Penyakit Menular di Kampus
Oleh RIDHO EL-FARIZI
Kemarin (20/8), ane tanya sekretaris Himpunan Mahasiswa Jurusan ane.
“Pada kemana neh?”
“Nggak ada.”
Maksudnya ngga ada yang jaga. Ane sebagai warga jurusan yang baik menyempatkan diri ke stand expo jurusan ane. BSA –Bahasa dan Sastra Asing. Ia pun pergi. Ane duduk sendiri di stand tersebut. Ceritanya ikut jaga. Secara ane juga dapat jabatan berarti di Hima-J, sebagai Ketua Bidang Pengembangan Pers Mahasiswa. Lagi-lagi berhubungan dengan pers. Padahal ane kan bukan anak jurnalistik.
Ane duduk sendiri. Tiba-tiba datang seorang senior bernama Anay. Ia duduk di samping ane.
“Kamana wae?” — Kemana aja, tanya ane.
“Aya wae.” — Ada aja, jawabnya singkat.
“Wah, naha teu jaraga?” — Wah, kenapa nggak ada yang jaga.
“Duka, saya ge karek kadieu.” — Nggak tahu, saya juga baru kesini.
“Oh!” — Tak perlu terjemahan!
Nggak terlalu singkat cerita. Ia sedikit curhat kalau di kelasnya ada sedikit perpecahan. Perpecahan itu memang tak asing lagi bagi mahasiswa kampus ane. UIN — Universitas IAIN Negeri. Konon, politik disini begitu kuat. Sehingga rentan terjadi perpecahan antara mahasiswa karena perbedaan cara pandang ideologis organisasi masing-masing. Dan, itu yang ane tangkap dari Anay. Senior ane yang barusan curhat.
Ane cuma tersenyum. Tak terlalu kaget. Setidaknya itulah yang ane lihat dari kelas ane sendiri.
Dulu, orang-orangnya asyik. Kompak. Akrab. Pemikirannya juga masih polos-polos. Sebagian sih. Soalnya, ada yang masuk ke kelas ane dengan membawa beban umur yang berat alias muajdul — maksudnya muka jaman dulu. Tapi biasanya, alumni SMA seperti ane masih membawa jiwa SMA ke dalam kelas dan kampus. Tapi sebab organisasi yang mereka ikuti, ada saja perubahan dari diri mereka. Mengerikannya, perubahan itu dari tingkat wajar hingga tingkat ekstrem.
Kalau ane berpendapat bahwa organisasi itu mendewasakan (lihat tulisan ane sebelumnya), itu memang benar. Tapi tak lupa ane berargumen bahwa kadang banyak teman yang salah kaprah dengan makna organisasinya. Coba, kalau semua ikut Persma mungkin sepakat. Itulah fungsi Persma itu netral. Apalagi di kampus ane yang rentan kena penyakit politik. Atawa, paling tidak teman-teman ikut ekskul yang lebih menekankan pentingnya mengasah bakat. Seperti Persma, pembinaan bahasa, belajar dakwah, atawa olahraga. Ekskul yang ane sebut insyaallah tidak terlalu mendoktrin politik yang terlalu kuat atau bahkan nol. Tapi, bisa juga terjadi karena beberapa sebab yang rumit tuk dibicarakan.
Balik lagi ke teman di kelas ane. Di kampus ane ada tiga organisasi pergerakan mahasiswa yang besar kekuatannya. Ada PMII, ada HMI, ada KAMMI. Semuanya kegiatan ekstra kampus. Seperti jenisnya, organisasi pergerakan biasanya mengumpulkan massa yang banyak. Itu alasannya agar bisa bergerak. Masing-masing punya idealisme. Punya visi misi. Dan, landasan pemikiran yang sama-sama kuat. Organisasi tersebut bagus untuk mahasiswa. Bagus untuk calon pemimpin. Para penguasa. Karena di dalamnya belajar berpolitik secara kompleks. Bagus, pokoknya bagus. Makanya, insyaallah jebolannya pada pintar ngomong. Pintar diskusi, pintar “negoisasi”, juga pintar “berjuang”. Daya ciumnya kuat. Biasa mengendus dan mencium bau kotoran di antara jajaran pemimpin hebat.
