BBM bersubsidi. “Sekarang bola di tangan presiden,”. Disinilah lagi-lagi jiwa kepemimpinan yang tegas dan berani mengambil resiko dari seorang presiden diuji.
Waktu yang akan menjawabnya, pilihan mana yang akan diambil Yudhoyono. Ketegasan dan keberanian mengambil keputusan tentunya dengan kalkulasi politik dan ekonomi yang berpihak pada kepentingan rakyat nampaknya harus diperlihatkan oleh Yudhoyono.
Kalau terpaksa harus menaikkan harga minyak, Yudhuyono dan kabinetnya harus mampu meyakinkan rakyat bahwa hal itu memang mutlak dilakukan demi menyelamatkan ekonomi Indonesia terutama untuk jangka panjang.
Tetapi bila keputusan tetap mensubsidi harga minyak yang akan diambil, maka presiden harus bisa menghemat dan jeli melihat anggaran pada pos-pos mana saja yang semestinya bisa dikurangi. Presiden juga harus mampu melihat cara lain bagaimana caranya menyelamatkan APBN negara.
This entry was posted on May 13, 2008 at 11:56 pm and is filed
Senin, 12 Mei 2008
[+/-] |
Kangen |
Sajak-Sajak DADO 'Antologi Kangen'
teteh I
baru malam ini
aku menulis puisi tetang kerinduan
tergoda untuk menceritakannya dengan tinta
padahal sedari dulu malam mengajarkanku keindahannya
dalam gelap dan bulan segigit
baru malam ini
jemariku bergerak gemulai
membidikkan kata kata peluru rindu
menulis puisi
buatmu
buatmu
buatmu!
teteh II
hidup!
kangen!
hidup!
rindu!
hidup!
cinta!
hidup!
hidup!
hore-hore!
teteh III
aku dan kerinduan
menyerpih malam
siapa yang bisa ku tanyai
anginkah atau televisi tanpa warna di depanku?
kerinduan adalah nyanyian
tanpa not tanpa irama
kacau
kerinduan bisa membunuh
dan lebih hebat dari racun tikus nomer satu
aku juga sama
nyanyian hening
naluri pembunuh
sayang sungguh disayang
kerinduan hanya jadi milikku
aku dan kerinduan
menjepit potret mu
teteh IV
aku ingin menulis puisi tentangmu
puisi cinta berisi rindu berbunga mawar
mereka reka keindahan dalam liukan kata
tapi bukan sinetron atau telenovela
aku tak ingin tuliskan khayalan
kenyataan kasih
kenyataan!
yang isinya pahit dan peheur
aku hanya akan tawarkan itu padamu
tentu,
teteh V
sedih amat malam ini aku
sendirian memupuk kangen padamu
[+/-] |
Menulis |
Membaca dan Menulislah Terus!!
Oleh SUKRON ABDILAH
Tulisan ini bukan makalah. Tapi, sekadar curhat kecil-kecilan tentang pengalaman saya hingga bisa menulis artikel dan buku.
Keinginan untuk bisa menulis artikel di media cetak, sudah ada sejak saya mulai masuk ke UIN (dulu IAIN) Bandung, tahun 2002. Sejak keluar dari pesantren persatuan Islam No. 19 Garut, saya mencoba mendaftarkan diri ke jurusan Jurnalistik di UIN Bandung. Tapi, tidak lulus. Malah lulus pada jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Ada perasaan sedih dan kecewa saat itu, karena tidak lulus masuk Jurnalistik. Pikirku, keinginan untuk menjadi penulis akan sirna ketika tidak masuk jurusan Jurnalistik.
