Kota Bandung dan Masyarakat Sehat
oleh BAMBANG Q-ANEES
Harian ini pernah menampilkan data dan investigasi yang cukup menarik. Kompas Jawa Barat halaman C memberitakan fenomena kenaikan jumlah pasien rumah sakit jiwa di Kota Bandung.
Pada 2004 baru ada 13.908 orang dan pada 2005 meningkat menjadi 16.923 orang. Bila dihitung dari tahun 2002, ada penambahan 44,22 persen sehingga rata-rata setiap tahun ada pertambahan sekitar 1.126 pasien.
Jawabannya, secara sepintas, dapat kita baca pada investigasi harian ini pada hari yang sama. Pertama, schizophrenia merupakan penyebab gangguan jiwa paling dominan, yaitu sekitar 73 persen, gangguan suasana perasaan (22,6 persen), dan penyalahgunaan obat-obatan dan psikotropika (2,53 persen). Apa jawaban yang bisa diambil dari data ini?
Dalam analisisnya, Machmud, Direktur Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bandung, menghubungkan schizophrenia dengan tekanan ekonomi yang berat. "Banyak orang shocked dan depresi. Mereka terbiasa hidup berkecukupan dan tiba-tiba harus hidup dalam kondisi ekonomi serba terbatas&.Kondisi ini diperparah dengan pola pikir masyarakat yang semakin materialistis. Akibatnya, orang miskin atau yang tidak terbiasa hidup miskin menjadi tertekan dan akhirnya jiwanya terganggu."
Kedua, bersumber dari analisis Riza Putera, Kepala Bidang Pelayanan Medik RSJ Bandung, yang menyatakan bahwa meningkatnya penderita gangguan jiwa juga dipicu pola kehidupan yang semakin individualistis. Akibatnya, beban hidup seseorang menjadi semakin berat karena dia merasa hidup sendirian. Pola hidup individualistis ini juga tampak pada penerimaan masyarakat terhadap pasien RSJ yang dinyatakan pulih. Sebagian masyarakat menilai, bekas pasien RSJ dianggap gila. Akibatnya, tak sedikit pasien yang akhirnya harus dirawat kembali di RSJ karena tidak tahan dengan stigma itu.
Jadi, ada kait kelindan antara schizophrenia dan tekanan ekonomi yang berat (gejala sosial) dan pola hidup materialistis (pandangan hidup). Karena orientasi hidup terarah pada materi dan ketika ekonomi ambruk, semua orang menjadi limbung dan depresi. Kemudian maraklah penderita schizophrenia.
Reaksi pertama ketika membaca investigasi itu adalah rasa cemas. Soalnya tanpa sadar, kita semua ternyata berada di tengah masyarakat yang sakit; masyarakat materialistis dan individualistis yang "mendorong" banyak anggotanya menjadi sakit jiwa. Saya pun sebentar lagi mungkin bisa stres dan mungkin juga gila karena kecemasan adalah awal depresi. Ini barangkali tesis yang gegabah karena gejala peningkatan pasien sakit jiwa tidak bisa dijadikan argumen utama bahwa kita tinggal di tengah masyarakat yang sakit.
Paradoks
Ada satu lagi data yang luar biasa di harian ini. Data itu ditemukan di halaman B pada hari yang sama, yang memberitakan bahwa pertumbuhan salon dan tempat perawatan kecantikan di Kota Bandung meningkat 10-20 persen. Budget warga Bandung dalam memelihara kecantikan per bulan, konon, berkisar Rp 200.000-Rp. 400.000.
Ada paradoks di sini. Di satu sisi ada sejumlah orang yang depresi karena kesulitan ekonomi, tetapi di sisi lain, secara bersamaan di ruang yang sama, ada banyak orang yang bersolek diri dengan dana cukup besar. Gejala mempercantik diri ini bukanlah paradoks, melainkan gejala kecemasan yang begitu akut sampai-sampai ada orang yang begitu khawatir akan lunturnya anggapan orang bahwa dirinya cantik.
