Persib Nu Aing!
Diposting Oleh Pengelola
: “Neng, bogoh ka akang mah nyarios we tong isin-isin…”
: “Har, kunaon akang sok teu puguh-puguh hareeng. Bari na oge saha nu bogoh…”
: “Eta geuning nyandak karcis?”
: “Kang, ieu mah karcis nonton persib. Naon hubunganna jeung akang?”
: “Apan persib nu aing!”[Mifka]
Selasa, 05 Februari 2008
[+/-] |
Persib |
[+/-] |
Konflik |
Konflik: Perbedaan Distribusi Otoritas
Oleh Yusup Wibisono
Sang teoritis konflik modern Ralf Dahrendorf (1958), menyatakan munculnya konflik sosial sistematis di semua asosiasi disebabkan terjadi perbedaan pendistribusian otoritas. Arti kata, otoritas atau kekuasaan lah selama ini yang menjadikan penentu utama konflik individu atau kelompok yang belakangan ini marak diberbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Belajar dari proses perjalanan kepemimpinan Soeharto (rezim ORBA), banyak yang dapat dipetik untuk dijadikan proses pembelajaran yang berharga bagi warga-bangsa Indonesia. Paling menarik untuk direview adalah model distribusi otoritas yang dilakukan rezim ORBA, yaitu perpaduan yang tidak seimbang antara model fungsionalisme (keseimbangan) dengan konflik -- meski tidak disadarinya.
Dalam perspektif Dahrendorf, yang dilakukan rezim ORBA atau rezim siapapun merupakan perwujudan yang mesti terjadi. Sebab, dalihnya bahwa otoritas dalam setiap asosiasi selalu bersifat dikotomi, yaitu satu sisi kelompok yang memegang posisi otoritas (superordinat) dan kelompok yang dikendalikan (subordinat) di sisi lain. Dua kelompok ini dalam situasi apapun selalu berhadapan dan saling bertentangan untuk memperjuangkan "kepentingan" masing-masing. Kalau kelompok superordinat fungsi konflik -- meminjam istilah Lewis Coser -- kepentingannya untuk mempertahankan status quo, sedangkan kelompok subordinat kepentingannya perubahan.
Jadi kalau menurut teori konflik modern, siapapun dan apapun bentuk kepemimpinannya selalu dibanyang-bayangi oleh makna otoritas. Sebab setuju atau tidak, makna otoritas selalu melekat pada status/posisi yang merupakan dua entitas yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Maksudnya, mereka yang menduduki posisi otoritas secara otomatis mengendalikan bawahan dan memposisikan sebagai superordinat yang berkuasa atas subordinat.
Secara sosiologis, mereka yang berkuasa karena produk espektasi dari orang-orang yang di sekitar mereka, dan bukan karena karaktristik psikologis mereka sendiri, tetapi memang karena posisi lah yang menciptakan seseorang mempunyai otoritas penuh. Alhasil, karena otoritas adalah absah, maka berbagai punishment dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang. Hal ini berlaku bagi siapapun yang memposisikan sebagai pemegang otoritas atau kuasa, berikutnya hanya tergantung pada perbedaan kadar sanksi yang diberikan pada lawan posisinya.
[+/-] |
Toleran |
Pendidikan Toleransi, Dimulai dari Kitab Suci?
Oleh Alinur
Ketika dunia semakin mengglobal dengan ciri pluralismenya dalam berbagai bentuk, kemungkinan benturan antar etnik, budaya dan agama semakin terbuka lebar. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh komponen masyarakat untuk berusaha tetap menjaga keserasian dan perdamaian universal.
Salah satu kelompok yang diharapkan mampu berperan menjaga stabilitas itu adalah para pemuka agama.Darimana semestinya para agamawan memulai membangun paradigma perdamaian universal pada masyarakat global? Mungkinkah toleransi pada masyarakat dunia sekarang ini dimulai dari kitab suci masing-masing?
Tidak bisa disangkal lagi bahwa Kitab Suci adalah sumber utama kebenaran tiap-tiap agama. Sebagai standar kebenaran masing-masing agama, kitab suci sangat berperan penting dalam menentukan stabilitas dan identitas pemeluk agama. Sebagai starting point pendidikan agama, di satu sisi kitab suci mengajarkan identitas dan dasar-dasar etik bagi pemeluknya. Tapi disisi lain terkadang kitab suci juga mempromosikan sikap ekslusivisme dan perbedaan. Karena sempitnya cara berpikir dan sempitnya interpretasi terhadap kitab suci, terkadang masing-masing agama, secara tidak langsung, mengajarkan klaim kebenaran absolut atas kitab sucinya masing-masing. Selama klaim kebenaran masing-masing agama itu terus kental dita-ngan pemeluknya, jangan diharap bahwa pluralisme dan kedamaian abadi bisa tercipta di dunia global sekarang.
