Fatwa MUI versus Asketisme Politik
Oleh M SOLIHIN
Baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah membuat kejutan dengan memunculkan fatwa haram golput dan haram merokok di tempat umum. Soal fatwa haram merokok bisa dinilai sesuai bidang garapan MUI. Tetapi, untuk fatwa haram golput, perlu dipertanyakan.
Ditilik dari urgensinya, vonis hukum terhadap golput tidak termasuk fatwa yang populer. Malahan, MUI terkesan menjadi lembaga yang piawai memahami politik, yang kepiawaiannya melebihi KPU atau para ahli politik sekalipun. Sangat wajar kalau orang mecurigai bahwa fatwa tersebut sarat 'pesanan' politis. Maka itu, tidak aneh kalau MUI diberondong kritik sinis seraya menilai bahwa lembaga ini telah membuat 'sensasi' di tengah iklim politik yang kian memanas.
Jatuhnya fatwa haram golput mengindikasikan bahwa MUI memakai 'kacamata kuda' dengan mengesampingkan fenomena efek domino perpolitikan kontemporer. Fenomena aktual sekarang ini menunjukkan bahwa wajah demokrasi diterjemahkan oleh para politikus sebagai kebebasan menghadirkan cara pandang kapitalisme. Terlihat adanya fenomena bahwa politik berselingkuh dengan kapitalisme, modal, pasar, dan industri media massa.
Stigma itu cukup beralasan karena tampak di permukaan adalah perebutan kursi-kursi kekuasaan dengan modal yang besar seraya menanggalkan moralitas. Mentalitas kesederhanaan telah berubah menjadi adu ketangguhan uang dan kekuatan massa. Sikap-sikap kerendahan hati dan kejujuran berubah menjadi keangkuhan dan kemunafikan. Fragmentasi sikap-sikap materialis, hedonis, dan pragmatis dalam merebut kekuasaan di kalangan politisi begitu mencuat. Mereka melihat materi dan kekuasaan bagaikan 'boneka' bagi anak kecil.
Stigma itu muncul karena perkembangan politik bangsa ini tidak berbanding lurus dengan perbaikan kesejahteraan rakyat dan kesalehan iklim politik. Politik seolah berkembang menjadi bebas nilai, terutama ketika unsur kemunafikan dan janji-janji pemanis bibir lebih ditonjolkan. Perang publikasi yang dilakukan oleh para politikus seraya mengatasnamakan rakyat justru membuat banyak orang mencibir. Pada gilirannya, berbuntut golput. Kritik tajam dari berbagai kalangan terhadap perilaku sebagian elite politik kian bermunculan, yang semuanya diakibatkan oleh perilaku mereka yang terkesan menghamburkan uang, glamor, serta meninggalkan kesahajaan dan kearifan.Jika demikian, upaya mengampanyekan asketisme politik menjadi lebih signifikan untuk dilakukan oleh lembaga-lembaga agama, termasuk MUI, ketimbang memberi fatwa haram golput.
Untuk memahami makna asketisme politik tersebut, perlu dijelaskan di sini bahwa istilah asketisme berasal dari bahasa Yunani ascesis yang berarti latihan keras, disiplin diri, atau pengendalian diri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asketisme diberi arti 'paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban' (Joeleonhart, 2008: 7).Dalam khazanah tasawuf, asketisme dikenal dengan istilah zuhud, yakni meninggalkan kesenangan dan kemewahan duniawi (Nasution, 1995:64). Asketisme (zuhud) dalam kamus al-Munawwir (1984: 626) berarti raghaba an syai'in wa tarakahu (tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya) atau zahada fi al-dunya (menahan diri dari kesenangan dunia).
Terkadang, seorang itu kaya. Tapi, di saat yang sama, dia pun zahid (asketis). Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf [sahabat Rasul] adalah para hartawan, tapi adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.Dalam sejarahnya, asketisme di dunia Islam tidak terlepas dari moral Islam dan gerakan protes terhadap sikap yang mendewakan kekuasaan dan kelezatan duniawi (Syukur, 2000: 1), sebagaimana yang dipraktikkan sebagian penguasa di pengujung zaman Dinasti Umayah.
Asketisme mendudukkan peran-peran politik pada porsi yang sebenarnya. Sikap kesederhanaan dan keikhlasan menjadi mentalitas yang tumbuh menyertainya. Dengan sendirinya, ambisi kekuasaan, kesewenang-wenangan, dan cinta dunia yang ditampilkan sebagian politisi menjadi semakin tereliminasi. Nilai-nilai asketisme dapat memayungi seluruh gerak perpolitikan sehingga menimbulkan semangat patriotisme dan kerelaan berkorban buat orang banyak seraya menafikan ambisi kekuasaan dan kekayaan duniawi. Para politikus cukup untuk disebut asketis jika ia berpolitik secara bersahaja dan tidak berlebihan meskipun secara otoritatif mungkin saja ia berhak dan mampu melakukannya.
Berpolitik secara asketis dapat diwujudkan dengan tidak menjadikan semua hal sebagai alat komoditas politik. Sebagai anggota DPR atau pimpinan partai politik, misalnya, ia bisa saja menjadikan semua hal sebagai komoditas politiknya, tetapi politisi asketis tidak mau melakukan itu dan tidak semua hal dipolitisisasi.Lembaga-lembaga agama dan MUI lebih penting menggarap proyek menyalehkan perilaku politik dengan sikap asketis.
Hidup asketis di dunia politik tidak mesti disamakan dengan penyangkalan terhadap fasilitas atau upah kerja politik. Substansi asketisme politik bukanlah menyangkal jabatan politis, tetapi lebih memilih atau mengalihkan dirinya kepada aktivitas yang diyakini memiliki nilai keutamaan di hadapan Allah ataupun rakyat. Politikus asketis tidak menjauhi dunia dan barang-barang duniawi. Kekayaan dari hasil jerih payah memperjuangkan rakyat tidak ditolak, tetapi tidak pula dibanggakannya. Tujuannya bukan mengeruk kekayaan, tetapi kekayaan menjadi bekal untuk memperbaiki nasib rakyat.
Asketisme politik terkait dengan pilihan menyalurkan hidup untuk kesejahteraan rakyat negeri ini. Dalam tradisi Jawa, sikap asketis terungkap dalam istilah sak madyo dan sak cukupe. Meski diuntungkan fasilitas untuk hidup glamor dan berfoya-foya, tetapi politisi asketis memiliki kesadaran bahwa bangsa ini harus prihatin. Jika sikap ini banyak dilakukan "politisi mampu" (the have) secara numerikal dan proporsional, dipastikan akan berdampak pada pengurangan deskripansi sosial dan segregasi ekonomi. Sikap ini juga akan meningkatkan rasa kebersamaan (sense of toghetherness) sebagai bangsa yang harus prihatin akibat krisis.
Lantas, adakah politikus asketis di sekitar kita dewasa ini? Meski jumlahnya tidak sebanyak masa-masa angkatan Muhammad Hatta dulu, kita bisa menemukannya di sekitar kita. Secara presentase atau proporsional sangatlah kecil. Tetapi, secara numerikal, politikus asketis masih ada. Mereka bukan hanya ada di parlemen dan partai politik, tetapi juga pemerintahan. Mereka bukan hanya asketis secara politis, melainkan juga hidup asketis. Di tengah rekan-rekannya yang selalu bermanuver politik secara ekstrem, mereka tetap bersahaja. Dalam konteks Indonesia, tampaknya sikap asketis politik itu sangat diperlukan di kalangan para politikus, pejabat negara, dan para elite bangsa.
Asketisme politik kehadirannya sangat dinanti rakyat. Ketika asketisme ini tidak ada, budaya korupsi berkembang seolah jamur di musim hujan. Pemberantasan korupsi yang menjadi agenda reformasi yang digulirkan sepuluh tahun lalu ternyata belum optimal. Secara faktual, praktik korupsi justru terjadi di berbagai lini. Kalau sebelumnya korupsi berada di satu titik, saat ini korupsi berada di banyak titik, baik di legislatif, yudikatif, maupun eksekutif, dan terjadi secara sistemik serta sistematik.
Praktik korupsi yang sistemik dan sistematik inilah yang kemudian memunculkan istilah korupsi berjamaah. Apalagi, jika jabatan diidentikkan dengan uang, orang yang memiliki jabatan tertentu dianggap harus memiliki banyak uang. Karena pandangan keliru ini, tidak sedikit pejabat 'dipaksa' harus korup. Praktik korupsi yang merajalela merupakan indikasi bahwa korupsi sesungguhnya bukanlah persoalan ekonomi dan politik semata, tetapi juga masalah budaya dan agama. Praktik korupsi ini termasuk dalam kategori budaya rendah bangsa.
Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Bandung. [Republika, Jumat, 06 Februari 2009 pukul 07:00:00]
Kamis, 05 Februari 2009
[+/-] |
Fatwa |
[+/-] |
Haram |
Golput & Rokok Tidak Haram Kok…
Oleh ROMEL
Siapa bilang golput dan rokok haram? Jika kita cermati kembali fatwa MUI soal golput dan rokok, nyatanya MUI tidak mengharamkan keduanya. Rupanya, banyak di antara kita salah paham karena tidak mencermati fatwa itu secara baik dan mendalam.
Jika kita cermati kembali fatwa MUI soal golput dan rokok, nyatanya MUI tidak mengharamkan keduanya. Coba kita simak kembali fatwa tersebut:
“Memilih pemimpin yang (a) beriman, (b) bertakwa, (c) jujur (siddiq), (d) terpercaya (amanah), (e) aktif dan aspiratif (tabligh), (f) mempunyai kemampuan (fathonah), dan (g) memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah WAJIB.”
MUI menegaskan: “Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar”.
Dengan kata lain, tidak memilih pemimpin yang memenuhi kriteria tersebut hukumnya HARAM; atau memilih pemimpin yang TIDAK memenuhi kriteria tersebut hukumnya HARAM.”
Jadi, yang diharamkan itu adalah “tidak memilih pemimpin yang memenuhi syarat”. Dengan kata lain, yang diharamkan:
(a) Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat; atau
(b) Tidak memilih pemimpin yang memenuhi syarat.
Maka, jika TIDAK ADA pemimpin yang memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan MUI –beriman, bertakwa, dan seterusnya—maka umat Islam Boleh/Halal untuk tidak memilih alias golput.
