Secercah Harapan Pesta Blogger 2008
oleh IBN GHIFARIE
Akhirnya datang juga? Kiranya ungkapan ini tak berlebihan bila meneropong kehadiran Pesta Blogger 2008 (PB08) yang tinggal menghitung waktu.
Setelah penantian panjang. Kini, panitia mengumumkan ihwal perencanaan puncak PB08 akan digelar di Jakarta. Pada tanggal 25 Oktober 2008 dan tempatnya menyusul.
Sepekan sebelum acara puncak akan diadakan Road Show dengan rute Dari Bali Ke Jakarta. Kali pertama, Road show akan diawali dari Bali, lalu bergerak ke Malang, Yogyakarta, Bandung, dan berakhir di Jakarta.
Di tiap kota, komunitas blogger setempat dipersilakan menggelar acara sendiri. Acara yang digelar sebaiknya masih dalam koridor Blogging for Society. Bentuknya diserahkan semampu komunitas lokal.
Di Bali, Bali Blogger Community (BBC) bisa membuat acara, contohnya, kunjungan ke RSJ. Di Yogyakarta, Cah Andong, mungkin mengadakan acara bagi buku ke anak sekolah dan seterusnya. Tentu saja semua komunitas blogger daerah boleh membuat aneka sekreatif mungkin.
Panitia di Jakarta akan menyediakan satu buah bus dari Bali. Bus itu akan diisi oleh perwakilan blogger setempat, wartawan, dan undangan lainnya. Bila ada blogger yang berminat ikut, tapi tak kebagian kursi, dipersilakan membawa kendaraan sendiri.
Bus itu akan berangkat ke Malang setelah acara di Bali selesai. Di Malang, komunitas blogger setempat diharapkan membentuk kepanitiaan sendiri dan mengadakan acara penyambutan blogger dari Bali. Selanjutnya, komunitas blogger Malang diharapkan membuat acara bersama.
Setelah acara selesai, rombongan meneruskan perjalanan ke Yogyakarta. Blogger yang berminat ikut dipersilakan ikut bus dari Bali, dengan catatan masih ada kursi kosong. Dan, yang tak kebagian kursi juga boleh membawa kendaraan sendiri atau menyewa bus. Begitu seterusnya hingga road show itu berakhir di Jakarta pada 25 Oktober 2008.
Bagaimana dengan blogger di kota yang tak dilewati bus, tapi ingin ikut acara? Panitia mempersilakan para blogger memilih bergabung di kota mana saja. Blogger Makassar, misalnya, dapat ikut acara di Bali atau Malang. Blogger Semarang atau Solo, silakan menjemput rombongan dan mengikuti acara yang diselenggarakan oleh Cah Andong. Blogger Cirebon, Tegal, Garut, silakan menghubungi komunitas Batagor.
Nah, secercah harapan PB08 pun telah dipelupuk mata. Ayo dukung bareng-bareng PB08. Cita-cita Blogging for Society juga akan segera terlaksana. Hore. [Ibn Ghifarie]
Cag Rampes, Pojok Komputer Ngaheng, 28/08/8.08.28 wib
Ayo Ngeblog, Ayo Ngoment Juga..!!
Rabu, 27 Agustus 2008
[+/-] |
PB08 |
Selasa, 26 Agustus 2008
[+/-] |
Cahaya |
Cerpen AMIN R ISKANDAR
Cahaya di Atas Cahaya
SABTU sore, langit masih cerah. Saya tertidur pulas di kost-an sempit. Bagaimana saya bisa tahu kalau langit cerah? Saya kan lagi tidur pulas sore itu. Saya tahu karena teman saya, di kamar sebelah, bilang begitu saat saya bangun. Kamar ukuran 4×6 m tidak terlalu kecil bagi perantau, saya pikir.
Masalahnya buku dan tumpukan koran menyebabkannya jadi sempit. Sampai-sampai terkadang saya harus tidur di atas tumpukan koran. Sorry, jangan sangka saya tukang rongsokan yang menampung kiloan koran. Kalau menganggap saya mahasiswa yang rajin baca buku dan koran, itu agak mendingan, karena akan terlihat sedikit rajin. Cielaaa…..
Tepat ketika gelap malam mengecup elegi langit saya terbangun dari pulas. Sial.. saya sama sekali tidak mimpi makan. Padahal, baru saja mencoba terapi tidur, untuk mengusir lapar. Maklum, dari pagi tidak sesendok nasi masuk ke perut ini. Kata orang, kalau lapar tidur saja, siapa tahu nasib mujur datang lewat mimpi, mimpi makan.
