Layanan Blogger di Harian Umum Syndrom atau Trend?
Oleh IBN GHIFARIE
Kehadiran Blog menjadi media alternative dalam mengekspresikan apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dialami. Memang sangat menyenangkan.
Betapak tidak, belakangan ini di Harian Umum (HU) tengah menyediakan layanan blogger. Linhat saja, HU Detik,Tempo, Kompas, Suara Merdeka untuk kalangan media nasional dan Tribun Jabar dalam ruang lingkup Bandung.
Semula webblog hanya digandrungi oleh pengiat dan pemerhati blog yang tergabung dalam komunitas tertentu saja. Kini, media cetak pun ikut menumbuh kembangkan media online ini.
Namun, marakya kolom blogger di Koran membuat Fardi, salah seorang pengurus LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman) Bandung angkat bicara ‘Wah…jangan-jangan maraknya layanan blog di Koran itu merupakan trend semata.’
Ya orang-orang lagi gila dengan dunia ngeblog. Baru media cetak pun ikut-ikutan nampilin blog. Benerkan? Jelasnya.
Hal senada juga diamini oleh seorang aktivis mahasiswa yang enggan disebutkan namanya ‘Ya itu kan syndrom saja. Lagian komunitas blogger masih elit jika dibandingkan dengan kelompok gerakan petani yang sampai ke gress root’.
Apalagi dengan adanya layanan di Harian Umum. tambah elit saja, cetusnya.
Nah, bila anggapan yang melekat pada sebagian masyarakat terdapatnya ruang blog di HU hanya syndrome dan trend belaka, maka kira-kira menurut para blogger mania gimana? [Ibn Ghifarie]
Ayo Ngeblog, Ayo Ngement Juga!!
Cag Rampes, Pojok Sekere Kere, 15/02/08; 21.12 wib
Senin, 18 Februari 2008
[+/-] |
Ngeblog |
[+/-] |
Sekuler |
Sekulerisme; Agama Publik dan Demokrasi Dalam Wacana Rekonstruksi Religiusitas
Oleh SAEFUL ANWAR
Masyarakat modern sebenarnya sangat sekuler, bahkan orang mengingkarinya sekalipun tetap sekuker. Ironisnys setelah kita menggali tradisi mistikdari rus utama kebudayaan dan menyatakannya tidak relevan dengan zaman ini, kita semua merasa hampa tnpa kehadiranhal-hal mstik David Myburi-Lewis, Millenium
teriakanlah kebenaran, asal kau katakana dengan nada miring
(Emile Dickinson)
Agama, Apakah Itu?
Sebagai latar belakang untuk mencoba membahas judul diatas, dalam kesempatan ini penulis mengutip dari H.M Rasyidi yang mengatakan bahwa kita perlu memikirkan tentang agama . Agama dalam bahasa Sangsakerta dapat diartikan sebagai berikut; a diartikan tidak, sedangkan gama dapat diartikan kacau. Dengan kata lain dengan adanya agama diharapkan tidak ada kekacauan didunia ini. Setidaknya satu perkataan yang sering dikatakan keliru, yaitu perkatan agama diharapkan tidak ada kekacauan didunia ini. Seorang ahli agama yang bernama William Temple , pernah berkata “…agama adalah menuntu tpengetahuan untuk beribadat”. Dan lebih lanjut ia mengatakan pokok dari agama bukan pengetahuan tentang Tuhan tapi perhubungan antara seorang manusia dengan Tuhan. Istilah agama ternyata sebuah kata yang terbentuk pada periode pertengahan dan modern, pertama, ketika gereja keristen memaksakan wewenangnya untuk membedakan anara paktik Keristenisasi sebagai agama “sejati” dengan paganisme (penyembahan berhala) sebagai agama “palsu”. Kedua, ketika para pemikir, ilmuan, dan ahli Filsafat politik modern awal hendak membedakan antara hal religiusdari hal yang sekuler
Pada permulaannya agama sebenarnya bertujuan menjadi suatu instrument untuk perdamaian dunia. Ia menjadi symbol yang selalu diimpikam semua orang, ia menjadi tumpuan akhir dari berbagai kekacauan dan kerusakan dalam dunia. Namun ketika agama jatuh pada tataran eksoteris (ekspersi manusia) ia (agama) seakan menjadi monster yang amat menakutkan. Persoalannya terletak pada tingkat mengapresiasikan nilai ketuhanan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang telah memiliki sekat-sekat ideologis cultural dan kepentingan politik yang berbeda beda sehingga sering terjadi benturan antara masing-masing komunitas social yang merasa mereka adalah pewaris kebenaran dari Tuhan, sehingga mereka mengklaim bahwa diluar dari golongan mereka adalah kafir. Fenomena seperti itu dapat kita rasakan pada peradaban sekarang ini dimana kelompok atau personal yang melakukan ritual yang berbeda dengan golongan lain dianggap sesat dan kafir, dan menurut sebagian orang halal untuk dibunuh seperti dalam kasusus pemboman di Bali yang mengatasnamakan agama Islam dan seakan akan pembenaran dari tindakannya yang dilkukan seakan-akan adalah kepentingan Tuhan . Pada dasarnya apayang dilakukan adalah hal yang bodoh kerena islam tidak mengajarkan kekerasan.
Paradigma keber-Agamaan seperti itu patut dikatakan keliru karena agama diturunkan dari Tuhan untuk kepentingan manusia, bukan dari Tuhan untuk kepentingan Tuhan, dan bukan pula dari manusia untuk Tuhan. Melainkn dalam hal ini Tuhan berposisi sebagai sumber spirit moral. Dari Nya manusia berasal, kepadanya pula manusia akan kembali untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya selama hidup didunia. Agama pada dasarnya bersifat kemanusiaan tetapi bukan berarti kemanusiaan yang berdiri sendiri melainkan kemanusiaan yang memancarkan dari wujud Tuhan. oleh sebab itu, sebagaimana nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan maka nilai keagamaan mustahil menentang nilai kemanusiaan.
Pada intinya agama yang benar secara universal sesungguhnya ia hadir atau diturunkan adalah untuk memperjuangkan emansipasi harkat manusia. Bukan menghancurkan atau menghilangkan existence manusia. Ketika pesan universal agama itu turun keruang budaya, ia akan mengalami proses partikularistik yang plural.realitas ini kemudian sangat membutuhkan penyikapan yang arif; diantaranya, pertama menghargai keragaman yang partikularistik-pluralistik sebagai keniscayaan dalam kehidupan. Kedua, pesan universalistic agama yang mesti memilii hubungsn benang merah dengan realitas historis yang partikularistik orisinalitasnya, maka praktek agama pada tingkat historisnya akan kehilangan makna dan fungsinya bagi kemanusiaan, bahkan akan terjadi manipulasi agama, yaitu agama dipraktekan hanya secara simbolik-formalistik.
Identitas Agama Kekinian
Sepintas thesis yang dilontarkan Samuel P. Hutinhton tampak benar, karena dalam tataran realitasnya, agama dijadikan tameng dalam berbagai peperangan dan konflik dalam suatu komunitas masyarakat. Karena merasa agamanyalah yang paling benar dan diluar sari kelompoknya dianggap sesat bahkan mengaggap kafir, meskipun satu keyakinan secara subtansi yang sama, tak jarang pemahaman fanatic buta (ta’asub) ini menjadi awal konflik atas nama agama. Seperti peperangan yang terjadi di Andalusia (Spanyol) yang lebih dikenal dengan perang salib (antara Kristen dengan Islam), juga yang terjadi di Timur Tengah (antara Yahudi dengan Islam). Bahkan yang lebih mencengangkan lagi tentang peperangan antar kelompok yang satu agama, seperti penyerangan masyarakat Islam terhadap Jemaat Ahmadiyah di Bogor, juga konflik yang berkepanjangan di Poso, penutupan dan pembakaran gereja-gereja, pengharaman terhadap kelompok yang berhaluan Pluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme yang diprakarsai oleh MUI, juga aliran-aliran yang lainnya, yang mengatasnamakan kebenaran dan tindakannya dilegalkan oleh agama.
Agama dalam konteks kekinian telah beralih fungsi, dari fungsi kedamaian universal kearah kedamaian lokalitas-sekterian, menjadi bukti bahwa agamapun turut menyumbangkan dalam segenap pemicu kekacauan. Namun kita tentunya tidak biasa menyalahkan agama, sebagai pemicu konflik, karena konflik yang terjadi pada dasarnya terjadi atas pemahaman person terhadap agama itu sendiri. Agama dipahami secara sempit dan cendrung letterlijk sehingga melahirkan pemahaman yang sempitpula, agama sering dipahami sebagai untouchable yang melahirkan fundamentalis religi.
Tak heran kemudian banyak muncul kecaman terhadap existensi agama-agama dalam paruh abad ini. Seperti yang dikatakan Wilson dengan rasa pesimisnya ia mengungkapkandilema agama-agama, bahwasanya;
Didalam Al-kitab (Bible) disebutkan bahwa uang merupakan sumber segala kejahatan. Atau lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa cinta Tuhan merupakan sumber segala kejahatan. Agama merupakan tragedy umat manusia. Agama mengajak kepada hal-hal yang sangat luhur, sangat murni dan sangat tinggi dalam jiwa manusia, akan tetapi hamier tidak ada satu agamapun yang tidak ikut memberikan andil dan pemicu atas berbagai peperangan, tirani dan penindasan atas kebenaran. Marx pernah menggambarkanagama sebagai candu masyarakat, bahkan agama lebih berbahaya dari candu agama tidak membuat orang tertidur, agam mendorong orang untuk menganoaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas peasaan dan pendapat orang lain, dalam rangka mengklaim kebenaran sebagai milik mereka sendiri. Atas perasaan dan pendapat orang lain, dalam rangka mengklaim kebenaran sebagai milik mereka sendiri.
Pada konteks ini tejadi klaim kebenaran (truth claim) secara eksklusif, dimana kelompok yang memiliki keabsahan karakteristik beragama seperti ini, keabsahan teologinya ada pada nya, dan keselamatan (salvation claim) hanya ada dan menjadi milik mereka pula. Memperhatikan tanggapan pesimisme Wilson terhadap keberagamaan seperti itu sesungguhnya merupakan kritik keras dan peringatan terhadap peranan semua agama. Bahwasanya dalam setiap agama pasti ada penganut yang memiliki potensi negatif dan destruktif yang membahayakan, yang mengancam pada tingkat kekacauan (chaos). Sungguh sangat ironis ketika agama sudah hilang semangat kemanusiaannya dalam suatu peradaban maka ia akan tampil sebagai instrumen yang dapat menhancurkan peradaban maka sudah pasti ia akan tampil sebagai instrumen yang menghancurkan manusia dan peradabannya.