Pendukung lain tesis ini adalah uraian ini merupakan uraian ilmiah Erich Fromm tentang masyarakat yang tidak sehat. Fromm menyatakan, penyakit mental individu di antaranya ditentukan oleh kemampuan mencapai tujuan-tujuan obyektifnya. Tujuan obyektif itu adalah mencapai kebebasan, spontanitas, dan pengungkapan diri yang asli. Jika tujuan-tujuan obyektif itu tidak dapat dicapai oleh mayoritas anggota suatu masyarakat, masyarakat itu dapat dikatakan sebagai masyarakat yang sakit.
Gejala masyarakat yang tidak sehat tidak bisa ditengarai secara mudah. Sebab, ketika semua orang mengalaminya, common sense kita akan menerimanya sebagai suatu kewajaran. Saya kembali merasa cemas karena diam-diam saya juga orang yang rajin bersolek agar menemukan diri sendiri seperti orang yang saya andaikan (idola saya); saya melakukan sesuatu bukan karena ingin melakukannya, tetapi karena ingin menjadi pusat perhatian; saya pun sering memainkan senyum sintetis agar mendapatkan relasi dan keuntungan citra diri.
Saya pun mungkin orang yang rakus (yang mementingkan keuntungan pribadi) tanpa peduli penderitaan yang sedang dialami orang lain. Bila gejala yang saya alami ini diidap oleh sebagian besar anggota masyarakat kota ini, kota ini menjelma menjadi masyarakat yang tidak sehat. Bila pertambahan 1.126 pasien RSJ terus bertambah, 10 atau 20 tahun lagi semua warga kota ini akan menjadi pasien RSJ.
Kecemasan berlebihan
Ini kecemasan yang berlebihan. Namun, ada baiknya kita eling dan waspada. Tak ada salahnya kita diam sejenak dan melakukan refleksi atas seluruh aktivitas kita di ruang publik. Jangan-jangan kita memang sudah sedemikian materialistis hingga gampang putus asa ketika kehilangan materi (dan membuat orang lain putus asa karena ketidakadilan kita ketika mendapat kelebihan materi). Jangan-jangan kita memang begitu individualistis yang hanya memikirkan nama harum diri sendiri sembari membuat orang kehilangan nama harumnya.
Ramadhan adalah momen yang tepat untuk melakukan perenungan. Ramadhan melatih kita menahan makan-minum sehari penuh, mendorong kita untuk peduli kepada tetangga yang miskin, dan membiasakan kita untuk shalat berjamaah. Dengan demikian, Ramadhan merupakan waktu agar kita melepaskan diri dari ketergantungan materi.
Bila semula kita menganggap hanya bila perut penuh maka kita dapat beraktivitas, selama Ramadhan kita mendapatkan pengalaman bahwa materi makanan bukan sebab utama bagi kreativitas kita. Ramadhan mengajak kita mengalami kebiasaan orang-orang duafa yang menjalankan aktivitas dengan perut lapar, seraya tumbuhlah solidaritas untuk memikirkan orang lain.
Apalagi, ada perintah suci yang memberi kita iming-iming: memberi makan berbuka bagi duafa sama dengan mendapat pahala puasa sehari penuh. Ramadhan mendorong kita kembali bersama-sama (buka puasa, shalat tarawih bersama) dan mengalami nasib sama (sama-sama lapar, sama-sama harus tetap beraktivitas di ruang yang sama).
Aha, kecemasan akan Kota Bandung sebagai masyarakat yang tak sehat segera mendapatkan jawabannya, yaitu kita harus melalui Ramadhan tidak sebagai kewajiban ritual belaka. Selamat berpuasa dan kembali menjadi masyarakat yang sehat.
BAMBANG Q-ANEES Pengamat Sunda; Dosen Teologi UIN SGD; Penulis Buku-buku Remaja
Artikel ini pernah dimuat di Kompas Biro Jabar, Jumat, 5 September 2008
Jumat, 05 September 2008
[+/-] |
Kota |
Kamis, 04 September 2008
[+/-] |
Puasa |
Puasa, dari Ritus Tahunan Sampai Prioritas Kebutuhan
Oleh ACENG ABDUL KODIR
BAHWA puasa sebagai kewajiban dari Allah Swt terhadap umat Islam, sudah merupakan kebenaran aksiomatis. Tidak perlu diragukan atau apalagi mencari-cari celah untuk menegasikannya karena tidak memiliki kontribusi apa pun kecuali sekadar manifestasi keangkuhan diri.
