Orientasi Baru Pemiiran Kalam
Oleh ADENG MUCHTAR GHAZALI
Aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, dan juga Syi’ah, tak dipungkiri sebagai aliran-aliran besar dalam sejarah pemikiran Kalam. Disebut sebagai “aliran-aliran besar”, paling tidak, saya dapat mengemukakan beberapa alasan akademis berikut :
Pertama, secara metodologis, keempat aliran tersebut telah meletakkan dasar-dasar ’metode keilmuan’ dalam memahami dan mempertahankan prinsip-prinsip dasar keyakinan Islam. Sekalipun metode-metode itu berasal dari ’metode berfikir’ filsafat Yunani, - dimana semua disiplin ilmu apa pun namanya tidak lepas dari kerangka berfikir filsafat ini – namun, keempat aliran tersebut telah berhasil merumuskan sebuah bangunan pemikiran keislaman yang sistimatis, obyektif, dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga menjadi sebuah pemikiran teologis yang khas;
Kedua, sebagai suatu aliran teologis, pemikiran keislaman keempat aliran tersebut mewarnai dan memberi pengaruh besar terhadap pola dan trend pemikiran umat Islam sampai sekarang;
Ketiga, berkaitan dengan alasan pertama dan kedua di atas, maka tidak heran keempat aliran tersebut menjadi obyek penelitian dan referensi para ilmuwan Islam maupun non-Islam di bidang pemikiran teologi Islam.
Keempat, karena alasan-alasan itulah, maka di beberapa perguruan tinggi Islam, keempat aliran tersebut dimasukkan dalam kurikulum/silabi Pemikiran Modern Dalam Islam maupun Ilmu Kalam itu sendiri.
Di luar alasan-alasan di atas, Arkoun (Lihat; Amin Abdullah, 1997) dan Fazlur Rahman (1993) mengemukakan alasan-alasan politis dan sosial kultural berkenaan dengan trend dan kemapanan pemikiran Kalam. Secara politis, menurut Arkoun, bahwa teologi Islam ortodoks selalu bernasib baik, sehubungan corak pemikirannya selalu dimanfaatkan oleh para penguasa sejak abad kedua belas Miladiah untuk menjaga stabilitas negara. Dalam hal ini, teologi Asy’ariyah jauh lebih diutamakan daripada usaha-usaha yang bersipat inovatif, reformatif, dan transformatif. Implikasinya adalah, masyarakat Muslim bersikap apatis dan menerima apa adanya tanpa ada usaha evaluasi kritik terhadap bentuk teologi yang sudah terlanjur mapan tersebut.
Secara sosial kultural, menurut Fazlur Rahman, dan alasan ini ada hubungannya dengan alasan politis di atas, bahwa adanya kemandegan kreatifitas berfikir umat Islam disebabkan mereka menghadapi dua dilema, yaitu di satu pihak mereka ingin merekonstruksi ajaran Islam sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi di pihak lain, mereka khawatir usahanya itu bertentangan dengan pandangan lama.
Untuk kepentingan pengembangan pola berfikir umat Islam supaya tidak terjadi kemandegan, umumnya, dan kepentingan Ilmu Kalam pada khususnya, maka alasan-alasan tersebut di atas harus menjadi daya pendorong kita untuk melakukan kritik ulang terhadap pemikiran kalam sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman, pemikiran, dan orientasi baru Ilmu Kalam. Sebab, tidak perlu ada perdebatan, bahwa memang kita perlu melestarikan tradisi keilmuan Islam yang telah terbangun secara kokoh sejak berabad-abad lalu serta memanfaatkannya untuk membendung aspek negatif dari gerak arus modernisasi dan globalisasi sekarang ini.
Tidaklah salah untuk mengkritisi dan membangun ulang pemikiran Kalam berdasarkan trend pemikiran kontemporer yang sedang berkembang sekarang ini. Pemikiran Kalam lama, tidaklah bersipat mutlak, ia merupakan ekspresi, spontanitas, dan dibentuk oleh suatu zaman yang berkembang pada saat itu. Kita telah diwarisi oleh metode-metode keilmuan Islam tradisional, tinggal bagaimana kita mengembangkannya sesuai dengan perkembangan pemikiran sekarang, sehingga, keilmuan Islam tradisional itu dipandang bukan hanya sebagai warisan tradisional khazanah intelektual Muslim semata, tetapi juga sebagai trend pemikiran (keilmuan) Muslim kontemporer yang akan diwarisi kepada generasi berikutnya.