Ketika agama saling berperang dan dengan mengatasnamakan Tuhannya, yang dianggap sebagai perang suci dan dengan anggapan dia mati dalam syahid dan akan masuk surga. Keyakinan ini muncul karena adanya truth and salvation claim dari masing-masing agama. Secara awam masing-masing kelompok agama yan konflik diatas panggilan iman untuk membela kebenaran, seakan menjadi benturan “antara kebenaran dengan kebenaran” padahal secara subtansial jika perang antar penganut agama-agama dipikirkan secara arif dan rasional perang itu adalah “perang menodai kesucian agama”. Dengan kata lain dapat disebut sebagai kepalsuan melawan kepalsuan atau kezalimaan melawan kezaliman. Karena agama kehilangan fungsi dan berubah peran yaitu hak kemanusiaan yang harus dijunjung dan diemansifasikan-selaku cita illahiyang tertinggi, oleh karena itu peran profetis itu berubah menjadi peran anarkis dan dehumanisasi.kita mendapatkan orisinalitas dan pesan universal agama dinodai dan dimanipilasikan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tak pelak lagi kemudian kehidupan keberagamaan disatu sisi memberikan harapan dan peganggan hidup bagi orang yang memeluknya, namun disisi lain kehidupan keberagamaan pulalah yang yang menjadi sumber konflik dan malapetaka baik itu untuk manusia maupun alam semesta.
Agama dan Konflik Sosial di Indonesia
Konflik yang terjadi atas nama agama rupanya tidak hanya terjadi di dunia barat maupun Timur, namun kini telah merambah ke dalam negeri Tanah air Indonesia. Kalaulah kita mencermati perkembangan dan dialektika hubungan antar agama di Indonesia, seakan kita sampai pada eksterm bahwa agama tidak mampu melahirkan masyarakat yang harmonis, apalagi kreatif, dan tidak bisa menyentuh pada sisi esensinya sebagai agama yang membawa kebaikan (fitrah). Hal ini dapat ddibuktikan dengan semakin meluasnya konflik-konflik antar intern dan ekstern agama dalam masyarakat, seperti yang terjadi dewasa ini, manusia dengan mudahnya mengahus, memprovokasi bahkan dengan tanpa berdosanya menghilangkan nyawa orang lain, dengan dalih mengatasnaakan agama. Berbagai usaha dan terapi telah diujicbakan namun hasilnya belum memuaskan,kalau kita hendak mengembalikan manusia kepada fitrahnya yang abadi (perennial), karena itu seruan untuk menerima agama yang benar harus dikaitkan dengan fitrah manusia sebagai makhluk social yag tidak bisa lepas dari saling ketergantungan dengan individu maupun kelompok lain.sebagaimana kitab suci telah menulisnya dalam ayat;
“Maka hadapkanlah wajahmu untuk agama ini sesuai dengan kecenderungan alami menurut fitrah Allah yang dia telah ciptakan manusia diatasnya. Itulah agama yang tegak lurus, namun sebagian manusia tidak mengetahui”
Wajah agama pada akhirnya bergerak menurun tajam dari “perekat bangsa” (obligation in supra solidum) kearah pemecah bangsa (obiligo in contravention solidium). Kegamaan pada awal kemerdekaan mejadi sentrum (lembaga) berubah menjadi disentrum (pisau). Agama yang berupa kumpulan doktrin yang mendamaikan berubah menjadi ajakan kekerasan. Agama yang berupa kumpulan teks yang membebaskan yang metafosis menjadi gumpalan yang rigid. Agama terbukti menjadi salah satu pemicu yang dipakai dalam garakan-gerakan yang mengatasnamakan kebenaran yang berlindung didalam agama, juga yang mengkalim gerakan-gerakan separatisme-disintegrasi bangsa.
Ada beberapa model dan alasan mengapa agama terkesan gagal daram mengatasi (mengurangi) konflik sehingga terus menerus meluas. Pertama, agama di Indonesia sering menampilkan dirinya sebagai sosok “penguasa yang sakti” yang tak terbatas. Kedua, dalam derajat tertentu, agama menunggangi konflik-konflik laten dalam mayarakat. Konflik yang awalnya yang merupaan konflik personal, antar warga, antar suku, antar daerah,dan antar golongan, da meledak sesekali karena disusupi oleh agama. Ketiga, diberbagai lapisan masyayakat agama menjadi opium padt yang menghilangka rasionalitas, karena ia merupakan sesuatu yang efektif untuk menumbangkan rezim tertentu.
Ada empat varian dalam agama, yaitu siste keyakinan, organisai, identitas kelompok, dan pengaturan kemasyarakatan. Pada varian system keyakinan yang berlandaskan pada skiptural dan subtansial-agama di Indomesia menampilkan dirinya sebagai penguasa tunggal yang skipturis. Pada varian organisasi keagamaan yang terbagi menjadi odel organic (berepistemologi kearifan aktif) dan model cultural (berepistemologi pasif) agama di Indonesia “dalam derajat tertentu bermatamorfosis dan besimbiosis dengan konflik-konflik laten antar masyarakat”.
Pada varian pengaturan kemasyarakatan yang tediri dari theocracy (masyarakat yang religius), seculer( masyarakat yang duniawi), dan seculer theistic (masyarakat pancasila, agama di Indonesia dalam waktu-waktu ttertentu berwajah dan berkekuatan “antibiotic” bagai panacea atas problem modernitas yang tak ramah. Dengan berbagai fenomena yang muncul kepermukaan sebagaimana yang dipaparkan diatas, yang dapat digarisbawahi bahwa agama di Indonesis hidup seperti dalan ungkapan “post coitum omneanimal tristist est (setelah suatu momen yang baik dan menegangkan, kita sering kehilangan sesuatu yang lebih besar), oleh karena itu mengembalikan peran properties agama-agama adalah suatu kemestian, dimana dalam suatu agamayng benar, ia harus belajar pentingnya menghargai harmoni kemanusiaan universal dan kosmos seagai tujuan penciptaan kehidupan.
Civil Religion dan Rekontruksi Sosial-Religi
Maka, karena itu langkah yang aternatif dari fenomena konflik atas nama wilayah agama adalah dengan mengedepankan kosep civil religion , ditinjau dari segi ennografis tidak ada satu kelompok manusiapun diseluruh duniayang tidak mempunyai kepercayaan. Agama menjadi lembaga, norma bahkan menjadi legenda tertua dalam sejarahdunia yang melibatkan dari jauh kedalam persoalan masyarakat.
Pada sejarah berikutnya agama berhasil membawa perubahan social. Ia mengajarkan transformasi loyalitas sektoral menuju transpormasi identitas individual yang berakhir pada transformasi nilai, dari obligation in solidum kearah obligatiain supra slidum (dari gotong royong segmentis kearah gotong royong segmentisyang diikat oleh nlai-nilai).dengan beragana ,seseorang membangun ketulusan kerja seagama, kemudian seiman dan trans-iman. Agama kenudian bertugas melakukan penyadaran secara menyeluruh (coscienzitation) terhadap proses dan pelestarian menjadi diri manusia merdeka.
Agama yang mampu berbuat seperti logika adaah agama sivil (civil religion). Sebuah agama yang menyadari bahwa tanpilan diwilayah publik hanyaah sebatas nilai dan semangatnya, bukan adanya bentuk-bentuk formal, lebih jauh lagi agama civil menghendak adanya kemerdekaan manusia bukan hanya sekedar monolog top-down melainkan pekerjaan yang menyebabkan naiknya derajat kehormatan bagi yang menjalankan. Adanya kesadaran pluralise membawa setiap manusia pada penerimaan akan terjadinya konflik, karena setiap orang miliki kebutuhan dan cara pandang yang berbeda sehingga dapat mengakibatkan ketegangan serta selisih pendapat dalam berbagai dimensi aktivitas kehidupan. Bahkan Frenklin Dukes mengatakan, pada masyarakat demkratis, konflik adalah dasar dari perubaha sosisl (social change) . Demikian pula halnya dengan Lewis A Coser yang lebih tegas mengatakan bahwa konflik menunjukan terjadinya perubahan dinamika pada setiap masyarakat (dynamic change) . Oleh kaena itu yang dilakukan adalah memenaj kekerasan, justru konflik dapat dimenej menjadi potensi untuk saling membantu, bekerjaama, dan berkompetisi dalam kehidupan.
Untuk membangun kehidupan yang anti kekerasan dan cinta damai, diperlukan beberapa hal; pertama pemahaman dan sikap keberagamaanyang menghargai realitas pluralisme, kedua, perlu perlu ada transformasi pemahaman agama , dari pemahaman yang individualistic-ritualistik dan terlalu elistis-eksatologis kepada pemahaman integtalitiv-dan komprehensif, yaitu aspek kesadaran eksstensi ya illahi yang akan memberi kesadaran untuk menghargai da memberdayakan manusia.Kekerasan sosisl yang ada di Indonesia dewasa ini menggambarkan agama-agama telah kerim\ng dan telah hilang seangat profetiknya. Oleh karena itu upaya untuk membangun kesadaran prfetik adalah agenda untuk mejadkan agama secara positif dalam rangka menghargai sesame. Ketiga, perlu adanya kritik secara objektif terhadap teks-teks suci agama-agama, yang secara harfiah kelihatannya menyatakan sikap kerasterhadap kelompok lain (ada dalam sebuah agama), jika kitab suci diterjemahkan secara harfiah maka akan melahirkan sikap benci terhadp agama lain, dan akan dijadikan alat legitimasi untuk melakukan kekerasan dan kejahatan kepada orang lain. Keempat, dengan adanya hubungan agama-agama pada masa lalu yang berdarah-darah, khususnya dengan realitas peperangan antara pemeluk agama, dan suku yang berbeda di Indonesia dewasa ini, apabila tidak dikritisi secara objektif, maka hal ini dapat membawa tarauma danrasa kebencian terhadap sesama manusia secara unuversal. Kelima, media diaolog merupakan salah satu cara untuk membangun kesadaran anti kekerasan, karena dialog merupakan media untuk membuka ruang-ruang untuk saling memahami pluralitas.
System sosial merupakan elemen structural yang sangat penting dalam kehidupan manusia selaku makhluk sosisl, yang oleh mazhab fungsional sering diibaratkan sebagai organisme hidup yang satu sama lain saling terkait dan saling membutuhkan agar mampu berthan dan saling melangsungkan kehidupan.
Dalam pandangan Talcott Persons bahwa suatu system social dalam masyarakat agar tetap berfungsi dan mampu melangsungkan kehidupannya memiliki empat persyaratan fungsional. Persyaratan pertama, ialah adaptasi (adaptation) yaitu kemampuan setiap elemen social dalam masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga mampu bertahan dalam dinamika kehidupan. Kedua, mempunyai goal attanment, yaitu kemampuan untuk memobilisasisumberdaya guna mencapai tujuan bersama-kehidupan yang harmonis. Ketiga, integrasi (integration), yaitukemampuan setiap elemen atau system untuk menyatukan diri, sehingga terpelihara solidaritas social da keutuhan. Dan yang keempat, pemeliharaan pola (pattern manintenance) yaitu kemampuan setiap elemen untuk mempertahankandirinya dalam keseimbangan terus menerus yang membentuk orientasi nilai dalam kehidupan bersama.
