Beragama di Tengah Kepungan Modernitas
Oleh JAJANG BADRUZAMAN
Bergama di tengah arus modernisasi merupakan sesuatu yang sangat mahal. Masyarakat modern yang didominasi pola pikir pragmatis senantiasa mengkaji ulang peran (kemanfaatan) segala sesuatu bagi dirinya.
Termasuk ajaran agama yang dianut serta kemanfaatan kerberagamaan (religiositas) bagi dirinya. Sehingga agama yang tidak mampu berperan dan memberi arti bagi kehidupan pemeluknya akan ramai-ramai ditinggalkan pemeluknya.
Fenomena yang mengemuka dari fakta di atas adalah banyaknya orang yang berpindah dari satu agama ke agama lain secara berkali-kali. Beralih dari dari agama dan mencari nilai transendental dalam alam. Bahkan berhenti beragama karena agama sudah dianggap tidak memiliki peranan (manfaat) bagi hidupnya.
Peran dan arti agama dalam menyelesaikan permasalahan hidup menjadi kriteria kualifikasi agama yang pantas dianut masyarakat yang tengah dikepung modernitas. Tiada lain harus ada penafsiran kembali (reinterpretasi) agama disesuaikan dengan konteks situasi dan kondisi saat ini. Tidak hanya pada materi yang disampaikan tetapi juga menyangkut metode penyampaian agama itu sendiri. Sebuah tantangan bagi bagi para cendikiawan (ulama) agama.
Untuk mencari solusi permasalan religiositas masyarakat yang tengah dikepung modernitas kita selayaknya mengetahui terlebih dahulu modus keberagamaan masyarakat tersebut saat ini. Menurut Peter L. Berger, modus beragama di tengah kepungan modernitas terdiri dari tiga klasifikasi. Pertama keberagamaan reduktif, yaitu keberagamaan yang menafikan sama sekali unsur-unsur ilahiah dalam agama. Kedua keberagamaan deduktif, meyakini suatu agama tanpa menggubris institusi dan pengetahuan modern yang sifatnya sekuler. Ketiga keberagamaan induktif, melakukan reinterpretasi dan menyesuaikan agama dari doktrin sebelumnya dengan kondisi sosial yang mengelilinginya. Semoga solusi dalam rangka menyelasaikan permasalahan keberagamaan ini dapat ditemukan.
Kamis, 06 Maret 2008
[+/-] |
Beragama |
Rabu, 05 Maret 2008
[+/-] |
Mitos |
Mitos Safar di Masyarakat Sunda
Oleh UWES FATONI
Safar adalah salah satu bulan Islam dalam pengucapan lidah orang Sunda. Asal kata Safar dari Shafar, yang memiliki makna “kosong.” Dalam tradisi Arab pra-Islam bulan Safar merupakan bulan peperangan.
Masyarakat Arab pada bulan ini tidak banyak beraktivitas dan berdagang karena terganggu peperangan yang berkecamuk antar kabilah. Dari peristiwa itu muncul beragam mitos negatif di seputar bulan Safar.
Seiring dengan masuknya Islam ke tatar Sunda, mitos-mitos itu pun ikut meresap dalam pemikiran masyarakat. Orang Sunda menganggap pamali untuk mengadakan pesta perayaan, seperti hajat pernikahan atau sunatan anak di bulan Safar. Selain itu juga mereka percaya akan turun berbagai penyakit dan musibah di bulan ini dan sebagai puncaknya terjadi pada hari Rebo wekasan.
Paceklik Order
Berbeda dengan bulan Rayagung yang ramai dengan acara hajatan terutama di akhir pekan, di bulan Safar janur kuning tidak lagi terlihat menghiasi gang dan gedung-gedung serbaguna. Masyarakat Sunda enggan untuk melangsungkan pesta perayaan di bulan ini.