Kepustakaan :
1. Adeng Muchtar Ghazali, Pemikiran Islam Kontemporer, Pustaka Setia, Bandung, 2005
2. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
3. Fazlur Rahman, Islam & Modernity : Transformation of an Intellectual Tradition, the University of Chicago Press, 1993
Rabu, 27 Februari 2008
[+/-] |
Orientasi |
[+/-] |
Ijtihad |
Ijtihad Politik PKS Menjadi Partai Terbuka
Oleh AHMAD ALI NUR
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) baru saja melaksanakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Bali dari tanggal 1-3 February, 2008. Mukernas dengan tema “Bangkit Negeriku! Harapan itu Masih Ada” merupakan salah satu kegiatan partai yang dianggap strategis untuk melebarkan jangkauan dakwah partai, apalagi menjelang Pemilu 2009.
Beberapa isu kontroversial yang bisa dipandang sebagai ijtihad politik muncul dalam penyelenggaraan mukernas kali ini. Isu dipilihnya Bali sebagai tempat mukernas, diusungnya ide menjadi partai terbuka dan isu Koalisi Merah Putih yang dilontarkan Hidayat Nurwahid, ketua MPR yang juga mantan presiden PKS, banyak mendapatkan sorotan berbagai kalangan terutama kader dan simpatisan partai itu sendiri.
Mengapa Bali?
Penunjukkan Bali sebagai tempat mukernas kali ini sempat menjadi perbincangan hangat pro dan kontra diantara para simpatisan PKS. Mereka yang kontra beralasan bahwa Bali kurang strategis dijadikan objek dakwah oleh partai berasas Islam ini, bukankah sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas penduduk Bali adalah non-Islam.
Melihat komposisi umat Islam Indonesia yang mayoritas dengan 87 persen, akan lebih strategis dan menguntungkan bagi PKS untuk menggarap objek dakwah yang mayoritas. Dengan kata lain menjadikan Bali sebagai sarana pengembangan dakwah partai dianggap tidak signifikan untuk meningkatkan jumlah simpatisan dan konstituen partai.
Bagi kalangan yang kontra ini, akan sangat strategis kalau mukernas dilaksanakan di daerah yang mayoritas Muslim tapi minim kader dan partisipan partai. Mereka juga beralasan bahwa jauhnya tempat pelaksanaan dari Jakarta akan mengeluarkan biaya tinggi bagi kader PKS untuk pergi ke Bali, apalagi pelaksanaan itu diselenggarakan di hotel Inna Grand Beach, Sanur yang bertarif paling murah 60 dolar Amerika permalam.
Bagi kelompok ini akan lebih bermanfaat kalau biaya itu digunakan untuk membantu para ‘dhuafa’. Sambil berseloroh, ada kader yang menunjuk daerah ‘Bantar Gebang’ Bekasi sebagai lebih bermanfaat jika dijadikan tempat mukernas daripada di Bali. Dakwah politik PKS akan lebih bermanfaat dan terasa signifikansinya jika mukernas dilaksanakan di daerah dengan mayoritas penduduknya Muslim dan banyak kaum dhuafanya.
Sengitnya kontroversi ini membuat kantor DPP PKS perlu untuk mengeluarkan ‘bayanat’ penjelasan resmi mengapa Bali dipilih sebagai tempat mukernas. Diawal penjelasannya, DPP PKS menyebutkan bahwa keputusan pemilihan tempat tersebut dibuat senafas dengan perkembangan pemikiran partai ke arah pemenangan pemilu 2009. Ini artinya strategi politik merupakan alasan utama mengapa Bali dipilih sebagai tempat mukernas kali ini.
Lebih jauh dijelaskan bahwa pemilihan Bali didasarkan pada kepentingan internal dan eksternal partai. Alasan internal antara lain untuk mengokohkan dakwah Islam dan posisi kader di daerah minoritas dan mengokohkan soliditas dan mobilitas PKS serta daya jangkau dakwah.