Ketika perkuliahan sudah berjalan beberapa tahun, hasrat untuk menulis artikel di media cetak muncul kembali. Tepatnya, ketika mengikuti mata kuliah Kaifiyat Mujadalah dan Ilmu Mantiq yang diampu Kang Aef Kusnawan. Saya menyebut Akang, karena beliau adalah dosen muda yang telah berkarya untuk mengharumkan fakultas Dakwah dengan artikel dan buku yang diterbitkan penerbit buku dan media cetak. Ia, pada waktu itu memotivasi saya dan mahasiswa lain untuk menulis dan mengirimkannya ke media cetak. Dengan embel-embel akan mendapatkan nilai A pada mata kuliah yang diampuhnya, saya tertantang untuk menulis dan mengirimkan ke Koran.
....
Alhamdulillah, pada bulan Desember 2004, artikel saya yang pertama kali ditulis dan dikirim diterbitkan Koran Galamedia. Bangga sekali waktu itu, meskipun hanya dibayar 30 ribu oleh Galamedia karena tertera nama Sukron Abdilah. Sejak saat itu, saya giat menulis artikel dan mulai meminta bimbingan kepada kang Aef Kusnawan. Hanya untuk bimbingan menulis, saya rela berjalan kaki dari Manisi ke rumahnya. Ia tidak merendahkan tulisan, tapi mengarahkan tulisan agar lebih punya sudut pandang. Saya merasa asyik dibimbing kang Aef Kusnawan, sehingga muncul semangat agar terus memperbaiki kualitas tulisan.
Sepenggal cerita di atas adalah perjalanan saya mengarungi dunia penulisan.
Berdasarkan pengalaman, menulis memerlukan semangat, tekad, dan keinginan kuat.
Selain itu, anda juga harus rajin membaca dan berdiskusi atau mengikuti seminar yang berkaitan dengan materi yang akan kita tulis. Sebab, modal utama menjadi penulis adalah memiliki kekayaan diksi, berwawasan luas, memiliki analisis yang tajam, dan ada tidaknya gagasan yang akan ditawarkan dalam suatu artikel. Menulis itu bagaikan seorang pedagang yang menawarkan dagangannya kepada orang lain. Oleh karena itu, dalam isi tulisan harus memuat ide-gagasan yang menarik pembaca.
Membaca akan menambah perbendaharaan kata yang disimpan di memori kita. Selain itu akan meluaskan cakrawala pengetahuan kita, dan mempertajam daya kritis kita terhadap fenomena atau gejala yang sedang terjadi. Dengan membaca karya orang lain, memudahkan kita untuk meniru gaya tulisan si penulis. Sehingga lebih mudah menuangkan ide-gagasan menjadi sebentuk tulisan artikel yang komplit. Untuk mencoba cara ini, ambillah salah satu artikel yang telah dimuat di Koran atau media cetak lainnya. Pelajarilah kerangka atau struktur dan gaya tulisan di dalam artikel tersebut. Dari mulai judul, pendahuluan artikel, sub judul, sampai kepada penutup.
Agar bisa menuliskan ide dan gagasan menjadi sebuah tulisan, baik makalah, artikel, naskah buku, atau paper penelitian, diperlukan kebiasaan menulis setiap hari. Pokoknya, tuliskan ide-gagasan yang ada dibenak menjadi kalimat yang tersusun rapi. Dan, biar lebih memudahkan membiasanya tradisi menulis, kita memerlukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menguatkan tekad, jadikanlah aktivitas menulis sebagai kewajiban moral.
2. Rajin membaca karya orang lain, seperti artikel, berita di Koran, buku dan novel.
3. Membiasakan menulis setiap hari. Satu jam per hari saja sudah lebih dari cukup.
4. Ciptakanlah lingkungan yang mendukung. Misalnya, membentuk komunitas menulis.
5. Arahkanlah materi tulisan pada bidang yang dikuasai. Contohnya, soal politik, budaya, agama, sosial dan ekonomi ataupun pemikiran.
6. Dirikanlah forum diskusi di antara teman-teman seangkatan. Kalau tulisan kita lebih mengarah pada nilai-nilai agama, misalnya buatlah kelompok diskusi bernama Lingkar Studi Agama atau yang lainnya. Pokoknya, forum diskusi ini akan dipampang pada identitas penulis artikel, yang letaknya berada di akhir tulisan atau di awal tulisan.