Tanpa mandi, cuma gosok gigi, cuci muka, basuh tangan hingga sikut, basahi kepala, dan bersihkan kaki hingga mata kaki yang sampai detik ini tidak bisa melihat. Lantas saya dirikan “hobi” menyembah Tuhan yang bersemayam dalam jiwa, lima kali dalam sehari (itu ritual formal loh…). Jujur, hobi saya tadi dilakukan sama sekali bukan untuk mengusir lapar. Tapi amanat ayah sebelum ia ber-sayonara dengan dunia dan keluarga. Ia bilang waktu itu, “Jangan kamu pernah lupa akan waktu dan harus hidup jujur.” Katanya, saya masih ingat.
Malam minggu, termangu sendiri; di kost-an, bosan, lapar, sepi, sendiri, tentu masih lapar. Saya coba memutar kepala. Ke mana kira-kira harus pergi; dari kost-an, mengusir bosan, mengusir lapar, mengubah duduk sendiri, tentu intinya saya harus cari makan. Mendiang ayah tidak mewariskan harta kecuali “waktu” dan “jujur”. Tidak menyuruh cari pacar, juga tidak melarang saya punya pacar lebih dari satu.
Lajimnya, malam Minggu apeli pacar, sebagai anak muda, mahasiswa lagi. Tapi… jangan bilang saya tidak punya pacar, jomblo!!!. Waktunya saja yang lagi tidak berpihak; Evi lagi mudik, liburan. Rumahnya jauh, di Cikelet, Garut Selatan lebih jauh lagi dari Pamengpek. Dari terminal Garut saja tiga jam perjalanan lagi. Nining ke Sukabumi, Yuni pulang ke Tasikmalaya, saya jadi sendiri di Bangdung. Huh… percuma punya tiga pacar kalau tidak bisa diapeli, saya mendesah dalam keluh. Tapi saya kembali jujur, saya tida rugi. Coz, ketiganya amat menyayangi saya selama ada di Bandung. Mereka lah yang sudi mencintai saya. Yang lain banyak nolak saat saya pinta jadi pacar.
Teringat pepatah orang bijak. “Jangan pikirkan ke mana Anda harus pergi, pergilah lebih dulu, kemudian Anda akan tahu tempat mana yang terbaik Anda kunjungi.” Saya bukan tipe orang gampang percaya. Setidaknya harus empiris. Meski tadi kata orang bijak, orang bijak juga manusia. Bahasa (pepatah) perlu pembuktian, bahasa bijak sekalipun. Saya mahasiswa, segala harus empiris. Karena kewajiban akademis. Dosen saya mengajarkan demikian.
Jaket lusuh dan berdebu saya ambil, dua bulan belum disapa air dan sabun. Lantas jaket dikenakan pada badan. Cukup untuk lindungi pori-pori dari tusukan angin malam yang dingin. Celana pendek tak apa lah saya memakainya, tidak ada orang yang larang. Pacar juga tidak. Mereka tidak akan melihat. Kalaupun melihat, mereka takan pernah mengira kalau ini adalah saya, pacar mereka. Pacar saya tidak pernah tahu kalau pacarnya ini suka pakai celana pendek.
Lantas mulai keluar kamar, pintunya tak pernah saya kunci. Peduli amat pencuri masuk dan ambil barang. Barang berharga yang biasa ditinggal hanya buku dan koran. Ponsel selalu saya bawa, ke kamar mandi sekalipun saya bawa. Selain itu tidak ada. Computer, tape, TV, sepatu, dan jam dinding saya anggap bukan barang berharga. Wajar, karena saya tidak pernah memiliki semuanya.
Benar-benar betul. Kaki tak pernah tahu ke mana harus ia pergi. Di sela sapaan angin malam, ia sigap melangkah. Sandal jepit jadi alas tak jadi bahan protes. Karet hitam melingkar di pergelangannya. Meski demikian kedua tangan saya teramat sangat menyayanginya. Tidak pernah rela membiarkan ia kering bak cangkul pembajak sawah. Setiap pagi kaki ini diberi elusan Hand Body oleh tangan. Supaya mulus, katanya. Tangan ini ikhlas sekalipun ia tak pernah dirawat kaki. Mestinya saya mulai belajar keikhlasan dari tangan saya sendiri, pikir saya sewaktu-waktu.