Sementara alasan eksternalnya adalah untuk menegaskan pengakuan PKS kepada pluralitas dan keanekaragaman agama, suku dan budaya bangsa serta penghargaan kepada minoritas dan komitmen PKS untuk memberikan keadilan bagi semua warga negara termasuk kalangan minoritas.
Nampaknya alasan eksternal merupakan alasan utama mengapa partai ini menyelenggarakan mukernasnya di Bali. Ini terbukti dengan didengungkannya secara signifikan bahwa PKS menuju partai yang terbuka bagi kalangan non-Muslim. Bukan rahasia lagi bahwa isu menjadikan PKS sebagai partai terbuka sudah lama menggelinding di kalangan internal partai. Apakah hilangnya gema takbir yang merupakan ciri khas PKS dan digantikannya dengan teriakan ‘merdeka’ disela-sela pembukaan acara mukernas juga merupakan salah satu strategi partai menuju partai terbuka?
Partai Terbuka dan Koalisi Merah Putih?
Strategi membangun citra PKS sebagai partai terbuka semakin jelas terlihat ketika Hidayat Nurwahid melontarkan wacana Koalisi Merah Putih. Hal ini diungkapkan Hidayat ketika mengunjungi Puri Satria di Denpasar.
Ungkapan mantan Presiden PKS ini tentu saja banyak menghentak warga dan simpatisan PKS. Apakah Hidayat sekedar basa-basi politik disela-sela kulonuwun menjelang dilaksanakan mukernas atau memang PKS serius akan menjajagi koalisi religious-nasionalis antara PKS dan PDIP? Bukankah Bali memang dari dulu dianggap sebagai salah satu basis penting konstituent PDIP?
Pernyataan Hidayat dengan serta merta juga membuat para simpatisan PKS bertanya-tanya tentang layakkah PKS bersinergi dengan PDIP? Banyak diantara kader partai yang mempertanyakan bahwa haruskah PKS meninggalkan idealismenya sendiri sebagai partai Islam demi tujuan pragmatis meraih target suara dua puluh persen pada pemilu 2009?
Bagi kalangan yang tidak setuju dengan ide menjadi partai terbuka dan mengusung koalisi merah putih, mereka beralasan bahwa PKS telah melanggar ‘khittah’ partai yang sejak awal pendiriannya merupakah partai dakwah berasaskan Islam. Jika berubah menjadi partai terbuka, berarti PKS tidak lagi mempertahankan ciri khasnya dan sama dengan partai-partai Islam yang lain.
Mereka mempertanyakan tentang bagaimana PKS mempertahankan sitem tarbiyah dan halaqohnya melalui kegiatan liqo dan muqoyyam misalkan yang selama ini dijadikan basis pengkaderan dan rekrutment anggota partai? Kalau tarbiyah yang sarat dengan nilai-nilai keislaman merupakan proses kegiatan partai untuk melatih integritas dan loyalitas partai, bagaimana hal ini bisa dilakukan jika kader parti yang non-Muslim semakin banyak? Bukankah ini berarti partai telah melakukan blunder dalam strategi politiknya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu muncul dikalangan simpatisan partai yang pesimis jika PKS menjadi partai terbuka. Mereka bahkan merasa khawatir dengan dideklarasikannnya PKS menjadi partai terbuka justru akan ditinggalkan oleh kader mayoritasnya yang berlatar belakang tarbiyah.
Pesimisme ini dibantah oleh para elit partai yang berpikir sebaliknya. Mereka berkeyakinan bahwa melihat dinamika politik kontemporer di tanah air, adalah mutlak bagi PKS untuk membuka diri bersipat inklusif dan pluralis jika ingin menambah konstituen partai. Bisa jadi kegagalan PKS pada beberapa Pilkada seperti pada pemilihan gubernur Banten dan Jakarta dimana PKS dikeroyok ramai-ramai karena partai Islam juga menjadi salah satu pertimbangan mengapa PKS mau menjadi partai terbuka.