Menurut Ahmad Gibson Al-Busthomi, seorang seniman Sunda, dalam sebuah diskusi beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa dalam masyarakat Sunda tidak dikenal sistem perhitungan hari baik (astrologi) seperti masyarakat Jawa. Namun, mitos larangan menikah di bulan ini ternyata sangat kuat tertancap dalam benak masyarakat. Sekalipun orang Sunda saat ini sudah jauh lebih modern, tapi tetap saja mereka merasa cadu untuk mengadakan pesta di bulan ini. Mereka meyakini ikatan pernikahan yang dilakukan di bulan Safar tidak akan abadi, dan ke depannya akan sulit untuk mendapatkan keturunan.
Hal ini kemudian diperkuat dengan pandangan bahwa bulan Safar adalah bulan kawin anjing. Di beberapa wewengkon tatar Sunda, terutama daerah yang dekat dengan hutan dan masih terdapat anjing liar, pada bulan ini sering terdengar gonggongan dan lolongan anjing. Anjing-anjing tersebut sedang naik birahi dan melakukan perkawinan. Oleh karena itu orang Sunda cadu menikah di bulan ini karena mereka tidak mau disamakan dengan binatang yang dianggap najis tersebut.
Kondisi tersebut tentu saja membawa pengaruh ekonomis kepada orang-orang yang bergelut di bisnis pesta hajatan. Para pengusaha perencana pernikahan, seniman, termasuk mubaligh mengalami paceklik order, tidak ada yang mengundang. Mereka akhirnya “berpuasa” untuk manggung, bahkan beberapa diantaranya wayahna harus banting setir pindah pekerjaan di bidang lain untuk sementara waktu.
Keadaan paceklik order ini baru berakhir tatkala bulan mulud tiba. Dalam sebuah peribahasa Sunda disebutkan, kokoro manggih mulud, orang yang sedang sengsara kemudian mendapat rezeki yang besar seperti bulan mulud. Para pekerja di bisnis hajatan yang di bulan safar dalam kondisi tiiseun, memasuki bulan mulud mereka kembali marema.
Bulan Balae
Bulan Safar juga diyakini sebagai bulan balae (bala bencana). Keyakinan ini sudah terpatri dengan kuat dalam benak masyarakat Sunda. Di bulan ini turun 70.000 penyakit untuk satu tahun ke depan. Berbagai musibah dan bencana juga banyak muncul di bulan ini. Lihat saja berbagai bencana yang saat ini terus melanda beberapa daerah di Indonesia, menurut beberapa kalangan Sunda tradisional itu merupakan pertanda akan kebenaran mitos tersebut.
Mitos bulan bencana ini juga diperkuat dengan cerita tentang sejarah kehancuran masyarakat tempo dulu. Sejak zaman dahulu bencana senantiasa diturunkan di bulan Safar. Tuhan telah menghukum kaum yang tidak beriman seperti Kaum ‘Ad dan Tsamud pada bulan ini.
Namun puncak dari semua masa turunnya bencana terjadi pada hari Rebo wekasan yaitu hari Rabu terakhir di bulan Safar. Oleh karenanya untuk melindungi diri dan keluarga dari berbagai balae tersebut masyarakat Sunda melakukan sedekah dan ritual tolak bala. Dengan bersedekah kepada fakir miskin mereka meyakini bala bencana akan menjauh dan mereka terbebas darinya.
Sedangkan ritual tolak bala dilangsungkan dengan cara memanjatkan doa dan mandi di pantai, sungai atau tempat-tempat keramat tertentu untuk membuang sial. Di Cirebon ritual mandi Safar ini dikenal dengan ngirab. Sekalipun ritual mandi ini sudah terkikis zaman dan semakin jarang dilakukan masyarakat tapi ritual memanjatkan doa penolak bala di malam Rebo wekasan masih tetap dijaga dan diamalkan.
Antara Mitos dan Local Wisdom
Sebagian masyarakat Sunda menganggap keyakinan di seputar bulan Safar semata-mata adalah mitos yang tidak terbukti kebenarannya. Namun, bagi kalangan lain keyakinan tersebut dipandang memiliki benang merah dengan kearifan lokal (local wisdom).