MUI, dengan demikian, juga secara tersirat atau implisit: mengharamkan umat Islam memilih pemimpin non-Muslim.
Pertanyaannya kini, apakah calon pemimpin (presiden) dan para caleg sekarang sudah memenuhi kriteria tersebut? Jika ya, wajib pilih; jika tidak, haram dipilih!
Apakah SBY, Megawati, Prabowo, Wiranto, dan sebagainya serta para caleg yang kini ramai menawarkan diri untuk dipilih memenuhi syarat beriman, bertakwa, jujur, amanah, memperjuangkan kepentingan umat Islam dan lain-lainnya itu? Jika ya, wajib dipilih! Jika tidak, haram dipilih!
Tugas umat sekarang adalah mengenali lebih dalam para calon pemimpin dan para caleg itu: apakah memenuhi kriteria beriman, bertakwa, jujur, dan seterusnya itu. Kinerja sebagian para caleg itu sudah terlihat setidaknya dalam lima tahun terakhir saat mereka “bersemayam” di parlemen. Jelas, mereka yang korup dan sering bolos menghadiri sidang, tidak memenuhi kriteria dan karenanya haram dipilih berdasarkan fatwa MUI.
SOAL rokok, MUI tidak mengharamkannya kok. Yang haram itu adalah cara (kaifiyah) merokok –yakni di tempat umum; dan kalangan terbatas –anak-anak dan ibu hamil. Jadi, berdasarkan fatwa MUI itu, rokoknya itu sendiri tidak haram, hanya MAKRUH.
Betul begitu, Pak Kyai? Mudah-mudahan saya tidak salah paham lagi. Ulama adalah pewaris nabi, warotsatul ambiya. Jika umat tidak memercayai ulama, percaya pada siapa lagi? Ulama adalah orang yang paling takut kepada Allah. Innamaa yakhsyallaha min ‘ibadihil ulama-u.
Yang mencemaskan umat sekarang, banyak ulama terjun ke politik praktis dengan menjadi caleg. Ada harapan sekaligus kekhawatiran jika ulama sudah masuk “kotak” bernama parpol. Tema ini insya Allah saya tulis nanti di kolom ini. Wasalam. (Kolom Kang Romel www.warnaIslam.com).*
[+/-] |
Posmo |
Persoalan Hermeneutika-Posmodernisme
Oleh AHMAD SAHIDIN
“sejauh manusia tenggelam dalam dunia luar,
dan telah mencapai kemajuan di sana;
sejauh itu pula ia terasing dari dirinya sendiri,
dan lupa pada hakikatnya sendiri”
—Alexis Carrel
DALAM sebuah diskusi tentang “Hermeneutika dan Semiotika” yang diselenggarakan oleh Research for Quranic Studies Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 18 Juni 2002, Dr.Bambang Sugiharto—dosen Universitas Katolik Parahyangan, Bandung—menjelaskan bahwa arti sebuah teks selalu lebih luas dari apa yang dimaksudkan oleh si penulisnya. Bahasa yang digunakan dalam teks, selalu tidak mengandung ketidaksadaran kolektif. Karena itu sikap kritis terhadap setiap fenomena menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan kebenaran. Meskipun sumber itu sakral harus didobraknya dengan penuh prasangka (prejudice).
Wajar bila kita menemukan sosok seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Arkoun dan kalangan Muslim liberal menempatkan Al-Quran layaknya buku-buku biasa. Hasil tafsir mereka kadang oleh kaum Muslim konservatif dianggap menyimpang dan menuai protes karena lebih mementingkan pemaknaan yang bersifat kekinian. Karena memang dalam hermeneutika posisi kebenaran bukan berada pada fakta, tetapi pada relativitas makna. Di sinilah masalah hermeneutika dipertentangkan: karena persoalan makna adalah subjektif. Sebab posisi penafsir adalah seorang subjek yang memahami objek dengan pemahamannya sendiri. Tiap-tiap penafsir akan berbeda pemahamannya terhadap objek tafsirnya. Penafsir terdahulu, hasil tafsirnya berbeda dengan tafsir yang dihasilkan cendekiawan sekarang: meskipun sama-sama menafsirkan teks yang sama.
Mengapa demikian? Karena dalam hermeneutika posisi teks berdiri sendiri (otonom) sehingga memunculkan pemaknaan yang berbeda-beda. Tak ada yang sama. Malah akan selalu berbeda dan bersifat tidak mutlak karena produk pemikiran manusia: bukan produk Ilahi. Sesuatu yang tidak mutlak biasanya disebut tidak jelas karena tak ada yang menjadi standar. Ketidakjelasan ini karena tiap-tiap orang menyodorkan kebenaran dan makna yang berbeda. Akhirnya, tiap orang akan mengklaim bahwa “pendapat saya benar, Anda keliru”. Begitu seterusnya: tak henti-henti, hingga kabur bak penglihatan mata yang rabun. Apa jadinya kalau semua tak jelas dan tak ada yang standar?
Dalam hal inilah, Ernest Gellner mengkritik posmodernisme—khususnya hermeneutika sebagai metodologi kajiannya—yang cenderung membawa segala-galanya pada jurang relativisme dan subjektif. Karena dalam makna operasionalnya posmodernisme adalah penolakan terhadap fakta dan menggantikannya dengan kepentingan makna. Karena itu ada dua penekanan dalam subjektifitasnya, yaitu ‘penciptaan dunia’ dan ‘kreasi-teks’. Maka wajar bila ada yang menyebut kalangan posmodernian sebagai generasi yang berkubang dalam penjara “dunia-sendiri” yang tidak menemukan titik kebenaran mutlak (objektif). Mereka, kata Gellner, mengalami kerumitan dan kesulitan untuk mentransendensi “makna” yang ada dan hanya akan mendapatkan ’kembara’ dalam lingkaran ‘makna tertutup’; di mana setiap orang secara mengerikan dan menyenangkan terpenjara di dalamnya.
Gellner—yang merupakan filsuf anti posmodernisme—menyimpulkan bahwa relativisme dalam posmodernisme terisolasi satu sama lain karena hanya mengungkap mekanisme-mekanisme dan fungsi subjektivitas hingga membuat segalanya tidak pasti. Meskipun dengan melihat konteks “asli”—dalam rangka menuju objektivitas, hal itu tidak akan pernah tercapai karena yang muncul adalah konteks “dunia” hasil rekonstruksi: bikinan-bikinan, dan dugaan-dugaan yang tak pernah seobjektif dengan realitas yang sesungguhnya (asli). Karena yang dapat ditangkap hanyalah tampilan (appearance) dari realitas yang ada, yang bukan sesungguhnya.
Tentu saja kita sebagai makhluk yang hidup di dunia sesungguhnya (alam dunia) tidak menghendaki harus berkubang dalam ketidakpastian. Hidup bahagia, selamat dan sejahtera merupakan arah yang semua orang kejar, termasuk meraih kenikmatan pascakematian (akhirat).
Oleh karena itu, kita jangan tenggelam dalam arus zaman, masa dan waktu yang telah meninggalkan kita. Atau karam dalam bahtera yang terombang-ambing di lautan zaman yang kosong dengan nilai dan hikmah. Dan tentu, sebagai manusia jangan sampai menderita penyakit megalomania—istilah Paul Valery—yang mengkhayalkan dirinya sebagai orang yang agung dan mulia.
AHMAD SAHIDIN, pekerja buku
[+/-] |
Benar |
Agama yang “Benar”
Oleh RADEA JULI A HAMBALI
Beberapa pekan ini, media massa ramai memberitakan tentang fenomena munculnya aliran keagamaan (Islam) yang dalam “keyakinan” Majlis Ulama Indonesia (MUI) dipandang “sesat” dan “menyesatkan”.
Tampaknya, paramater sesat dan menyesatkan itu didasarkan pada adanya indikasi bahwa beberapa isi ajaran aliran keagamaan itu telah nyata-nyata menyempal, tidak searah atau malah merusak sendi-sendi keyakinan keagamaan yang selama ini dianut oleh sebagian besar masyarakat.
Dengan adanya ajaran yang dipandang menyimpang dan diikuti oleh pola-pola rekruitmen pengikut/anggota yang misterius, munculnya aliran-aliran keagamaan ini telah membuat gusar dan meresahkan masyarakat. Sangatlah wajar, jika sebagian masyarakat kita dalam menyikapi munculnya fenomena ini kerap menggunakan cara-cara yang kurang etis dan santun.
Tulisan ini tidak hendak memotret benar atau tidaknya keyakinan aliran-aliran keagamaan yang dipandang menyesatkan itu. Pun, ini juga bukan seruan gugatan atas jatuhnya fatwa MUI yang telah menjadi harga mati bagi kelompok-kelompok keagamaan ini. Tulisan ini hendak menelusuri setting sosial yang bagaimanakah yang menjadi penyebab munculnya aliran-aliran keagamaan ini serta bagaimana “seharusnya” para pemuka agama merumuskan arah baru bagi agama itu sendiri ketika menghadapi fenomena seperti ini.
Globalisasi: Paradigma Kehidupan
Bagi masyarakat kita hari ini, globalisasi adalah paradigma baru kehidupan. Sebagai sebuah paradigma, globalisasi mencita-citakan lahirnya suatu masyarakat manusia yang sejahtera di bawah kendali ilmu pengetahuan. Luasnya cakupan cita-cita mulia yang dijanjikan itu (ekonomi, politik dan sosial juga agama) serta merta telah menempatkan globalisasi sebagai arah baru terbitnya suatu peradaban manusia yang lebih baik dan maju. Dilihat dari janji manisnya ini, barangkali globalisasi adalah hikmah bagi manusia modern.
Akan tetapi seperti halnya ideologi-ideologi sekuler yang lain, nubuwat globalisasi tentang cita-cita kesejahteraan umat manusia tidak sepenuhnya berjalan sesuai rencana. Di tepi yang lain, globalisasi menebarkan sebuah ancaman yang membawa suatu resiko dan bahaya bagi masyarakat manusia. Dan, salah satu bahaya yang secara nyata bisa menjadi gelombang perlawanan terhadap globalisasi adalah munculnya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menawarkan ajakan untuk kembali menduduki ruangan yang lebih sempit, yang kini telah tergerus habis oleh badai globalisasi. Arus kecenderungan itu disebut dengan regionisme.