Menjawab kekhawatiran kader partai bahwa PKS akan kehilangan ciri khas partai Islam, presiden PKS Tifatul Sembiring mengatakan bahwa PKS tetap berasas Islam dan menjunjung tinggi pluralisme. Syariah Islam tetap menjadi pedoman pribadi bagi para kader PKS.
Artinya PKS berusaha mengakomodir dua kepentingan sekaligus yaitu menjunjung tinggi idealisme partai yang berasaskan Islam bagi kehidupan pribadi kadernya, sambil sekaligus mengusung keterbukaan atau pluralisme sebagai salah satu strategi politik komunitas partai demi pemenangan pemilu. Pertanyaannya, mungkinkah dua kepentingan itu akan bisa berjalan beriringan terutama dimata para kader tarbiyah yang dikenal militant?
Ijtihad politik ini pada akhirnya bagaikan pedang bermata dua. Disatu sisi bisa dianggap sebagai blunder politik yang akan menurunkan suara PKS pada pemilu tahun depan dan semakin memperkuat asumsi para pengamat yang menganggap target 20 persen sebagai target yang terlalu muluk seperti dikatakan pengamat politik Qodari dari Indonesia Barometer.
Atau sebaliknya ijtihad politik ini justru akan meningkatkan citra partai dan menghilangkan stigma negative PKS sebagai partai inklusif yang pada akhirnya akan memunculkan optimisme baru bahwa partai ini akan semakin besar sebagaimana analisa Greg Fealy seorang Indonesianis handal dari Australia. Fealy mengatakan bahwa berdasarkan pada kesiapan partai, segi militansi kader, disiplin partai, serta citra PKS lebih baik dari partai islam lain, maka target 20 persen adalah hal yang wajar.
Kita tunggu apakah ijtihad politik para elit partai ini akan berdampak positif bagi semakin banyaknya penyokong partai ini atau justru sebaliknya menjadi blunder yang akan merugikan partai itu sendiri. Hasil pemilu tahun depanlah yang akan bisa menjawab pertanyaan ini. Wallahu a’lam.
[+/-] |
Belajar |
Belajar Arif memandang 'Terorisme Islam"
Oleh MOEFLICH HASBULLAH
Isu terorisme Islam masih hangat. Dunia masih terus membicarakannya dan hampir semua memandangnya dengan sinisme, kebencian dan kutukan. Dan hampir semua berbicara dipermukaan, hampir semua melupakan akar-akar masalah. Karena melupakan akar, hampir semua solusi tidak mendasar, tidak radikal, hanya kulit luar.
Sejak fenomena ledakan bom muncul mewarnai jagat politik Indonesia tahun-tahun belakangan ini, wacana tentang terorisme dan agama (Islam) di Indonesia didominasi oleh beberapa pandangan arus utama: Pertama, penghampiran normatif-evaluatif yaitu menyalahkan, mencerca, menilai sebagai tidak sesuai dengan ajaran Islam dan pelaku teror sebagai orang bodoh karena kurang wawasan. Kedua, penghampiran sosiologis yaitu disfungsionalisasi agama, pengatasnamaan agama untuk tujuan tertentu. Ketiga, melihat pelaku teror bom bunuh diri sebagai korban dari grand design sebuah narasi besar Amerika dan Yahudi. Sisanya, penghampiran emosional berupa kutukan dan sumpah serapah, pelaku teror sebagai orang-orang biadab dan tidak berperikemanusiaan. Tak terkecuali, pandangan di atas juga muncul dari kalangan elit umat Islam.