Tidak sampai satu jam, hanya lima menit perjalanan. Kaki telah mengantar tiba di Taman Kampus. Di sana sepi. Siapa yang akan ditemui? Saya sendiri tidak tahu. Siapa yang dapat mengusir sepi? Memberi makan? Mengubah sendiri? Saya lagi-lagi tidak tahu.
Tanpa mengingat pepatah orang bijak tadi. Saya duduk di atas tembok di dalam Taman Kampus. Menyandarkan punggung di salah satu dinding taman. Saya arahkan kepala ke langit tinggi. Bulan hadir dalam utuh. Kenapa orang bilang ini purnama? Tidak dengan nama lain asal bukan purnama. Ricau tanya saya di hati. Tidak dengan nama saya, misalnya. Atau dengan nama ayah saya. Siapa pula orang pertama yang melihatnya lantas ia menyebutnya purnama? Jawabannya saya tidak tahu.
Planet lain yang juga bercahaya berkelipan di dekitar bulan itu. Ranum laksana… entahlah ia laksana apa. Apa harus saya tanyakan pertanyaan tadi untuk planet ini? Kenapa orang bilang itu bintang? Siapa orang pertama yang melihat dan memberinya nama? Ah… lagi-lagi jawabannya saya tidak tahu. Yang saya tahu dan yakini hanya satu. Baik langit maupun apa yang bercahaya di bawahnya adalah sama halnya dengan saya. Semua semata-mata hasil maha karya dari kuasa yang Satu. Yang selalu saya sembah dan saya paksa untuk bersemayam dalam jiwa. Tak perduli apa nama benda itu. Tak perduli sebesar apa bentuknya. Tak perduli secerah apa cahayanya. Sama sekali saya tidak perduli.
Mata masih tidak lepas dari objeknya. Masih ke langit. Masih ke benda yang bercahaya penuh. Masih pada planet ranum dengan cahaya yang berkerlip. Masih memberi paksaan pada otak untuk terus berputar dan berpikir. Berpikir akan keagungan sang creator sempurna. Tentang pencipta maha karya. Pemberi wujud dalam nama yang berbeda. Pembentuk relip yang berbeda. Dan cahaya yang berbeda. Berpikir akan cahaya yang tidak dapat diterjemahkan mata buta ini. Cahaya di atas segala cahaya. Cahaya yang hingga malam yang perut ini masih lapar belum bisa saya bayangkan.
Cahaya di atas segala cahaya. Cahaya pencipta segala maha karya yang sempurna.
[+/-] |
Mengapa |
Mengapa Harus Beragama?
Oleh AHMAD SAHIDIN, S.Hum
I
DALAM kitab “thabaqot assufiah” karya Zunnun al-Misri (796-860 M) menceritakan bahwa dirinya sering diejek karena melakukan praktek-praktek agama yang dianggapnya tidak berguna. Suatu hari Zunnun bertemu dengan orang yang mengejeknya itu. Orang itu disuruhnya untuk menggadaikan cincin permata miliknya ke pasar dengan harga satu dinar.
Dan ternyata di pasar tidak ada seorang pun yang membelinya. Kemudian orang itu datang kembali kepada Zunnun seraya mencemoohnya. Saat diperlakukan seperti itu sang sufi malah tersenyum dan menyuruhnya pergi ke ahli permata untuk menaksir harganya. Sesampainya di tempat ahli permata, cincin Zunnun yang dibawa orang itu ditawar seribu dinar. Setelah kembali, sang sufi berkata kepadanya, “pengetahuanmu tentang agama sama dengan pengetahuan orang-orang di pasar itu”.
Itulah catatan yang saya kira ada hubungannya dengan kehidupan di masyarakat kita. Terutama mereka yang hidupnya berada dalam lingkungan yang kurang taat dalam beragama. Seringkali mendapat kecaman bahwa ibadah-ibadah yang kita lakukan adalah kesia-siaan. Ada beberapa alasan yang biasanya mereka lontarkan, di antaranya shalat dan puasa itu hanya memperlemah fisik sekaligus membuang-buang waktu saja. Ngapain mengosongkan perut dan shalat tiap lima waktu sekali kalau tidak mengenyangkan perut, membuat fisik lemah dan mengganggu aktivitas saja. Inilah yang biasanya mereka jadikan hujjah (pegangan) dalam menolak “identitas” yang melekat di KTP-nya.