7. Mengetahui Visi-Misi media, dengan cara rajin membaca artikel opini, tajuk rencana, dan berita-berita yang diterbitkan oleh media bersangkutan. Ini berfungsi untuk menyelaraskan ide-gagasan kita dengan pihak media, yang berposisi sebagai pembentuk opini masyarakat. Sebab, mereka (redaktur dan pemilik perusahaan pers) adalah the man who know much.
8. Kirimkanlah artikel via-pos atau via e-mail. Dalam mengirimkannya, anda harus membuat kata pengantar – bagi sebagian media ada yang tidak perlu menggunakan surat pengantar – agar lebih etis. Apalagi bagi penulis pemula. Perlu menyertakan prolog tulisan kita supaya pihak redaktur bisa mengetahui arah tulisan kita.
9. Setelah mengirim tulisan, jangan menunggu artikel dimuat. Bacalah realitas dan buku, lalu menulis kembali dan kirimkalah. Terus membaca, terus menulis, terus mengirimkannya ke media massa. Insyaallah, dengan kesabaran artikel anda akan ada yang dimuat. Amiin
10. Kalau artikel ditolak dan dikembalikan, silahkan anda membuat weblog di layanan web hosting gratisan. Anda bisa memampangnya melalui media internet, dan berfungsi untuk terus melihara tradisi menulis di dalam diri.
Dengan sepuluh langkah di atas, saya pikir anda akan menjadi penulis sejati, yang berposisi sebagai intelektual publik. Salah satu strata intelektual yang menjadi bahan acuan masyarakat. Intelektual publik ada persamaan dengan selebritis tapi berbeda secara kualitas. Kalau selebritis semakin tua semakin tidak laku dipasaran.
Penulis – sebagai intelektual publik – semakin tua maka ia akan semakin terkenal dan karyanya akan semakin berbobot. Kalau anda tertarik menjadi intelektual publik, silahkan mulai menuliskan ide-gagasan menjadi rangkaian kalimat yang membebaskan masyarakat dari “kesadaran palsu” akibat ada laku lampah hegemonik dari segelintir orang.
Wilujeng nyerat ah…”Elmu teh lain ngagubrag ti awang-awang, lain oge saukur dina kertas daluang, tapi tina ruang-riung jeung papada orang”. Begitu juga dengan menulis. Tanpa ada komunitas yang ruang-riung membincangkan dan mempraktikkan tradisi menulis, bahasa akan menemui kematiannya. (Sukron Abdilah/alakpaul.multiply.com)
– Hargai karya manusia lain –
[+/-] |
Panas |
Agama Kian Panas
Oleh BADRU TAMAM MIFKA
Sebuah Introduksi Islam Santai
Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu. (QS. Yunus: 19)
Jika di dalam rumah Anda ada dua orang bertengkar hebat, bisa saya pastikan Anda akan pusing mendengarnya dan mulai merasa tak betah tinggal di rumah. Anda akan stress. Barangkali Anda akan mencoba melerainya. Tapi jika pertengkaran itu tak bisa dihentikan, dan Anda malah kena damprat, bisa saya pastikan lagi Anda akan memilih keluar rumah dan mencari tempat yang tenang untuk mengurangi stress Anda. Di saat seperti itu, mungkin Anda akan mengeluh: “Rumahku adalah nerakaku…”
Begitu pun dengan “rumah” bernama agama Islam di Indonesia belakangan ini. Layaknya satu kelompok dengan kelompok umat lain tengah tenggelam dalam “lumpur pertengkaran”. Tentu saja, pasalnya adalah permasalahan klasik bernama: perbedaan pendapat. Bukankah sudah lama kita tahu bahwa bangsa ini masih belum sepenuhnya dewasa dalam menyikapi setiap perbedaan pendapat?