Seluruh umat Islam, baik yang taat beragama atau sekadar bermodalkan ikatan primordial sebagai bagian dari Islam, menyongsongnya dengan segenap anasir kemanusiaan yang muncul dari ketundukan, kepatuhan, dan kehambaan kepada Allah Swt.
Namun, sesungguhnya pemaknaan sederhana atas puasa hanya menambah keringnya spiritualitas kita sebagai pelaku-nya, sekaligus wujud nyata bahwa tradisi keberagaman kita masih berada pada level sami’na wa atha’na. Buta tanpa mau melihat ke dalam rahasia dan kearifannya sebagai pelajaran hidup, kehidupan dan penghidupan yang Allah siratkan di berbagai macam syariat-Nya terhadap manusia.
Ibadah puasa yang masih mengacu pada "puasa definitif", melepaskan dari aspek-aspek terkait lainnya, semisal tarikh tasyri’. Oleh karena itu, persepsi akan tujuan dan signifikansi puasa harus diubah agar puasa tidak sebatas murni kewajiban dari Allah yang tidak memberi kontribusi nyata bagi kehidupan manusia. Meminjam istilah Hasan Hanafi, perlu sebuah dekonstruksi dari kecenderungan teosentrisme menuju antroposentrisme.
Paling tidak, ada tiga aspek penting yang perlu dijadikan fokus kesadaran oleh para pelaku ibadah puasa. Pertama, kesadaran ontologi. Kedua, kesadaran epistemologi, dan ketiga kesadaran aksiologi. Titik tekannya terdapat pada "kesadaran" dan atribut di depannya.
Kesadaran ontologis dimaknai sebagai daya internalisasi seluruh "anasir kemanusiaan" manusia terhadap makna hakiki puasa. Dengan demikian, makna puasa yang didasarkan pada makna fiqhi tidak mencukupi dijadikan basis kesadaran, sebab belum mengakomodasi kesemestaan dan keluasan "signifikansi" puasa. Idealitas ini bisa ditemukan dengan, misalnya pertama-tama melakukan dekonstruksi teologis terhadap puasa, untuk menemukan signifikansinya dalam kehidupan manusia. "Penjelajahan liar" dilakukan terhadap pola-pola kesadaran yang ada di masyarakat dengan segenap kompleksitasnya. Pemahaman utuh terhadap kondisi sosial-budaya disertai kejelian menangkap pesan dimungkinkan mampu menggeser pola kesadaran konvensional menjadi kesadaran kritis-praksis. Agar terjadi transendensi maka dilakukan rekonstruksi makna puasa berdasar pengalaman dan pengamatan tadi. Dari sini akan ditemukan (lebih tepat tersingkap) ide besar rasionalisasi Allah Swt mewajibkan puasa Ramadan disertai kemantapan, keajekan, dan keikhlasan dalam melaksanakannya.
Pemahaman utuh dan menyeluruh terhadap "kesadaran ontologis" berkontribusi besar dalam tahap berikutnya, yakni "kesadaran epistemologi". Kesadaran ini berkepentingan dengan bagaiamana agar ibadah puasa memiliki dampak kreatif-positif, baik secara vertikal-ritual maupun horizontal-sosial. Orang berpuasa kerap diasosiasikan dengan kualitas-kualitas rendah semacam kemalasan, kemunduran, dan stigma negatif lainnya. Ini berarti menandakan puasa yang tidak kreatif-positif.