Ya, bukankah monyet bila disodorkan dua pilihan, antara pisang dan emas 24 karat, pasti akan mengambil pisang. Benar, karena monyet tidak tahu nilai atau harga yang terkandung dibalik emas tersebut. Artinya, seseorang yang tidak punya pengetahuan (jahil) tentang nilai-nilai dan makna haqiqiyah maka akan menganggap agama sebagai penghambat kemajuan hidup. Al-Qur`an menyebut orang-orang yang bersikap demikian sebagai orang “buta” dan “tuli” (al-Baqarah [2]: 18). Mereka punya telinga tapi tidak mau mendengar, mempunyai mata tidak dipakai untuk membaca dan mengkaji sumber kebenaran, mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk merasakan dan menyadari adanya kebenaran.
Maka pantas bila Allah SWT memberi peringatan, “Barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat ia akan lebih buta dan lebih tersesat” (al-Isra’[17]: 72). Tepatnya bukan buta mata secara fisik melainkan buta mental dan spiritual dikarenakan telah terhalangi dengan kecintaan dunia dan tak sadar adanya akhirat. Faktor inilah yang saya anggap sebagai “berhala-berhala” yang menjadikan masyarakat terkena wabah sekuler dan agnotis (skeptis/ragu-ragu).
Biasanya, fenomena ini akan menjadi penyakit yang perlu diobati. Dengan cara apakah kita mengobatinya? Apa yang harus segera dilakukan jika melihat kondisi kehidupan masyarakat yang mulai cenderung sekuler dan agnotis, bahkan atheis?
Allah SWT dalam al-Quran berfirman, bebaskan budak dari perbudakan! (al-Balad:13). Saya mengartikan, ayat ini berkaitan dengan cara dalam memasarkan ajaran dan nilai-nilainya. Yang pertama adalah kita harus instrospeksi dan mengkritisi terhadap metode dan kemasan bahasa dakwah yang berkembang di tengah masyarakat kita. Kedua, memulai dari saat ini dan dari yang terkecil untuk merealisasikan dan membuktikan kepeduliannya terhadap kaum mustadhafin dengan memberikan berbagai bantuan dan kebutuhan-kebutuhan yang telah membuat mereka lupa atas identitas yang melekat di KTP-nya. Yang ketiga adalah mengajarkan ajaran-ajaran agama yang paling ringan, termudah dan tidak memberatkan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Ini solusi praktis bagi masyarakat biasa.
Namun bagi mereka yang kualitas keilmuannya di atas rata-rata masyarakat, mau tak mau harus berani melakukan dialog yang kontruktif. Bukan destruktif. Oleh karena itu, sangat penting sekali mengenali agama dan makna yang terkandung di dalamnya, termasuk apakah manusia memang membutuhkan agama? Pertanyaan ini yang saya kira penting dan mendesak untuk dijawab. Sebab dengan jawaban yang jelas dan logis, sehingga mereka bisa menerima dengan yakin bahwa agama yang dianutnya itu bermakna bagi dirinya.
II
ISTILAH agama merupakan terjemahan dari Ad-Din (dalam bahasa Arab). Ad-Dîn dalam Al Quran disebutkan sebanyak 92 kali. Secara bahasa, dîn diartikan sebagai balasan. Al Quran menyebutkan kata dîn dalam surat Al-Fatihah ayat 4, maliki yawmiddîn – “(Dialah) Pemilik (raja) hari pembalasan. Begitu juga pada sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, ad-dînu nashihah (Agama adalah ketaatan).
Sedangkan secara istilah, dîn diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, hukum, dan norma yang dapat mengantarkan seseorang menuju kebahagiaan manusia. Kebahagian dan keselamatan inilah yang kadang sering menjadi cita-cita yang dikejar tiap umat manusia di dunia. Siapa sih yang tak mau bahagia? Tentu sedikit sekali orang yang tak menginginkan hal tersebut. Namun kebanyakan sangat berharap dengan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Di dunia ini, Tuhan Yang Mahaesa telah memberikan jalan dan petunjuknya berupa agama yang dibawa para Nabi dan Rasul Allah. Juga ada, bila kita mau mengakuinya, agama yang didasarkan atas hasil proses berpikir dan perenungan yang mendalam, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran yang bisa mencerahkan masyarakat. Agama jenis ini biasanya dibawa para filsuf, mistikus, tokoh adat dan lainnya. Mereka mengembangkan dan menjalaninya disesuaikan konteks budaya lokal yang ditempatinya. Di Indonesia, dikenal beberapa aliran seperti Aliran Perjalanan (kepercayaan Sunda), Madrais (Agama Jawa Sunda), Agama Wetu Telu, dll. Betulkah kepercayaan-kepercayaan ini sebuah kebenaran yang dibenarkan atau diturunkan Ilahi?