Tampak dengan jelas, ancaman terhadap globalisme tidak datang dari suatu nasionalisme, melainkan justeru oleh sesuatu yang lebih sempit, yakni oleh yang regional: Bukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, melainkan Gerakan Aceh Merdeka atau Gerakan Papua Merdeka. Dari arasy ini, globalisasi yang mengajak manusia untuk mempunyai pandangan seluas dunia, justeru membuat manusia rindu untuk kembali intim dengan wilayah yang lebih sempit.
Seiring dengan lahirnya regionalisme adalah lahirnya lokalisme baru. Dengan lokalisme baru, manusia ingin mencari keintiman bersama dan berlindung pada keyakinan-keyakinan baru yang lebih bisa mempersatukan mereka dalam lingkup yang tidak hanya lebih kecil tapi juga lebih aman. Inilah yang disebut dengan integrisme. Tampaknya, fenomena munculnya gerakan-gerakan atau sekte-sekte keagamaan yang mewartakan tentang ajaran-ajaran yang dipandang menyimpang bisa diteropong berdasarkan integrisme ini.
Suatu integrisme dalam ranah keagamaan adalah ajakan untuk kembali pada pola-pola lama yang lebih mementingkan wahyu ketimbang yang lainnya, lihatlah keyakinan kelompok Qur’an Suci yang lebih meyakini kebenaran al-Qur’an ketimbang hadits Nabi. Selain dari itu, integrisme dalam ajaran keagamaan biasanya diletakkan pada ketokohan seorang manusia “istimewa” yang mengaku mendapat “wangsit” ataupun “wahyu”, karena itu integrisme biasanya diikuti oleh klaim bahwa dirinya adalah penyelamat yang dijanjikan (al-ma’ud) dan memperoleh missio canonica (hak resmi) dari Tuhan melakukan suatu tindakan penyelamatan umat manusia dari suatu kehidupan yang telah rusak. Tengoklah keyakinan kelompok al-Qiyadah al-Islamiyah.
Kiranya, kemunculan aliran-aliran keagamaan seperti al-Qur’an Suci ataupun al-Qiyadah al-Islamiyah dan masih banyak lagi yang lainnya yang membawa keyakinan baru tentang agama dan kehidupan menjadi tantangan tersendiri bagi agama-agama besar. Di titik ini, fenomena aliran-aliran keagamaan ini seharusnya menjadi “cermin” dan kesediaan para pemuka agama untuk mau melakukan kritik- diri, mengenali persoalan-persoalan mendasar manusia modern, dan mampu menawarkan visi peradaban dan kemanusiaan baru. Tanpa kemauan ini, isu kebangkitan kembali agama hanya akan menjadi slogan kosong dan menyesatkan. Alih-alih menjadi tawaran perpektif baru yang menarik, ia hanya akan berakhir sebagai kekuatan disintegrasi peradaban paling mengerikan, sisa-sisa keterbelakangan yang menjengkelkan, atau semangat nostalgis naif yang berbahaya.
Kinerja baru agama
Globalisasi telah menjadi tantangan tersendiri buat agama. Supaya kehadirannya di tengah-tengah kehidupan tetap bernilai dalam mengarahkan manusia, maka mau tidak mau agama mesti melakukan kerja keras untuk mengoreksi dan memperbaharui kinerjanya pada dua wilayah ini. Pertama, ajaran sosial. Setiap agama memiliki ajaran sosial. Dengan ajaran sosialnya, agama dapat mengontrol globalisasi agar sistem tersebut bertanggungjawab secara moral terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan umum. Dengan ajaran sosialnya yang disusun secara bijak, agama dapat membantu masyarakat dan dirinya sendiri untuk “melihat” (to see) secara akurat, menilai (to judge) secara jernih, dan bertindak (to act) secara bertanggungjawab.
Kedua, pembaharuan misi.Setiap agama memiliki unsur universal tentang keselamatan seluruh umat manusia, namun dalam perjuangannya mewujudkan keselamatan itu, kiranya agama membutuhkan perspektif baru dalam bentuk kesediaan untuk meletakkan dialog sebagai cara yang paling bernilai dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi. Dengan dialog, ketika agama berhadapan dengan keyakinan baru atau faham yang bertentangan dengannya sekalipun, tidak akan dilihat sebagai lawan yang harus “dimatikan” hak hidupnya, melainkan sebagai kolaborator dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai spiritual bersama yang berguna bagi kehidupan.
Dengan dua hal di atas, agama –meminjam pernyataan Anthony Giddens—telah melakukan “politik emansipatoris” dan “politik kehidupan”. Pada aras politik emansipatoris, agama menjadi sebuah kekuatan yang bertujuan mengurangi atau menghapuskan eksploitasi, ketidaksamaan dan penindasan, sedangkan pada aras politik kehidupan, agama menjadi ujung tombak yang mampu memberikan motivasi tentang aktualisasi diri, kepedulian moral, dan eksistensi yang dipinggirkan oleh tindakan-tindakan yang tidak adil. Barangkali, inilah rumusan agama yang “benar”.*** Wallahu a’lam bi-Shawab
Dimuat di Pikiran Rakyat, tanggal 5 November 2007
Rabu, 04 Februari 2009
[+/-] |
Izinkan |
Izinkan Aku Menyangimu
Oleh JAJANG
Aku bisa menerima apapun alasan yang akan kamu sampaikan atas sikap tak acuhmu.
Aku memang bukan manusia sempurna.
Terlalu banyak kekurangan yang aku miliki.
Itu semua yang membuatku sadar bahwa aku tidak berarti bagimu
Aku sadar perasaan ini terlalu dalam, tapi itulah adanya.
Aku tidak ingin berbohong pada diriku dan dirimu.
Apa yang aku rasakan adalah apa yang aku ungkapkan.
Walau cintaku tak berarti apa-apa bagimu, izinkanlah aku menyayangimu dalam kepapaanku…
Bandung, 13 January 2008
[+/-] |
Partai |
Memulihkan Fungsi Partai Politik
Oleh AMIN R ISKANDAR
SALAH satu dampak positif dari bergulirnya orde Reformasi adalah Indonesia dapat merealisasikan cita-cita demokrasinya. Salah satu bukti nyata adalah menjamurnya pertumbuhan partai politik (parpol). Hal ini boleh jadi merupakan angin segar, kesempatan emas bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya dengan bebas, benar, dan bertanggung jawab.
Keberadaan parpol itu sendiri, merupakan salah satu bentuk dari transformasi semangat demokrasi. Sebagaimana -Samuel P Huntington–mengungkapkan dalam The Thired Wave of Democratization (1991), bahwa semangat utama demokrasi adalah meruntuhkan rezim yang tidak demokrasi dengan rezim yang demokrasi. Di mana ada tiga kerangka substantif demokrasi. Yaitu: pertama, berakhirnya rezim otoriterian. Kedua, adanya transisi yang memberikan kesempatan pada partisipasi publik dan liberalisasi politik menuju pembentukan rezim demokrasi. Ketiga, konsolidasi rezim demokrasi.
Dalam hal ini, kehadiran parpol merupakan sebuah langkah awal dalam merevitalisasi sistem politik otoriterian menjadi sistem yang terbuka dan bertanggung jawab. Artinya sistem otoriterian yang tertutup pada orde baru telah berakhir. Kerangka substantif pertama Huntington pun menampakan diri ke permukaan. Oleh karena itu kita mesti berbangga hati dan ikut berperan aktif dalam memanfaatkan kesempatan ini. Tujuannya adalah supaya kondisi bangsa kian membaik.
Namun di samping besarnya rasa kebanggaan hati karena terbukanya “keran” demokrasi ini. Kita masih perlu waspada akan kerangka substantif kedua, yakni kondisi transisi. Proses transisi ini kerap dimanfaatkan oleh inisiasi elit politik berkuasa. Buktinya kita saksikan dengan banyak bercokolnya elit politik dari kalangan tua (eks penguasa orde baru) dengan parpol barunya.
Inisiasi para elit politik ini boleh jadi membiaskan fungsi parpol. Di mana fungsi parpol sebagai media pembelajaran (pendidikan) politik bagi masyarakat, jembatan penghantar menuju perebutan kekuasaan, dan wahana pematangan konsep kebernegaraan. Digeser atau bahkan digerus ke fungsi lain menjadi seperti perusahaan misalnya.
Seperti yang dapat kita amati selama ini, kiranya menagemen parpol sudah sedikit tergerus pada model menagemen perusahaan. Salah satu gejala yang dapat dirasakan adalah ketika seseorang “melamar” menjadi caleg pada salah satu parpol. Para caleg tidak cukup hanya memiliki intelektualitas, moralitas, spiritualitas, loyalitas, dan integritas. Tetapi juga mesti memiliki modal (baca: uang) banyak untuk diserahkan kepada parpol.
Persis seperti seseorang yang menanam saham pada sebuah perusahaan. Sedangkan harapan para penanam saham tidak lebih dari keuntungan material sebanyak-banyaknya. Begitu juga yang akan terjadi bila managemen parpol seperti perusahaan. Parpol secara tidak sadar telah melatih masyarakat untuk berpikir “kotor”. Yakni mencari keuntungan material dengan cara masuk ke kancah pemerintahan.
Padahal, parpol sejatinya bukan lembaga atau tempat mencari keuntungan material. Melainkan sebuah wadah yang dibangun di atas landasan kebersamaan, kecerdasan, dan kesamaan ide gagasan untuk membangun bangsa yang makmur dan sejahtera.
Sebagai sikap kewaspadaan terhadap parpol, kita dapat belajar pada belasan caleg salah satu partai baru dengan pimpinan elit politik lama. Mereka (belasan caleg) menarik diri dari pencalonan legislatif di Tasikmalaya. Pengunduran diri ini-seperti diberitakan alam Tribun Jabar, Kamis (30/10/200 – didasari oleh faktor ketidak jelasan sistem managemen partai yang tidak jauh beda dengan managemen perusahaan.
Meski ada alasan faktor lain pendorong langkah pengunduran diri yang berbeda, saya pikir di sana terletak satu tekad baik yang sama-sama ingin diwujudkan. Yakni mengembalikan, meluruskan, dan memulihkan fungsi parpol sebagaimana mestinya.
Nah, era demokrasi yang kita tunggu-tunggu selama ini, supaya berjalan dengan baik dan mulus, rezim demokrasi (baru) perlu melakukan konsolidasi. Setidaknya memperjuangkan agar fungsi parpol tetap berada pada jalur yang semestinya. Sebab jika tidak, mungkin saja kita akan kembali terjebak ke jurang seperti pada orde baru dulu. Di mana ada satu raksasa penguasa yang memasung kebebasan parpol. Kata demokrasi pun menjadi palsu adanya. Apakah itu yang diharapkan? Jangan sampai. (*)
Mahasiswa Jurnalistik UIN Bandung, Sekretaris Umum PC Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Bandung.