Entah kenapa, di balik kehebatannya, ketiga organ tersebut seperti memiliki kepentingan masing-masing. Setiap ada pemilihan rektor, tersulut nama-nama tersebut sebagai salah satu pendukung, teranga-terangan atau tersembunyi. Bahkan di tingkat jurusan pun. Pemilihan ketua Hima-J saja, organ-organ tersebut berperan di belakang nama-nama calon. Padahal organ tersebut adalah organ ekstra kampus. Masing-masing organ mencalonkan sebuah nama. Dan, layaknya parpol, mereka mengumbar janji dan berebut gelar pemenang. Ada apa ini?
Hubungannya dengan kelas dan teman-teman ane? Ya, begitulah potret yang terjadi di kelas ane. Dulu, saat pemilihan ketua Hima-J, calon dari sebuah organ ekstra tersebut menang. Sayangnya, dalam perekrutan pengurus Hima-J, si ketua terpilih nampaknya nggak bisa berlaku adil. Kuota tuk jadi pengurus dari organ ekstra yang berbeda darinya sedikit. Seperti tak diberi kesempatan bagi mereka tuk “berkuasa”. Ditambah kesadaran dari mereka yang “tersisihkan” begitu minim. Tak ada yang mau hadir dalam raker — alias rapat kerja.
Halo? Ane nggak ngerti. Padahal kita kan mau berjuang untuk jurusan kita. BSA — Bahasa dan Sastra Asing. Tapi mengapa perbedaan itu menyulutkan nita tuk berjuang. Malah BSA-nya yang terbengkalai. Jaga stand saja malas. Tak usah tersinggung! Ane menyalahkan diri ane sendiri kok. Toh, ane kan juga pengurus. Tapi ane lebih mentingin jaga stand Persma dari jurusan. Tapi, untungnya ane kan berada di pihak netral. Secara, Pers itu independen. Dan, saatnya Independen Memimpin Kota Bandung, Loh?!?!
Sekali lagi. Ini klimaks ceritanya. Teman-teman ane di kelas juga terjangkit syndrom yang sama. Salah satu kubu dominan di kelas ane. Parahnya, militansinya begitu kuat. Serasa golongan mereka yang paling benar. Yang tersisih adalah yang bukan golongannya. Salah! Bukan itu yang tersisih. Yang tersisih hanyalah yang tak kuat. Biar ane berada di luar kubu-kubu tersebut. Tapi ane bukan orang yang merasa tersisih, toh masih banyak yang musti ane kerjakan di kantor Persma. Yaitu, menulis tentang penyakit yang menular dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yang hanya ada di kawasan isolasi UIN — Universitas IAIN Negeri.
Mereka bisa berkata, para pejabat itu haus kekuasaan. Padahal perilakunya dididik sejak dini, di benak para agen perubahan yang berteriak lantang, para pejabat itu haus kekuasaan.
Jumat, 28 November 2008
[+/-] |
Penyakit |
[+/-] |
Sunda |
Daerah Sunda dan Pendidikan Bahasa Sunda
Oleh DASAM SYAMSUDIN
BANDUNG sebagai Ibu Kota Jawa Barat mempunyai bahasa daerah yang bagus, yaitu bahasa Sunda. Ciri khas bahasa urang Sunda ini mempunyai undak-usuk—tingkatan penggunaan bahasa dengan keberagamannya—sebagai cerminan dari tatkrama berbahasa yang berindikasi pada tatakesopanan perilaku.
Disamping bahasa sunda cerminan orang sunda, bahasa ini pun tidak bisa dinafikan sebagai identitas urang sunda. Keberagaman bahasa adalah identitas bagi kelompok manusia yang mendiami daerah tertentu. Maka, bahasa sebagai identitas masyarakat sunda harus dijaga dan dilestarikan. Pasalnya, bahasa ini masih sangat kental bagi masyarakat pedesaan. Namun, bagi masyarakat perkotaan yang sudah banyak terpengaruh dengan pluralitas bahasa dan budaya, penggunaan bahasa sunda sebagai alat komunikasi mulai memudar. Bahkan. Tidak sedikit masyarakat sunda khususnya yang tinggal diperkotaan tidak bisa menggunakan bahasa sunda.
Misalnya, di daerah Bandung sendiri penggunaan masyarakat kota terhadap bahasa sunda mulai memudar. Hal ini bisa kita saksikan pada tempat-tempat hiburan, mal, pasar dan apa saja di pusat keramaian kota. Identitas kesundaan tidak terkesan begitu baik tatkala menyaksikan interaksi urang sunda menggunakan bahasa indonesia, misalnya. Sehingga, cerminan bahasa yang melahirkan sifat dan sikap orang sunda tidak begitu terkesan baik.
