Mudik Ke Desa Rindui Suasana Lebaran
Oleh ALI Noer
KIAN bertambah jemaah solat tarawih di masjid desa di serata Indonesia menjelang akhir Ramadan.Bahkan suasana kampung menunjukkan lebih banyak kereta diletak di halaman rumah yang biasanya tidak ditemui pada bulan lain. Selidik punya selidik ternyata hal itu disebabkan banyaknya warga kota besar yang pulang untuk beraya di kampung halaman.
Tradisi pulang ke desa menjelang Hari Raya di Indonesia disebut ‘mudik’ - bergerak ke hulu atau tempat asal. Mungkin ‘upacara tahunan’ ini hanya dikenali dan menjadi tradisi khas Muslim Indonesia seperti disebutkan oleh Encik Andre Moller dalam bukunya, Ramadan in Java (2002).
Tradisi mudik ini berlaku di setiap lapisan Muslim. Seolah-olah menjadi wajib pulang ke kampung menjelang lebaran.Tidak hairanlah kalau seminggu menjelang lebaran, tiket pesawat, kereta api dan bas dari kota besar khususnya Jakarta ke kota kecil akan melonjak mahal dan susah diperolehi.
Hal ini disebabkan jutaan pekerja di Jakarta dan kota besar yang lain ingin menikmati suasana raya di kampung halaman. Di stesen kereta api, akan nampak banyak penumpang yang rela beratur berjam-jam, bahkan sampai bermalam, untuk mendapatkan tiket.
Mengapa para pekerja di kota besar itu rela berdesak-desakan untuk mudik ke kampung halaman? Terdapat berbagai sebab yang mendorong mereka mudik menyambut lebaran di kampung halaman.
Detik raya di kampung bak suatu kesyahduan bercampur kerinduan. Ia waktu berhimpun untuk bermaaf-maafan dengan orang tua, tetangga dan sanak saudara. Tradisi mudik ini ada baik dan buruknya apabila dinilai dari segi ekonomi, sosial dan kerohanian.
Dari segi ekonomi, mudik dapat menggerakkan ekonomi di desa. Para pemudik yang bekerja selama setahun menabung di kota besar membawa wang untuk berbelanja di desa. Selain membelanjakannya, mereka juga banyak memberikan harta dengan cara berinfak dan sedekah kepada kerabat dan jiran.
Secara tidak langsung, amalan tadi memakmurkan orang kampung dan sekali gus menyemarakkan ekonomi desa. Bahkan banyak perusahaan saluran telefon bimbit seperti Indosat dan Telkomsel menjadikan acara ‘mudik’ sebagai wadah promosi produk mereka.
Indosat misalnya, mempunyai acara promosi yang disebut ‘Sensasi Mudik Punya Indosat’. Mereka tentulah bertujuan agar para pemudik menggunakan telefon bimbit Indosat selama berada di kampung.
Indosat mendirikan gedung mudik bagi pelanggan menikmati layanan makanan, busana, tempat beristirahat, surau, tandas, khidmat urut dan penjualan baucar produk Indosat selama perjalanan mudik menuju kampung halaman.
Secara sosial, mudik dapat dijadikan sarana untuk memperkuat ikatan emosional antara keluarga, kerabat, teman dan masyarakat secara umum di kampung-kampung. Meskipun teknologi komunikasi semakin maju, ternyata hubungan silaturahim apabila mengunjungi orang tua, kerabat dan jiran tidak dapat digantikan.
Tradisi bersilaturahim dari rumah ke rumah sepanjang Syawal memperteguh tali persaudaraan antara orang kampung dengan orang kota. Secara rohani, mudik bagi ‘kembali’ kepada kesucian kerana pada akhirnya manusia akan kembali ke ‘kampung akhirat’ kelak.
Dari segi yang kurang baik, mudik boleh menjadi suasana menonjolkan diri atau bersombong. Para pemudik ingin menonjolkan kejayaan mereka bekerja di kota besar dan tunjuk lagak di kampung.
Tidak hairanlah kalau para pemudik memandu kereta ke kampung. Bahkan demi tunjuk lagak, ramai juga yang sebenarnya menyewa kereta agar orang kampung menyangka mereka sudah berjaya di kota.
Budaya menonjolkan diri ini pada akhirnya akan memikat orang kampung berlumba-lumba ingin mencari rezeki di kota besar. Oleh itu setelah hari raya, bilangan penghuni di kota besar meningkat kerana menerima orang kampung yang berbondong-bondong ke sana.