Demokrasi; Teori Pembebasan
Muhammad Syahrur pernah mengatakan, bahwa inti dasar kehidupan adalah kebebasan tang tidak bisa di tawar-tawar, setiap manusia mempunyai hak untuk bebas tanpa ada intervensi dari luar, setiap orang adalah manusia yang bebas dalam menentukan pilihan-ilihan hidupnya. Tidak ada satu otoritaspun yang boleh menghalangi realisasi dari kebebasan yang dimiliki seseorang, system kehidupan individu dan social harus dibangun untuk memelihr kebebasan setiap orang, menghindari restriksi (tekanan) atas manusia. Karena selama ini masalah eksploitasi manusia oleh manusia menjadi tema yang di usung oleh setiap agama, ideology dan pemikiran dengan klaim bahwa mereka membawa misi keselamatan bagi manusis menuju manusia yang menuju kebbasan yang menjadi fitrah manusia.
Kebebasan tidak berasal dari Tuhan, karena ia telah memberikankebebasan pada setiap hamba-Nya dengan rasa kasih sayang yang tidak terbatas, kebebasan seseorang berurusan denan tata laku dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam ruang privat maupun dalam ruang social, terkait dengan pola-pola relasi dan interaksi social dalam ruang sejarah. Dengan dasar kebebasan itu manusia memilikitanggungjawab moral, memiliki tanggung jawab atas seluruh perilakunya yang berdasarkan atas kebebasanyang dimilikinya. Dan tanggung jawab seseorang adalah mewujdkan system kehidupan yang berkeadilan, berkesetaraan, dan memelihara anugerah kebebasan ersebut supaya idak dicedrai oleh manusia itu sendiri.
Masing-masing individu dituntut untuk menampilkan diri sebagai makhluk yang bermoral yang bertanggung jawab, yang akan memikul segala amal perbuatannya tanpa kemungkinan mendelegasikannya kepada orang lain. Karena semua umat manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan martabat mereka yang dikaruniai akal budi dan hati nurani, dan harus bersikap terhadap satu sama lain dalam semangat persaudaraan . Deklarasi Hak Assi Manusia (Declaration of Human Right) merupakan bentuk jaminan kebebasan yang masih abstrak. Dokumen yang disepakati ini harus direalitaskan kekinian dengan menafsirkannya , sehingga menjadi dokumen yang kongkrit dalam sejarah
Seorang peribadi adalah sama dengan nilai kemanusiaan universal, sebagaimana nilai kemanusiaan universal adalah sama dengan nlainya dengan nilai kosmis seluruh alam semesta. Maka agama mengajarkan;
“Barang siapa membunuh seseorang tanpa dosa pembunuhan atau perusakan dibumi maka bagaikan ia membunuh seluruh umat manusia, dan barang siapa yang menolong hidupnya maka bagaikan ia menolong hidup seluruh umat manusia”.
Jadi harkat dan martabat seseorang atau pribdi manusia merupakan sebuah cermin, atau represenasi seluruh harkat martabat manisia. Maka penghargaan dan penghormatan kepada harkat masing-masing individu adalah amal kebajikan yang memuat nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.
Implikasi dari adanya kebebasan dalam kearifan hidup, terlahirnya sebuah system tentang pengaturan masyarakat dalam tataran negara, yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Demokrasi Indonesia atau lebih umum lagi dikenal dengan demokrasi Pancasila, secara teoritis, dorongan untuk mengembangkan demokrasi untuk menurut kondisi khusus sustu tempat adalah wajar sekali, sekalipun dasar yang paling prinsifil dai demokrasi itu universal—berlaku untuk semua tempat danwaktu, namun dalam rincian dan pelaksanaannya, juga dalam intitusinya yang menyangkut masalah structural dan prosedural tertentu, terdapat variasi yang cukup besar antara berbagai negara demokrasi.
System demokrasi tidak terlepas dari berbagaii masalah, seringkali dikemukakan bahwa system demokrasi adalah system politik yang buruk seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Filsuf Yunani yaitu Plato dalam bukunya (Republik Plato) yang mengatakan bahwa system pemerintahan yang menganut system demokrasi adalah yang terjelek diantara yang lainnya. Kendati begitu ia merupakan satu-satunya (system yang dipercaya mampu mengoreksi dirinya sendiri). Karena itu orang lebih memilih demokrasi dengan harapan adanya sesuatu perubahan dan perbaikan. Manusia abad 21 tidak memiliki pilihan lain selain demokrasi sebagai pilihan tunggal untuk menembus kebuntuan teoritik dan praksis social umat manusia, dapat dilakukan terus menerus, dan ketidak mistahilan dapat mencapai kesempurnaan, jika kita mengingat bahwa didunia ini tidak ada sesuatu yang sempurna karena semuannya bersifat kerelatifan dan terus menerus berubah tidak adannya ketetapan mutlak, sesuai dengan dalil umum “segala sesuatu berubah (yakni mengalami transformasi), kecuali “esensi Tuhan” orang Yunani mengatakan, “panta rei”
Demokrasi pada dasarnya menghendaki adanya sebuah ideology yang terbuka atau ideology yang berujung terbuka (open-ended ideology), yaitu ideology yang tidak dirumuskan penjabaran rincinya “sekali dan untuk selamanya (once and for all). Tetapi ada juga ideology yang tertutup seperti komunisme. Ideology yang tertutup, yang dirumuskan penjabaran rincinya sekali untuk selamanya selalu cendrung ketinggalan jaman (obsolete). (dalam hal komunisme, peran pemimpin sangat dominan dalam penjabaran itu, atau ada hanya satu badan atau lembaga yang berhak untuk menjabarnya)
Dalam rangka proses menuju keberbagian dan persetujuan bersama itu maka harus dilaksanakan dengan musyawarah untuk arti yang seluas-luasnya.karena demokrasi mengedepankan kepentiangan individu diatas kepentingan rakyat, dengan istilah lain Vini, Vidi, Vici (dari rakyat, oleh rakyatdan untuk rakyat) Islam mempunyai dasar dalam musyawarah, yang disebut partisipasi egaliter.14 khususnya bagaimana termuat dalam kitab suci dan Sunnah Nabi:
1. Manusia diikat oleh perjanjian primordial dengan Tuhan, yaitu bahwa manusia, sejak dalam kehidupannya dalam alam ruhani, berjanji untuk mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat orientasi hidupnya. .
2. Hasilnya ialah kelahiran manusia dalam kesucian asal (fitrah), dan diasumsikan ia akan tumbuh dalam kesucian itu jika seandainyatidak ada pengaruh lingkungan .
3. Kesucian asal itu bersemayam dalam hati nurani (nurani artinya bersifat cahaya terang), yang mendorongnya untuk senantiasa mencari, berpihak dan berbuat yang baik dan benar.
4. Tetapi karena menusia itu diciptakan sebagai makhluk yang lemah (antara lain, berpandangan pendek, cenderung ttertarik pada hal-hal yang bersifat segera), maka etiap peribadinya mempunyai potensi untuk salah, karena tergada oleh hal-hal menarik dalam jangka pendek.
5. Maka, untuk hidupnya, manusia dibekali dengan akal pikiran, kemudian agama , dan terbebani kewajiban terus menerus mencaridan memilih jalan yang lurus, benar dan baik
6. Jadi manusia adalah makhluk etis dan moral, dalam arti bahwa perbuatan baik dan buruknya harus dapat dipertanggungjawabkan, baik didunia diantara sesama manusia, maupun di akhirat dihadapan Tuhan Yang Maha Esa.
7. Berbeda dengan pertanggungjawaban di dunia yang nisbi sehingga tidak ada kemungkinan manusia menghindarinya, pertanggungjawaban di akhirat adalah mutlak, dan sama sekali tidak mungkin dihindari.
8. Pertnggungjawaban mutlak kepada Tuhan di akhirat itubersifat pribadi sama sekali, sehingga tidak ada pembelaan, hubungan solidaritas dan perkawanan, sekalipun antara sesama teman, karib kerabat, anak, dan ibu-bapak.
9. Semuannya itu mengasumsikan bahwa setiap pribadi manusia, dalam hidupnya diduniaini, memiliki hak dasar dalam memilih dan menentukan sendiri perilaku moral dan etisnya (tanpa hak memilih itu tidak mungkin dituntut pertanggungjawaban moral dan etisnya).
10. Karena hakikat dasr yang mulia itu, manusia dikatakan sebagai puncak makhluk Allah, yang diciptakan olehnya dalam sebaik-baik ciptaannya, yang menuntut asalnya berharkatdan martabat yang setinggi-tingginya.
11. Karenaitu Allah-pun memuliakan anak-cucu Adam, dan menaggungnya didaratan maupun dilutan.
12. Setiap peribadi manusia adalah berharga, seharga kemanusiaan sejagad. Maka barang siapa yang merugikanseorang pribadi, seperti membunuhnya, tanpa alas an yang sah, maka ia bagaikan merugikan seluruh umat manusia. Dan barang siapa yang melakukan kebaikan, maka ia telahberbuat baik terhadap seluiruh umat manusia.
13. Setiap pribadi harus berbuat baik terhadap sesamanyadenngan memenuhi diri pribadi terhadap pribadi lain, dan menghormarmati hak-hak orang lain.
Musyawarah ini dijalankan dengan adanya asumsi kebebasan pada masing-masing personal manusia. Dalam rangka memberi kerangka pada pelaksanaan kebebebasan-kebebasan asasi itulah pengalaman positif Barat tentang demokrasi prosedural dalam konteks ke Indonesiaan sangat mendukung karena Indonesia masyarakatnya yang plural ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan. Karena musyawaah bukan saja menyangkut prosedur, tetapi didalam dirinya terkandung kerangka pembenaran dengan makna dan tujuan hidup manusia secara universal.
Kesimpulan
Agama adalah cara agar manusia bisa memahami dunia. Tetapi dunia yang kita diami sekarang ini adalah dunia yang makin sulit untuk dipahami, demikian ungkapan Josep Concard, memahami kehidupan agama dewasa ini. Dalam kehidupan modern kelangsunan hidup beragama tak ubah seperti bola sepak yang ditendang kesana kemari oleh pemain (penganutnya) yang didasari atas dasar ambisi.
Kehidupan agama pun kini demikian adanya, agama tidak lagi dijadikan sebagai panutan dan pedoman untuk hidup, malah dijadikan sebagai tameng bagi kehidupan. Agama sering sekali dipakai dalil untuk setiap tindak kekerasan dan melegalkan konflik, karena mereka merasa tindakannya di amini oleh Tuhan, sekalipun harus menghilangkan nyawa orang lain. Bukankah perang salib di Andalusia itu di dasarkan atas pertikaian antar agama?, dimana penyakit truth claim saat ini telah menjadi akut pada setiap pemeluknya. Bukankah kerusuhan yang terjadi di Indonesia, tepatnya terjadi dibeberapa kota baik dalam perbedaan agama, atau se-agama atau perbedaan sukudan ras. Keseluruhan konflik tak bisa terlepas dari peran serta agama yang memicunya terjadinya konflik.