Larangan untuk melakukan aktivitas hajatan di bulan Safar memang tepat karena di bulan ini kondisi cuaca seringkali tidak bersahabat. Larangan ini juga bisa diposisikan sebagai penumbuh kesadaran tentang keseimbangan hidup. Masyarakat diajarkan ada waktunya untuk bersukacita, bergembira dan berpesta serta adakalanya pula mereka harus beristirahat dan bersiap-siap menghadapi cobaan, derita dan dukacita. Dengan begitu akan tumbuh kesadaran hidup yang lebih hakiki.
Tolak bala dengan banyak memberi sedekah mengandung makna solidaritas sosial, paheuyeuk-heuyeuk leungeun atau saling membantu dan saling menolong. Tatkala di bulan ini tidak ada pesta hajatan, orang-orang miskin yang biasa membantu menjadi kehilangan sumber rezeki. Dengan sedekah mereka kembali mendapatkan topangan hidup.
Pemahaman terhadap mitos di atas merupakan bagian dari upaya menyelami khazanah kekayaan budaya Sunda. Dengan pemahaman yang komprehensif akan tergali keselarasan hidup dan kesadaran otentik orang Sunda akan alam dan lingkungannya.
[+/-] |
Bahasa |
Bahasa Indonesia
Oleh PRAHASTI
Setelah chatting yang cukup ngalor ngidul ma kang yoga, karena kita chatting tanpa script,,,kayak di Akhirnya Datang Juga… saya jadi inget ma pelajaran Bahasa Indonesia.
Saya mo ngucapin makasih banget ma guru bahasa Indonesia saya, karena pelajaran dari bapak, terutama puisi, sudah menolong saya menemukan Bekasi.
Yaah..walaupun saya masih bingung dan heran, Kenapa bapak memanggil saya “Rahman”. Terus terang itu masih jadi misteri, padahal dulu di seragam saya ada name tag-nya, dan di situ tertulis dengan jelas nama lengkap saya. Kenapa pak? Kenapaaa?? Oh iya…name tag saya kan ketutupan ma kerudung saya yah pak?! Tapi, kenapa Rahman??!!!
Saya diundang ke resepsi pernikahan temen kuliah saya di Bekasi. Saya pergi ma Mila. Temen yang ngundang itu, Nana, tau banget kita berdua buta arah, jadi sebelumnya dia udah menghujamkan kata-kata sakti ke hati saya dan Mila. “Naik bis yang ke Cikarang!” berkali-kali Nana ngingetin kayak gitu, sampe2 selalu ada kata Cikarang dalam obrolan saya ma Mila. Sakti banget yah Nana!
Pas hari-H, saya ma Mila dengan semangat pagi hari (kita kan berangkatnya pagi2) langsung menuju terminal LeuwiPanjang dan langsung naik bis Jurusan Cikarang. Perjalanan yang ceria dan riang gembira serta penuh keakraban, bikin saya dan Mila gak gitu merhatiin jalan. Kita berdua heboh aja ngobrol kesana-kemari kayak gak ketemu bertaun-taun, dan tau-tau kita berdua nyadar…”Ini belum nyampe bekasi?” Sekedar informasi, ini tuh perjalanan pertama kita berdua ke Bekasi! Kita langsung merhatiin jalan, dan kita ngeliat di papan2 nama sepanjang jalan, saat itu kita lagi ngelewatin Karawang. “Ti, kok Karawang sih? Bukannya kita mo ke Bekasi?” Mila agak panik. “Iya yah Mil, Tanya atuh ke kondekturnya!” saran saya. “Gengsi ah!” Emang dasarnya kita berdua gak mau keliatan bego…padahal iyah.
Obrolan kita pun mengalami break, dan kita serius natap jalan. Dan saat itulah, saat dimana saya mendapat secercah inspirasi. Secercah titik terang, seperti ketika Helen Keller menyadari kata Water, dan seperti Listrik yang kembali menyala setelah mengalami pemadaman. Saat itu otak saya begitu terang benderang oleh lampu bohlam 40 watt dan berbunyi “Tringg!!”… inspirasi itu adalah puisi Chairil Anwar!
“Asti tau Mil! Gak usah nanya kondektur, asti tau kita gak tersesat!” Mila nampak sumringah, “Tau dari mana?” Mila penasaran. “Puisi Chairil Anwar!” sekarang Mila nampak bingung. Saya pun menjelaskan.