Padahal, kalau tidak mempunyai kemahiran berguna, mereka akan terlantar di kota dan menjadi penganggur. Budaya tunjuk lagak juga berpengaruh negatif kepada tatanan nilai masyarakat di desa. Masyarakat akhirnya terpengaruh untuk menghormati seseorang kerana hartanya dan bukan lagi ketinggian akhlaknya.
Budaya mudik juga menunjukkan adanya ketempangan penyebaran penduduk, pembangunan dan ekonomi antara kota dengan desa di Indonesia. Fenomena sepinya kota-kota besar dan ramainya desa-desa selama hari raya menunjukkan bahawa beban berat kota besar di Indonesia adalah disebabkan bertumpunya manusia di kota.
Menjelang pilihan raya umum tahun depan, jangan sampai tradisi mudik tahun ini dijadikan kenderaan politik oleh parti-parti di Indonesia untuk menarik sokongan masyarakat.
Nampaknya tradisi mudik ini merupakan ciri khas budaya Muslim Indonesia yang tidak boleh dihilangkan begitu sahaja. Ia perlu dipertingkat untuk membawa manfaat yang lebih besar daripada kesan buruknya.
Tradisi mengeratkan jalinan keluarga dan orang desa, tanpa membezakan kaya miskin, memang perlu dilestarikan.
Malah tradisi bermaaf-maafan, berkunjungan dan berbahagi rezeki dapat menyuburkan ekonomi desa walaupun setahun sekali.
Namun, memang sukar mengikis amalan kepenggunaan dan kebendaan. Ini boleh dilakukan dengan kempen halus di media - bahawa ketika Ramadan dan menyambut Syawal, insan semuanya sama. Yang termulia ialah yang tertinggi takwanya di sisi Ilahi.
Jumat, 26 September 2008
[+/-] |
Idul Fithri |
[+/-] |
Mudik |
Mudik Ke Asal-Muasal; Refleksi Kedirian Kita
Oleh SUKRON ABDILAH
Mudik ke kampung halaman ketika mendekati hari “H” lebaran adalah fenomena sosial-keagamaan khas yang diproduksi bangsa ini. Kembali ke kampung atau mudik saat akhir Ramadhan, di Arab Saudi, mungkin tidak pernah terjadi. Sebab, mudik adalah aktualisasi cita lokal Islam yang nge-Indonesia, bukan sekadar nge-Jawa saja. Ketika prosesi mudik tengah berlangsung, ada semacam keseragaman rasa. Gembira, kesal dan jengkel bercampur baur jadi satu dengan keringat ketika panas menyergap saat berada dalam kendaraan.
Rasa gelisah pun muncul seketika. Apakah akan sampai ke kampung sebelum hari raya Idul Fithri, ataukah akan terjebak macet dan hanya bisa berlebaran di Bus saja. Selain itu ada semacam rasa rindu kepada keluarga yang sekian lama tak kunjung bersua, agar cepat bisa bercengkrama laiknya masa kecil dulu. Di dalam tradisi mudik ada keabadian pandangan hidup, bahwa setiap orang menginginkan kembalinya diri ke tanah kelahiran atau tempat asal-muasal.
Tidak heran jika pemudik rela menempuh jalan panjang meskipun berjarak ratusan kilo meter karena hendak bertemu dengan sanak famili. Bahkan, hanya untuk dapat menghirup udara segar kampung asal; pemudik rela berdesakan membeli karcis di stasiun kereta api. Pengorbanan tersebut adalah pertanda bahwa mudik sangatlah penting dalam denyut nadi hidup umat Islam Indonesia .
Silaturahim
Hampir setiap tahun tradisi pulang kampung untuk berlebaran (mudik) dilakukan masyarakat Islam agar dapat bersilaturahim dengan keluarganya dan jadi tradisi rutin tahunan yang memunculkan perlbagai rasa. Kesedihan akibat ditinggalkan anggota keluarga karena kecelakaan motor misalnya, dan kegembiraan karena semua keluarga kembali berkumpul bercengkrama membincangkan pengalaman hidup.
Mudik merupakan puncak pengalaman religi bangsa Indonesia yang mengandung muatan sosial. Bagi orang yang mengadu nasib di perantauan, aktivitas pencarian modal ekonomi diarahkan untuk dapat merayakan hari lebaran sebaik-baiknya bersama keluarga di kampung halaman. Saking besar daya gugah hari raya umat Islam ini, mereka (pemudik) rela berdesakan dan mengeluarkan ongkos kendati naik puluhan persen agar sampai ke kampung halaman.