Jika hal ini di biarkan, bisa menggerogoti bahasa daerah orang sunda berpindah kebahasa nasional. Bahasa nasional memang sangat baik karena itu bahasa persatuan. Namun, jika urang sunda menggunakan bahasa tersebut di daerah sundanya sendiri hal ini tidak baik. Sejatinya, bahasa sunda sebagai identitas media komunikasi sunda cerminan sikap dan perilaku itu. Suatu saat akan berubah dan akan mempengaruhi ciri khas dari etnik sekolompok masyarakat yang tinggal daerah sunda.
Kelunturan lisan sunda akan mempengaruhi kelestarian sastra dan budaya sunda. Misalnya, kesenian Jaipong, beluk di Sumedang, wayang golek dan budaya-budaya sunda lainnya, kalah dengan musik yang kurang mempunyai nilai kearifan lokal. Sisindiran sebagai sastra urang sunda sudah jarang terdengar di daerah sunda. Hal ini disebabkan karena pengguna bahasa sunda sudah banyak yang kurang memaknai akan kearifannya karena lisan sunda kurang difahami.
Pendidikan bahasa sunda
Untuk mencegah hal itu agar tidak terjadi, maka bahasa sunda harus dilestarikan dikalangan masyarakat sunda. Cara ini bisa dilakukan secara efektif melalui jalur pendidikan. Setiap sekolah yang ada di daerah sunda, seyogianya memuat pelajar MULOK (muatan lokal) dengan bahasa sunda, baik negeri mapun swasta. Lebih baik lagi apabila pelajaran bahasa Sunda dijadikan sebagai pelajaran wajib bagi masyarakat sunda sebagaiamana bahasa Indonesia.
Pengukuhan bahasa sunda harus digarap dengan serius oleh lembaga pendidikan. Karena, sekolah atau lembaga pendidikan mempunyai peran khusus di masyarakat yang diakui eksistensinya. Sistem pengajarannya jangan hanya menyentuh sisi kognitif siswa saja, tapi dari segi psikomotor dan apektifnya harus bisa dijamin. Dengan demikian, para murid bisa mempraktikan pelajaran bahasa sunda tersebut kedalam kehidupan sehari-hari.
Pentingnya Pengukuhan pendidikan bahasa sunda karena tidak sedikit sekolmpok masyarakat yang meninggalkan bahasa sunda. Khususnya masyarakat perkotaan. Pendidikan ini harus ditanamkan sejak dini kepada anak-anak agar ia mencintai bahasa daerahnya dan memahami kearifannya.
Sekolah-sekolah yang ada di daerah sunda, sudah seharusnya menyajikan muatan lokal bahasa sunda. Apapun sekolahnya baik itu sekolah umum atau agama, bahkan dari tingkat SD sampai SMA harus memuat pelajaran ini, agar mereka berkomunikasi dengan bahasa sunda yang baik. Bahkan, pelatihan-pelatihan bahasa sunda harus sering diadakan pada lembaga pendidikan baik formal ataupun informal. Dengan demikian, masyarakat sunda akan berkomunikasi dengan keluarga, tetangga atau masyarakat lainya dengan bahasa daerahnya sendiri.
Fungsi bahasa sunda
Penggunaan bahasa sunda disamping sebagai alat komunikasi juga sebagai pelestari sastra, tradisi, budaya dan cerminan perilaku urang sunda. Jika masyarakatnya sudah mencintai bahasa daerahnya sendiri, maka apa-apa yang lahir darinya akan ia cintai dan dilestarikannya. Sastra sunda yang mulai luntur, kearifan budaya sunda yang mulai terlupakan akan terjaga.
Sastra-sastra sunda seperti pantun, sisindiran, tembang sunda, babad karajaan, jangjawokan, wawasanglan, dan sastra-sastra lainnya pasti akan menghiasi lisan dan tulisan masyarakat sunda. Jika pendidikan bahasa sunda secara efektit diterapkan. Semua sastra itu mengandung pesan kearifan disamping sebagai hiburan.
Dari segi budaya, bahasa lisan sunda akan mampu melestarikan kembali atau mempertahankannya kendati dideru pengaruh budaya-budaya lainnya seperti budaya barat. Misalnya, kesenian wayang golek, kuda ronggeng, singa depok, Jaipongan, mufusti perkakas kerajaan kuno sunda, tradisi adu domba di garut—pemicu peningkatan kualitas peternakan domba—dan lain sebagainya.