Pertanyaan pertanyaan diatas bukanlah untuk diperdebatkan, melainkan untuk direnungi bagi kita semua; apakah agama yang salah atau jangan-jangan pemahaman kita selama ini terhadap agama masih minim, skipturis dan cenderung fanatik buta, sehingga mengabaikan pesan yang terkandung dalam universal agama. Dan pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana agar kehidupan beragama kembali bias harmonis. Diturunkannya agama sebenarnya demi kedamaian universal, agama yang memiliki dua dimensi yaitu esoteris dan eksoteris.
Maka kini saatnya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia mencoba menata ulang system social dengan memasukan dimensi rasionalkedalam proses demokrasi social lebih sekedar mencekoki emosi kolektif yang bernafas pendek dengan berbagai symbol, ritual dankeguyuban yang semata-mata hanya nampak dipermukaan.
“Sesungguhnya bentuk-bentuk pemerintahan dan pendidikan sangat tergantung pada pandangan kita tentang manusia. Masalah ini adalah masalah yang paling sulit dan luar biasa pentingnya dewasa ini, tetapi banyak orang mencari penyelesaian-penyelesaian yang mudah” (Lois Kattsoff)
Tidak ada satu otoritaspun yang boleh menghalangi realisasi dari kebebasan yang dimiliki seseorang karena manusia secara lahiriah adalah suci esensi Agama (din) dari seluruh rasul adalah sama. Mnusia makhluk yang universal bebas memahami hidupnya dengan jalan yang ia tempuh sendiri, tetapi manusia terbatas oleh etika dan agama dan selama ia tidak merugikan oranglain dalam hal etika dan agama (kesepakatan kolektif) itu dibenarkan dan tidak ada argumen untuk menyanggahnya.
Demokrasi merupakan satu-satunya system pemerintahan atau ketatanegaraan (system yang dipercaya mampu mengoreksi dirinya sendiri). Karena itu orang lebih memilih demokrasi dengan harapan adanya sesuatu perubahan dan perbaikan. selain demokrasi sebagai pilihan tunggal untuk menembus kebuntuan teoritik dan praksis social umat manusia, demokrasi mengedepankan kepentiangan individu diatas kepentingan rakyat, dengan istilah lain Vini, Vidi, Vici (dari rakyat, oleh rakyatdan untuk rakyat) Islam mempunyai dasar dalam musyawarah,
[+/-] |
Datang |
Datang
Oleh FANI AHMAD FASANI
Seminggu yang lalu ia datang padaku, tak akan pernah seperti dulu tentu. Aku sibuk dengan kekhawatiranku sendiri, tentang rindu dendam yang mungkin mengambil alih sikap sebiasanya, aku masih bingung apakah mesti berharap ia seperti dulu, atau sebaliknya.
Barangkali itu sedikit petunjuk bagaimana aku berbuat. Kegugupan itu menyiratkan betapa ia masih menimbang-nimbang apakah ini tindakan yang tepat untuk datang kemari setelah banyak hal terjadi. Dihari yang gerimis ini tanganku berkeringat. Ia duduk disampingku. Aku merasakan kamarku yang tak begitu luas ini menyempit sengit, bahkan tak memberi ruang untuk gerak dadaku saat menghirup udara. Padahal masih kupercaya semesta masih setia mekar kali ini.
Sejak ledakkan di luar waktu itu? Aku ingin mengintrogasi hujan, mungkinkah pernah terencana sejak hujan pertama kali itu, tentang keterjalan suasana ini atau sejak kita masih berenang sebagai setitik hayat di kolam kental, apakah memang sudah menjadi persoalan pelik untuk mencoba menyikapi hati sendiri?, terlebih waktu-waktu yang telah berlalu tiba-tiba membikin lintasan-lintasannya sendiri di kali yang ini. Ia menggapai bungkus rokok di lantai, menyulutnya satu.
Rupanya ia belum berhenti, dan percakapan tentang hal itu tak akan jadi topik yang menarik. Tapi, untuk mengungkit-ungkit masalah yang lalupun aku tak begitu bernyali. Mereka kupaksa menyepi di lidah, melipat rapat menekan cepat ke arah tenggorokan, namun kemudian melonjak, meluncur, meledakkan pengaruh buruk di semesta benak. “Ada apa kemari?” Ia hanya diam dan cuaca di romannya semakin menandakan badai menjelang. Sialnya pertanyaan seperti itu yang keluar dari mulutku. Ah, mungkin ia datang hanya untuk mencari celah yang belum terluka disekujur rasaku, untuk mengukir perih di ruang sisanya. Semoga ia dapat menemukannya, dan asal ia tahu, takkan terlihat perbedaannya.
Seperti tentang tiga bulan yang lalu aku bertemu dengannya di Sabtu menjelang malam, tanpa sengaja. Kami bertemu di sepinggir jalan, ia memanggilku saat aku dan beberapa kawan berjalan bersama sebelum akhirnya menuju arah masing-masing pulang. Temanku meyakinkanku bahwa seseorang memang memanggilku, kemudian mereka mengambil jarak agar aku dapat sejenak berbincang.
“Kamu kemana saja? Nggak pernah datang lagi ke tempatku” Kupikir itu pertanyaan yang hanya wajar diwaktu lalu, meski kujawab juga.
“Aku nggak kemana-mana, hh.. terakhirkali, sebulan yang lalu kamu bilang hari Kamis aku harus datang, tapi kamu sendiri yang nggak ada”.
“Maafkan aku..”
“Kamu terlihat kurang sehat”.
“Ya, cuaca seringkali tak ramah dan sulit ditebak. Kemarin aku kehujanan. Kalau karena tidak lapar, sekarang aku tak akan keluar”.
“Sudah berapa kali kamu bilang akan datang, kapan?” Padahal telah sempat sepakat bahwa pertemuan menjadi hal yang tak semestinya. Memutuskan untuk saling melupakan. Namun, selalu merasa tiba-tiba takkan pernah sempurna keterlupaan itu.
“Mmm.. hari-hari ini aku sibuk, tapi hari selasa saya akan kesana”.
“Baiklah aku tunggu..” Aku kemudian beranjak, kembali ke arah teman-temanku yang agak jauh menunggu, mereka tersenyum ke arahku seakan ada hal yang tidak biasa terlihat di wajahku.
Hari itu ketika aku bangun ada yang lain bangkit juga dari hatiku. Rasa kecewa berkali-kali yang lalu kemudian merengek terhadap dendam untuk diantar menemui Selasa dengan udara yang sesak, serta dari arah langit hujan mengintai. Ya, dalam kepalaku terbetik rencana untuk menghindar, ia akan datang dan aku tak ditemukannya. Aku hanya ingin mengajarinya bagaimana rasa kecewa selalu punya taktik yang sempurna. Sejenak aku diam menyimak udara dan langit yang sinis, ia akan memaksakan diri bangkit dari sehimpit influenza dan ancaman cuaca hanya untuk menemuiku. Tidak bijaksana jika aku takluk pada lingkaran dendam yang hanya menawarkan kepuasan hampa dengan intensitas dangkal, aku kemudian bangkit dan membereskan kamarku. Lalu aku rayu tuhan supaya langit membatalkan misinya.
Hari beranjak siang dan langit menunda geram yang sempat, isyarat kesungguhannya kutanggapi dengan khawatir. Ia tak juga datang dan hatiku panik, takut terjadi sesuatu terhadapnya. Padahal hakku untuk khawatir telah lama terampas dengan beringas, tapi masih saja entah kenapa. Aku kalut dan gugup, seperti harus memberikan sambutan di acara besar dan dihadiri orang-orang penting, atau seperti dalam darurat waktu harus memutuskan keputusan besar tentang keselamatan negara. Ah, siang yang muram dan lambat. Sore datang menyuguhkan pemandangan ngeri untuk mataku yang terganggu. Aku melangkah mencari kabar lewat telepon selularnya.
“Sejak pagi aku tunggu kamu”
“Aku nggak bisa kesana, tak tahu harus memberitahumu tentang ini kemana”. Suaranya agak lain, mungkin karena bersekutu dengan flu.
“Kamu dimana?”
“Aku di kamar, harus mengerjakan sesuatu. Flu-ku juga tambah berat, bahkan temanku mengajakku keluar aku tak bisa”. Untuk kalimat terakhir ini telah berhasil mencubit hatiku. Langit kian lebam.
“Aku capek, kamu selalu seperti ini”. Yeah.. kalimat yang tak seharusnya! Kenapa aku mesti bilang begitu? Kemudian tiba-tiba nada bicaranya meninggi.
“Maksud kamu apa? Jadi aku harus hujan-hujanan datang kesana sementara kamu tahu kondisi kesehatanku kayak gimana!” Diluar langit bersorak dengan butiran-butiran berat mengolok-olokku.
“Baiklah.. sepertinya kita mesti anggap telah terjadi suatu kesepakatan diantara kita, kita nggak pernah saling kenal..” Kuharap aku bersungguh-sungguh.
“Kamu egois!”
“Klik!” Hujan semakin gemuruh, seperti tepuk tangan ketika seorang matador ambruk terpanggang tanduk banteng. Sebagian mereka menjerit histeris, hujan dari jenis perempuan dan anak-anak kukira. Aku berlari menembus desakan hujan, dan di pintu kamar, kekecewaan menyambutku, kemudian memeluk dan menepuk-nepuk bahuku sebagai langganan paling setia. Untunglah saat itu aku tak ingat sepenggalpun sajak.
Inipun tentang setahun lebih yang lalu, ia datang padaku. Ah, bukan hal yang aneh, kami terbiasa saling mendatangi. Bahkan hari sedemikian berat jika tidak bertemu. Tapi, tiap pertemuan tak peduli siapa yang mendatangi siapa, selalu berarti kebahagiaan yang menjulang dari menara kasmaran yang rapuh. Perasaan yang harus ambigu, karena kami terjalin atas kondisi yang seringkali kuanggap lalim. Dan kali ini kedatangannya tentang kabar yang..
“Dia melamarku, dan aku bersedia. Kita harus menghentikan ini”. Aku bingung, mendengar kalimatnya. Seperti seseorang yang berungkali keliru menulis namanya sendiri.
“Ya, kalau kau telah yakin”. Puih.. harusnya aku lebih heroik daripada itu.
“Aku tahu, ini keputusanku yang paling mungkin akan kusesali. Tapi aku harus melakukannya, kita bukan anak kecil lagi”. Ah, apakah memang selama ini aku yang kekanak-kanakan? Oh, tuhan.. apakah dia yang kau kirim untuk mendidikku supaya dewasa? Berhasilkah?