Beberapa saat setelah pemboman Bali, para tokoh Islam (ulama dan cendikiawan) menyaksikan tayangan rekaman VCD kelompok teroris Dr. Azahari, Noordin M. Top dan anak buahnya di kediaman Wapres Yusuf Kalla. Dalam rekaman VCD itu mereka menyatakan berani mati untuk berjuang menghadapi “musuh-musuh Islam” seperti Amerika, Yahudi, Inggris, Australia dan sebagainya. Mereka sangat menghayati bahwa permusuhan, pembunuhan dan ketidakadilan yang dilakukan negara-negara Barat terhadap umat Islam selama ini telah sangat menyakitkan hati, melukai dan merobek perasaan dan kemudian mendorong mereka untuk berani melawan dengan perang dan siap mati, dengan cara apapun. Para ulama dan cendikiawan Muslim memberikan komentarnya. Saat itu, mewakili komunitas besar Muhammadiyah dan cendikiawan Muslim, Syafii Maarif dengan meyakinkan memberikan stigma bahwa “mereka adalah kelompok yang berani mati tapi tidak berani hidup.” Din Syamsuddin mengatakan, “cara-cara mereka bertentangan dengan Islam,” “mereka tidak mewakili Islam,” dan seterusnya. Pandangan kedua tokoh ini adalah representasi dari dominasi wacana nasional tentang terorisme di Indonesia.
Terorisme Tidak Sederhana
Terorisme sesungguhnya bukan persoalan sederhana. Ia tidak akan hilang oleh stigma, klaim, kutukan, fatwa ulama dan komentar tokoh Islam. Persoalan terorisme sangat kompleks menyangkut konteks politik global (global political context), ketidakadilan tatanan dunia (unjust world order), ideologi, kerakusan kapitalisme (greedy capitalism), kolonialisme kebudayaan (cultural colonialism), penghayatan psikoagama dan politik, latar belakang pendidikan individu, sosialisasi nilai-nilai ketika seseorang tumbuh dan dibesarkan oleh keluarga dan lingkungan dan seterusnya. Mark Kauppi mantan analis lembaga intelijen Amerika DIA (Defense Intelligence Agency), seperti dijelaskan oleh Clive Williams dalam bukunya Terrorism Explained (1994), mengungkapkan tiga kunci motivasi kelompok teroris dalam melakukan aksi perlawanannya yaitu ideologi, psikologi dan lingkungan (environment). Ideologi menyangkut perlawanan ide, isme atau pemikiran. Dalam hal ini, perseteruan Islam dan Barat (Kristen/kapitalisme/westernisme/sekularisme) yang sudah berlangsung berabad-abad masih merupakan pertarungan ideologi yang jauh dari titik damai. Psikologi menyangkut penghayatan, sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai individu sejak kecil. Lingkungan menyangkut pengaruh-pengaruh luar-diri dalam membentuk mental perlawanan dan pemberontakan.
Persoalan motivasi juga dijelaskan Arnold Toynbee dalam teorinya challenge and respon. Terorisme adalah sebuah respon dari sebuah tantangan, sebuah reaksi dari sebuah aksi, sebuah akibat dari sebuah sebab. Tantangan, sebab dan aksi inilah yang menjadi akar-akar kemunculan terorisme. Seperti diyakini Imam Samudera “and his gang,” tantangan, sebab dan aksi itu adalah sikap dan kebijakan negara-negara Barat terhadap dunia Islam: perlakuan sewenang-wenang Amerika (Yahudi) terhadap bangsa-bangsa Muslim seperti Palestina, Afghanistan, Chechnya, Iran, Irak dan lainnya, politik double standar (demokrasi ganda) Amerika terhadap bangsa-bangsa Muslim, “politik membebek” berupa dukungan total Inggris dan Australia terhadap kebijakan luar negeri Amerika terhadap dunia Islam dan seterusnya. Inilah yang sangat dihayati oleh “teroris-teroris” Muslim sebagai dasar dan inspirasi tindakan-tindakan perlawanan mereka. Imam Samudera misalnya, dalam bukunya Melawan Terorisme, ia menceritakan selalu menangis (dan meledak rasa marahnya) setiap melihat korban-korban Muslim tak berdosa di Palestina hancur tubuhnya berserakan oleh ganasnya bom-bom pasukan Amerika, Inggris dan Australia. Umat Islam seluruh dunia kini marah oleh penghinaan dan pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW yang diilustrasikan dalam gambar kartun di sejumlah negara Barat yaitu Jylland-Posten Denmark yang kemudian diikuti oleh media lain yaitu Megazinet di Norwegia, France Soir di Prancis, juga di Jerman dan Selandia Baru.