Untuk mendongkrak stigma negatif ini maka harus ada upaya menggeser paradigma puasa dari sebatas rutinitas tahunan ke prioritas kebutuhan. Artinya puasa sebagai salah satu skala prioritas dalam pengembangan dan perbaikan diri, dengannya puasa memiliki kualitas progresivitas, semangat pembebasan dan hidup yang bermakna. Oleh karena itu, penting dibuatkan activity list selama sebulan penuh secara terjadwal sebagai pemandu; kegiatan inti, kegiatan penunjang, alokasi waktu, dengan polarisasi target jangka panjang (sebulan), menengah (dwi mingguan), pendek (minguan), dan rutin (harian). Intinya menjadikan puasa Ramadan sebagai laboratorium perbaikan, tempat pendedahan, dan medium metamorfosis diri.
Tidak kalah penting dengan dua kesadaran di atas, "kesadaran aksiologi". Tentang hal ini alangkah tepat hikmah puasa sebagaimana ayat Alquran surat Albaqarah 183, menjadi manusia paripurna (takwa). Alquran menyebutnya la’allakum tattaqun, menggunakan logika berpikir qadliyah syarthiyyah, seakan puasa diwajibkan agar, untuk, dan supaya manusia bertakwa. Tak ada makna puasa tanpa takwa. Oleh karena menggunakan bentuk fi’il mudhari’ (menunjukkan sedang atau akan datang) maka bisa diambil pelajaran bahwa inti puasa justru terletak setelah prosesi puasa dilaksanakan, "memasa depan". Karena takwa selalu dimaknai sederhana sebagai hanya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya, perlu terobosan untuk memaknainya kembali. Makna ini terlalu metafisik, abstrak, normatif, dan kurang menginisiasi, karena itu perlu diturunkan dalam rumusan sederhana dan mudah dijangkau.
Di antaranya pernah dilakukan Ubay bin Ka’ab ketika menjawab pertanyaan Umar bin Khatab radliyallahu ‘anhu, jawabnya, "Wahai Amirul mukminin! Apakah Anda pernah berjalan di atas jalan berduri?", "Pernah," jawabnya, "Lantas apa yang kau lakukan?", "Aku berhati-hati dan lebih waspada serta menjauhinya", "Itulah hakikat takwa". Dengan demikian, takwa ialah mawas diri (hassasiyyah fi al-dlamir), sensitivitas, kewaspadaan dan kesadaran yang berkelanjutan. Jalan berduri adalah fragmen-fragmen hidup, kehidupan dan penghidupan yang penuh dengan trik, intrik, ketakutan, keinginan, pengharapan, cobaan, dan problem khas manusia dan kemausiaan lainnya.
Menurut Ali bin Abi Thalib takwa ialah merasa takut dari zat Yang Mahabesar (al-khauf min al-jalil), kerja setahap demi setahap (al’amal bi al-tanzil), menerima apa yang ada (al-qana’ah bi al-qalil) dan persiapan matang menyongsong perjalanan hidup yang akan datang (al-isti’dad li yaum al-rahil). Intinya terbentuknya kualitas manusia dan kemanusiaan yang lebih sesuai dengan konteks dan kebutuhan zaman di mana manusia hidup, tinggal dan menyusun fondasi-fondasi bangunan kepribadiannya di hadapan manusia dan Allah Swt tentunya. Wallahualam bi al-shawab. ***
Penulis, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) UIN Sunan Gunung Djati Bandung).
Artikel ini pernah dimuat di Pikiran Rakyat, Kamis (4 September 2008)
Selasa, 02 September 2008
[+/-] |
Munggahan |
Kolektivisme dalam "Munggahan"
Oleh SUKRON ABDILAH
Dalam aktivitas masyarakat Islam Sunda, ketika hari-hari mendekati bulan puasa kerap ditemukan praktik munggahan yang membudaya. Bentuknya beragam. Ada yang berziarah ke makam wali, kuburan orang tua, syekh dan ulama penyebar Islam di suatu daerah.
Bisa juga berbentuk bebersih dengan cara mandi di walungan. Bahkan, ada yang ngabageakeun kedatangan bulan Ramadhan dengan cara makan bersama-sama (botram) di pegunungan, sawah, dan bukit-bukit. Di daerah Cianjur dan Sukabumi, malahan ada tradisi “papajar” untuk menyambut kemuliaan bulan puasa ini.