Tulisan ini termuat dalam H.U. Tribun Jabar edisi Rabu, 19/11/2008
[+/-] |
Maknai |
Memaknai Ulang Proses Penciptaan Perempuan
Oleh DUDI RUSTANDI
Anita, seorang TKW Indonesia yang bekerja di Kuwait meninggal secara mengenaskan. Ia meninggalkan misteri kematian yang membuat hati keluarganya tersayat. Betapa tidak, kepulangan Anita ke Indonesia justeru untuk dirawat di Rumah Sakit. Ketika masuk ke Rumah Sakit kondisi Anita sudah cukup parah dengan luka-luka lebam disekujur tubuhnya.
Menurut sumber berita, Anita mengalami penyiksaan oleh majikannya di Kuwait, tidak hanya berupa pukulan dan tendangan saja, bahkan setrikaan panas pun pernah hinggap di bagian tubuhnya.(H.U. Pikiran Rakyat edisi 28 Mei 2005)
Di bagian lain, diberitakan pula seorang Ibu Rumah Tangga melaporkan suaminya ke Kantor Polisi Sektor Cikelet Garut, usut punya usut, ternyata si Ibu yang mempunyai Nama Ida, sudah tidak kuat lagi menerima siksaan dari suaminya. Sejak pertama menikah—Nyonya Ida—bukan menikmati bulan madunya, malah sudah mendapatkan tamparan dan tendangan dari suaminya. Hal ini terjadi selama delapan tahun kehidupan rumah tangganya. Karena tak kuasa menahannya, akhirnya nyonya Ida melaporkan Suaminya Ke Polisi. (H.U. Priangan Tasikmalaya, edisi 28 Mei 2005)
Cerita (fakta) di atas hanya salah dua kekerasan yang di alami oleh makhluk yang namanya perempuan. Masih banyak kasus-kasus lain yang mendiskreditkan posisi perempuan, menjadikan wanita sebagai objek. Belum lagi, bahwa seorang perempuan menjadi komoditi yang sangat menggiurkan untuk dijual. Baik di Barat sana ataupun di Indonesia.
Eksploitasi terhadap permpuan telah terjadi sebelum Al-Qur’an turun. Oleh kalangan Atas, perempuan hanya dijadikan pemuas nafsu dan disekap dalam istana-istana. Dan di kalangan bawah, wanita sangat menyedihkan, mereka diperjualbelikan, sedangkan yang bersuami, mereka di bawah kekuasaan suaminya, mereka tidak mempunyai hak sipil, bahkan hak waris pun tidak ada. Dalam peradaban Yunani, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah menikah, kekuasaan berpindah ke tangan suami. Kekuasaan ini mencakup kewenagan menjual, menganiaya, mengusir dan membunuh. Keadaan tersebut berlangsung sampai abad ke enam masehi. Segala hasil usahanya menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki. Hingga Abad modernpun tampaknya posisi perempauan masih tampak sama, yang membedakan adalah adanya gerakan yang cukup signifikan dari komunitas perempuan.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terutama yang berbasis sosiologis Historis, ditambah lagi dengan kondisi sosial politik—baik di dunia, terutama Indonesia pasca reformasi—yang berubah, tampaknya kondisi keperempuan Indonesia pun mendapatkan momentumnya. Wacana bahkan gerakan perempuan Indoonesia menyeruak ke permukaan. Perempuan tidak lagi berada di sektor domestik tapi lebih muncul ke publik, baik dalam wilayah profesi ekonomi ataupuin politik. Kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan sudah mendapatkan perhatian yang amat sangat, sampai-sampai ada menteri khusus perempuan, padahal menteri khusus pemberdayaan laki-laki tidak pernah ada. Dalam politik, kita tentunya tahu bagaimana Kyai-Kyai yang berasal dari PPP melarang perempuan menjadi pemimpin dalam patwanya, tapi pasca reformasi khususnya ketika Bu mega hendak manggung, penafsiran itu menjadi pro dan kontra, bahkan menyepakatinya, bahwa Perempuan boleh menjadi pemimpin. Di satu sisi—dalam hal apapun—posisi wanita sudah bisa menyamai posisi laki-laki walaupun dalam porsi yang kecil, tapi di sisi yang lain. Perempuan tetap saja di anggap sebagai second man (woman).
Penciptaan perempuan dalan Al-Qur’an dan Asumsi Tentang Perempuan
Ayat Al-Qur’an yang popular dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 1
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan lelaki dan perempuan yang banyak.
Menurut Jumhur ulama, kata nafs dirujukan pada Nabi Adam A.S., tetapi para mufassir modern seperti Muhammad Abduh mengartikan nafs dengan “ jenis”. Dari pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam, di pahami pula bahwa kata zaujaha, yang arti harfiyahnya “pasangan” mengacu pada isteri Adam, yaitu Hawa.
Agaknya karena ayat di atas menerangkan bahwa pasangan tersebut diciptakan dari nafs yang berarti adam, para penafsir terdahulu memahami bahwa isteri Adam (perempuan) diciptakan dari Adam sendiiri. Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki. Hal ini rupanya bersumber pada hadits:
Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tuilang rusuk yang bengkok… (H.R. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah) Hadits di atas dipahami oleh ulama-ulama terdahulu secara harfiyah. Namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara metafora. Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadits di atas memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, karakter perempuan sangat berbeda dengan karakter laki-laki. Hal ini bisa kita baca dalam Revolusi IQ, EQ, SQ (Mizan 2000). Kecenderungan perbedaan karakter antara perempuan dan laki-laki karena perbedaan struktur bioloisnya, diantaranya yang paling utama adalah pembagian struktur otak kanan dan otak kiri pada perempuan dan laki-laki sangat berbeda. Pada otak kanan (otak yang mengatur emosi, sikap dll) perempuan strukturnya lebih besar dari pada laki-laki, hal ini menyebabkan emosi perempuan berbeda dari laki-laki sehingga timbul pernyataan bahwa emosi perempuan dan laki-laki itu sepuluh berbanding satu.
Menurut Ath-Thabathaba’I, bahwa tidak ada satu petunjuk yang pasti dari ayat Al-Qur’an yang dapat mengantarkan kita untuk menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau bahwa penciptaan laki-laki berbeda dari penciptaan perempuan. Pada prosesnya laki-laki dan perempuan diciptakan dari nafs yang satu. Allah menciptakan manusia dari lakii-laki dan perempuan seperti terdapat dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13.
"Wahai seluruh manusia sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berswuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia dihadapan kamu adalah yang paling bertakwa.
Lebih Ekstrim Rasyid Ridla dalam Tafsir Al-Manar menyatakan bahwa Kata “tulang rusuk“ dipengaruhi oleh Kitab perjanjian lama (taurat), yang menyatakan bahwa ketika adam terlelap tidur,maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan.
Dari penafsiran bahwa wanita tercipta dari tulang rusuk, menurut Riffat Hasan dalam Muhamad Yazid, ada tiga asumsi dasar yang telah lama digunakan dalam tradisi pemikiran teologi di lingkungan umat Islam. Pertama; Bila mahluk yang bernama Hawa diciptakan Tuhan dari tulang rusuk laki-laki, maka dengan sendirinya perempuan diyakini sebagai mahluk yang secara ontologis adalah sekunder. Kedua; bahwa perempuan --bukan laki-laki-- yang merupakan penyebab utama tergelincirnya Adam dari surga atau yang kita kenal sebagai dosa manusia atau terusirnya manusia dari surga, karena itu semua anak perempuan Hawa harus diperlakukan dengan rasa benci, curiga dan --bahkan-- hina. Ketiga; Bahwa perempuan diciptakan pada dasarnya adalah untuk laki-laki, oleh karena eksistensinya hanyalah pelengkap. Asumsi di atas telah begitu jauh mempengaruhi pemahaman para ulama terhadap teks kitab suci tentang penciptaan manusia yang secara serta merta menempatkan laki-laki di atas perempuan, pada hal sejauh yang dapat ditangkap dari pesan-pesan kitab suci tidak ada penjelasan tentang perbedaan kualitas penciptaan antara laki-laki dan perempuan, walaupun al-Qur’an menggunakan istilah laki-laki dan perempuan, maskulin dan feminin, tidak dimaksudkan untuk memperioritaskan yang satu dan merendahkan yang lain, karena pada dasarnya hakekat penciptaan mahluk secara eksistensial adalah sama, seperti terdapat dalam Q.S. Al-Isra ayat 70:"Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, kami angkat mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka mencari kehidupan). Kami beri merek rizki yang baik-baik, dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang kami ciptakan." Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal-orang-orang yang beramal, baik lelaki dan perempuan (Q.S. Ali Imran 195)
Persamaan derajat laki-laki dan perempuan
Nabi Muhammad Sebagai penyampai risalah, mempunyai tujuan untuk menyempurnakan Akhlak ummatnya. Begitupun dalam mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sejak Islam datang ke dunia Arab, telah tejadi revolusi yang sangat dahsyat dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Perempuan yang saat itu kelahirannya dianggap sebagai aib oleh orang Arab, setelah Islam datang perempuan begitu disucikan, bahkan dalam suatu hadits, perempuan (ibu) ditinggikan derajatnya 3 kali lebih tinggi dari pada laki-laki (bapak), hal ini dimaksudkan bahwa posisi perempuan sama halnya dengan laki-laki, bahkan dalam hal tertentu posisi wanita lebih tinggi dari pada laki-laki. Bahkan dalam dunia tasauf, adalah perempuan yang pertama kali memurnikan ajaran tasauf dari hal-hal yang negatif, ia adalah Rabi’ah Al-Adawiyah.
Untuk memberikan gambaran di atas, Al-Qur’an memberikan hikmah tentang seorang perempuan yang sangat berkuasa pada zaman Nabi Sulaiman, yaitu Ratu Balqis. Al-Qur’an memberikan gambaran bahwa Ratu Balkis sebagai penguasa di suatu negeri yang kekuasaannya tidak tertandingi, tentunya dengan pengecualian. Semua laki-laki tunduk di bawah kekuasaan Ratu Balkis. Nabi Sulaiman yang saat itu mempunyai misi meng-Islamkan semua ummatnya, termasuk Ratu Balkis, mendapatkan tantangan yang cukup signifikan, sampai-sampai nabi sulaiman harus mengerahkan seluruh kekuatannya. Menggunakan burung hud-hud, para semut, binatang-binatang lain sebagai mata-mata dan para jin untuk membuat istana yang membuat takjub Ratu Balkis, hingga akhirnya, setelah kekuatan Nabi Sulaiman dikeluarkan akhirnya Ratu Balkis masuk Islam.