Tidak! Aku yang terlambat memahami. Seharusnya sejak dulu aku merelakannya, ketika dia bilang bahwa aku bukan satu-satunya. Ketika ia meratapi sejarah sekaligus bangga akan hal yang pernah. Sejak itu aku malah kepayahan berupaya membuktikan bahwa aku bisa lebih baik dalam hal mencintai, berlari tertatih diburu cemburu. Dan sia-sia! Justru setelah keyakinan terpaku di dada, tertancap tembus hingga ke punggung. Seharusnya aku tak membiarkan emosiku terlibat jauh dengan airmatanya. Baiklah, ini semua salahku. Aku hanya gagal melakukan apa yang ingin kubuktikan, aku terlalu asik bertukar janji. Sementara hidup ini memiliki aturannya sendiri. Tak mungkin berpihak pada orang yang tak tak memiliki apa-apa, tanpa nyali tanpa bekal.
Dan hidup pernah penuh warna, dua tahun yang lalu. Ketika sepasang manusia dilanda kasmaran. Mereka percaya, atau setidaknya salah seorang diantara mereka, bahwa dengan caranya sendiri tangan takdir telah mempertemukan mereka. Ah, nasib yang tersenyum dan menghampiri kali ini. Tanpa kutahu, bahwa diam-diam tangannya menyelinap ke pinggang menyentuh gagang belati []
Cileunyi, 14 Februari 2007
[+/-] |
Bola |
Sepakbola Profesional, Penonton Pun Harus Profesional!
ADENG MUCHTAR GHAZALI
Sejak kecil saya suka ’maen bola’, sekaligus sebagai penonton fanatik olahraga paling populer sejagat ini. Pada saat Jepang maupun Korea tidak ada apa-apanya dalam sepakbola,
Indonesia sudah maju selangkah ketimbang mereka, pernah maen dalam sepakbola Olympiade melawan Soviet, dan prestasi terahir Indonesia adalah juara 4 dalam salah satu Asian Games.
Tapi, sejak masuknya sepakbola dengan sistem pembinaan profesional, sampai sekarang belum ada prestasi yang bisa dibanggakan dalam sejarah sepakbola kita. Sekarang ini, berapa tingkat sepakbola kita di bawah Jepang dan Korea. Jangankan dengan mereka, dengan Vietnam dan Kamboja saja yang sepakbolanya dipandang masih terbelakang dibanding Malaysia, Singapura dan Indonesia di wilayah Asia Tenggara, susah mengalahkannya, bahkan Indonesia pernah dikalahkannya. Pertanyaannya, apakah perubahan dari pola pembinaan amatiran (perserikatan) kepada profesional menjadi penyebab semakin terpuruknya sepakbola kita? Ata, ada penyebab lain?
Dari satu sisi, perubahan pola pembinaan sepakbola ‘amatiran’ (perserikatan) kepada profesional yang dilakukan PSSI adalah menggembirakan, jika memang niatnya untuk bagaimana sepakbola Indonesia bisa tampil di pentas dunia kelak, bukan hanya sekedar aspek bisnis semata, sebab yang namanya ”profesional” tidak lepas dari unsur ”bisnis”. Tapi pada sisi lain, perubahan pola pembinaan itu lebih banyak kelemhannya dibanding kelebihannya, jika dilihat dari beberapa aspek diantaranya ’kultur’ sepakbola kita, baik dari sisi pengurus dan pemain, maupun para penonton.
Kultur sepakbola Indonesia sangat kental dengan semangat kedaerahannya, mulai dari soal manajemen, pemain, sampai penonton, ketiga-tiganya harus sejalan dalam semangat kedaerahannya. Jika ada pemain yang bukan asli daerahnya, maka pemain tersebut kemampuannya di atas pemain ’asli’ daerah, dan yang lebih penting lagi, rasa memiliki ’daerah baru’nya harus mendekati atau sama dengan pemain asli. Mekanisme perekrutan pemain seperti inilah yang terjadi di era sepakbola perserikatan. Bukan semata-mata uang yang dikejar, tetapi kebanggaan sebagai pemain yang dimiliki daerah dan dicintai para pendukungnya. Uang, dan bentuk-bentuk materi lainnya, mengikuti sejalan dengan prestasi dan loyalitas yang diraihnya. Jika berprestasi, disamping gajih, bonus, dan rumah, setiap pemain memperoleh pekerjaan dan popularitas. Ketika dia terpilih jadi pemain nasional, kebanggaan dan semangat daerah dibawa menjadi semangat dan kebanggaan nasional. Setiap pemain yang berasal dari daerah-daerah yang ada di Indonesia, masing-masing telah memiliki modal semangat kedaerahan yang sipatnya lokal kemudian menyatu dengan pemain daerah lainnya menjadi semangat nasional. Lihatlah semangat bemain para pemain perserikatan ketika mewakili Indonesia pada event internasional, kita bisa sebut pemain sekelas Iswadi Idris, Ronny Pattinasarane, Hery Kiswanto, Rony Paslah, Robby Darwis, Hadi Ismanto, dan lain-lain, begitu piawai dan senantiasa memiliki semangat nasionalisme yang tinggi; dan Indonesia menjadi ’macan’ Asia bukan isapan jempol.
Tampaknya, di era profesionalisme sepakbola sekarang ini, semangat nasionalisme yang berawal dari semangat kedaerahan (masing-masing klub), melemah, seolah-olah menjadi pemain nasional tidak lagi menjadi kebanggaan. Saya kira, salah satu faktornya adalah ”uang”. Para pemain dikontrak rata-rata hanya satu musim dengan gaji besar. Semangat uang lebih didahului ketimbang semangat klub. Kalaupun tidak terpake lagi, bisa mencari klub lain! Faktor pelatih dan manajemen pun sangat menentukan lahir tidaknya pemain bermental ’sepakbola’. Apalagi disinyalir adanya praktek mafia dan manipulasi kontrak para pemain yang tidak sesuai dengan yang diterima pemain. Jangan-jangan pemain yang tidak berkualitas pun bisa menjadi pemain klub atau pemain nasional, asal kontrak maupun gajinya bisa dibagi-bagi dengan pelatih maupun manajemen.
Bagaimana dengan penonton? Semangat kedaerahan penonton memang menjadi sisi negatif. Betapa tidak, perang antar pendukung selalu melahirkan korban luka bahkan kematian! Tuntutan profesional para penonton pun mutlak diperlukan, dalam hal ini keterlibatan manajemen dalam mengorganisir para pendukung harus segera dilakukan. Salah satunya, para pendukung setiap klub adalah yang sudah terdaftar di masing-masing klub, termasuk salah satu persyaratan dalam membeli tiket apabila mau nonton ke stadion. Kalaupun sudah terbentuk klub-klub pendukung, seperti Aremania, JackMania, Viking, dan lain sebagainya, keberadaannya di bawah manajemen masing-masing klub. Sehingga, ada tugas baru manajemen, yaitu mengorganisir dan membina para pendukung setianya.
Bravo PSSI, Bravo Klub-klub, dan Bravo pula pecinta sepakbola Indonesia, dan selamat pula kepada klub Sriwijaya F.C menjadi Juara Liga dan Copa Indonesia 2007.
[+/-] |
Saung |
Carpon BADRU TAMAM MIFKA
Saung Katineung
Saban poé minggu mah, réngsé solat subuh téh sok langsung morongkol deui. Béda minggu ayeuna mah, isuk-isuk gé geus leuleumpangan. Méméh balik ka imah, ngahaja nyimpang heula di kebon jagong ki Oleh.
Geuning geus leubeut. Geus pada apal kabéh urang dieu mah, mun hayang jagong di kebon ieu kudu daék heula tarung panco jeung Ki Oleh, nu bogana. Teu jauh tidinya, maplak tatangkalan endah diharudum ibun.
Ka belah kulon, teuteup eunteup di saung laeutik sisi sawah Haji Nono. Matak nineung matak waas. Kleung angkleung ingetan ngahaleuang ka mangsa keur leutik sok ulin bareng Dedi, Kokom jeung Lilis di saung éta. Gogonjakan, ngoyag-ngoyag tali bebegig. Manuk hariber. Jiga ayeuna, manuk silih udag. Panon poé geus ngeteyep rék nembongan. Kuring ngarénghap panjang. Teu karasa, Gusti, geus jauh ngulur umur, geus moal bisa dieureun-eureun atawa mulut nu geus liwat.
Balik ka imah, brus kuring mandi di sumur tukangeun imah. Mun pareng genah gegejeburan, sok poho batur nu ngantay rék milu ka cai. Geus rényom kadéngéna. Si bibi rék nyeuseuh mah, ki Momo rék miceun mah, Nyi Mimin rék ngisikan mah, jeung nu séjénna. Atuh réngsé mandi téh kabéh pada ngékéak. Puguhing ki Momo mah, teu weléh bari nyindir.
“Abong lila bubujangan, mandi gé lila. Iraha kawin, Jang?” pokna bari seuri ngahahah. Geus remen nu nanya kitu téh, tapi sok tara dilayanan. Bubuhan kakeuheul geus manteng. Mun seug ki Momo lain kolot, geus titatadi ditalian di tangakal balingbing pipir imah. Katempo manéhna ngaleos, sengit haseup bakona néjéh liang irung.
Dijero kamar kuring ngarahuh. Panon anteng melong eunteung. Geuning nyaan katempo pisan geus kuduna mungkas lalagasan. Umur sakieu di lembur mah moal teu pada nganaha-naha can boga pamajikan téh. Tapi da nepika ayeuna, mumul kawin téh. Lain teu payu, geus aya nu harayangeun mah. Mumun mah, randa Isah mah, Téh Ninih mah, Kokom mah, Lilis mah, Dedeh mah. Kabéh gé saropan tur gareulis manis. Nya kitu téa, kuring resep kénéh léléngohan. Lain sieun, lain teu boga biaya. Puguh wé gawé mah geus kawilang lumayan. Tabungan di bank geus meujeuhna keur rumah tangga mah. Kumaha deui, haté embung baé méréan. Teu bisa dipaksa-paksa.
Kadieunakeun, geus tara aya deui nu nganaha-naha, iwal ki Momo wé nu bangor kénéh ngaheureuyan kuring sual kawin mah. Kitu deui nu di imah, geus sieun mun nanyakeun sual kawin téh. Éta gé tisaprak kuring mudalkeun kaambek kanu di imah lantaran hayoh ditanya iraha kawin. Murang-maring sagala disépak. Adat kuring gedé ambek. Tisaprak kajadian éta, urang imah teu wani-wani deui nyeungeut amarah kuring. Sensitip ngomong sual kawin mah.