Kebiasaan tersebut mengindikasikan masyarakat Islam Sunda sangat menghormati bulan puasa yang penuh berkah dan ampunan. Namun, antara warga kampung dan kota (dayeuh) berbeda dalam meluapkan tradisi-budaya munggahan ini. Di kampung halaman saya, misalnya, apresiasi masyarakat terhadap kedatangan bulan puasa masih terasa kental suasananya. Sagalana di aya-aya, untuk disajikan pada hari pertama puasa (munggah). Bahkan ada anggapan yang dipegang kalangan muda, bahwa munggah harus dilakukan di kampung, hingga yang bekerja di kota pun akan merelakan diri mudik ke kampung.
....
Hari kemarin, umpamanya, ibu saya menelpon seraya menanyakan apakah saya akan munggahan di lembur. Singkatnya, merayakan hari pertama bulan puasa di kampung bersama keluarga adalah tradisi yang sarat makna. Lantas, bagaimana dengan munggahan di kota , termasuk di Bandung ? Apakah tidak seramai dan segegap-gempita di kampung? Kalau di pusat perkotaan mungkin antara hari menjelang bulan puasa dengan hari-hari biasa tidak ada bedanya. Selalu ramai dengan orang yang lalu lalang. Paling juga bertebaran spanduk peringatan keras bahwa orang harus menghormati bulan berkah ini.
"Munggahkeun" diri
“Munggahan” secara etimologis berasal dari kata unggah yang memiliki arti mancat atau memasuki tempat yang agak tinggi. Di dalam Kamus Umum Basa Sunda (1992), munggah berarti hari pertama puasa pada tanggal satu bulan Ramadan (unggah kana bulan anu punjul martabatna). Punjul martabatna, kalau ditafsir secara kontekstual bisa berarti bulan yang luhur bermartabat dan harus dipenuhi laku lampah yang bermartabat pula. Para aparat dan pejabat tak seharusnya terus memangkas anggaran untuk memberdayakan rakyat, kaum kaya di Jawa Barat mestinya bisa menggenjot diri untuk terus mengempati penderitaan wong cilik.
Hal ini bisa terwujud andaikan, mereka mampu menangkap keluhungan ibadah puasa. Sebab, jika dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain, bulan puasa memiliki ketinggian nilai yang tiada banding. Kita tahu bahwa puasa salah satu ajang pelatihan bagi manusia untuk menderitakan diri meskipun dihadapan tersedia aneka macam makanan, minuman, uang anggaran pembangunan, dan pemicu yang dapat mengundang munculnya amarah dan tindakan korup. Puasa dalam posisi seperti itu bisa juga difungsikan sebagai media mendidik diri untuk tidak bertindak jahat dan semena-mena terhadap kalangan miskin.
Seandainya kita bisa meninggalkan sikap dan laku seperti itu, pertanda bahwa kita sudah berhasil menaikkan (munggahkeun) diri hingga memiliki sikap dan tindakan yang luhur. Itulah mengapa munggahan saya katakan sebagai proses "munggahkeun" diri ke pribadi yang dihiasi keluhuran. Mengapa? Sebab, untuk menjalani ibadah puasa, tentunya sikap dan tindak keseharian harus sarat dengan keadiluhungan sebagai persiapan mental dan spiritual dalam jihad memerangi hawa nafsu.
Nah, kalau begitu kita akan munggahan di mana? Pulang ke kampung halaman ataukah akan dirayakan di kota ? Yang jelas, di mana pun tempatnya, perlu diingat bahwa munggahan mestinya bisa menciptakan empati dan kolektivisme di tengah-tengah pergaulan sosial. Sebab, munggahan merupakan tradisi lokal yang berdialektika dengan ajaran Islam untuk menyadarkan manusia bahwa perilakunya harus bersih dari anasir-anasir yang bisa mengotori jiwa.
Artinya, puasa harus dijadikan medium untuk mengempati penderitaan orang lain hingga engkau (si miskin) adalah aku (yang merasakan penderitaan fakir miskin). Itulah inti dari munggahan yakni mempersiapkan diri untuk ngunggahkeun pribadi ke posisi yang dihiasi rasa empati dan kolektivisme. Sebab, Tuhan mewajibkan hamba-Nya berpuasa di bulan Ramadan untuk menyadarkan bahwa kita harus terus merasakan dan menanggulangi penderitaan sesama.