Hari ini, misalnya, ada berita yang lagi hot. Saya menyaksikan sebagian besar umat Islam Indonesia (mayoritas) sedang “bertengkar” dengan jemaah Ahmadiyah (minoritas). Ahmadiyah dituduh sebagai aliran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali menelorkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menodai ajaran Islam. Bisa dipastikan—setidaknya—sebuah fatwa ibarat gema takbir yang membakar semangat umat. Maka bergelombanglah ormas-ormas Islam berdemonstrasi mendesak presiden untuk membubarkan Ahmadiyah dari bumi Nusantara ini.
Dari dulu, keberadaan jemaah Ahmadiyah memang tak pernah diberi tempat yang aman di negeri ini. Dari mulai dihujani fatwa sesat, pengusiran dari kampung sendiri hingga kekerasan, bahkan pembakaran rumah.
Gerakan anti-Ahmadiyah memang setahun terakhir ini kian meruncing. Mereka keukeuh menganggap Ahmadiyah adalah ajaran menyimpang karena tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai khataman-nabiyyin. Banyak umat Islam sudah gerah pada keberadaan aliran Ahmadiyah di Indonesia yang juga dituduh mempunyai Nabi dan Kitab Suci sendiri. Mereka giat melakukan demonstrasi dan mendatangi tempat-tempat jemaah Ahmadiyah. Tak heran jika jemaah Ahmadiyah merasa terancam dan tak khusuk dalam menjalankan ibadahnya.
Namun di lain pihak, Ahmadiyah melakukan pembelaan diri. Dari beberapa wawancara di televisi, mereka mengaku tak menyimpang dan menodai ajaran Islam. Mereka masih memakai syahadat, sholat, percaya pada kitab Qur’an. Mereka juga mengakui Nabi Muhammad sebagai pembawa syariat dan Mirza Ghulam Ahmad hanyalah guru, mursyid, dan sebagai pembaharu yang tugasnya adalah menghidupkan kembali syariat. Mereka tak mau dianggap menyimpang. Bahkan mereka meminta Presiden SBY tidak melarang keberadaan Ahmadiyah di Indonesia karena melanggar UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia.
Tapi keadaan kian memanas. Pro-kontra pendapat di kalangan masyarakat bersilangan seperti siraru. Alih-alih agama yang seharusnya jadi ruang beribadah dengan tenang, malah dijadikan cerobong untuk menyalahkan dan mengutuk kelompok lain yang berlainan pendapat dengannya. Dzikir kita sudah pabaliut dengan caci maki. Ibadah kita sudah terkontaminasi dengan dengki dan jahil pada sesama.
Sebenarnya “cacat” seperti itu seringkali ditemukan dalam tubuh agama Islam. Kita mungkin sudah akrab dengan perselisihan umat mulai dari soal pertikaian dalam hal-hal furu’ atau kalap dalam ikhtilaf dengan umat seagama. Pikiran dan waktu kita dihabiskan di sana. Sampai kini, agama Islam masih merupakan bentuk yang retak di beberapa bagian. Islam—setidaknya di Indonesia—ternyata bukanlah umatan wahidah atau jama’atun wahidah, tetapi—meminjam bahasa Quran: “…mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah.”
Islam Yang Santai
Agama gonjang-ganjing Umat sibuk kasak-kusuk
Bagaimana ibadah bisa khusuk?
Menghadapi fenomena “pertengkaran” antara ormas-ormas Islam (plus MUI) dengan jemaah Ahmadiyah, saya jadi teringat ungkapan lama namun tetap indah dari Muhammad Said al-Ashmawy dalam Againts Islamic Extremism: “Keadilan mendahului hukuman, semangat lebih penting ketimbang teks, dan semua umat agama adalah satu komunitas.” Karena satu komunitas, menjaga indahnya persaudaraan dan perdamaian menjadi kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Perbedaan adalah rahmat. Menyikapi perbedaan dengan damai dan santai adalah nikmat. Tak perlu ada tradisi saling menyalahkan. Toh, dalam kasus Ahmadiyah, jemaah Ahmadiyah mengaku Islam, nabinya Muhammad, kitabnya al-Qur’an dan Tuhannya sama dengan umat Islam. Jika katanya Ahmadiyah hanya menafsirkan khataman nabbiyyin untuk Nabi Muhammad sebagai orang dengan kedudukan dan martabat yang paling luhur dan afdhal dalam segala hal, why not? Toh ini hanya perbedaan dalam menafsir. Kita tak perlu merasa paling benar. Bukankah kita tak mau menjadi bagian pengikut Rasul yang membuat agama terpecah belah, seperti apa yang digambarkan Allah dalam QS. Al Mu’minuun : 53: “Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).”