Begiitupun, Al-Qur’an meceritakan kisah Siti Maryam sebagai perawan suci yang dilindungi Allah saking shalehahnya. Hal ini menunjukan bahwa Allah sama sekali tidak membuat diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Pada periode Nabi Muhammad SAW, tentunya kita mengenal sosok Siti Kahdijah. Ia merupakan partner Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan misi dakwahnya. Bahkan tidak sedikit peran Siti Khadijah dalam memotivasi suaminya, misalnya ketika pertamakali turunnya ayat, terdapt pula isteri nabi yang lain dan juga putrinya Sayyidah Patimah yang berjuang melawan kesewenag-wenangan bani Umayyah bersama suaminya Sayyidina Ali.
Munculnya Peminisme (faham keperempuanan)
Tidak bisa disangkal, apabila kita kaji teks Al-Qur’an dan Hadits Nabi, menurut Muhammad Yazid, Agama Islam tidak membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki. Pembedaan muncul karena pijakan mitologi perempuan pada zaman kuno yang masih menempel dan menjadi warisan bagi manusia. Pembedaan terjadi karena ada kontsruk budaya masyarakat yang cenderung patriarki. Hal ini tidak terlepas dari sifat superior laki-laki. Mitologi, Konstruk budaya dan sifat superior ini menjadi inheren dengan penafsiran yang dilakukan oleh ulama yang berasal dari kaum laki-laki. Bahkan lebih ekstrim menganggap perempuan sebagai manusia nomor dua yang layak untuk dilecehkan. Akibat dari pelecehan ini menimbulkan kekerasan terhadap kaum perempuan, perempuan banyak yang menjadi korban ekploitasi, baik di lingkungan domestik ataupun publik. Hal inilah—acuan sosiologis—yang memicu munculnya feminisme, penuntutan hak yang sama bagi perempuan. Pada prakteknya gerakan feminisme ini ada yang lebih radikal (Feminisme radikal) yang membuat suatu praktek untuk tidak menikah dengan laki-laki bahkan lebih ekstrimnya lagi menganggap bahwa laki-laki adalah musuh.
Dalam diskursus budaya pop, pembedaan muncul dipertajam oleh kaum perempuan sendiri. Perempuan banyak mewacanakan tentang perbedaan tersebut. Padahal wacana yang dimunculkan oleh laki-laki bersifat universal dan tidak semua laki-lakipun bereaksi sama terhadap kaum perempuan, masih banyak kaum laki-laki mngakui posisi perempuan sebagai mitra hidup, sejajar dengan posisi laki-laki dan sebaliknya.
Konstruk budaya inipun saya pikir karena peran perempuan yang tergolong kecil. apabila kita telusuri pada zaman klasik, tidak ada kaum perempuan yang menghasilkan karya fiqh, atau zaman lahirnya ilmu kalam, tidak ada perempuan yang emgkonsentrasikan ke dalam bidang ini termasuk dalam bidang penafsiran, sehingga sangat wajar bila konstruk yang ada cenderung patriarki sifatnya.
Mesti dipahami, bahwa budaya patriarkal ini tidak saja terjadi dalam masyarakat non Islam. Kalau kita telusuri sejarah dari zaman yunani kuno, romawi, mesir, sampai asia Asia Timur; Jepang, China dan Asia lainnya, partisipasi wanita di wilayah publik adalah sesuatu hal yang tidak biasa. Jadi suatu hal yang memang dialami oleh masyarakat dunia secara umum, dan Islam memulainya memberikan hak yang penuh terhadap wanita.
Pasca Gagas
Dalam kenyataannya Asmaul Husna (Nama-nama Allah)—terlepas dari polarisasi—mencakup feminin dan maskulin yang selalu diasumsikan dengan sifat kewanitaan dan kelaki-lakian dan inipun tercermin dalam diri Rasulullah SAW. Atau dalam istilah kita—menurut sayyid Hossein Nasr—mencakup sifat ke-Mahabesaran (Jalal), ke-Mahasempurnaan (Kamal) dan ke-Mahaindahan (Jamal). Sifat-sifat ini harus dimiliki oleh seorang hamba, tidak ada pengecualian, tidak dikhususkan untuk perempuan dan laki-laki seperti halnya dinyatakan dalam pirman-Nya di atas bahwa manusia yang paling mulia di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa.
Dalam Q.S. Al-Baqarah 187 disebutkan bahwa tiap-tiap pasangan pakaian bagi masing-masing pasangannnya, tidak hanya dalam pengertian seksual saja tapi menyentuh pada persoalan lain, bahwa antara laki-laki dan perempuan harus saling menjaga kehormatannya. Diciptakannya masing-masing pasangan adalah untuk saling melengkapi, laki-laki tidak akan menjadi sempurna kelaki-lakiannnya bila tidak ada perempuan, begitupun sebaliknya perempuan tidak akan sempurna keperempuanannya bila tidak ada laki-laki.
Karena stereotipe yang di alami perempuan cenderung bersifat sosiologis, tampaknya hal ini tidak bisa mengeneralisir kesalahan hanya terhadap pihak laki-laki saja, justeru persoalannya, apakah kaum perempuan mau mengejar ketertinggalan tersebut atau tidak, berlomba mengejar dan melakukan kebaikan (fastabiqul Khoirot), baik dalam hal ilmu pengetahuan umum, agama ataupun dalam bidang profesi, bisnis, ruang politik dan lain-lain. Jangan malah terjebak dengan diskursus kewanitaan yang dipublikasikan oleh Barat yang bahkan punya kecenderungan negatif.
Terakhir, kita sebagai kader muslimah (kohati), mesti mewaspadai segala bentuk gerakan feminisme, sebab agenda feminisme yang datang dari kaum Sana (Barat), mempunyai agenda yang bisa jadi bertentangan dengan budaya lokal kita di Indonesia, bahkan lebih ekstrim bertentangan dengan ajaran Islam. Bagaimanapun budaya Indonesia—filosofi Sunda yang mempunyai ungkapan; ngahormat ka saluhureun, ngahargaan ka sasama jeung nya’ah ka sahandapeun yang berasal dari ajaran Islam harus tetap kita pegang teguh. Filosofi ini ahrus menjadi landasan gerak kita dalam membangun human relation dengan siapapun termasuk dengan lawan jenis kita.
tulisan ini semacam makalah yang penulis sampaikan pada diskusi umum Korp HMI wati di HMI Cabang Kabupaten Bandung
[+/-] |
Minat |
Menumbuhkan Minat Baca Anak
Oleh SITTA R MUSLIMAH
Kegiatan membaca adalah salah satu faktor penentu kecerdasan seseorang. Dengan rajin membaca, seseorang akan memperoleh ilmu dan wawasan, sehingga dirinya dapat mengembangkan potensi ke arah yang positif. Maka, kegiatan bertajuk Hari Kunjungan Perpustakaan, saya pikir adalah jalan menuju tersedianya “library for all”, yang membutuhkan dukungan kalangan pendidik agar menumbuhkan minat baca dalam diri peserta didiknya (anak-anak).
Kegiatan membaca yang membudaya, akan tercipta ketika siswa atau siswi – sebagai seorang murid – di suatu instansi pendidikan membiasakan berkunjung ke perpustakaan. Pembiasaan itu harus dikawal dengan kultur di lingkungan pendidikan yang mengarah kepada pertumbuhan minat baca anak didiknya. Menurut data tahun 2007, tercatat ada 63.717 perpustakaan di Jabar, dikelola 23.298 pustakawan (Kompas Jabar, 22/10/2008), yang berperan sebagai pendorong minat baca masyarakat, khususnya anak-anak.
Dengan jumlah 1.500 orang yang tercatat berkunjung ke Perpustakaan Daerah Jabar per hari, mengindikasikan tradisi membaca menampakkan iklim yang membaik. Oleh karenanya, dukungan berbagai pihak sangat diperlukan untuk merealisasikan cita-cita bangsa, yakni mencetak generasi bangsa yang cerdas dan bermartabat, yang bisa diraih dengan membudayakan kegiatan membaca di kalangan anak-anak. Untuk kepentingan masa depan, semestinya kita mulai merancang strategi penanaman kesadaran membaca secara mengasyikkan terhadap anak-anak, agar mereka mau berkunjung ke perpustakaan dan membaca buku.
Dukungan pihak sekolah
Supaya kegiatan membaca membudaya, diperlukan peran serta pihak sekolah – terutama guru – untuk menanamkan kesadaran dalam diri anak, bahwa membaca adalah kegiatan yang mengasyikkan. Misalnya, mengadakan wisata outbond selama satu hari yang disertai dengan penanaman motivasi mereka menyenangi kegiatan membaca. Dalam tataran praktis, mereka disuruh menyelesaikan bacaan satu eksemplar buku atau komik tipis yang didalamnya terkandung muatan edukasi. Setelah menyelesaikan satu eksemplar buku atau komik tipis itu, mereka dipersilahkan mengapresiasi isi yang terkandung di dalamnya.
Disamping itu, dalam kegiatan wis ata outbound ini juga diadakan perlombaan mengarang, menulis puisi, dan lomba mewarnai bagi anak-anak. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan minat baca dalam diri anak sejak usia dini, sehingga ketika dewasa nanti, mereka telah terbiasa membaca, menulis dan berkunjung ke perpustakaan untuk menambah wawasan keilmuan. Program wis ata outbond, dilaksanakan pihak sekolah selama satu kali per dua minggu. Misalnya, setiap hari Minggu, oran gtua dan anak-anaknya diikutsertakan dalam program outbond penanaman kesadaran budaya membaca, sehingga ketika selesai melaksanakan program ini, oran gtua dan anak menjadi akrab dengan tradisi membaca dalam kehidupan sehari-harinya.