“Sekarang asti paham kenapa puisi Chairil Anwar dikasih judul Antara Karawang-Bekasi, soalnya…waktu itu Chairil Anwar ke Bekasi dari arah Bandung!” dan rutenya itu, Bandung-Karawang-Bekasi. Kalo dia dari arah Bekasi, pasti puisinya dikasih judul Antara Karawang-Bandung!” Jenius banget kan!
“HebaT…bener pisan Ti! Berarti kita gak salah naik Bis!” Mila kagum dan senang.
“Pastinya Mil…guru bahasa Indonesia kita pasti bangga, ternyata kita bisa mempraktekkan pelajarannya untuk menemukan arah tujuan kita Mil.”
“Untung yah Ti, kita belajar puisi. Mila yakin, emang dulu chairil anwar lewat sini!”
Kita pun kembali ke habitat awal, ceria, riang gembira serta penuh keakraban. Kita dapat pelajaran berharga, Kalau Malu Bertanya, Ingatlah Puisi Chairil Anwar.
Sekali lagi, makasih dan ngajarin kami bahasa Indonesia…tapi kenapa Rahman??!!
PS: Postingan ini juga buat Mila, Cepet sembuh yah Mil, tetep ikhtiar, Jangan kalah ma penyakitnya. Asti slalu do’ain Mila.
Senin, 03 Maret 2008
[+/-] |
Budapest |
Budapest Im Coming
Oleh IRFAN AMALEE
Setelah menunggu 10 jam akhirnya terbang juga ke Budapest. Di pinggir saya duduk 2 oran ibu-ibu centil, dari bahasanya kayaknya mereka orang hungaria.
Sejenis ibu-ibu arisan yang hobi ngerumpi. Sepanjang perjalanan negerumpi, sambil sesekali lihat saya, lalu saling berbicara, untung saya nggak ngerti. Mungkin kalau ngerti bisa sakit ati.
Di belakang saya duuk dua orang lelaki, saya sudah menduga bahwa mereka adalah peserta study seasonjuga. Baru pas di bis bandara Budapest kami saling menyapa. dan ternyata benar. Qaisar dari Pakistan dan Miled dari Palestine. Kami bertiga meluncur menggunakan airport minibus dengan ongkos 2100 hu menjuju Youth Centre Budapest tempat kami menginap.
Sepanjang jalan yang terlihat adalah jalanan sepi, bangunan tua klasik peninggalan romawi kuno. agak angker, yang terbayan bahwa di dalam bangunan itu pasti banyak drakula. Eh, tapi Drakula bukan di Hungaria ding, drakulla dari Rumania. Hampir sepanjang trotoar jalan penuh parkiran mobil mewah. Tapi nggak ada seorang pun manusia yang terlihat. Memang cuaca di Budapest dingin banget, dengan angin besar, membuat orang malas keluar.
Waktu di jakartam saya bilangke Habib Chirzin bahwa bahwa saya mau ke budapest. Dia langsung bilang, "The most wonderful city!" Dan bener! Indah banget. Bangunan tertata rapi di bukit-bukit. Kota dipenuhi bangunan tua yang terawat (nggak seprti di bandung, banyak yang terlantar). Saya baru ngerti mengapa kota ini sering jadi tuan rumah acara-acara perdamaian berskala Internasional.
Jam 9 malam acara dimulai dengan sessi perkenalan. I got many new friends! Ada yang dari Rumania, Hungaria, German, Brazilia, Nepal, Pakistan, Palestine, Moldova, Italia, Azerbaijan. Ada seorang utusan dari belanda, dari wajahnya sepertinya saya kenal, wajah khas orang melayu atau jawa, yup ternyata dia orang Indonesia berdarah surabaya dan jepara. Tapi lahir dan besar di Belanda. Bahasa Indonesianya sangat bagus. Namanya Aman. Dia punya saudara di Manglayang regency daerah perumahan di Cileunyi.
Panitia mengucapkan terimakasih pada saya secara khusus, karena saya adalah peserta yang datang dari tempat paling jauh: Indonesia.