Maka sejatinya setiap umat beragama berhak menjalani keyakinan dan ibadahnya dengan tenang. Jika kita menghormati hak asasi itu, saya yakin harmonitas umat seagama (bahkan antar agama) akan terwujud dan perpecahan tidak akan terjadi. Semua akan baik-baik saja, atau istilah kerennya—meminjam istilah Dr. Yudi Latif—I’m Ok, You’re Ok. Selebihnya, tanggung jawab kita adalah beribadah dengan tenang dan santai serta menciptakan kemashlahatan dan menghindari kerusakan (jalb al-mashalih wa daf al-mafasid) di muka bumi ini.
Umat yang berbeda pendapat tak perlu dilukai keyakinannya. Saya pikir jemaah seperti Ahmadiyah tak bermasalah; yang justru bermasalah adalah orang-orang yang merusak dan melakukan kekerasan pada mereka. Itulah yang bermasalah dan merusak citra Islam di mata dunia. Oknum umat setitik, rusak Islam sebelanga. Ahmadiyah bukan teroris yang jelas-jelas merusak nama baik Islam.
Janganlah terlalu tegang dalam menjalankan agama, santai sajalah. Ahmadiyah juga adalah bagian dari masyarakat Islam. Karena bagian dari masyarakat Islam, maka hormatilah keberadaan mereka. Jika tidak, saya khawatir kita termasuk umat yang dzalim dan berdosa. Ada ungkapan indah yang patut kita renungkan, bahwa “Tangan (kekuatan) Tuhan beserta jamaah (masyarakat). Barangsiapa memecah jamaah, memecah pula Tuhan…” Saya tak segan mengatakan, “mengganggu” dan menyakiti umat lain adalah dosa. Bukankah dosa itu tersembunyi, bahkan dalam jubah yang dianggap suci sekalipun?
Walhasil, sikap kita dalam beragama harus segera diperbaiki; harus segera didewasakan. Ketegangan dan kekerasan bukan cara yang arif. Bukan Islam stress yang kita harapkan, tapi Islam santai. Islam yang genah, merenah, tumaninah, gemah ripah-repeh-rapih loh jinawi. Jangan banyak bertengkar, agar umat betah dan khusuk beribadah. Mulailah berbuat baik pada sesama dalam beragama, bukan malah merugikan. Karena, yang paling baik di antara kamu ialah yang paling bermanfaat bagi sesamanya, demikian Rasulullah bersabda. Dan Allah juga berpesan dalam Qur’an, “Tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya…” So, apakah mulai hari ini kita mau menegakkan agama atau malah memecah-belahnya? Saya berdoa kelak Islam tidak termasuk “barang pecah belah”. Semoga. Wallahu ‘alam. []
* Mahasiswa UIN Bandung
[+/-] |
Merah |
Sajak-Sajak 'Merah' AMIN RAIS ISKANDAR
Sehari dalam Ngelantur
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Serasa kangen pada pulang
Tapi gerangan siapa yang akan dijumpa
Bapak tiada
Ibu berpaling muka
Paling-paling disapa ilalang!!
