Pelajaran dari Amerika Untuk Pemilu Indonesia
Oleh ALI NUR
Today, as I suspend my campaign, I congratulate him on the victory he has won and the extraordinary race he has run. I endorse him, and throw my full support behind him. And I ask all of you to join me in working as hard for Barack Obama as you have for me. (Hillary Clinton, 07/06/08).
Itulah kata-kata yang diucapkan oleh Hillary Clinton ketika menyampaikan pidato resmi kekalahan dirinya oleh Barrack Obama sebagai calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat.
Dengan kekalahan Hillary tersebut, pemilihan presiden Amerika mencatat sejarah baru yaitu untuk pertama kalinya dalam sejarah politik Amerika seorang senator berkulit hitam terpilih menjadi calon presiden.
Meskipun proses pemilihan presiden di Amerika belum selesai, konvensi pemilihan calon presiden ditingkat partai di negeri Paman Sam tersebut layak dijadikan contoh, terutama bagi Indonesia yang tahun depan akan mengadakan pemilihan umum anggota parlemen dan pemilihan langsung presiden.
Memang Indonesia bukan Amerika yang memiliki sejarah demokrasi lebih tua yang dianggap sudah mapan dan memiliki system pemilu yang berbeda. Tetapi paling tidak proses pemilihan pendahuluan di Amerika layak dijadikan contoh oleh Indonesia dalam konteks kedua negara ini merupakan negara dengan penduduk yang besar, multikultural, multi etnik dan multi agama.
Ada beberapa alasan mengapa Indonesia perlu mencontoh dan belajar dari Amerika dalam hal pemilihan presiden terutama dari dua kandidat partai Demokrat Obama dan Hillary.
Pertama, meskipun persaingan sangat ketat dan sengit antara Hillary dan Obama, tetapi ternyata Amerika bisa menyelenggarakannya dengan aman dan damai tanpa kekerasan.
Proses yang damai seperti ini tentunya dikarenakan system dan peraturan penyelenggaraan konvensi partai dan peraturan pemilu yang tegas, tertata dengan baik dan dijalankan dengan konsekuen.
Hal ini perlu ditiru oleh penyelenggara pemilu di Indonesia yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuat dan mempersiapkan sebaik mungkin aturan untuk pemilihan umum tahun 2009. Gagal mempersiapkan paket undang-undang dan aturan pemilu yang jelas, tegas dan detail dikhawatirkan bisa merusak kesusksesan pesta demokrasi lima tahun tersebut.
Partai-partai politik di Indonesia juga harus siap menerima dan menjalankan semua peraturan pemilu yang dibuat KPU dengan konsekuen dan sportif.
Kedua, menerima kekalahan seperti yang ditunjukkan oleh Hillary yang memberikan ucapan selamat kepada Obama dan juga mengajak pendukungnya untuk mendukung Obama patut untuk dicontoh.
Dalam pidato resminya seperti dikutip di atas, Hillary tanpa ragu mengajak seluruh pendukungnya untuk mensupport Obama agar berhasil menjadi presiden Amerika.
Meskipun pidato itu dikritik beberapa kalangan sebagai upaya Hillary membujuk Obama agar memilih dirinya sebagai calon Wakil Presiden mendampinginya, pidato Hillary tersebut perlu diberikan acungan jempol.
Sikap negarawan dari seorang politisi seperti Hillary perlu dicontoh oleh para politisi dan juga para pendukung partai politik di Indonesia. Para calon presiden di Indonesia perlu mencontoh bagaimana mempersiapkan diri menerima dengan lapang dada jika kalah dalam pemilu.
Politisi Indonesia baik ditingkat lokal maupun nasional perlu belajar dewasa dalam menyikapi kekalahan dalam pesta demokrasi. Seringnya politisi atau partai politik meminta KPU menghitung ulang kertas suara merupakan salah satu cermin kurang gentlenya para politisi kita menerima kekalahan.
Ketiga, sikap para pendukung Hillary yang menerima kekalahan dan tidak anarkis juga perlu dicontoh.
Siap menerima kekalahan dari seorang pemimpin akan berpengaruh signifikan bagi para pendukungnya. Jika pemimpinnya dengan dewasa menerima kekalahan maka pendukung partai tidak akan berlaku anarkis.
Bagi masyarakat Indonesia, kedewasaan pendukung Hillary juga perlu dijadikan contoh. Rakyat tidak perlu membabi buta mendukung seorang calon dan siap menerima calon pemimpin lain jika memang ada yang lebih baik dan didukung oleh masyarakat yang lebih banyak.