Dengan program ini juga, hubungan harmonis antara guru, oran gtua dan anak diharapkan akan terjalin harmonis. Selain program ini juga, pihak sekolah selayaknya melengkapi sarana dan prasarana perpustakaan mini untuk para siswa dan siswinya di lingkungan sekolah, sehingga kebutuhan terhadap buku terpenuhi. Caranya, dengan mendirikan perpustakaan yang dilengkapi buku-buku yang sesuai dengan dunia anak-anak, dan ini adalah salah satu bentuk dukungan pihak sekolah terhadap program penanaman anak terhadap kegaitan membaca sejak dini.
Maka, ketika dalam aktivitas sehari-hari, minimalnya ketika mereka berada di lingkungan sekolah menyukai kegiatan membaca; kunjungan ke perpustakaan akan meningkat. Dengan peningkatan pengunjung ke perpustakaan juga, merupakan pertanda bahwa kualitas hidup warga-bangsa di masa mendatang, mengarah kepada produktivitas. Sebab, dengan membiasakan kegiatan membaca, ilmu dan wawasan semakin bertambah, sehingga di masa mendatang mereka mampu menjadi generasi penerus bangsa yang berwawasan luas, arif dan bijaksana.
Iklim kondusif keluarga
Lingkungan keluarga yang kondusif dengan kebiasaan membaca yang tinggi, akan mempengaruhi anak-anak untuk mengadofsi kebiasaan itu sehingga membekas dalam dirinya. Orang tua yang selalu berlangganan Koran, majalah, dan membeli buku; tentunya sangat berguna bagi pembiasaan membaca anak-anak. Maka, dengan iklim kondusif dalam keluarga seperti inilah, program membiasakan anak untuk membaca dan berkunjung ke perpustakaan menjadi lebih mudah untuk dilaksanakan.
Dalam tinjaun psikologi behaviorisme, kebiasaan yang dilakukan lingkungan keluarga, kalau ditularkan kepada anak-anak akan membentuk kepribadiannya sehingga menyukai aktivitas membaca. Misalnya, di ruangan keluarga, tersedia bacaaan yang dikhususkan untuk konsumsi anak-anak, seperti komik, cerita, koran anak, majalah anak, dan buku panduan untuk anak-anak. Ketika sedang berkumpul dengan anak-anak juga, oran g tua hendaknya menemai anak membaca buku atau yang lainnya. Ini dimaksudkan agar anak dapat menanyakan dan mendiskusikan materi yang terdapat dalam buku tersebut.
Dengan iklim keluarga yang kondusif, dengan kebiasaan membaca yang tinggi, akan menumbuhkan minat baca dan berkunjung ke perpustakaan dalam diri anak. Kalau betul bahwa mencari ilmu itu dapat meningkatkan derajat seseorang, alangkah baiknya jika mulai saat ini, sebuah keluarga melengkapi rumahnya dengan lemari khusus untuk buku bacaan anak-anak. Kemudian, mengajak mengunjungi toko buku setiap kali bepergian ke luar rumah juga, akan menumbuhkan minat baca mereka.
Ketika kegiatan membaca telah membudaya, perkembangan jiwa anak-anak akan sesuai dengan yang diharapkan, demi terciptanya kegiatan membaca dalam diri anak. Setelah, di dalam dirinya terpateri minat baca yang tinggi, boleh jadi itu akan mendukung program hari berkunjung ke perpustakaan yang diadakan BAPUSDA, beberapa minggu ke belakang. Semoga!
SITTA R MUSLIMAH. Pemerhati Perkembangan Anak Usia Dini, Pengajar di Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam UIN SGD Bandung. [Artikel dimuat Kompas jabar, 20 November 2008]
[+/-] |
Waria |
Waria Berjilbab?
Oleh KLIK
Sore ini, dalam perjalanan ke jalaprang dari sancang, di perempatan supratman-katamso ada kejadian yang unik, setidaknya menurutku. seorang waria membawa kecrik bernyanyi, entah lagu apa, mengamen di pintu angkutan kota.
dulu pernah, ketika di perempatan riau-merdeka, aku dipaksa waria yang ngamen untuk mensedekahkan sedikit uang kepadanya. entah takut, malu, segan atau memang takut, aku merogoh saku dan memberinya uang. entah berapa. tak sempat ku hitung, melirik berapa uang dalam kepalan saja ku tak berani. secepat kilat kuambil dan kumasukkan dalam gelas air kemasan yang kosong itu.
dan mungkin itu fenomena yang menyeruak di ibukota priangan ini. hampir di setiap perempatan, selalu ada waria yang bergabung dengan pengamen jalanan lainnya. jadi, para pengamat masalah sosial, sosiolog, dll mesti meneliti lebih jauh tentang hal ini. kehadiran waria di perempatan jalan merupakan fenomena tersendiri. dan penyelesaiannya, jika itu memang dianggap sebuah masalah, mesti memakai kaca mata mereka pula. tidak bisa kita memaksakan untuk melihat fenomena ini dengan kacamata lelaki atau perempuan.
yang menarik lagi buatku adalah. sore ini waria di pertigaan supratman-katamso itu berjilbab. setidaknya ada beberapa fenomena menarik mengenai ini. pertama, mungkin ia merasa bukan lelaki dan juga bukan waria. ia menganggap dirinya adalah perempuan. karena ia memakai kerudung. sebab, yang memakai kerudung adalah perempuan. Tuhan pun mewajibkan menutup seluruh tubuh hanya kepada perempuan. setidaknya ia telah merasa menjadi perempuan.
aku semakin bingung, apakah waria itu perpindahan seks dari lelaki menjadi perempuan. atau kah waria itu memang jenis kelamin sendiri. ia tidak merasa lelaki dan juga tidak merasa perempuan. sebab, ada juga yang menyebut mereka transeksual.
kedua, sang waria itu memang merasa dirinya waria. bukan lelaki bukan perempuan. sebab, mengapa ia memakai jilbab, menunjukkan bahwa walau ia waria tetapi ia islam. dan sebagai muslim ia menutup seluruh tubuhnya dengan kerudung. mungkin jika dalam dunia yang dibelah dengan dua kelamin pria dan wanita, ia adalah waria perempuannya. karena mungkin saja, ada waria yang lebih merasa dirinya adalah lelaki. sehingga mesti memakai kopiah, misalnya.
yang pasti mereka merasa ada di dunianya sendiri. sehingga, dunia mereka tidak bisa disamakan dengan dunia kita yang serba status quo ini. sehingga tidak bisa menerima kehadiran mereka yang berbeda.
mungkin juga fenomena waria berjilbab juga karena sekarang ini sedang gencar-gencarnya kasus pembunuh berantai yang berasal dari kaum homoseksual. padahal, kaum homo itu tidak bisa disalahkan dan digeneralisir mereka itu berbahaya dan wajib dibunuh. itu sama saja dengan logika amerika menyerang irak. tetapi, ini bukan berarti saya setuju dengan tindakan seks sejenis ini.
dalam sistem kepercayaan (agama) samawi menunjukkan semua Tuhannya membenci kaumnya yang berorientasi seksual sejenis. bahkan di Islam diceritakan, umat luth dijungkirbalikkan sekaligus dengan bumi yang mereka injak aikbat orientasi seksual yang bisa menghancurkan masa depan kelestarian umat manusia ini.
wallahu'alam
[+/-] |
Cinta |
Cinta Bagaikan Kentut
Oleh DASAM SYAMSUDIN
Banyak orang yang mendeskrifsikan cinta, semua orang pasti bisa mendeskrifsikan cinta. Ya, semua orang memiliki cinta, dan berbeda pula mereka mengalaminya. Sehingga tidak heran definisi cinta beragam. Ada kalanya professor botak berpendidikan tinggi definisinya tentang cinta, tidak diterima orang lain. Ya, sudah pasti karena semua orang mengalami cinta dengan cara yang berbeda.
Itulah, kenapa aku juga punya deskrifsi cinta yang berbeda pula. Entah, ini definisi atau deskrifsi, yang aku tahu “cinta itu bagaikan kentut”. Bagaimana tidak, kentut, tentu kalian tahukan? Kentut, bila ditahan bikin sakit perut, dan bila dikeluarkan bikin orang ribut—setidaknya orang itu menembakan kentutnya ditempat umum—contoh, Ibu-ibu yang sedang mengaji di sebuah Majelis Ta’lim, kalau salah satu bokong mereka ada yang kentut, sudah pasti mereka akan ribut. Setidaknya ibu-ibu itu saling menuduh.
Itulah yang kualami, tepatnya yang aku dan pacarku alami—maaf, mantan pacarku. Kami pacaran hampir empat tahun. Tapi, aku merahasiakannya dari orang tuaku. Memang, aku sudah tidak tahan dengan kondisi ini. Aku ingin sekali kehadiran kekasih hati di hidupku diketahui orang tuaku. Cuma, aku masih malu, konkretnya gak berani. Sedangkan pacarku, selalu gelisah. Ia ingin sekali aku mengenalkannya kepada orang tuaku. Sebagaimana dia mengenalkanku pada orang tuanya tiga tahun silam. Pacarku itu, sangat ingin. Sungguh sangat ingin kenal dengan orang tuaku, ia tak suka cintanya disembunyikan—ditahan—bak kentut saja.
Akhirnya hari itu pun tiba. Aku duduk manis di depan orang tuaku, dan memberikan senyum terbaik untuk mereka. Dengan sangat gemetar aku katakan pada mereka, “mak, aku sudah punya pacar, ia cantik. Kami sudah pacaran selama empat tahun. Semua itu berawal dan berlangsung sejak aku masuk pesantren. Dam. Emmmm… ia mau emak dan bapak mengenalnya.”. Sudah kubilang cinta bagaikan kentut. “apa”, kata ibuku, “hah…. Apa…”bapakku menambah ketegangan, “tidak mungkin” kata kakekku, “Sem, kamu?....” bibiku, aku pun tidak ngerti maksudnya.
Sekarang waktunya nasihat ibuku bak peluru deretan mesin yang akan membidikku. “kamu itu masih kecil, baru kelas 3 SMA, jangan dulu pacaran serius, apalagi harus membawa ia kemari. Apa kata orang-orang sini, kalau kamu sekolah dimana-mana, mesantren lagi, pulang membawa seorang wanita. Oh, jangan anakku, jangan buat harapan orang tuamu ini jadi ragu padamu. Oh, Tuhan aku tidak percaya anakku seperti ini. Ku kira selama ini ia memang sangat baik, setidaknya tidak seperti ini.”, ibuku menghela nafas, dan “kalau kau berani membawanya kemari, sekolah saja dengan uangmu sendiri.”