Bahkan, dalam prosesi mudik juga sarat akan pengakuan “ada” dan “tidak ada-nya” kedirian seorang pemudik setelah sekian lama merantau di daerah yang dijibuni pelbagai keterasingan. Dalam tradisi mudik tercermin sebuah usaha perenial warga kampung yang bermigrasi ke perkotaan untuk menampakkan eksistensi kemanusiaannya ketika kembali ke tanah kelahiran. Jadi, prosesi mudik sebagai sebuah tradisi memiliki akar genealogis yang bersifat kolektif sehingga ikatan persaudaran (brotherhood) antara warga dengan pemudik terjalin kuat.
Di dalam al-Quran memang betul tidak tercantum secara tekstual perintah melaksanakan mudik untuk menyambut hara raya Idul Fithri. Akan tetapi, secara praktis kegiatan pulang kampung ini telah menjadi kebudayaan yang berdampak pada segala sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Perputaran uang yang berpusat di kota, untuk sejenak dirasakan juga oleh warga kampung. Ini membuat warga desa sebagai tempat kelahiran para pemudik menjadi sejahtera. Kendati hanya dirasakan beberapa hari saja. Jadi, tidak terkategori bid’ah saya pikir kalau masyarakat Islam di negeri ini bermudik ria ke kampung halaman karena Islam kita adalah Islam Ind onesia . Bukan Islam Arabisme!
Refleksi kedirian
Gejala mudik melembaga jadi pengetahun, selera dan makna hidup atau wisdom of life di tengah atmosfer praksis kehidupan modernitas yang menggiring manusia pada keterasingan diri dari aras sosial kemasyarakatan. Secara sosiologis dalam perspektif Bouerdieu, pengetahuan, selera, dan makna pada dasarnya bersifat sosial dan memiliki hubungan antara kelas dengan bagian-bagian kelas dalam “ medan sosial” (Scott Lash, Sosiologi Posmodern; 2004).
Antara pengetahuan, selera dan makna hidup; didalamnya terkandung nilai landas filosofis yang menjadi tanda eksisnya kedirian di tengah masyarakat. Begitu juga dalam mudik. Ketika mudik, ada semacam tanda bahwa kita tidak melupakan asal-muasal (kampung, kesucian, dan dan kemerdekaan diri). Dengan kembali ke kampung atau mudik, kita seakan merehatkan sejenak dari segala aktus yang banyak berbungkus relasi kepentingan sesaat ketika tinggal di perkotaan.
Maka, makna dari “idul fithri” adalah hari dimana manusia memperoleh kesucian diri yang terulang-ulang kejadiannya pada tiap tahun dalam hitungan kalender Hijriyah (menurut bulan qomariyah). Artinya, sebagai seorang muslim, sejatinya merasa dekat kembali dengan warga di kampung asalnya yang banyak menderita karena mereka tinggal di pelosok yang tertinggal dan terisolir. Dengan melakukan mudik, eksistensi dirinya “mengada” untuk menyelesaikan ujian bahwa manusia mesti menghidupkan rasa kemanusiaan yang mati selama 11 bulan.
Gerak kembali ke asal (mudik) adalah proses mengembalikan diri ke arah kebeningan hati, kedamaian laku, dan kepedulian terhadap soal kemiskinan. Seorang pejabat kembali kepada perilaku “udik” yang tidak berani mengambil hak milik orang lain. Sebab, dalam kata mudik dan “udik” terkandung kesamaan arti bahwa perilaku asali manusia mesti mencerminkan kejujuran sebagai motivasi aktualisasi keberislaman.
Selamat bermudik ria! Semoga tradisi kembali ke tempat asal ini jadi awal memulai aktivitas hidup dengan kejujuran, amanah, antikorup, transformatif, kritis, konstruktif, dan paling utama bisa meringankan beban penderitaan warga kampung yang jarang melihat uang dan makanan enak. Jadi, mudik ke kampung halaman bisa menyadarkan kita untuk merefleksi kehidupan selama ini. Kalau, aktivitas sosial-kultural-religius (baca: mudik) ini bisa ditangkap semangatnya. Wallahua’lam
Penulis, Pemudik asal Garut, bergiat pada Institute for Religion and Future Analysis (Irfani) Bandung . No HP: 081322151160