Keempat, kemenangan Obama sebagai calon kulit hitam yang merupakan etnis minoritas juga perlu dicontoh.
Bagi masyarakat Indonesia yang multi etnik, multi ras dan multi agama, perlu mencontoh bagaimana rakyat Amerika mau mendukung seorang calon yang kredible meskipun dari kalangan minoritas.
Artinya, rakyat Indonesia juga bisa mencontoh dengan selalu siap menerima calon kalaupun ternyata calon itu berasal dari kelompok minoritas, baik itu kelompok agama maupun suku minoritas, sejauh calon yang maju menunjukkan kredibilitasnya yang layak untuk dipilih.
Contohnya, rakyat Indonesia harus mampu meninggalkan pandangan bahwa presiden harus berasal dari suku Jawa yang memang mayoritas. Meskipun berasal dari suku lain di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau daerah lainnya sepanjang calon itu mempunyai kemampuan untuk menjadi presiden maka perlu didukung.
Karena proses pemilihan presiden di Amerika belum selesai, kita lihat bagaimana perkembangan selanjutnya ketika Obama berhadapan dengan John McCain calon dari Partai Republik.
Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi baik itu kemenangan atau kekalahan Obama ketika nanti berhadapan dengan McCain, keberhasilan Obama jika terpilih menjadi presiden Amerika akan mempunyai pengaruh signifikan bagi image demokrasi Amerika.
Akankah rakyat Amerika memilih Obama sehingga sedikit banyaknya akan memberikan image bahwa mereka telah siap menerima Presiden kulit hitam pertama dalam sejarah Amerika? Atau justru sebaliknya Obama akan kalah dan memberikan kontribusi terhadap asumsi sinis bahwa Gedung Putih memang hanya untuk orang berkulit putih?
Jika pada saatnya nanti ternyata Obama bisa menjadi presiden Amerika, maka rakyat Amerika perlu bangga sebagai negara yang mengklaim paling demokratis di dunia dan siap menerima pemimpin dari kalangan minoritas sebagai konsekwensi aturan demokrasi.
Jika itu terjadi, adalah sepantasnya bagi negara-negara di dunia terutama negara yang multi etnik dan multi agama seperti Indonesia untuk tidak ragu lagi mencontoh Amerika dalam hal hak asasi manusia dan demokrasi. Kita tunggu hasil akhir dari pesta demokrasi tersebut.
Selasa, 19 Agustus 2008
[+/-] |
Pemilu |
[+/-] |
Agustus |
Projek Pembebasan Bulan Agustus
Oleh SUKRON ABDILAH
KEBEBASAN menentukan nasib sendiri, kata Franz Magnis Suseno, adalah inti eksisnya martabat manusia. Namun, kebebasan itu tak boleh dipersaldokan dengan pelbagai kepentingan (sektarian) yang akan merendahkan harkat dan martabatnya. Begitu pun dengan bangsa Indonesia. Kebebasan menentukan diri sebagai bangsa mandiri ialah tanda mulai bangkitnya dari keterpurukan akibat penjajahan.
Apalagi penjajahan kini mewujud dalam bentuk yang baru dan sedemikian massif menekan serta melunturkan rasa keindonesiaan yang terpateri di hati sanubari. Suara tuntutan membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan – di masa pra kemerdekaan – bukan hanya milik suku Jawa, Sunda, Batak, Melayu; tapi milik seluruh bangsa yang gandrung dirinya menjadi manusia merdeka. Itulah rasa keindonesiaan yang menyatukan keterceceran perjuangan bangsa. ....
Maka, ketika kemeriahan jadi fenomena rutinitas tatkala bangsa ini menyambut hari kemerdekaan tak sepatutnya melenakan diri dari misi pembebasan 63 tahun silam. Maka, tanggal 17 Agustus mestinya berubah jadi satu tanggal yang mengundang hormon nasionalisme di jiwa pemuda, aktivis organisasi sosial, rakyat biasa dan pejabat Negara memuncak hingga memicu lahirnya semangat perubahan.
Kegembiraan dan kegelisahan!