Awéwé-awéwé nu mimitina ngadeukeutan kuring ge ayeuna mah geus tara datang ka imah deui. Kabéh geus ngarasa bosen nungguan kuring. Béja mah Mumun can lila kawin jeung Kang Dadang, urang Majaléngka. Randa Isah teu kuat hayang rumah tangga, antukna kawin jeung mandor pabrik. Téh Ninih béjana keur deukeut jeung urang Padang. Lilis geus tara deui ulin ka imah, bejana Dedi mikahayang. Kokom geus pindah ka Palémbang. Dedeh béjana kapincut deui ku lalaki séjén. Kabéh gé lus-les pada néang jalan séwang-séwang, bakating ku cangkeul nungguan jeung miharep kuring meureun. Ki Dudus mah ngahanjakalkeun kana lalampahan kuring. Cenah mah awéwé geus dina lawang panto, kari unggeuk. Nya ayeuna mah kabéh pada bedo kudu lila nungguan kuring unggeuk daék tumarima rumah tangga. Jadi iraha rék kawin? Teuing atuh!
“Man! Geus siap, Man?!” kadéngé aya nu ngageroan di luar imah, meupeus lamunan kuring. Rikat kuring maké baju. Inget poé ayeuna Ki Dudus hayang dianteur ka Jatinangor, ngadon rék neangan cokelat di Jatos. Kateuing keur naon! Keur nini Mimih meureun.
***
Dina angkot kuring amprok jeung Darmaji, babaturan és ém pé. Atuh sono geus lila teu tepung. Nya sajajalan téh ngawangkong. Manéhna geus boga budak hiji. Cenah kawin jeun urang Rancakalong, urut babaturan sakelas pisan. Enya, jeung Ida. Kuring inget kénéh ka manéhna.
“Man, kamari pisan panggih jeung Dedi. Jadi ogé nya rék kawin. Jodona mah geuning jeung Kokom nya…” Ceuk Darmaji. Kuring ngaranjug. Jeung Kokom?
“Béja mah rék ka Lilis?” kuring kerung. Darmaji malik kerung.
“Har, karék apal ilaing? Atawa api-api teu apal?” Darmaji mingkin heran
“Keur naon kuring api-api teu apal. Apanan Dedi gé geus lila tara ulin deui ka imah.” Témbal kuring. Darmaji katangen gogodeg. Manéhna lila neuteup kuring.
“Lilis teu nyarita?”
“Nyarita nanahaon, Lilis gé ayeuna mah tara ulin deui ka imah. Sugan téh geus kawin jeung Dedi di Bandung.” Tembal kuring. Jempé sakeudeung.
“Man, Ceuk Dedi mah manéhna téh mikahayang Lilis, tapi Lilis nampik. Nya ayeuna jadina mah jeung Kokom. Milu hiber rumah tangga di Palembang. Beu, ilaing babaturan ulin keur leutik Dedi malah teu apal..” Darmaji ngajéntrékeun. Kuring ngahuleng.
“Ilaing nyaho kunanon Lilis nampik Dedi?” Darmaji nanya.
“Naon?”
“Ceuk Dedi mah Lilis miharep rumah tangga jeung ilaing. Lilis sorangan nu balaka ka Dedi, yén manéhna rék satia nungguan ilaing. Beu ilaing bet téga mihukum Lilis. Malahan ceuk beja kamari-kamari indungna geuring parna, mikiran budakna can kawin-kawin…”
Leung pikiran asa rinyay ngadéngéna, nyéah kana jero dada. Di Cikuda Dedi turun. Baku poé minggu mah di jalan téh sok macét. Pangpangna mah di Jatinangor, paciweuh ku nu lalar liwat rék ulin ka pasar mingguan di Unpad. Panon poé geus karasa panas. Hawa beuki bayeungyang. Pikiran jeung haté noroweco teu pupuguh. Baruk Lilis nungguan kuring?
Sajeroning macét, supir ngarti. Manéhna nyetel kasét dina tip mobil. Kadéngé haleuang tembang sunda. Ari ti mimiti naék ki Dudus mah teu ngawangkong saeutik-eutik acan, jiga nu nyeri huntu. Nya ngadéngé tembang téh jadi aya dédéngéeun dina kaayaan macét mah. Rey karasa aya nu ngeleketey dina lelembutan. Deng tembang marengan panineungan nu teu karasa kumalayang. Haleuang tembang karasa kana puhu kalbu…
asih urang…
diapungkeun ka langit
muntang kana mega
ucang-angge duaan…
asih hurang…
dipentangkeun ka langit
manteng dina bulan
ayang-ayangan duaan…
asih urang…
tingkaretip jiga bentang1
…..
Ser haté nu simpé dumadak haneut ngadéngéna. Tembang bieu lir ungkara basa nu ngusapan mapay-mapay garingna rasa. Tembangna nyaritakeun wanoja nu keur geugeut panineungan ku rasa cinta. Kumalayang haté sajongjonan. Ngarasa bagja teu pupuguh, ngarasa ngemplong piker, tapi sakapeung hariwang teu puguh. Kuring ngarérét ka ki Dudus nu titatadi teu usik-usik. Bet haté sakapeung ngarasa keueung. Enya, Dedi gé ditampik bubuhan Lilis hayang satia nungguan kuring. Teuing geus sabaraha taun. Tapi naha Lilis tara ulin ka imah deui? Teu kungsi lila, kadéngé deui tembang anyar tina tip…
…..
hate ngarasa geugeut
hayang geura geura deukeut
rasa liwung gandrung
diri kapidangdung
semu ngalanglayung
hayang geura geura tepung
sawangan kumalayang ngawang-ngawang
nyipta rasa tinu anggang jeung manehna
implengan gumalindeng anteng mayeng
namperkeun rasa katineung kadirina
harepan geus jadi ampihan rasa
moal laas najan anggang jeung manehna2
…..
Bener kitu Lilis masih kénéh kangen ka kuring? Bener kitu manéhna teu pundung kawas nu lian? Bener ceuk Darmaji, kuring téga mihukum manéhna. Sok jadi hanjakal geus kasar ka Lilis. Kuring nu kungsi kasar ka manéhna. Kuring nu kungsi nyentak manéhna. Babakuna teu ditari teu ditakon unggal manehna nganjang ka imah. Geuning Lilis mah tetep satia, tetep miharep. Teu karasa tembang dina kasét ganti deui…
…..
dina lambaran katresna
aya ringkang can kasorang
diri kapidangdung
dipapareng kuciptaan
liuh gumulung kaheman
mugia nyorang kabancang
sumerahna ieu diri
tumarima demi cinta
najan diri kudu nandangan tunggara
najan ukur saliwatan
najan ukur sakedapan
abdi pasrah moal robah pamadegan…3
…..
Duh ibarat kitu Lilis nungguan kuring téh. Palangsiang, boa manéhna tara ka imah deui téh sieun ku kuring, tisaprak kuring ngamuk sual kawin, kabeneran manéhna harita keur aya di imah kuring. Jigana Lilis nyeri haté. Jigana Lilis éra. Jigana ayeuna gé Lilis tara manggihan indung kuring ka imah téh lantaran sieun kuring nyangka nu lian-lian. Padahal Lilis mah tibaheula gé baku sok ngadon nganteuran ka indung kuring mawa sarupaning buah-buahan. Lilis nu éstuning nyaah ka indung kuring nu geus kolot…
Tapi ayeuna mah Lilis geus jiga nu sieun datang ka imah gé. Nu di imah gé geus tara ngomong-ngomong sual Lilis. Kabéh sieun ku ambek kuring. Indung sorangan gé geus tara nyabit-nyabit sual kawin, sual Lilis. Haleuang tembang teu eureun-eureun minuhan pikir kuring, ngusapan haté kuring.
“Kang, tos dugi Cileunyi. Aeh kalahka ngaharuleng” supir nakol kaca panto meupeus lamunan. Kuring jeung ki Dudus ngarénjag reuwas. Tuluy silih pelong. Geuning sarua jeung kuring, sihoréng simanahoreng ki Dudus gé titatadi anteng ngalamun, poho rek eureun di Jatinangor mah.
“Eta geura genah ngarasa dipépéndé kawih sunda sajajalan. Sedih jeung bungah karasana panineungan…” ki Dudus gagaro sirah teu ateul.
“Sarua, Ki…”
“Pir! Milu deui muter ka Tanjungsari. Tapi tong dipareman tipna!” ki Dudus ngacung.
***
Sajajalan kasét digeder, béak diputer deui, béak diputer deui. Teu eureun-eureun. Atuh kuring gé nepika apal. Kuring jeung ki Dudus mupakat balik deui ka Tanjungsari ngabélaan hayang tuluy ngadangukeun tembang. Meuli cokelat ka Jatos mah teu jadi. Sapanjang balik mah euweuh nu cacarita. Simpé. Ukur sora mesin mobil. Ukur haleuang tembang. Duh, sajeroning dipépénde tembang, ingetan manteng ka Lilis. Tibaheula manéhna nungguan kuring.
Teu karasa balikeunna mah gancang, geus tepi deui ka Tanjungsari. Can ge lila turun tina mobil, supir ngagorowok, “Kang, kaset pajeujeut!”
Ki Dudus ngadadak hayang buru-buru balik. Inget ka si Nini cenah. Antukna kuring leumpang sorangan. Sajajalan pikiran ngarasa sasab ka awang-awang, asa teu manggih arah. Haté norowéco ngarasa diturih wanci nu can pasti. Di tengah sawah manuk silih udag. Kuring leumpang luhur galengan, dak dumadak ngarasa hariwang ku hirup…
Di imah, kabéh keur kumpul. Kaayaan tengah imah jiga nu geus kaanjogan sémah. Aya bubuahan dipiringan deukeut panto.
“Aya sémah, Mah?” kuring nanya bari muka jaket. Jempé sakeudeung.
“Enya, aya Lilis. Bieu pisan mulang.” Tembal indung. Kuring neuteup ki Momo, ret ka adi. Si bibi ngaléos ka dapur. Aéh aya naon asa beda ti sasari. Kuring diuk ngahuleng sajongjonan deukeut jandéla kamar. Duh, Lilis nganjang deui…Karasa haté nitah cengkat ngudag Lilis nu jigana can mulang jauh. Kuring ngarawél jakét rék kaluar.
“Rék kamana deui, A?” indung nanya. Kuring neuteup panon indung.
“Rék manggihan Lilis…” Pok téh halon.
“Mun sakirana rék nganyeunyeuri manéhna jiga baheula, leuwih alus tong manggihan.” Ceuk indung kuring semu beurat. Katémbong panon indung ngembeng ku cipanon. Hate kuring ngdadak héab. Simpé sajongjonan. Sakur jelema nu aya didinya neuteup seukeut ka kuring. Rénghap kuring karasa heureut. Gancang kuring kaluar, gidig leumpang gagancangan…
Sajajalan dada karasa beurat. Hawar kadéngé deui tembang nu tadi dina mobil, piligenti nyiwitan ati…
lamun enya jodona
lamun enya kuduna
moal rek aya nu bisa misahkeunnana…
lamun enya cintana
lamun enya hayangna
ulah rek aya nu nyoba misahkeunnana…4
Katémbong tikajauhan Lilis rék balik meuntas sasak. Leumpang kuring digancangan. Mingkin deukuet, dada karasa mingkin heureut. Tilu lengkah ka Lilis kuring ngarandeg.