Seluruh sahabat pergi
dan sulit kembali
Bersama mentari pagi terasa sendiri
Di pinggir kali bapak cerita arti diri
Tapi dulu;
sebelum untuk selamanya pergi
Bingar di kota seakan menikam
Dengan seribu satu kasih yang kejam
Sesak rasanya udara ini
Di sela-sela gang rumah yang sempit
Terjepit megah toko dan jalan raya
Andai tidak ditanam bunga-bunga pot
Tersisih dari tanah sendiri
Terpenjara dalam jeruji modal
Berjamaah shalat saja susah
Menunggu giliran tamu beresan
Sehabis jenguk orang sakit
Dalam megah bangunan yang menipu
Tergambar kekumuhan nurani
Di balik gelamor pakaian di badan
Ah… mungkin bukan barang aneh
Kebohongan padati bumi
Dusta bagai budaya massa
Gengsi dong jika kurang mecing!!!
Urusan hati urusan nanti
Bisa dibalut seribu satu rekayasa
Orang caci apa peduli
Asal dipandang dan orang percaya
Ah… itu kan rumah sakit
Seminggu dianggurin bukan masalah
Biar cepat dijemput ajal
Beres sudah urusan dan dapat bayaran
Mengapa mesti repot-repot?
Mati satu lahir seribu
Nggak bakalan kekurangan penghuni
Bumi masih akan penuh hingga kiamat
Dalam nan lekat kupandangi wajah-
wajah pias penuh pasrah di atas kasur
empuk berkain putih; serasa mengalir
sungai anggur harum dan memabukkan
dalam relung-relung jiwa ini.
Kau yang hingga hari ini genap empat
bulan tidak berdaya; jangankan jalan;
duduk saja tak mampu. Mengubur oase
persahabatan kita enam tahun yang
dipotong benang ruang dan waktu dalam
pucat pasi kulit mukamu.
Sedikit pun tidak terpancar cahaya
semangat hidup yang selalu kau
hembuskan pada langkah-langkah
gontaiku tempo dulu. Sakit adalah bekal
hidup tuk menguji kebesaran iman tuk
tulus dan berserah.
Hanya ketabahan dan kebesaran hati
kau butuhkan tuk sambung harapan
hidup. Kematian bukan perkara yang
mesti ditunggu sebab adalah
keniscayaan bagi setiap yang hidup.
Bahagialah kau yang dianugrahi ujian
pada masa muda sebelum tawamu
membuncah dalam angkuh dan dijemput
tiba-tiba dalam alpa; di masa tua.
Bandung, 04 April 2008
Beri Aku Tau Akan Segala Makna Sunyi Kehidupan
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Kau yang bersemayam dalam detak
jantungku memancarkan rona sendu di
setiap pagi. Hanya kekuatan cinta yang
tulus yang dapat menyuguhkan sugesti
kedahsyatan setiap keajaiban yang
nampak dalam maha karya.
Beri tau aku tentang makna cinta di
“mata”Mu, agar hari kian cerah
dan hujan memberi kehangatan dalam
malam. Beri aku makna sunyi agar
malam dapat diisi dengan penuh arti.
Beri pula aku arti bingar agar hari-hari
seperti indah.
Beri tau aku tentang makna ketabahan,
yang bercusuar dari rona duka. Dari
jingga air si bola mata. Dari duplikat
ayah yang telah tiada. Dari dusta yang
tidak disengaja. Dari segala derasnya
hujan kehilangan.
Beri pula aku tau tentang makna
ketulusan dan kepasrahan; supaya dari
kesakitan aku dapat belajar banyak
tentang cinta. Cinta terdasar yang
diajarkan Plato dan Gibran dalam
narasi-narasi syairnya.
Cinta yang bukan sekedar menguasai
dalam genggaman kekuasaan. Cinta
yang bersatu dalam ikatan jari-jari
tujuan mulia tuk membangun,
mengindahkan, dan membelai setiap
segala yang ada.
Cinta yang tercermin dari ketulusan api
membakar kayu hingga jadi abu, dari
keiklasan hujan yang basahi bumi
hingga tumbuh buah-buah segar dan
menyehatkan, dari tanah yang selalu
ridlo dalam kodratnya tuk selalu diinjak-
injak, dari udara yang hingga dapat
semua makhluk nikmati hidup.