Tuh, kan, sudah aku bilang. Cinta bagaikan kentut. Seluruh keluargaku ribut. Orang kampungku dapat gosip baru, bahwa aku seorang santri yang sekolah dimana-mana akan membawa wanita kerumah. Adapt kampungku, kalau seorang yang bekerja, atau sekolah diluar kota pulang membawa wanita, artinya ia akan menikah. Ribut…. Sudah kubilang, bikin ribut!
Apa yang terjadi di rumahku. Langsung kulaporkan pada kekasihku. Ia, pacarku, tidak percaya bahwa kehadirannya ridak diharapkan dikeluargaku—setidaknya belum siap diterima—ia tersinggung, sakit hati, putus asa, tidak percaya lagi padakku, ia mendesakku, aku menolaknya. Ia memutuskan : putus !!!
Semua berakhir, ia pacaran lagi. Katanya ia bahagia dengan pacarnya yang baru. Karena ? kenapa ? karena, ia mendapat pacar yang bisa dikenalkan pada orang tuanya dan, jelas orang tuanya senang atas kehadirannya. Sekarang aku kesal, hatiku hancur, ibu bapakku bahagia, kakekku senang, semua keluarga tentram dan aku di sini bahagia. Kenapa bahagia ? karena tiga bulan kemudian. Ehhhmmmm…. Mantan pacarku nelepon, dan katanya ‘Aku menyesal memutuskanmu’. Kamu tahu, hal yang menarik dari pacaran adalah, saat mantan pacar kita menyatakan dirinya menyesal karena memutuskan kita. So, penyesalannya kutolak, ia pun kutolak. Dan sekarang aku yang lebih jahat. Ah, tidak juga, kalau cewek sudah berani berkhianat, pasti sama pacar barunya akan melakukan hal yang sama. Trust me, it true.
[+/-] |
Baca |
Membaca Buku adalah Gaya Hidup, Bro!
Oleh SUKRON ABDILAH
Produksi buku di Indonesia kalah telak oleh Negara Vietnam. Indonesia, dengan penduduk 225 juta baru mampu memproduksi buku sekitar 8 ribu per tahun. Akan tetapi, Vietnam yang merdeka pada tahun 1968, sudah mampu memproduksi buku sekitar 15 ribu per tahun. Hebatnya lagi, rasio penduduknya di bawah Negara kita, yaitu sekitar 80 juta penduduk (Kompas, 31/01/2009).
Saya, yang baru 27 tahun menjadi warga Indonesia sedikit menutup muka. Malu dengan perkembangan peradaban Negara tetangga kita, yang pada tahun 2008 menjuarai piala AFC (dulu piala Tiger). Lagi-lagi, Indonesia ketinggalan kereta oleh Negara Vietnam dalam bidang olah raga. Sekarang, Negara Vietnam – katanya – sudah bisa menjadi eksportir beras untuk Indonesia.
Apakah semua ini menandakan bangsa kita tengah mengalami ketertinggalan atau semacam tanda kematian peradaban Nusantara? Dahulu kala, nenek moyang kita unggul dalam segala hal. Sekarang, ketika zaman cepat bergulir ke bentuk modern, tanda-tanda sebagai masyarakat modern itu seolah tak nampak. Produksi buku, misalnya, kalah kuantitas dibandingkan dengan Negara Vietnam yang baru tahun 60-an merdeka. Saya yakin, kalau dibandingkan dengan Negara Malaysia juga kita pasti kalah.
Teman saya, seorang mahasiswa ada yang tak pernah memiliki atau membeli buku selama menimba ilmu di perguruan tinggi. Kebutuhan primer – saya menyebut buku kebutuhan primer – itu dikalahkan oleh sebungkus rokok yang bisa dibelinya dalam satu-dua hari. Saya jadi berpikir, coba kalau satu bungkus rokok itu dikurangi. Sisihkan sekitar tiga ribu per hari untuk dialokasikan membeli buku. Dengan jumlah uang sekitar 90 ribu per bulan, kita sudah mendapatkan paling sedikit 3 eksemplar buku baru.
Kalau tidak mampu membeli buku baru, di depan kampus saya ada si Abah yang menjual buku-buku bagus seharga 10 ribu per eksemplar. Silahkan dibagi, dengan 90 ribu yang kita kumpulkan untuk buku, kita sudah mendapatkan 9 eksemplar per bulan. Rokok, hari ini sudah mengalahkan buku dalam masyarakat modern Indonesia. Utamanya, dalam kehidupan mahasiswa dan pelajar kita. Saya adalah perokok aktif, tetapi sejak mahasiswa selalu mengusahakan untuk membeli 3 judul buku baru.
Metodenya begitu, saya menabung 3 ribu per hari selama sebulan. Aktivitas merokok saya bagi waktunya menjadi 4 kali per hari. 3 batang setelah makan dan 1 batang kalau saya kebetulan baru tidur larut malam. Sekarang, ketika uang di rekening bertambah ratusan ribu, saya bisa membeli buku baru (terbitan 2008-2009) dalam satu bulan sekitar 4-5 judul yang berbeda.
Selain teman yang tidak pernah membeli buku itu. Saya juga memiliki teman, tepatnya adik seperjuangan di organisasi IMM, yang rajin menghitung harga buku yang pernah dibelinya selama menjadi mahasiswa. Sekarang, ia masih jadi mahasiswa di perguruan tinggi dulu, tempat di mana saya pernah menjadi bagian kampus ini. Ketika ditanya, selama mahasiswa sudah berapa ratus ribu yang dikeluarkan untuk membeli buku. Ia menjawab, “kurang lebih lima juta”.
Betul saja, ketika saya main ke kontrakannya, buku-buku itu tertata rapi. Belum lagi, katanya, buku-buku yang disimpannya di kampung halaman. Karena tidak menjadi perokok aktif, logis sekali kalau teman saya itu bisa membeli buku ratusan judul berbeda selama 4 tahun ini.
Dari dua teman saya itu ada perbedaan ketika mengeluarkan ide-gagasannya. Berisi dan tak berisi. Itu adalah buah dari membaca buku. Setidaknya, ide yang diberikan oleh orang yang rajin membaca buku akan lebih padat dan berisi. Yang tak rajin, akan bergema seperti suara yang berasal dari tong kosong. Maka, Tuhan mengatakan “iqra” (bacalah) sebagai landasan bahwa sebagian hidup harus diisi dengan membaca. Bisa membaca buku dan alam yang menghampar luas ini. Selain itu, realitas juga tak boleh luput dari aktivitas pembacaan kita.
Itulah manusia beradab. Menjadikan kegiatan membaca sebagai gaya hidupnya. Life style-nya, gitu! Setelah membaca sudah menjadi bagian hidupnya, ia akan tertarik menuangkan ide-gagasan dalam bentuk tulisan, baik artikel ataupun buku. Dengan demikian, produksi buku kita per tahun ke depannya akan meningkat. Bikin perpustakaan di setiap daerah, jangan hanya perpustakaan di daerah perkotaan saja. Tetapi ada perpustakaan kecamatan, desa, atau kampung. Insya Allah dengan menumbuhkan minat baca di masyarakat, buku akan lahir dari Indonesia sebanyak mungkin.
Honor atau royalti buku yang gede juga, bisa terwujud kalau masyarakatnya memiliki minat baca yang tinggi. Penulis – yang di Indonesia kesejahteraannya tidak diperhatikan – akan lebih bersemangat melahirkan karya-karyanya. Tapi, bagi saya yang terpenting hari ini adalah ide-gagasan dibaca orang lain. Itu juga, menurut saya sudah dirasa cukup. Tidak muluk-muluk kalau menerbitkan buku. Itung-itung nabung, mas!
Senin, 02 Februari 2009
[+/-] |
Ego |
Ego di UIN SGD Bandung
Oleh B F SYARIFUDIN*
Air menjadi…
Tanah menjadi…
Angin menjadi…
Alam….????
Dua spot lampu atas pada sisi kanan kiri panggung bersinar redup, spot sisi kiri seorang perempuan menggeliat-geliat seperti sedang menari. Gundukan pasir yang menggunduk di depannya kemudian digenggamnya, lalu dibasuhkan ke muka, tangan, dan kaki seperti layaknya seseorang yang tengah melakukan tayamum. Perlahan dengan langkah lamban ia mendekat pada sisi spot sebelah kanan.
Spot pada sisi bagian kanan panggung, seorang laki-laki berkepala gundul setengah telanjang berdiri di dalam sebuah kelambu panjang berbentuk tabung yang membentang dari atas ke bawah. Lambat laun ia pun mulai mengexplorasi tubuhnya, menari memainkan lunglai tubuhnya di dalamnya. Si perempuan mendekati, lalu keduanya saling bersentuhan, mengexplorasi tubuh yang satu dengan tubuh yang lain, mengexplorasi ruang yang satu dengan ruang yang lain. Dan penulis sendiri berasumsi bahwa mereka sedang melakukan proses komunikasi tubuh di antara mereka (sex).
Demikian awal dari sebuah pertunjukan teater yang berjudul EGO, karya /sutradara Yayan ‘Katho’ Musiarso (27/08/08) yang dipentaskan di Galeri UIN Sunan Gunung Djati Bandung garapan Teater Awal yang akan berlanjut di UNSIKA Karawang dan TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta. Mendengar kata ego, penulis membayangkan dalam pertunjukkan ini adalah sebuah pertunjukkan yang membicarakan tentang oposisi biner tentang sesuatu. Tetapi ternyata tidak! Ego dalam pertunjukkan garapan Teater Awal ini adalah sebuah komunikasi tubuh antara dua lawan jenis laki-laki dan perempuan bagaimana mereka untuk mencipta dan bagaimana untuk menjadi. Mengapa, bagaimana, dan untuk apa?
Freud seorang pelopor psikoanalisis mengatakan bahwa manusia memiliki insting yang sangat mendasar yaitu insting kehidupan (eros) dan insting kematian (thanatos). Insting kehidupan ini di bagi menjadi dua yaitu insting individual dan insting spesies. Insting individual ini adalah sebuah dorongan dari setiap individu bagaimana setiap individu tersebut melakukan sebuah proses pertahanan hidup. Sedangkan insting spesies adalah insting di mana setiap manusia harus menjaga keberlangsungan hidupa spesies mereka (re-generasi). Insting spesies ini merupakan upaya atau dorongan untuk melakukan aktivitas seksual yang bersifat reproduksi di mana kehidupan manusia itu sendiri tetap eksis.