Perspektif normatif yaitu klaim benar dan salah, sumpah serapah, kutukan bahkan fatwa selain perkara yang paling mudah diucapkan juga tidak memberikan sumbangan apapun terhadap pemahaman dan penyelesaian perkara marahnya umat dan terorisme. Apakah terhadap mereka yang marah dan melakukan demonstrasi besar-besaran karena merasa Nabinya yang mulia, agung dan suci, kita secara simplistis akan mengatakan “Muslim itu anarkhis”? “Umat Islam kurang dewasa?.” Memahami konteks kemunculan rasah marah umat Islam atau terorisme jauh lebih bermanfaat ketimbang melemparkan kutukan. Sesungguhnya, upaya menghilangkan terorisme mesti berangkat dari akar-akar historis, psikologis dan sosiologis kemunculannya yaitu menghilangkan imej-imej buruk terhadap Barat seperti saat ini hidup dalam hati dan fikiran orang-orang yang sangat marah terhadap sikap-sikap dan kebijakan-kebijakan negara-negara Barat terhadap dunia Islam. Barat sudah didefinisikan sebagai musuh. Selama imej “musuh” yang berfungsi sebagai akar persoalan terorisme ini masih ada, jangan harap terorisme akan hilang di muka bumi. Memang ini persoalan yang sangat rumit sebab kita tidak mungkin mengatur pikiran sebagian orang Islam yang berfikir dan menghayati persoalan seperti ini.
Belajar Rendah Hati
Menyikapi terorisme tidak cukup dengan memberikan komentar normatif dan dengan kemudian simplistis mengklaim mereka sebagai “tidak berani hidup” (padahal fakta sejatinya, berani hidup adalah lebih mudah daripada berani mati). Benar bahwa mereka telah membunuh banyak orang tak berdosa –yang mereka hayati tidak seberapa dibandingkan korban umat Islam yang dibunuh tentara dan senjata Amerika di berbagai negara Muslim— tapi siapa yang bisa benar-benar memastikan mereka salah dihadapan Tuhan? Bukankan konteks persoalannnya sangat rumit dan bukankah Tuhan yang Maha Obyektif dan paling tahu dari secuil ilmu pengetahuan kita? Biarlah Tuhan yang menjadi hakim sejati dan menentukan mereka salah atau benar dihadapan-Nya kelak. Apakah mereka yang berani meledakkan kepalanya, meluluhlantakkan tubuhnya, mencerai-beraikan kaki dan tangannya, demi membela keyakinannya yang bulat tidak berhak menyikapi agamanya sejauh yang mereka tahu dan bisa? Penghayatan psikologis yang rumit seseorang terhadap gejala sosial dan kehidupan yang diinternalisasinya sejak kecil dan kemudian menjadi sikapnya setelah dewasa, tidak sesederhana atau terlalu simplistis dibandingkan dengan ungkapkan kalimat: “mereka berani mati tapi tidak berani hidup,” “tidak sesuai dengan ajaran Islam” dst. Bagaimana jika Tuhan dipengadilan-Nya yang sejati dan Maha Adil kelak membalikkan pernyataan itu kepada kita yang menuduhkannya dan Tuhan berkata bahwa kita telah berlaku sombong dan angkuh dengan secuil pengetahuan dan kedudukan kita sebagai pemimpin umat?
Terorisme harus dibendung, dilawan dan dihentikan dengan berbagai cara karena telah merusak kehidupan dan kemanusiaan. Gerakan teror yang ada sekarang dari kelompok manapun harus dilumpuhkan untuk menciptakan ketenangan hidup dan perdamaian umat manusia. Para pemimpin bangsa harus memprioritaskan program itu. Tugas kaum cendikiawan adalah menyuguhkan pemahaman dari perspektif yang menyegarkan, yang membebaskan, memberikan pencerahan agar umat terdewasakan dengan memahami persoalan terorisme secara obyektif, konteks kemunculannya, jalan keluarnya dan sebagainya. Kaum cendikiawan mesti menyerukan kepada masyarakat agar terus belajar, menuntut ilmu, mengembangkan wawasan dan pengetahuan, mendewasakan sikap, bertanggungjawab terhadap apa yang kita putuskan dan berani menerima resiko terhadap apa yang dilakukan dan seterusnya.