Beri aku ajaran tentang hakikat
kerandah-hatian dari segala anugerah
kelebihan. Agar angkuh dan
kesombongan enggan dan merasa malu
tuk mencuat dalam muka perilaku. Agar
betapa aku tau kekerdilan diri yang hina
dan bodoh.
Beri tau aku tentang segala rahasia alam
sunyi kehidupan ini wahai Kau yang
selalu bersemayam dalam setiap detak
jantungku. Agar tiada tersesat dalam
persimpangan akhlak, moral, dan etika.
Agar segalanya bisa bertasbih akan
keagungan dan pasrah pada tugas mulia
sebagai khalifah.
Bandung, 08 April 2008
Yang aku tau hanya satu; dalam setiap
tatapan mata ini yang mampir dalam
raut muka abstrak nan samar. Serasa
mengalirkan sungai cinta yang tenang,
sejuk, dan suci.
Tapi lagi-lagi aku alpa dalam cara
bagaimana membendung segala
derasnya aliran kerinduan mendekap
tubuh yang tak nampak. Dalam
genangan tingi dan diam dalam
ketenangan abadi?.
Sedang yang ditunggu laksana angin;
bernama tak bernyata. Di mana
gerangan Engkau yang bersemayam
dalam setiap detak jantungku; tempat
kusandarkan setiap dusta dan dosa?
Bandung, 11 April 2008
Selipat Kertas Saksi Hidup
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Secarik kertas,
Terpaksa ia kulipat
dalam keberaksaan
kian jadi saksi kehidupan
tentang dingin; menusuk kulit, daging
dan hingga ke tulang bagian dalam.
tentang vila tak berdinding,
tentang kota yang disapa mata;
dalam kasat mata,
dalam harap dan optimism,
malam ini diciptakan gardu-gardu sosial
Bagi professionalisme;
sengaja ditekan hasrat cinta
dalam saksi rembulan sepenggalan saja
Sang cinta tersenyum
lantas hilang dalam tatapan
Kembali kutelan liur sendiri
Tiga hari dalam bersama
Belum tentu kau kujumpa pula.
Bandung, 29 April 2008
Tawa Desa Nestapa Kota
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Di puncak Pasir Angin
Kudapati tanaman tumbang
sementara arang luput dari pikiran
Kunyalakan dengan bara
dan matangkan ubi Cilembu.
Salahkah aku yang nikmati manis
Di sela histeris kota
yang kekurangan minyak tanah
harga gas LPG melambung tinggi?
Tawa desa masih bersahaja
Jauh dari baja dan cukup dengan pohon Nangka
Jerit kota makin melengking tinggi;
Hilang rumah dan harta benda
Bati “perjudian” nasib dalam puluhan tahun
Dari puncak Pasir Angin
Mata dipaksa menyaksi siksa
Pada malam hari pula
Keringat dingin tak kalah dingin
dari keringat buruh dalam komoditas.
Dan masih kunikmati manis
ubi Cilembu bakar di beranda rumah sewaan
di puncak Pasir Angin.
Rokok Dua Tiga Empat
masih setia digenggaman
temani resah dan gundah dalam pikir dan hati
kayu bakar masih menyala di tungku
Air mandi tak lagi sejernih dulu;
Banyak lumpur dan limbah tai sapi
Dari sela-sela hembus angin gunug
Almarhum ayah di kampung halaman
tiba bawa kabar dalam halusinasi suara;
“kayu bakar di desa sudah hampir sirna
lekaslah pulang dan beri peringatan!!!
Kau sarjana diharapkan beri perubahan”
Bandung, 01 Mei 2008
Kegalauan
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Gundah ini
Slalu hadir sepanjang bulan
Awal, tengah, dan akhir sama saja;
Hanya gundah…
Hanya resah…
Hanya ketidak tenangan jiwa…
Ingin rasanya aku
menangis sendu di pangkuan bunda
yang jauh dari jangkauan mata.