Sudah pasti, atmosfer kegembiraan bakal terasa setiap kali bangsa ini memperingati hari kemerdekaan dengan perayaan beraneka ragama. Perlombaan rakyat, diskusi kaum akademisi, upacara pengibaran bendera merah putih, dan pawai kendaraan mewakili gegap gempita “agustusan”. Namun, di tengah ingar-bingar perayaan, jutaan rakyat miskin di setiap daerah merepresi kegelisahan. Warga di Sidioarjo sampai hari ini menahan kekecewaannya, dan berjuta masalah dehumanisasi menghantui bangsa kendati 63 tahun lamanya merdeka.
Belum lagi soal kemiskinan yang terus menjejali dan mengancam eksistensi bangsa, mengindikasikan bangsa ini tengah terjajah dan hanya memeroleh kemerdekaan semu. Lantas, akankah bangsa terus bergelut dengan "kemerdekaan semu" karena kita hanya memeringati hari kemerdekaan tanpa pembebasan rakyat dari kebijakan-kebijakan sumbang yang menggelisahkan? Tepatkah, ingar-bingar prosesi “agustusan” hanya dihiasi aktivitas "ketawa-ketiwi", tatkala bangsa berada pada lubang ketidaksejahteraan akibat merajalelanya ketidakadilan struktural?
Seperti dikatakan sastrawan kondang Chairil Anwar, Sekali berarti/setelah itu mati. Maka, bangsa kita – seperti saat zaman prakemerdekaan – harus memiliki semangat progresif mengeluarkan bangsa dari keterpurukan. Itulah keberartian hidup yang mesti dipegang teguh tiap elemen kebangsaan. Keberartian diri sebagai manusia Indonesia adalah tujuan utama yang mampu mengokohkan keindonesiaan sehingga terwujudlah kemerdekaan pada tahun 1945. Waktu itu kita merdeka. Namun tak sepenuhnya merdeka. Ada berjumput soal yang harus dihadapi bangsa. Pemberontakan, agresi Belanda, dan soal ketidaksejahteraan ekonomi.
Tahun ini, kemerdekaan Indonesia jelang 63 tahun. Adakah perubahan berarti yang jadi petanda bahwa kita bangsa berharkat dan bermartabat. Kenaikan harga BBM menambah daftar panjang warga miskin, dunia pendidikan hanya bisa dikecap anak bangsa kaya, dan mahalnya bahan pokok juga jadi kekerasan simbolik yang menghalangi rasa keindonesiaan kita. Bahkan, kursi empuk kekuasaan pun diburu laiknya menjangan di hutan belantara. Sekali memimpin negeri/setelah itu kembali, adalah filsafat politik orang-orang yang mengaku bapak bangsa negeri ini.
Menyongsong masa depan
Kini, musuh bersama kita berubah bentuk menjadi tak terlihat, seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi, mahalnya biaya pendidikan dan pelbagai masalah sosial yang mengimpit bangsa ini. Lantas, mampukah Indonesia menyongsong masa depan, bangkit dan melawan musuh bersama itu? Akankah bangsa ini mampu membangun rasa keindonesiaan sebagai modal sosial menggapai cita-cita kebebasan sebagai manusia merdeka yang berharkat dan bermartabat?
Oleh karena itu, semangat heroik yang bisa membebaskan bangsa dari penjajahan laten adalah tema yang pas diangkat dalam menjustifikasi prosesi hajatan besar yang digagas rakyat dari pelbagai elemen, strata sosial, agama dan organisasi kedaerahan di bulan Agustus ini. Itulah satu bentuk penghargaan terhadap jasa-jasa para pejuang kemerdekaan. Tak arif rasanya setelah bulan Agustus berlalu, kesadaran heroik kita seakan meredup bagai cahaya lilin terembusi angin.
Andai hal itu dipraktikkan akibatnya bangsa kembali terjajah, tertindas, tersiksa, bahkan terenggut hak-hak asasi kemanusiaannya untuk hidup sejahtera oleh penjajahan berwajah baru yang banyak dilakukan bangsa sendiri. Penjajahan bangsa sendiri itu bisa dalam bentuk kebijakan diskriminatif menaikkan harga kebutuhan pokok, kemudahan izin mengeksploitasi kekayaan alam, dan segala hal yang mengakibatkan bangsa ini terus bergulat dengan ketidaksejahteraan. Ketika bangsa Indonesia bertemu dengan tanggal 17 Agustus, hendaknya dijadikan sebagai awal start pencarian bekal dan persiapan untuk menghadapi segala soal dehumanisasi yang melilit bangsa ke depan.