Kita harus belajar rendah hati untuk menghindari pernyataan-pernyataan yang tidak perlu apalagi mengambil hak dan posisi Tuhan dalam mengklaim sesuatu. Mereka yang terbukti berani mati dan menyerahkan nyawa demi sesuatu yang diyakininya –yang kita sebut sebagai teroris– salah benarnya, sesat tidaknya, Islaminya tidaknya, biarlah itu menjadi urusan, hak, wewenang dan keputusan Tuhan sepenuhnya di pengadilan-Nya yang paling sejati kelak. Tugas kita, sekali lagi, adalah menemukan akar-akarnya dan memikirkan metode pemecahannya agar terorisme bisa dibendung, dihentikan dan tidak terjadi lagi demi mewujudkan sebuah kehidupan yang damai di bumi damai di hati. Wallahu a’lam bishawwab!![]
Minggu, 24 Februari 2008
[+/-] |
Hasil |
Pengurus Blogger UIN SGD Bandung
Oleh PENGELOLA
Berdasarkan hasil keputusan Kopdar (Kopi Darat) Blogger UIN SGD Bandung, Minggu (24/02) di Pelataran Gedung Rektorat memutuskan hal-hal sebagai berikut;
Kokolot Ahmad Gibson Albustamie
Pupuhu Ibn Ghifarie
Tukang Utak-Atik Fauzan
Tukang Bewara Sukron
Tukang Ngisian Amin
Adapun warga SUNANGUNUNGDJATI Yang hadir, diantaranya
1. Amikail
2. Fardi salah seorang pengelola LPIK
3. Jajang
4. Wanddi
[+/-] |
Kopdar |
Kopdar Blogger UIN SGD Bandung
Oleh FAUZAN
Akhirnya, jadi juga Kopdar antar blogger bagi mahasiswa dan alumni Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung. Kopdar yang diikuti oleh 8 peserta ini membahas tentang visi dan misi para blogger UIN SGD.
Pada dasarnya, para mahasiswa dan alumni UIN mempunyai potensi untuk menuliskan segala hal tentang kehidupan, khususnya ilmu-ilmu keislaman di dalam blog. Hal ini akan sangat bermanfaat karena pasti akan ada banyak sekali transfer ilmu-ilmu keislaman di sana. Saya sendiri berpendapat, bahwa mahasiswa UIN dari setiap generasi selalu mempunyai pemikiran-pemikiran yang sedikit nyeleneh dan ekstrim, yang bisa menjadi objek tulisan dan menarik untuk diikuti.
Para blogger UIN sangat berharap mempunyai wadah independen yang mengakomodasi passion mereka akan ilmu-ilmu keislaman, baik bersifat ilmu dasar, seperti fiqh, al-quran, hadis, bahasa Arab, dll, dan juga pemikiran-pemikiran keislaman yang berkembang di jaman sekarang.
Saya sendiri sangat antusias mengikuti giroh mereka dan saya berkesempatan hadir pada kopdar pertama ini. Setiap dialog berkembang dengan gaya dan cara yang khas UIN SGD. Dan saya sendiri sebagai alumni yang cukup lama meninggalkan Sastra Arab UIN (dulu masih bernama IAIN), masih mampu mengikuti alur pemikiran mereka, karena saya juga hampir mempunyai pemikiran seperti mereka.
Ibnu terpilih sebagai ketua, dan yang lainnya (lupa lagi nama2nya) juga menempati fungsinya masing-masing. Sebagai langkah pertama, kami akan membuat aggregator blog baru menggantikan aggregator yang lama. Ditambah beberapa fitur penting yang mereka inginkan. Nama domain-pun sempat terlontar dan cukup alot. Dan nama domainnya masih dirahasiakan, karena masih dalam proses aktivasi.
Seperti biasanya, saya kebagian menjadi admin. Nambah kerjaan lagi nih. Tapi gpp, semua demi UIN tercinta. Siapa tahu pak Rektor melihat hasil kerja saya pribadi sebagai admin, dan mengangkat saya menjadi admin di situs resminya UIN. Saya siap koq. ;)
Bravo Blogger UIN !
Foto Lainnya