Pada adegan awal dalam pertunjukkan ini, merupakan sebuah proses pemunculan dua karakter yang berbeda di mana pada adegan ini merujuk pada teori Freud tadi, bahwa manusia itu mempunyai insting spesies—melakukan proses komunikasi tubuh (dua lawan jenis berbeda) untuk melahirkan sesuatu (manusia-manusia yang lain).
Kemudian pada adegan selanjutnya, setelah melalui proses persetubuhan di antara keduanya, dari sisi wing kanan dan kiri muncul empat orang laki-laki gundul setengah telanjang dan empat orang perempuan bertopeng Semar berpakaian putih. Pada masing-masing bagian perut pakaian yang di kenakan keempat actor tersebut bergambar seorang bayi yang siap-siap mau dilahirkan. Hal ini mungkin untuk menunjukkan pada para penonton bahwa para perempuan-perempuan itu tengah hamil dan pada adegan ini pula memang keempat perempuan tersebut melakukan adegan di mana mereka sedang berusaha keras untuk melahirkan anak-anaknya. Ketegangan pun berlangsung dengan tata cahaya liar seperti kita tengah berada di dunia pub.
Proses kelahiran pun terjadi, sosok laki-laki muncul dari sebuah property panggung yang lebih menyerupai tulang iga manusia. Ia berlari ke sana ke mari, sesekali berjalan lamban sambil melihat bayangannya sendiri, bersosialisasi dengan ruang di sekitarnya. Seolah-olah sedang berusaha untuk mengenal siapa dirinya dan siapa di sekelilingnya.
Merujuk pada pemahaman penulis mengenai teorinya Freud, bahwa manusia itu tidak hanya memiliki apa yang disebut insting. Melainkan ada satu hal yang dinamai dengan ego. Proses komunikasi tubuh, kelahiran, sampai pengenalan terhadap sesuatu, pada bagian ini penulis berasumsi bahwa proses tersebut merupakan sebuah implementasi dari hasil kreasi dari apa yang disebut dengan ego. Ego sendiri kata Freud bukanlah ke-aku-an dalam mementingkan diri sendiri melainkan ego adalah mengacu kepada keberfungsian diri.
Keberfungsian ini yang nantinya mengacu kepada untuk apa manusia hidup dan bagaimana melaksanakan hidup. Ego dalam hal ini merupakan sebuah strategi psikologi yang dilakukan manusia untuk berhadapan dengan kenyataan dan mempertahankan cita-diri. Posisi ego haruslah sangat kuat karena dapat menjaga setiap individu untuk berada dalam keseimbangan hidup.
Terakhir, Ego adalah pembelajaran. Ego adalah diri. Ego adalah hasrat dan keinginan. Ego adalah hidup dan menghidupi. Ego adalah perjalanan untuk sampai pada ujung-Nya, perjalanan yang akan membuat kita bernama manusia atau perjalanan yang akan membuat kita bukan bernama manusia.
Selamat buat Teater Awal UIN SGD Bandung dalam pementasan ini…
[+/-] |
menulis |
Keuntungan Menulis
Oleh AEP KUSNAWAN
Dari Abi Hurairah R.A., Rasulullah SAW bersabda: Tiga orang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah: Mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang menikah untuk menjaga khormatannya. (HR. Thabrani)
Siapapun Anda, jika sampai detik ini mengira bahwa dengan tulisan dapat mendatangkan uang, itu tidak keliru, sebab dengan tulisan yang dibuat kemudian diterbitkan, dengannya berarti penulis telah berjasa, dan karena jasanya itu, secara logis penerbit akan menyampaikan “terima kasih”-nya kepada penulis.
Jika Anda menganggap dengan tulisan dapat mempertajam intelektualitas, itu juga tidak salah. Sebab, dengan keinginan menulis yang semakin baik, maka Anda akan semakin banyak membaca. Baik membaca Qur’an, koran, buku, majalah, atau sumber lainnya. Selain itu Anda juga akan semakin sering membaca kondisi, situasi, lingkungan, alam atau segala macam ciptaan Allah dengan berbagai permasalahannya. Dengan demikian, Anda akan semakin dituntut peka terhadap berbagai persoalan yang berkembang, dan Anda akan semakin merasa haus terhadap segala macam sumber informasi. Bukankah itu merupakan suatu yang mendorong terhadap peningkatan intelektualitas?
Mungkin juga Anda mengira bahwa dengan tulisan dapat meningkatkan popularitas, itu juga merupakan hal yang logis. Sebab dengan diterbitkan tulisannya, meski Anda sendiri berada di ruang kamar dengan pesawat komputer, maka sungguh Anda akan dikenal orang. Anda dikenal tidak hanya oleh puluhan orang atau ratusan orang, tidak pula hanya oleh orang di satu daerah, tetapi sebanding lebih dengan jumlah oplah yang diterbitkan oleh media yang memuat tulisan itu, atau sebanding dengan sejumlah orang yang membaca media tersebut, dengan jangkauan wilayah seluas media itu tersebarluaskan.
Akan tetapi, hanya keuntungan yang sifatnya sesaat itukah menulis itu? Sehingga karena sesuatu dan lain hal, masih merasa ragu untuk menekuni dunia tulis, atau barangkali tidak cukup terpuaskan karena keuntungan tulisan yang Anda ketahui, terpaku pada batas-batas yang masih pragmatis, sempit dan tidak lebih luas.
Umpamanya Anda ingin memberikan konstribusi kepada masyarakat atau bahkan lebih dari itu, ingin memiliki “saham” bagi peradaban dunia. Lalu ia bertanya, dapatkah dengan tulisan keinginannya itu tercapai?
Berkenaan dengan hal itu, penulis mengajak Anda untuk kembali mengingat sejarah. Betapa sejarah peradaban manusia sebelum mengenal tulisan adalah sejarah yang kelam bagi manusia yang ada pada masa kini. atau direkonstruksi dari jejak peninggalan yang tampak dan bekas-bekas yang ditinggalkan, dan itu amat terbatas adanya. Sehingga kurun waktu sebelum Anda mengenal tulisan itupun disebut sebagai zaman pra sejarah. Saat itu ahli Antropologi mencatat, antara laju peradaban dengan evolusi manusi berjalan berbanding sejajar, peradaban berjalan lambat seperti jalanya seekor siput.
Sementara sejarah peradaban manusia dipandang baru muncul, setelah ditAndai oleh keberhasilan manusia menciptakan lambang-lambang yang kemudian disebut huruf, yang pada mulanya dituliskan di dinding-dinding gua. Huruf-huruf itu kemudian di rangkai menjadi kata-kata dan disusun menjadi kalimat-kalimat, yang memiliki fungsi untuk mengatakan pikiran-pikiran mereka dari hasil pengalaman yang telah mereka alami.
Dengan demikian, jika sebelum orang mengenal tulisan, suatu pengalaman atau pemikiran manusia hanya menjadi milik dia atau milik masyarakat yang semasa ketika itu, maka setelahnya mereka dapat menulis dan membaca, pengalaman dan pemikiran tersebut tidak hanya dinikmati oleh generasinya, tetapi oleh generasi sesudahnya, bahkan generasi yang jauh sesudah mereka meninggal. Dengan begitu, pemikiran-pemikiran menjadi tekoleksikan dalam suatu arsip yang bernama tulisan. Sejak itu pula, para ahli sejarah mencatat, peradaban manusia mengalami perkembangan yang pesat.
Anda tentu mengenal sejumlah tokoh dalam Islam yang hidup beberapa ratus tahun yang lalu. Namun banyak di antara mereka tetap hidup bersama hingga saat ini, meskipun jasadnya telah terkubur tanah ratusan tahun silam. Al-Ghazali, misalnya, telah meninggal tahun 1111, tapi ia tetap hadir bersama Anda saat ini, karena tulisan-tulisannya yang mengikat erat namanya untuk tetap hidup dan bahkan terus berkembang. Teori-teori Ibn Khaldun pun tetap dibaca Anda, dan dengan teori itu pula Anda kemudian mengembangkan teori-teori baru sesuai dengan perkembangan dan perubahan. Demikianlah, sejumlah pemikir dan pemilik ilmu masa lalu, karena tulisan-tulisannya, hingga saat ini masih hadir bersama generasi saat ini.
Kini, Saatnya Anda Pun Menulis
Dengan pemaparan di atas, nampak kehebatan tulisan, yang telah mampu berperan dengan sangat menakjubkan. Betapa tulisan telah mampu menampung, menabung dan mengkoleksi karya-karya serta menyebarkannya. Bahkan ia juga telah mampu “mendongengkannya” kepada generasi yang hidup sampai berpuluh, beratus, bahkan ribuan tahun kemudian.
Tulisan juga bukan hanya mengakumulasi pengetahuan, tetapi juga memungkinkan bagi pengkoreksian, penambahan dan penyempurnaan dari pengembangan pengetahuan yang baru. Ia ibarat alat rekam, disamping mampu menyimpan memori dari hasil karya rasa dan cipta manusia, juga mampu menerima masukan-masukan baru, sehingga koleksinya kian hari kian bertambah banyak dan semakin baik.
Dengan demikian, kini tergambar sudah, jika Anda mendambakan untuk bisa berhubungan dengan masyarakat luas, turut dalam mencerdaskan kehidupan umat manusia generasi kini dan kemudian, memberikan informasi berharga, menyampaikan penemuan-penemuan, menegakan idealisme dan keadilan, menyuarakan yang benar sebagai benar dan yang salah sebagai suatu yang salah, atau Anda ingin berjuang dan berdakwah untuk peradaban yang bermuatan rahmatan bagi seluruh alam, maka melalui tulisan, hal itu bukan hal mustahil. Menulis bisa dimulai dari bentuk diary, dokumen, khutbah, biografi, majalah dinding, buletin, artikel, sampai menulis buku atau kitab. Sekecil apapun karya tulis seseorang, tentu akan tetap terkenang dan terarsipkan.
Jika demikian adanya, maka bukan hanya penulis yang untung, tetapi akan banyak pihak yang diuntungkan. Tidak pula yang diuntungkan itu hanya satu generasi, tetapi juga bisa berlanjut kepada berbagai generasi sesudahnya, bahkan mungkin jauh sesudah Anda tiada. Wallahu A’lam.
Penulis, adalah Penulis Buku “Berdakwah Lewat Tulisan”. Sekretaris Juusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri SGD Bandung.