Sebab, tatkala proklamasi kemerdekaan mengumandang 63 tahun silam, tidak serta merta tahun berikutnya bangsa ini bebas dari penjajahan. Rakyat dan pemerintahan yang baru berdiri saat itu, berjuang hingga titik darah penghabisan mengeluarkan bangsa dari serangan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme sebagai penjajahan berwajah baru. Oleh karena itu, terus memacu diri untuk membebaskan (liberation) bangsa dari penjajahan laten dan simbolik adalah keniscayaan sebagai misi suci projek liberasi “agustusan”.
Penjajahan hari ini seakan memperbarui diri sehingga kita tidak menyadari bahwa pada dasarnya kita tengah memeluk kemerdekaan semu. Maka, perlawanan yang dilakukan mestinya menampakkan hikmat dan kebijaksanaan – sebagai tanda bangsa beradab – yakni memenuhi kesejahteraan rakyat. Sebab, musuh bersama yang harus diusir dari bumi Indonesia kini adalah soal ketidaksejahteraan yang diakibatkan sulitnya merealisasikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Wallahua'lam
[+/-] |
Wali |
Kota Wali
Oleh DHIPA GALUH PURBA
SAAT menatap spanduk calon Wali Kota Bandung, HP berbunyi, ada SMS. Apakah SMS dari calon wali kota? Seandainya benar begitu, betapa hebatnya beliau. Sebab, saya sedang berpikir untuk mengajukan ide mengganti slogan “kota kembang” menjadi “kota wali”.
Paling tidak, untuk sementara. Sebab tanaman bunga kalah semarak oleh poster, pamflet, spanduk, atau baliho bergambar wajah calon Wali Kota Bandung. Tentu disertai rangkaian kata yang berisi janji-janji manis atau semacam biografi singkat dengan segala kesuciannya. Semua memberikan janji aduhai. Terdengar atau terbaca sangat indah dan lebih segar dibandingkan dengan sekadar bunga mawar yang tengah mekar, meski tidak bisa menyembuhkan perut yang sedang lapar.
Pasti biaya percetakannya sangat mahal. Tapi tidak masalah bagi yang banyak modal dan banyak akal. Mustahil calon wali kota tidak punya bekal yang tebal. Tidak terkecuali calon independen, tidak cukup hanya mengenakan sandal. Uang berhamburan untuk menunjukkan diri yang paling andal (tidak apa-apa asal uang halal). Para cikal bakal orang sentral berlomba melakukan amal. Berorasi mengangkat tema aktual meski agak dangkal. Tentu, ada yang ikut-ikutan loyal, ada yang cuma mengambal, ada yang mual, dan ada pula yang menganggap itu sebagai bualan yang gombal. Makanya jangan lupa terhadap nilai-nilai spiritual dan kultural. Ups … maaf, tidak bermaksud untuk menyangkal apalagi menggertak sambal. Calon orang sentral tidak boleh temperamental, karena bisa mengakibatkan konflik horizontal.
Di depan spanduk pula teringat sebuah cerpen berbahasa Sunda karya Ceu Aam Amilia berjudul “Dina Tungtung Beurang” (Di Ujung Siang), dimuat beberapa bulan yang lalu di tabloid Galura (grup Pikiran Rakyat). Dalam cerpen tersebut, diceritakan ada seorang anak gelandangan yang begitu gelisah menanti usainya sebuah acara seminar di sebuah hotel berbintang. Ia tidak tahu-menahu masalah seminar, karena mata dan pikirannya hanya terfokus pada sebuah spanduk yang terbentang cukup lebar. Ia berharap mendapatkan spanduk itu, karena biasanya akan dibuang selepas acara seminar. Ia hanya berharap, semoga panitia acara seminar mau berbesar hati memberikan spanduk bekas tersebut. Setelah melewati masa penantian, akhirnya saat menegangkan pun tiba. Acara seminar telah berakhir. Dan … alhamdulillah spanduk itu diberikan kepada anak tersebut. Betapa girangnya anak itu. Betapa bahagianya anak itu. Bersuka-cita anak itu, sambil melangkah dengan semangat menuju tempat tinggalnya. Tentu, spanduk itu sangat bermanfaat untuk menambal bilik rumahnya yang sudah rapuh. Dan tentu pula, spanduk itu bertuliskan materi acara seminar: mengupas masalah kemiskinan. Sebuah cerpen Sunda yang begitu asosiatif dan imajinatif.