Bagi saya, yang awam dalam persoalan ketuhanan, tak penting untuk dipertanyakan. Yang harus kita ungkap adalah, mengapa agama begitu penting bagi manusia? Atau butuhkah manusia dengan agama?
III
HUSEIN al-Qaff, Assatidz Hauzah Ilmiyah Al-Jawad Bandung, mengatakan bahwa manusia merupakan satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibandîng makhluk-makhluk lainnya. Sebab ia berasal dari unsur hewani (materi) dan unsur ruhani (immateri). Bila dilihat dari sisi hewani, manusia bisa dikategorikan binatang. Namun dari kekuatan fisiknya, manusia tak bisa melebihi binatang—karena punya kelebihan-kelebihan yang tak dimiliki manusia.
Namun bila menyimak al-Quran Surat An-Nisa ayat 28 dan Ar-Rum ayat 54, Allah SWT menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan lemah. Kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua. Karena itu, menurut Husein, sangat tak pantas bila manusia berbangga dengan penampilan fisiknya. Memang harus diakui kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (hati dan akal). Dengan akal, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di atasnya. Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bil-quwwah) yang perlu difaktualkan (bil-fi’li) dan ditampakkan. Karenanya, wajar bila ada manusia yang lebih utama dari sebagian lainnya—karena hasil usahanya sendiri. Bahkan ada pula manusia yang menampakkan potensinya itu hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya—bahkan lebih dari hewan (QS. Al-A’raf : 170 dan Al-Furqan : 42).
Selain akal dan hati, fitrah termasuk unsur ruhani. Fitrah ini merupakan modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Ayatullah Syahid Murtadha Muthahhari menyebutkan ada lima macam fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia, yaitu mencari kebenaran (haqiqat), condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (kreasi) dan cinta (isyq) serta kecendrungan untuk beragama.
Bila kita cermati, kecenderungan beragama ini merupakan fakta yang ada pada tiap diri manusia. Sadar atau tidak, manusia punya kecenderungan untuk menghubungkan dirinya dengan kekuatan yang Mahasempurna dan Mahasegalanya—sebagai bentuk ketidakberdayaannya.
Harus diakui bahwa tak mudah melihat apakah benar manusia punya kecenderungan beragama ini. Namun Al-Quran—mungkin juga agama-agama lainnya—mengakui bahwa manusia punya pilihan untuk beragama ataupun tidak. Ini tergantung manusianya. Apakah ia melakukan perenungan hingga mendapatkan pencerahan bahwa dirinya butuh agama? Atau sebaliknya, setelah perenungan itu meyakini bahwa ia tak membutuhkan agama? Namun harus diakui fitrah—beragama—itu ada dengan sendirinya. Hanya keberadaannya berbeda, ada yang kuat dan ada yang lemah—tergantung seberapa besar pengaruh-pengaruh yang menerpanya. Karena itu, manusia tidak harus dipaksa beragama.Tapi cukup untuk merenungkan hakikat dirinya dan keberadaan semesta ini—sehingga bila sadar ia dengan sendirinya mengakui dirinya tak berdaya dan membutuhkan Yang-Mahasegalanya.
Meski kecenderungan beragama ini bersifat pilihan, namun untuk menentukan yang pantas disembah yang menentukan akal. Jadi, mengapa manusia harus beragama? Jawabannya, beragama itu merupakan fitrah manusia—”Maka hadapkanlah wajahmu kepada dîn dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan” (QS. Ar-Rum : 30).
Karena agama itu sebuah pilihan, sebagian Umat Islam menjadikannya pegangan hidup (way of life) dan tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Islam agama yang luhur dari segi nilai-nilai dan secara praktek telah dibuktikan dalam sejarah, tatanan masyarakat yang dibangun Rasulullah SAW pada abad 7 Masehi sangat baik, aman, damai dan tercerahkan.
Wah, tentunya berat dan butuh proses panjang bila kita ingin merujuk dan meneladani sepak terjang Rasulullah SAW dalam menjalankan sekaligus menbentuk karakter beragama yang tercerahkan. Insya Alloh, kita akan sampai bila mau berupaya.