Di samping semua itu, bahasa sunda sebagaimana telah disinggung diatas adalah cerminan dari tatakesopanan urang sunda. Berawal dari pendidikan bahasa sunda yang penuh undak-usuk jika hal ini mampu diterapkan pada siswa maka kearifan moral masyarakat sunda akan tercipta. Norma berbahasa adalah indikator pertama dari sifat dan sikap seseorang. Oleh karena itu, pendidikan bahasa sunda merupakan kewajiban moral bagi masyarakat sunda baik secara lembaga atau indvidual.
Secara individual, pendidikan bahasa sunda bisa diterapkan pada anak-anak dengan lingkungan keluarga. Mendidik anak adalah kewajiban orang tua, dan bagi masyarakat sunda mendidik anaknya melatih berbahasa sunda adalah kewajiban moral agar melahirkan sikap normatif dalam lingkungannya. Tidak sepatutnya sepuh urang sunda mendidik anaknya dengan bahasa di luar daerahnya yang mengakibatkan seoarng putra sunda tidak bisa berdialog dengan bahasa daerahnya sendiri.
Dengan demikian, peningkatan pendidikan bahasa sunda harus ditanamkan pada generasi keluarga. Disamping orang tua menanmkan bahasa sunda, lembaga pendidikan yang ada didaerah sunda harus benar-benar menyajikan pelajaran bahasa sunda. Agar kelestarian bahasa sunda dan yang lahir darinya seperti sastra budaya dan tatakesopanan bisa terjaga
[+/-] |
Ruh |
Ruh Haji Transformatif
Oleh SUKRON ABDILAH
Menunaikan ibadah haji adalah cita-cita puncak umat Islam dan seolah satu-satunya jalan yang mesti ditempuh untuk memeroleh perhargaan. Hanya demi sebuah prestise, tanah Mekkah jadi alternatif pilihan meraih kelas tertinggi dalam sistem sosial umat Islam Nusantara. Tak heran jika ibadah ini ditunaikan tanpa paradigma transformatif karena nihil penghayatan terhadap nilai-nilai sosial yang terkandung dalam prosesi haji.
Sepulang dari Arab Saudi sikap dan perilaku juga masih banyak yang tidak mencerminkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia bergelar haji. Keadigungan menyandang gelar haji di depan namanya, ketidakpekaan terhadap realitas objektif masyarakat yang sedang terpuruk ranah ekonominya, bahkan gelar haji acap kali dijadikan tameng untuk melindungi diri dari pelbagai sanksi Negara dan sosial. Dalam bahasa lain, jika ingin selamat dari aneka persepsi negatif masyarakat dan ancaman konstitusional; bangsa kita banyak yang langsung pergi melaksanakan umroh atau haji.
Maka, jangan heran jika koruptor “kelas kakap” ada juga yang menyandang gelar haji di depan namanya. Ini mengindikasikan gejala ketidaktulusan hati menunaikan ibadah telah menghijabi ranah spiritualitas umat. Alih-alih memberikan sumbangsih berupa kemajuan bagi bangsa sepulang dari Mekkah, umat (Islam) yang bergelar haji malah tak berkutik hadapi keberbagaian persoalan yang melingkari bangsa.
Tulus-ikhlas
Ibadah haji seharusnya bernilai kritis-konstruktif, kritis-transformatif, dan kritis-emansipatoris agar kepulangan dan kehadiran jamaah haji di tanah air dapat memberikan pencerahan bagi bangsa. Untuk itu, ketulusan hati yang tanpa embel-embel dalih memeroleh perlindungan gelar haji yang tak abadi di depan nama dari umat Islam yang berangkat ke tanah suci, mesti tertanam di hati sanubari semenjak akan berangkat ke tanah suci.
Ahmad Syafii Ma’arif (2005) berpendapat bahwa ketulusan berarti kejujuran, kebersihan, dan keikhlasan. Ikhlas (dalam bahasa Arab) dapat diartikan dengan pengabdian yang tulus (sincere devotion), karena itu perkataan sincere mesti melukiskan manusia yang suci bersih, dipercaya, bebas dari tipuan dan kepura-puraan, jujur, tulen, murni, dan terus terang. Tanpa semua itu agama tak akan bermakna dihadapan Tuhan, bahkan tak dapat mentransformasi realitas “acak-acakan” yang menjalar di tubuh bangsa dan bisa-bisa menyesatkan umat manusia.