Acara perkenalan ditutup, dilanjutkan dengan acara ramah tamah, disediakan makanan kecil dan minuman, dari minuman jus sampai minuman beralkohol (Tapi saya dan teman saya yang muslim dari Azebaijan dan pakistan hanya minum jus aja :)). Panitia memberi sebuah coklat kecil bertuliskan: Welcome to our study session, we hope that this week we will give you: new skills, knowledge, inspiration, and friends.
Budapest 3 Maret 2008
[+/-] |
Sosok |
Sosok Pemimpin Teladan
Oleh SUKRON ABDILAH
KETELADANAN pemimpin sangat erat kaitannya dengan pribadi yang baik, memiliki etika-moral, dan menempatkan kepentingan publik di atas segalanya. Tanpa itu bukanlah pemimpin namanya, melainkan penguasa congkak yang menganggap Negara sebagai milik sendiri. Itu terjadi akibat sebagian pemimpin tidak menempatkan kepentingan publik di atas segalanya.
Kepentingan kalangan bawah hanya dikremasi di atas kertas berbentuk rancangan, tidak diwujudkan jadi nyata di dunia nyata. Ketika ketidakpedulian birokrat seperti ini terus menggejala, apatisme rakyat terhadap pemimpin semakin mengakar-kuat. Maka kepercayaan atas pemimpin akan meredup sehingga demokratisasi ternoda kembali karena suara rakyat bukanlah suara Tuhan.
....
Lebih tepat suara pejabat adalah suara Tuhan! Vox vopuli vox dei juga pada posisi demikian hanya berbentuk sloganistik, pajangan konstitusional, dan buah bibir sesaat. Tidak dapat - meminjam bahasa Paulo Freire - mewujud dalam bentuk tindakan praksis membebaskan. Prinsip, sumber atau patokan (nilai) yang dapat memberi arah kepada manusia (bangsa) pun tercerabut dari akar budaya.
Tidak gandrung kekuasaan
Kita lihat saja, kursi panas kekuasaan dapat diduduki dengan menggunakan dana dari luar, hingga prinsip timbal balik pun terlihat dari kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Tidak prokerakyatan. Lebih tepat disebut kebijakan propejabat, propengusaha, dan prokantong pribadi dan kelompok dekat. Budaya penguasa lebih dekat pada cara berpikir dan bertindak bagaikan seorang pengusaha. Hanya logika ekonomi mengembalikan modal (keuntungan pribadi/kelompok) yang diprioritaskan. Sementara itu, kepentingan publik disimpan di kantong belakang. Bukan di saku baju depan (baca: diprioritaskan)!
Mari kita flash back sejenak. Banyak sekali kebijakan yang tidak menyentuh akar persoalan bangsa yakni soal kemiskinan yang sedang dihadapi negeri Indonesia . Aksi nekat warga Indonesia yang menjadi Askar Wathaniyah Negara Malaysia adalah bukti kongkrit bahwa Negara belum bisa memberikan jaminan ekonomi yang pasti kepada warga di daerah perbatasan. Ketidakjujuran bahwa dirinya mendapat sumbangan dana kampanye merupakan budaya penguasa yang tidak ingin merugi karena disinyalir akan menurunkan pamor pada pemilu.
Betapa keteladanan pemimpin di negeri ini berada pada ketidakmenentuan. Dalam konteks ini, maka kita memerlukan keteladanan seorang pemimpin. Maka, pabrikasi pemimpin adalah pekerjaan rumah bagi bangsa ini. Bisa tidak kita menciptakan institusi pendidikan informal yang menelurkan calon pemimpin yang tidak mangreh (menguasai) tetapi ngemong (melindungi) bagaikan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya?
Ya, bukan hanya pemimpin yang menggandrungi kekuasaan saja yang dipilih nanti. Tapi, yang bisa melindungi rakyat dari impitan persoalan hidup. Pemimpin yang patut menjadi teladan adalah yang mampu membebaskan warganya dari belitan kemiskinan, pengangguran, mahalnya harga pokok, dan bisa menyuarakan “jerit-tangis” hati rakyat atau warganya kepada pemerintah pusat.