“Lilis…”
Lilis ngalieuk, semu reuwas amprok jeung kuring. Sakeudeung silih teuteup anteub. Lilis ngeluk tungkul, jiga nu teu wasa paadu teuteup jeung kuring. Kuring ngadeukeutan manéhna. Gap teu asa-asa nyekel leungeun Lilis. Kuring teu nyaho naon nu ngalamuk dina haté Lilis ayeuna. Kuring nungtun manéhna mapay galengan muru saung. Sajajalan nu kadangu ukur sora manuk. Gék kuring duaan dariuk di saung jiga baheula keur leutik. Nya di saung eta pisan, Lilis babarengan deui jeung kuring. Lila paheneng-heneng. Duaan pabetem-betem. Kuring ujug-ujug bingung rék ngomong naon. Lilis tanggah lalaunan, neuteup ka kuring sakedapan. Duh, Lis, geus lila teu tepung. Angin karasa humaliwir. Kuring jeung Lilis silih teuteup. Teu karasa haté ngangakat leungeun sorangan ngaranggeum leungeun Lilis.
“Lis, hapunten Akang, “ pok téh,” Tong jadi pundung. Haté mah teu bisa dibobodo geuning. Kuring teh geuning teu bisa hirup sorangan…” ceuk kuring halon. Lilis neuteup panon kuring. Duh, bulu panonna mingkin carentik baé. Lilis nu manis, kuat nandangan tunggara satia nungguan haté kuring léah tumarima. Kuring ujug-ujug ngarasa deudeuh jeung geugeut ka Lilis. Katémbong aya nu ngeyembeng lebah kongkolak panonna.
“Lilis bakal satia salawasna…” pokna. Teu kungsi lila manéhna ceurik. Cipanonna nyakclak kana leungeun kuring. Haneut. Teu karasa Lilis nyangsaya kana dada. Cipanonna beueus karasa dina dada kuring.
“Horeeee!!!” kadéngé aya sora nu kareprok tukangeun saung. Kuring jeung Lilis ngarénjag bareng. Reuwas kabina-bina. Katémbong ki Momo jeung ki Dudus saparakanca tingtorojol muru saung. Nyi Mimin, adi, si bibi jeung indung kuring nuturkeun ti tukang, sareuri jiga nu bungah. Ki Oleh ajarg-ajragan atoh. Kuring jeung Lilis silih pelong, tuluy Lilis imut ngagelenyu.
“Man, ilaing jadi rék kawin jeung Lilis téh?” ki Momo nanya saklek jiga nanya ka maling. Kuring neuteup Lilis sakeudeung. Lilis imut surti. Kuring unggeuk. Sakur nu aya didinya kabéh keprok deui. Ki Oleh ajrag-ajragan. Indung kuring ngagabruk Lilis jeung kuring bari ngagukguk ceurik, bakating ku bungah. Indung kuring nangtung bari nyusutan cipanon. Teu eureun-eureun syukur ka Gusti. Duh, geuning salila ieu téh kuring lain mihukum Lilis hungkul, tapi mihukum indung, mihukum diri sorangan…
Kuring jeung Lilis silih teuteup geugeut. Barang rék nangkeup pisan Lilis, ki Oleh nyekelan taktak kuring.
“Eit, ke heulanaan! Méméh nangkeup Lilis, ilaing kudu panco heula jeung kuring!” ceuk ki Oleh.
“Emang Lilis jagong!” ceuk ki Momo némpas.
“Ilaing mah Oleh baku sok maén sengsor waé!” ceuk ki Dudus nyereng. Kabéh nu aya didinya seuri akey-akeyan ngadéngé aki-aki silih haok. Lilis tungkul bari imut manis. Saung katineung jadi saksina.
Duh, Lis, kakara nyadar Akang mah, raray anjeun mun pareng kaisinan estuning katingalna mani geulis…
Sumedang, 14 Februari 2008
[+/-] |
Presiden |
Presiden Kultural Untuk Bangsa Multikultur
KELIK NURSETIYO WIDIYANTO
Tidak dipungkiri lagi Indonesia merupakan negara dengan beribu suku berlaksa budaya. Beberapa puncak budaya lokal pun tercatat sebagai salah satu peradaban dunia. Sriwijaya, Malaka, Majapahit membumbungkan nusantara dalam perdagangan maritim dunia.
Hal ini diperkuat dengan catatan-catatan perjalanan penjelejah-penjelajah buana seperti Marcopolo, Ibn Batutah dll. Dari merekalah negara-negara Eropa mengenal negeri gemah ripah loh jinawi ini. Berdalih tawaran kerjasama dagang mereka menyebar di nusantara membawa misi 3 G (God, Gold, dan Glory). Awalnya diplomasi tukar menukar rempah-rempah dengan produk Eropa lama kelamaaan berubah menjadi merampas hak-hak inlander.
Imperialis-imperialis itu bukan sekedar mengeruk kekayaan bumi pertiwi, tetapi juga menjajah keragaman budaya asali bangsa. Mereka menganggap peradaban mereka adalah peradaban tertinggi di dunia dan tidak ada yang menyetarainya. Kebudayaan di luar mereka dianggap primitif dan bisa sekenak mereka untuk merubahnya. Dengan dalih objek studi budaya padahal mereka sedang menelusuri lubang-lubang kelemahan budaya bangsa ini. Celah-celah kelemahan itu dijadikan modal memperkuat cengkeraman kekuasaan mereka atas nusantara. Snouck Hugroje membuktikannya dengan patahnya perlawanan rakyat Aceh di awal abad 20.
Begitu kuatnya penjajah menggenggam pemikiran rakyat hingga hasil pengolahan budaya mereka kita anggap sebagai bagian budaya bangsa ini. Kita dibuat lupa dengan jatidiri kita sendiri. Neokasta santri-abangan, penyamaramataan struktur pemerintahan lokal, kitab-kitab undang-undang hukum pidana dan perdata yang hingga kini masih kita gunakan, korupsi-kolusi, merupakan beberapa contoh hasil pengakraban budaya penjajah berdasar budaya lokal. Teramat dalamnya imperialis menanamkan pengaruh mereka ke dalam akar pemikiran rakyat hingga tidak bisa kita berontak dan kabur darinya.
Salah satu bentuk penjajahan budaya lainnya ialah mencentang perenangkan suku-suku di Indonesia. Setiap suku diyakinkan bahwa merekalah suku terbaik, termaju, tercerahkan sementara suku lain tidak. Maka penenpatan kampung-kampung bercorak kesukuanpun banyak berdiri. Kampung Melayu, Pecinan, Kampung Arab, Kampung Jawa, dll contoh pemisahan antar suku di suatu kota. Waktu itu kita menganggapnya sebagai wilayah kesukuan. Kita berfikiran dengan terkonsentrasinya sebuah suku di perantauan dalam suatu wilayah akan mengingatkan kita pada kampung halaman, sekaligus menjaga tradisi tanah leluhur di negeri orang.
Maka tidak heran jika sekarang pun sikap mengganggap sukunya yang terbaik masih melekat disebagian elit suku. Jarangnya pernikahan antarsuku sebagai contoh eksklusifitas sebagian sesepuh suku. Sebaliknya menganggap suku lain sebagai penghambat kemajuan sukunya semakin menebal. Akhirnya pertikaian antarsuku tidak bisa dielakkan. Peristiwa berdarah tak terlupakan di Sampit, Ambon, Poso bukti sisa-sisa kedigjayaan penjajah ketika berkuasa. Entah siapa yang memulai, tetapi tragedi itu mengingatkan kita ratusan tahun yang lalu saat nusantara masih tersekat laut. Saat suku lain adalah musuh yang harus ditaklukan.
Penyelesaian konflik antarsuku itu bukannya tidak dilakukan. Banyak upaya telah dilakukan, tetapi bak bom waktu, perseteruan itu sewaktu-waktu bisa meledak. Bom itu tidak dibuat kemarin, tetapi telah terakit ratusan tahun lalu. Hanya saja tanpa disadari kita menciptakan kehancuran bangsa sendiri. Hal ini diperparah dengan ketidakempatian dari banyak pihak. Pihak ketiga ini justru memprovokatori agar perseteruan ini berlangsung lama. Banyak isu mereka usung dari agama hingga cauvinisme sebuah suku.
Memperlancar komunikasi antarbudaya dan antar suku yang selama ini macet dapat dijadikan salah satu penyelesaian konflik tadi. Ironis, jika kita melihat dunia telah menjadi kampung global sementara Indonesia masih berkutat dengan persatuan dan kesatuan. Untuk bisa terlibat dalam kampung global dibutuhkan kekuatan budaya diri kita dahulu agar tidak terinfiltrasi bentuk penjajahan baru. Bagi sebagain orang kampung global adalah gaya imperialisme baru Barat terhadap Timur.
Komunikasi antarbudaya semakin penting ketika kita berada di komunitas budaya yang berbeda. Dalam komunikasi antarbudaya perbedaan budaya merupakan modal utama lahirnya komunikasi baru. Selain bahasa pertukaran budaya lokal dapat menjadi instrumen penguat keberadaan negara. Selain Indonesia banyak negara di dunia lahir karena keragaman budaya. Amerika Serikat, Malaysia, Australia adalah contoh negara yang menempatkan kekuatan lokal sebagai ciri bangsa.
Memperkuat regulasi pemerintah pusat terhadap penerapan hukum yang adil dan bijaksana dapat dijadikan cara lain penyelesaian konflik. Jika daerah tidak bisa mengelola otonomi daerah seluas-luasnya potensi konflik sesungguhnya lebih besar terjadi. Konfrensi Malino sebuah contoh keterlibatan pemerintah pusat dalam konflik daerah, dan itu sudah seharusnya. Walau konfrensi ini menyisakan pekerjaan rumah namun kehendak untuk saling memahami antar faksi yang bertikai menunjukan bahwa bangsa Indonesia sesungguhnya mencintai perdamaian.
Melihat akar konflik tadi bukan tidak mungkin jika bangsa ini tidak memiliki seorang pemimpin yang mampu mengelola keanekaragaman etnis sebagai modal pembangunan. Permasalahan tadi akan terjawab ketika pemimpin Indonesia adalah seorang manajer antarbudaya yang cakap untuk mengurai potensi perpecahan itu. Kita tidak bisa yakin dengan slogan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saja tanpa semua rakyat merasakan keberadaannya. Seorang manajer budaya itu ialah seorang yang memiliki kearifan budaya lokal. Manajer itu akan lebih leluasa mengambil keputusan jika ia orang nomor satu negeri ini.