Ketika salah satu fungsi setiap kitab suci adalah menekankan pentingnya pendidikan moral dan etik, adalah penting untuk dicatat bahwa bagi pendidikan agama-agama di jaman modern nampaknya perlu mempertimbangkan dimasukkannya paradigma berpikir bahwa masing-masing agama di dunia ini juga mengajarkan kebenaran dengan jalan masing-masing yang mempunyai legitimasi kebenaran sendiri-sendiri.
Perbandingan Isi
Para tokoh agama, baik itu ulama, pendeta, biksu dan apapun sebutannya perlu terus berusaha mengembangkan pendidikan doktrin agama yang lebih terbuka dan tidak narrow-minded. Dalam memberikan pengajaran kitab suci, para tokoh agama dituntut untuk tidak alergi memberikan penjelasan bahwa selain kebenaran yang ada pada kitab suci yang diyakininya, ada juga kitab suci agama lain yang tentunya mengajarkan kebenaran dengan perspektif kitab suci masing-masing. Para agamawan harus berani memberikan stimulus bagi anak didiknya untuk jangan segan-segan membaca dan mempelajari kitab suci agama lain sebagai upaya studi banding.
Para agamawan bisa belajar dari metode pendidikan sekuler di negara-negara Barat ketika mereka mengajarkan paham nasionalisme. Mereka menekankan pentingnya pengajaran budaya negara lain dengan tujuan menghilangkan rasa saling curiga yang bisa menimbulkan paham nasionalisme sempit, dengan cara memberikan pengajaran sejarah peradaban dunia global, selain sejarah dan budaya lokal. Adalah menarik seandainya para agamawan mampu memasukkan pelajaran multiagama dan perbandingan isi kitab suci pada pendidikan agama masing-masing, karena di dunia modern-global, agama-agama tak kalah pentingnya seperti institusi-institusi sekuler, yaitu mempunyai tugas untuk memberikan pengertian kepada masyarakat akan pentingnya saling memahami dan menghormati orang lain yang berbeda komunitas dengan kepercayaan agama yang berbeda pula.
Ketika teks suci agama berfungsi sebagai teks utama dalam pendidikan agama, maka pendekatan penulisan buku-buku agama yang menekankan perbandingan kitab suci agama-agama perlu dibudayakan. Penting juga diusahakan bahwa dalam mempelajari kitab suci, masing-masing tokoh agama diharapkan mampu memberikan arahan perbandingan bahwa dalam kitab suci orang lain pun doktrin semacam itu ada, hanya saja dengan bahasa yang berbeda.
Ada yang Sama
Pemerintah pun bisa turut andil dengan cara menyediakan teks-teks kitab suci yang disusun dengan cara perbandingan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menyusun kitab suci dengan pendekatan tematis dan disusun dengan cara membandingkan dalam satu tema. Diharapkan anak didik secara tidak langsung belajar mengenal doktrin agamanya sendiri serta bisa memahami bahwa dalam agama orang lain pun ada doktrin yang sama. Permasalahannya adalah apakah setiap agama mempunyai tema yang sama, bagaimana cara membandingkannya, dan apakah hal itu tidak terlalu sensitif?
Meskipun kelihatannya sulit untuk dilakukan, paling tidak sosialisasi wacana perlunya perbandingan antar kitab suci bisa dijadikan rujukan bagi para tokoh agama di negeri ini, terutama mereka yang terlibat langsung dengan pendidikan agama. Agamawan bisa memulai dengan menginventarisasi tema sentral kitab suci agama-agama yang menekankan pentingnya perdamaian universal di dunia yang semakin mengglobal ini.
Dalam membandingkan tema-tema perdamaian dalam kitab suci, tentu saja penjelasan yang komprehensif diperlukan, sehingga anak didik tidak salah pengertian, dan murid bisa bersikap bijak dalam memahami kitab suci, sehingga klaim kitab sucinya saja yang paling benar bisa dihilangkan.Juga sikap atau pandangan bahwa isi kitab suci orang lain bersikap bias dan sudah terdistorsi bisa dihindarkan. Dengan demikian, kitab suci dicoba untuk didesain dalam setiap pengajaran agama sebagai jalan untuk mempromosikan kedamain dunia yang universal.[SH, 05/08/05]