Lebih baik bermimpi
Kita seolah terbangun dari tidur yang sedari tadi sedang merasakan mimpi menakutkan. Akan tetapi, persoalan yang melilit bangsa Indonesia bukanlah sebuah konstruksi mimpi yang derajat keabsahannya dibawah rata-rata. Dalam perspektif Sigmund Freud mimpi adalah proyeksi psikologis yang berasal dari pengalaman-pengalaman pahit yang sedari dulu dipendam di bawah alam tak sadar. Maka, sewaktu-waktu jika tak bermimpi, pengalaman pahit itu akan meledak dan memicu kekacauan hidup.
Ketika warga masyarakat Indonesia dihimpit harga kebutuhan pokok yang mahal, luberan lumpur Lapindo, merajalelanya pejabat yang tak jujur; aktivitas tidur mereka tentu saja tidak akan nyenyak. Sebab, mimpi mereka (malam tadi dan sebelumnya) sangat menakutkan - bukan jadi bunga tidur - melainkan berubah menjadi racun tidur. Setelah mereka terbangun di pagi hari, ternyata mendapati harga sembilan bahan pokok (kehidupan) membumbung tinggi. Ah, lebih baik (aku) berada di alam mimpi meskipun harus dikejar-kejar hantu yang menyeramkan. Daripada harus hidup dalam dunia riil yang menyengsarakan. Itulah bisikan hati publik Indonesia yang jarang kita empati bersama-sama.
Alih-alih berempati, malahan politikus kita seakan memusuhi falsafah hidup sepi ing pamrih. Berputar haluan mengarah pada falsafah hidup rame ing pamrih!. Mendagangkan suara rakyat untuk menggolkan pemimpin yang sadar terhadap kenyataan kongkrit permasalahan rakyat Indonesia hanya per lima tahun sekali.
Meminjam pemikiran Ignas Kleden (Kompas, 06/Juni/07), ia mengatakan: “Kalau demokrasi sebagai sistem politik, maka pemimpin yang demokratis adalah seseorang yang berasal dari rakyat (bukan dari kalangan bangsawan), diawasi oleh rakyat (bukan mengawasi dirinya sendiri), dan bekerja untuk rakyat (bukan untuk dirinya sendiri dan kelompok yang dekat dengan dirinya)”.
Bangsa ini memang membutuhkan keteladanan pemimpin yang rela sengsara terlebih dahulu sebelum rakyatnya sengsara. Atau kehadiran seorang manusia nge-indonesia yang bisa dijadikan pusat perhatian karena penuh keteladanan (exemplary center). Tidak harus dari kalangan “darah biru”, melainkan mampu tidak kinerjanya diawasi dan dipersembahkan untuk rakyat.
Tapi, adakah model pemimpin seperti itu di daerah ini? Mudah-mudahan eksis dan terus mengada agar dapat berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi warga tatar Sunda dan bangsa! Maka, pilihlah Cagub dan Cawagub pada Pilgub Jabar 2008 yang bisa dijadikan teladan oleh pemimpin-pemimpin di masa mendatang. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, pilihlah pemimpin yang ahli memimpin dan kalaulah yang dipilih itu tidak ahli, tunggulah kehancuran. Wallahua’lam
[+/-] |
Toleran |
Toleransi dan Perbedaan Pendapat
Oleh FAUZAN
Toleransi berati menghormati pendapat oran lain. Kenapa kita harus bertoleransi, karena kita pasti akan menemukan orang yang berbeda pendapat dengan kita.
Setiap orang dilahirkan berbeda, baik secara jasmani maupun rohani. Kalau dari segi fisik, maka kita akan menemukan bahwa setiap orang mempunyai ciri khasnya masing-masing. Baik dari segi wajah, badan, dan yang paling jelas adalah mungkin sidik jari kita. Dari segi rohani, maka kita akan selalu menemukan orang yang berbeda, baik dari pemikiran, ideologi, agama, dll.