Ketika keikhlasan dipegang teguh oleh setiap jamaah haji yang dari tahun ke tahun menampakkan peningkatan kuantitas; sepulang dari Mekkah mereka tidak akan menciptakan kelas-kelas baru dalam stratafikasi sosial. Sebab, ada kecenderungan tatkala mereka selesai menunaikan ibadah haji punya keinginan dihargai masyarakat dan acap kali timbulkan suasana yang tak harmonis. Jika kondisinya demikian, kemunculan haji-haji yang gila gelar sosial, bahkan merupakan petanda bahwa sindrom feodalisme masih mengakar kuat di tubuh umat.
Mungkin pengorbanan jamaah haji ketika menempuh perjalanan panjang ke Arab Saudi bisa dijadikan warning up untuk memoles diri dengan gerak jasad (aktus) yang berdimensi kritis-transformatif. Tujuannya untuk mengubah kondisi bangsa dari berjibunnya ketidakharmonisan relasi sosial, misalnya, menuju arah keharmonisan hingga secercah perubahan dapat terakumulasi menjadi semangat membangun bersama-sama sebagai modal menggapai keadilan dan kesejahteraan. Itulah yang saya istilahkan dengan “ruh haji transformatif”.
Haji transformatif
Haji tempo dulu acap kali melakukan perubahan dalam pelbagai ranah kehidupan bangsa tanpa sekat-sekat pengamalan doktrinitas agamanya dengan cara radikal dan ekstrem. Haji sekarang lebih menitikberatkan pada memeroleh status sosial, namun nihil dari nilai-nilai transformatif.
Pakar tafsir negeri ini, M Quraish Shihab (2002) mengatakan bahwa praktik ritual ibadah haji pada hakikatnya merupakan penegasan kembali tentang keterikatan umat dengan prinsip-prinsip keyakinan tentang keesaan dan neraca keadilan Tuhan, serta tentang nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Berkaitan dengan penghayatan nilai-nilai kemanusiaan, ia menerangkan bahwa Surah Al-Baqarah ayat 199 turun untuk menegur orang-orang yang disebut dengan “al-hummas” yakni orang yang merasa memiliki keistimewaan sehingga enggan bersatu dengan jamaah haji lain tatkala mereka melakukan wukuf.
Ada satu hal menarik yang dapat kita teladani dari tokoh agama Islam Indonesia yang sepulang menunaikan ibadah haji mereka melakukan perombakan-perombakan dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, politik dan budaya. Sebut saja nama K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari yang berkontribusi besar bagi bangsa dengan mendirikan ormas sebesar Muhammadiyah dan NU yang sampai saat ini telah melahirkan intelektual di level lokal, nasional maupun internasional.
Bahkan uniknya lagi ketika mereka pulang dari Mekkah tidak memahami ajaran Islam dengan cara-cara radikal, ekstrem, dan menakutkan seperti stereotipe yang dilontarkan “Barat”. Hal ini terbukti telah dipraktikkan Haji Ahmad Dahlan dengan mendirikan Majlis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) ketika masa awal pendirian Muhammadiyah yang ditujukan untuk memberikan bantuan kepada fakir miskin tanpa melihat keyakinan religinya.
Bahkan ketika Haji Ahmad Dahlan mengajarkan kepada muridnya Surah 107, Al-Ma’un (Pertolongan) berkali-kali ia menekankan untuk tidak memahami saja, tapi sampai pada tahap mempraktikkannya. Dia juga menyerukan untuk merenungkan penderitaan tetangga miskin dan hendaknya membantu mereka (Alwi Shihab, 1998: 117). Dalam tradisi NU juga nilai-nilai transformatif kyai yang bergelar haji dapat disaksikan dari bertebarannya lembaga-lembaga pendidikan tradisional (pesantren) yang telah berkontribusi mencerdaskan kalangan bawah.
Uraian di atas mengindikasikan bahwa gelar haji haruslah disandang oleh orang-orang yang dapat membumikan ajaran-ajaran langit, karena agama itu turun ke dunia (bukan ke akhirat) untuk kepentingan umat manusia. Sudahkah kita bergelar haji transformatif? Seorang haji yang hidupnya tidak gila kelas!
Penulis, Bergiat pada Institute for Religion and Future Analysis (Irfani) Bandung, Alumni Universitas Islam Negeri SGD Bandung.