Di tengah kemajemukan bangsa Indonesia adakah seorang calon presiden sekaligus manajer antarbudaya? Di sisi lain kandidat presiden yang ada sekarang justru meretas potensi konflik baru. Mereka secara terang-terangan mendikotomikan Jawa-non Jawa, Militer-sipil, Santri-Nasionalis. Koalisi kebangsaan bersaing dengan koalisi kerakyatan. Secara nyata pula mereka sedang mendulang suara dengan perbedaan itu. Fokus utama para calon presiden adalah bagaimana menuju istana dengan dukungan sesuatu yang sesungguhnya bertentangan. Mereka menjadikan rakyat sebagai objek belum menjadi subjek politik.
Seorang presiden sekaligus manajer antarbudaya bukan orang yang terjebak dalam pertentangan itu. Tetapi mereka adalah putra bangsa terbaik yang, selain seorang yang memiliki kearifan budaya, juga seorang yang memiliki jiwa toleransi yang tinggi. Ia bukan seorang yang pernah terlibat pertentangan itu, bukan pula seorang yang justru memiliki potensi untuk berkonflik. Jika, ketika ia baru menjadi capres saja sudah meresahkan dan menanamkan bibit pertikaian, tentunya ketika ia jadi penguasa dan duduk di kursi kepresidenan buah pertikaian yang ia tuai.
Syarat lain seorang capres sekaligus manajer antarbudaya memiliki sikap demokratis. Suku-suku di Indonesia memiliki sikap demokratis yang tinggi dalam hal penyelesaian masalah. Mereka lebih suka berdialog sebelum genderang perang ditabuh. Kasus-kasus konflik antarsuku beberapa waktu lalu didorong pihak ketiga. Mudahnya bangsa Indonesia menerima ajaran Islam, salah satu sebabnya karena Islam mengajarkan kedamaian. Islam pun agama yang paling cocok dengan kultur transenden bangsa-bangsa di Indonesia. Islam memiliki Tuhan Yang Satu yang sama dengan hampir seluruh tuhan di suku-suku di Indonesia.
Menjadi presiden sekaligus sebagai manajer antarbudaya tentunya ia harus memiliki trade record sebagai agen budaya. Di waktu lalu, Ir. Soekarno, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, merupakan contoh seorang pemimpin sekaligus manajer antarbudaya yang tangguh. Bukan saja antarbudaya di bumi pertiwi tetapi dibuktikannya sebagai pemersatu negara-negara baru dalam konferensi Asia Afrika. Sebab ia memiliki latarbelakang keragaman budaya. Ayah Jawa, Ibu Bali, mengenyam pendidikan di tatar parahyangan, berinteraksi dengan pemuda-pemuda di seluruh nusantara bahkan dunia. Tidak dipungkiri lagi kepiawaian Bung Karno sebagai agen budaya bangsa.
Konflik antaretnis dapat disebabkan pula oleh krisis multidimensi yang memporakporandakan tatanan nilai bangsa. Soeharto dengan tangan militernya berusaha mengangkat derajat bangsa. Dibalik keberhasilan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa ternyata menyisakan virus-virus kesenjangan sosial yang bisa menyerang kapan saja. 1998, sejarah mencatatnya.
Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati presiden setelah setengah abad kemerdekaan Indonesia tidak juga mampu memahami Indonesia sebagai negara berbudaya tinggi. Melihat potensi kebudayaan calon pemimpin bangsa ini, entah budaya apa lagi yang akan digunakan mereka dalam menakhodai perahu besar dengan lubang dimana-mana yang sedang berlayar di tengah badai nan dahsyat ini. Presiden memang memegang kendali bangsa tetapi Anda yang menentukan ke dermaga mana bangsa ini kelak melempar sauhnya.
[+/-] |
UIN |
UIN Bandung di Belantara Dunia Maya
Oleh IBN GHIFARIE
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung merupakan Universitas Negeri yang berbasiskan keislaman dalam bingkai ‘Wahyu Memandu Ilmu’.
Perguruan Tinggi Islam ini terletak di pinggiran Bandung Timur. Letaknya berada di Jalan A. H Nasution No 105 Bandung 40416.
Namun, saat kita menjelajahi jendela dunia cyber. Kita menemuka posisi yang sangat mengejutkan sekaligus mengecewakan.
Betapak tidak, berdasarkan google saat kita mengklik UIN. Kampus IAIN SGD Bandung berada di posisi Ketiga; Pertama UIN Jakarta yang di ketuai oleh Prof Dr Komarudin Hidayat. Kedua UIN Jogjakarta yang di komandoi oleh Prof Dr H M Amin Abdullah. Ketiga, UIN Bandung yang di pimpin oleh Prof Dr H Nanat Fatah Natsir.
Tak hanya itu, kala kita mencari Forum Diskusi lebih mengecewakan lagi. UIN Bandung menduduki urutan keduabelas. Padahal Bedah Wacana merupakan komunitas diskusi cyber Civitas Akademika.
Kendati sedikit berbangngga. Pasalnya ruang diskusi untuk kalangan UIN. Bandung berada di peringkat pertama.
Begitupun dalam urusan Blogger.Sunan Gunung Djati adalah komunitas Blogger UIN SGD Bandung mendapatkan posisi top.
Inilah sekelumit kisah Keluarga Besar UIN SGD Bandung (Website, Forum Diskusi dan Blog) di belantara dunia maya. Semoga bermanfaat. [Ibn Ghifarie]
Cag Rampes, Pojok Ngeheng Komputer, 18/02/08;21.23 wib
[+/-] |
Dakwah |
Dakwah Harus Memikat
Oleh AHMAD SAHIDIN
Seorang sufi bernama Jalaluddin Rumi bercerita. Dahulu ada seorang muadzin bersuara jelek di sebuah negeri kafir. Ia memanggil orang untuk shalat.
“Janganlah kamu memanggil orang untuk shalat. Kita tinggal di negeri yang mayoritas bukan beragama Islam. Kami khawatir suaramu menyebabkan terjadinya pertengkaran antara kita dengan orang-orang kafir,” ujar seseorang menasehati.
Tapi muadzin itu tak menghiraukannya. Hingga tiba pada suatu waktu, seorang kafir datang ke masjid. Dia membawa jubah, lilin, dan manis-manisan. Orang kafir itu mendatangi jamaah kaum muslimin dan bertanya, “Katakan kepadaku di mana sang muadzin itu? Tunjukan padaku muadzin yang suara dan teriakannya selalu menambah kebahagiaanku?”
“Kebahagiaan apa yang kau peroleh dari muadzin itu?” tanya seorang muslim. Orang kafir itu pun bercerita, “Suara muadzin itu menembus ke gereja, tempat kami tinggal. Aku mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik dan berakhlak mulia. Ia berkeinginan sekali untuk menikahi seorang mukmin sejati. Ia mempelajari Islam dan tampaknya tertarik masuk Islam. Melihat itu aku tersiksa, gelisah, dan terus menerus risau memikirkan anak gadisku. Aku khawatir ia masuk Islam. Sampai satu saat anakku itu mendengar suara adzan. Ia bertanya, suara apa yang tak enak ini? Suara ini mengganggu telingaku.
Kemudian saudara perempuannya menjawab, ‘suara itu namanya adzan, panggilan untuk beribadat bagi orang-orang Islam. Adzan adalah ucapan utama dari seorang yang beriman.’
‘Bapak, apakah betul suara yang jelek itu adalah suara untuk memanggil orang sembahyang?’ tanya anakku. Aku pun meyakinkan bahwa betul suara itu adalah suara adzan. Wajahnya berubah pucat pasi. Begitu aku menyaksikan perubahan itu, aku merasa dilepaskan dari kecemasan yang menghimpitku. Tadi malam aku tidur nyenyak. Betapa besar rasa terima kasihku padanya. Bawalah aku kepada muadzin itu. Aku akan memberikan seluruh hadiah ini,” ungkapnya.
Orang kafir itu bertemu dengan muadzin dan berkata, “Terimalah hadiah ini karena kau telah menjadi juru selamatku. Berkat kebaikan yang telah kau lakukan, kini aku terlepas dari penderitaan. Sekiranya aku memiliki kekayaan dan harta yang banyak, akan kuisi mulutmu dengan emas.”
Masih adakah cerita di atas pada masa sekarang? Saya jawab tak tahu. Mungkin ada jika dilihat pada esensi cerita tersebut. Esensi cerita di atas merupakan fakta bahwa dakwah Islam harusnya yang mengundang orang masuk pada Islam secara tulus. Bukan dakwah yang menjauhkan orang pada Islam. Ini yang saya kira disampaikan Jalaluddin Rumi, sufi asal Persia yang banyak melahirkan puisi bernuansa religi, dalam cerita di atas.
Dakwah memang persoalan yang kerapkali menjadi pembicaraan yang tak habis. Karena dakwah memang diperintahkan hampir dalam setiap agama yang ada di dunia ini. Sebab dakwah adalah upaya memperbanyak pengikut, sekaligus menunjukkan bahwa agama tersebut berguna bagi penganutnya.
Dakwah yang bersifat keras dan ekstrim biasanya menjadikan citra agama jadi rusak dan dianggap tak membawa kedamaian di masyarakat. Kita juga tahu bagaimana sepak terjang beberapa harakah dan ormas (organisasi masyarakat) Islam di Indonesia yang langsung oleh Barat dicap teroris dan fundamentalisme. Tak mustahil mereka yang asalnya tertarik dengan Islam, ketika melihat aksi-aksi serampangan, pasti mempertimbangkan kembali.
Itulah salah satu masalah dalam dakwah. Tak jarang dakwah menjadi masalah di masyarakat. Banyak kasus terjadi di Indonesia, agama-agama minoritas dihantam habis oleh penganut agama mayoritas. Tidak hanya itu, bahkan aliran atau sekte dalam agama mayoritas pun tak jarang kena hantaman, ketika pahamnya itu berbeda dan berlainan dengan aliran yang dianut mayoritas.
Biasanya, pencekalan dan pembabatan itu terjadi setelah disulut oleh mereka yang menamakan lembaga resmi tak ingin dapat saingan dan kompetitor dalam memasarkan ajaran-ajarannya. Label sesat, kafir, murtad, syirik pun pasti dilekatkan oleh mereka; sehingga masyarakat yang tak paham pun ikut meneriakinya.
Ini memang fenomena yang harusnya membuat kita semakin arif. Sebab bencana kemanusiaan dan pemberangusan hak-hak asasi manusia yang muncul setelah itu. Mereka dicekal dan diasingkan, bahkan ditutup akses kehidupannya.
Saya kira fenomena seperti yang disebutkan tadi tak boleh terulang lagi. Negeri ini bukan milik segelintir orang dan juga bukan milik salah satu ormas atau partai politik. Mari jajakan agama yang bisa menyelamatkan dan membawa kebahagian umat manusia ini dengan cara yang santun dan menarik semua umat manusia di dunia ini. Mari kita mulai dari saat ini.