Karena perbedaan adalah fitrah khususnya pada manusia, maka seharusnya toleransi adalah fitrah yang khas pula bagi manusia. Apalagi manusia diberi akal yang digunakan untuk mencari, menemukan, mempelajari, dan sekaligus menghormati orang lain. Tidak selayaknya kita manusia mencaci, mencela, dan merendahkan orang lain.
Jadi sebenarnya, manusia wajib memiliki rasa toleransi karena akalnya. Maka dapat diambil kesimpulan, bahwa seseorang yang tidak toleran, akan bisa mempunyai derajat orang yang tidak berakal atau gila, atau bahkan seperti hewan yang tidak berakal sama sekali, seperti anjing mungkin atau monyet, atau hewan lainnya.
Wassalam.
Nb :
Bisa jadi yang dicela lebih mulia, lebih tinggi derajatnya, lebih tinggi ilmunya, dan yang lebih penting lebih bermanfaat dari orang lain.
Bisa jadi si pencela lebih hina, lebih rendah derajatnya, lebih bodoh, dan yang lebih parah, tidak bermanfaat dan merugikan orang lain.
[+/-] |
KKN |
KKN
Oleh BADRU TAMAM MIFKA
$#%&^27 Februari :Mangkat rek KKN. Lain Korupsi, Kolusi, Nepotisme. Tapi Kuliah Kerja Nyata. Sabulan. Sapop0e ceramah di masjid meureun…
Mahasiswa=era euy, geus kolot karek KKN…Pajabat=era euy, geus kolot masih KKN. Ganti dong jangan KKN, Pak Rektor. Nanti pabaliut sama Korupsi dst…#^$%^&#&^&#$%^$#
Maenya saya kudu nyieun berita di media kampus dengan judul:
|Kegiatan KKN dipenuhi Praktek KKN”
%#$%^^@%# kolot repeh. Tapi kudu diwisuda taun ieu. Wisuda timana horeng….
[+/-] |
HOKI |
Pimred HOKI Bertandang Ke Sunan Gunung Djati
Oleh IBN GHIFARIE
Pasca Seminar di Universitas Kristen Maranatha (UKM), Bandung Jum’at (29/02) dengan tajuk bertema 'Eksplorasi Potensi Mahasiswa melalui Media'
Pimred HOKI, Wilson Lalengke sempat mengnjungi Sunan Gunung Djati Komunitas Blogger UIN SGD Bandung. Sekitar 7 orang (Dian, Ibnu, Hikmat, Didin, Oki, Wanddi, satu perempuan) berkumpul di Sekretariat ISR@C (Institute Religion and Cultur) Jl A. H Nasution No 34 Cibiru Bandung 40416.
Kendati hujan terus menguyur Kota Kembang pasca shalat jum’at itu, namun antusias warga Sunan Gunung Djati untuk bertemu sekaligus bincang-bincang dengan Pimred HOKI sangat kuat.
Pertemuan ini terkatit dengan keberadaan HOKI di Bandung, yang telah mengukuhkan Ibn Ghifarie, sebagai ‘Citizen Reporter of the Month February 2008’
Saat ditanya asal-muasal HOKI, ia menuturkan ‘Kurangnya media yang bisa memuat tulisan dari wartawan dan karyawan satu Harian Umum, diharapkan HOKI menjadi media alternative.’
Derasnya arus informasi dan memasarakatnya ‘Citizen Reporter’ dikalangan masyarakat ‘Tidak menutup kemungkinan warga biasa dapat mengirimkan tulisanya. Maka layanan yang kami hadirkan ruang ‘Daptar Jadi Penulis’.’
Semuanya bisa ditulis dan dikirimkan ke Redaksi HOKI. Tentu yang tidak berbau Sara, porno dan mengdiskriditkan kelompok yang lain, paparnya.
Dalam obrolan terakhirnya, Ia memberikan pesan ‘Beras harapan saya bila kawan-kawan yang hadir dalam pertemuan ini bisa terus mensosialisasikan dan menjadi penulis tetap di HOKI. [Ibn Ghifarie, Wandi]
Cag Rampes, Pokok Bumi Abdi, 29/02/08; 18.45 wib