Mengejar asa
Menggapai cita-cita
Meski lapar ditekan paksa
Menunggu setiap senja tiba
Adakah nasib menukar mujur
Menjual gabah membeli gelar
Menyantap bakar singkong
Mengumbar wacana Sorbong
Bandung, 02 Mei 2008
Kau ber-Lima Mahasiswa Rantau
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Kaos oblong yang lusuh
Celana pendek tak nyampai selutut
Hitam warna kulitnya
ditantang perbaiki nasib
Duduk ber-lima di pinggir jalan
remang-remang disoroti
lampu jalanan.
Setiap malam menantang
derasnya ancaman zaman.
Kau ber-lima mahasiswa rantau
Bergelut dengan derasnya
laju teknologi komunikasi;
Tusukan dingin kau tangkal dengan
hamparan setiap helai “koran”
yang kau gantungkan makan darinya.
Lifestyle kau abaikan.
Bukan dinggap virus ganas
yang menggurita dan balut budaya massa
sesekali batuk kering sesakkan dada
kadang hingga perih terasa gerogoti
Di sela-sela jenuh jalani
silabus antah-berantah yang disajikan.
Gelang karet penuhi pergelangan tangan
mengkilap pula jam keemasan
penunjuk waktu tiba saat pejamkan mata
di ruang sempit tak berkasur
tak berselimut
sekedar beralaskan kardus supermie
berusia tiga-setengah tahun.
Bertarung bersama desingan
nyamuk penggoda dan ancaman TBC
gerogoti jantung hati mengancam “mati”.
Bandung, 03 Mei 2008
Dunia Kedua (?)
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Saat aku terasing
terbuang, ternarjinal
dari segala bingar kota
Sendiri aku cari jawab
dan hanya satu solusi;
Dunia kedua jadi ruang sunyi.
Ketika aku tersanjung
terpuja, terkenal
dari segala prestasi dan puji
Bapak murung kecut tak suka
dan hanya satu sahabat;
Dunia kedua tempatan curhat.
Manakala aku sendu
muram, sedan
Siapa sanggup mendengar
Peduli dan beri sempati?
Hanya berinteraksi dengan insan
kolot, kuno, dan so bijak
di dunia kedua kucari-cari jejak.
Sampai kususuri lorong-lorong
asing narasi-narasi kuno
hingga kukejar meta-narasi;
Dalam bangunan dunia kedua.
Apa perlu lagi berlari ke gunung
ke hutan, ke kota,
bahkan ke dasar lautan?
Yang beri segala bingar
Sedu-sedan, sampai murung-
durja dalam dunia kedua.
Bandung, 18 April 2008
“Jimat” Warisan Petani Tua
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
rembulan dibalut awan
mentari dijegal harap
lembayung mengalirkan air jingga
dalam tangis tergores darah-darah dosa.
Wajib waktuku terlalu banyak terabai
dalam alpa dan lupa lalai
hingga satu kesengajaan.
Surat sakti sesekali kubuka dalam sadar
“waktu” dan “jujur”; jimat pekerti
Kujumpa dari kucuran air liur
dan genangan lumpur
sang petani tua sebelum jumpai ajal.
Sorban hijau sempat ia wariskan
kian jadi selimut setiap dingin
malam pengundang mimpi
hidupkan ruh petani tua
kembali dalam kebersamaan.
Bandung, 04 Mei 2008
Bagi Yuni Andriani
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Ingin rasa tenangkan jiwamu
Agar seri merekah subur di bibir
Bak bunga matahari saat dikecup pagi
Setiap batu-batu hias dibasuh braso
Maaf yang jiwa kurang mampu
hibur hari dengan kembang-kembang
jagung di tengah kebun
pelataran sawah.
Terlalu canggung hasrat
hormati putusan tuk tetap
berpisah dalam masing-masing
kesendirian.