Tampaknya nasib spanduk-spanduk calon wali kota pun tidak akan jauh berbeda. Bisa menjadi tambal dinding rumah bilik, tikar, atau dialihfungsikan menjadi selimut. Mudah-mudahan para tunawisma, gelandangan, bisa tidur nyenyak berselimutkan slogan dan janji-janji calon wali kota. Biarlah cukup dalam mimpi, bisa bertemu sang wali yang akan menepati janji. Terlalu berlebihan rasanya jika menggantungkan berbagai harapan kepada wali kota baru. Sebab, pada saat berkampanye memang beliau-beliau tampak seperti wali. Wali yang diambil dari lafal al-walayah, yang berarti al-mahabbah (kecintaan) dan al-qorbu (kedekatan). Perhatikan saja calon wali kota yang berkunjung ke tengah-tengah masyarakat kecil dengan santun, penuh keakraban, dan kecintaan. Tidak ada yang menjamin, apakah mereka akan tetap bersikap sama jika pada tanggal 10 Agustus 2008 terpilih atau tidak terpilih menjadi wali di kota ini.
O ya, saya hampir lupa membaca SMS. Astaga! Tentang kampanye? Tapi bukan dari calon wali kota, melainkan dari nomor telefon seorang sahabat bernama Kang Dadang Muhammad. Isi SMS Kang Dadang adalah sebagai berikut, “Kahatur Kang Cahyana, Kang Ganjar, Kang Iyan, Kang YRA, Kang Wawan, Kang Ali, Kang Cecep, Kang Tata, Kang Dhipa: bulan-bulan ini kekeringan tampak di mana-mana. Tidak hanya di tegalan dan sawah tadah hujan, tapi juga di sawah beririgasi teknis. Apa artinya? Artinya sumber/mata airnya sudah kering. Di sisi lain, sampai Maret 2009, musim kampanye. Mengapa kita tidak ajak mereka yang sedang berkampanye untuk menghijaukan hutan? Mengapa kita tidak ajak masyarakat di daerah untuk membangun mata airnya dengan dana kampanye caleg/cabupnya? Ini lebih produktif daripada uang kampanye dipakai buat hura-hura saja (sesungguhnya Allah hanya akan beri perubahan terhadap suatu kaum kalau dimotori kaum itu sendiri). Salam baktos.”
SMS yang unik. Dan untuk menutup tulisan ini, izinkan saya membalas SMS untuk Kang Dadang. Saya tidak bisa membalas via HP karena belum membeli pulsa. Inilah jawaban untuk Kang Dadang, “Syukurlah jika lukisan karya Pak Yus Rusamsi telah menggugah hati Kang Dadang untuk lebih mencintai alam. Betapa indahnya alam Pasundan dalam lukisan Pak Yus. Bahkan pacilingan pun tampak sangat memukau dalam lukisan beliau. Di Bandung sudah tidak ada lagi tempat yang sejuk seperti dalam lukisan Pak Yus. Jika musim hujan, Bandung dilanda banjir. Jika tiba musim kemarau seperti sekarang, maka kekeringan pun melanda. Anak-anak tidak mendapat kesempatan untuk belajar mencintai tanah dan air, karena mereka jarang menginjak apalagi bermain di atas tanah. Telapak kaki hanya bersentuhan dengan keramik, aspal, coran, atau tembok (apalagi anak-anak yang sehari-harinya menggantungkan hidup di perempatan jalan). Terlebih lagi main dengan air, kini menjadi sesuatu yang sangat mahal. Tidak ada sungai yang layak untuk dipakai mandi apalagi berenang. Saat ini pun para calon wali kota sedang berusaha menghijaukan kota, membirukan kota, memerahkan kota, menguningkan kota, dan warna-warna lain yang sesuai dengan warna khas partai-partai pengusungnya.
Kang Dadang, saya sangat berharap agar Bandung bisa menjadi kota wali. Sebab, di perempatan jalan atau di lokasi kumuh, banyak sekali anak-anak yang membutuhkan ’wali’. Untuk menjadi ’wali’, seorang anak yatim, menyekolahkan, memenuhi kebutuhan hidupnya, tentu saja tidak harus menjadi wali kota. Biarlah calon wali kota menjadi ’wali’ pada saat berkampanye, tetapi mudah-mudahan semakin banyak ’wali’ yang tidak memerlukan kampanye. Mari mendukung Bandung untuk menjadi kota wali!” Demikian jawaban saya untuk SMS dari Kang Dadang.***
Dimuat di Rubrik Opini Harian Umum Pikiran Rakyat, Selasa, 5 Agustus 2008.