Sucikan diri
Betapa tidak, ketika kita berpuasa sebetulnya tubuh dan jiwa kita dilatih agar dapat memberikan manfaat bagi orang lain atau sesama. Lihat saja, ketika bulan puasa tiba setiap mesjid di kota ini akan menyediakan aneka panganan untuk sekadar dijadikan pembuka (ta'jil) ketika waktu berbuka tiba. Dengan tradisi munggahan sebetulnya kaum muslimin Sunda diajarkan untuk mengingat bahwa bulan puasa mesti diawali dengan kesucian diri, pribadi dan hati.
Suci diri dari nafsu keserakahan, bersih pribadi dari perilaku kotor, dan bening hati hingga bebas dari prasangka diskriminatif terhadap orang yang berbeda suku, agama, pemahaman dan keyakinan. Sebab, prosesi munggahan kerap menampakkan hal itu dan bisa dilihat dari penyambutan melalui acara syukuran bersama tanpa sekat-sekat kelas dalam pelbagai bentuk. Utamanya, memberikan kebutuhan pokok pada warga miskin tanpa membeda-bedakan untuk digunakan pada hari pertama menjalankan puasa.
Sebagai suatu adat-kebiasaan, munggahan tidak harus ramai menggegap-gempita saja, melainkan sampai pada mampu ataukah tidak, urang Islam Sunda menangkap pesan inti pembebanan ibadah puasa. Sebab, secara substantif pembebanan puasa sebulan penuh adalah untuk mengajarkan masyarakat di tatar Sunda agar mampu mengempati penderitaan orang-orang lapar dan tertindas (mustadz'afin). Tak salah jika berpandangan, tradisi munggahan merupakan awal dari proses munggahkeun diri untuk memijakkan nilai-nilai ketuhanan di aras kebiasaan yang bernilai sosial dan manusiawi.
Jadi, munggahan kalau direnungkan akan mempererat rasa kolektif antar manusia Sunda hingga dapat mengeluarkan diri dari jurang kemiskinan. Tradisi munggahan juga secara praksis sosial adalah salah satu aktus atau habitus yang bakal menaikkan diri kita ke tangga pribadi yang sarat nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, bulan puasa tahun ini harus dijadikan bulan untuk meninggalkan perilaku adigung-adiguna, pedit, jail, kaniaya dan linglung yang merupakan representasi anomali kemanusiaan dalam diri kita. Wallahua'lam
SUKRON ABDILAH, Pegiat Studi Agama dan Kearifan Lokal Sunda.
(Artikel ini dimuat dalam Kompas, Sabtu 30 Agustus 2008)
[+/-] |
Awal |
Hujan di Awal Ramadhan
Oleh DHIPA GALUH PURBA
Kegerahan ini semakin membaur
ketika air liur kian menggenang sekujur
hidupku bermandikan air liur
yang telah begitu lama berhibur takabur
dalam terjaga dan lelapnya tidur
begitu jauh dari tafakur dan sujud syukur…
Hingga sampailah kaki ini ke tepi Ramadhan
alunan suara nan merdu dari menara masjid
luluhkan bangunan keangkuhan
bertalu-talu beduk mengetuk
jiwa yang bergumul kebusukan
Hujan sambut bulan suci
sucikan alam
bersihkan luka, dendam, dan sisa-sisa putus asa
Oh… Zibril, tolong sampaikan kepada panutanku
telah kumohon ampun:
kepada air, tanah, pohon, langit dan semuanya
izinkan kaki ini melangkah pada Ramadhan
untuk kuburkan kekufuran
dan biarkan tubuh ini basah kuyup
diguyur hujan di awal Ramadhan
Ranggon Panyileukan, 1 Ramadhan 1429 H
“Ahlan Wasahlan wa Marhaban ya Ramadhan 1429 H”
Mohon maaf lahir dan batin, dan selamat menunaikan ibadah puasa.