Senin, 18 Februari 2008

Sekuler

Sekulerisme; Agama Publik dan Demokrasi Dalam Wacana Rekonstruksi Religiusitas
Oleh SAEFUL ANWAR

Masyarakat modern sebenarnya sangat sekuler, bahkan orang mengingkarinya sekalipun tetap sekuker. Ironisnys setelah kita menggali tradisi mistikdari rus utama kebudayaan dan menyatakannya tidak relevan dengan zaman ini, kita semua merasa hampa tnpa kehadiranhal-hal mstik David Myburi-Lewis, Millenium

teriakanlah kebenaran, asal kau katakana dengan nada miring
(Emile Dickinson)

Agama, Apakah Itu?

Sebagai latar belakang untuk mencoba membahas judul diatas, dalam kesempatan ini penulis mengutip dari H.M Rasyidi yang mengatakan bahwa kita perlu memikirkan tentang agama . Agama dalam bahasa Sangsakerta dapat diartikan sebagai berikut; a diartikan tidak, sedangkan gama dapat diartikan kacau. Dengan kata lain dengan adanya agama diharapkan tidak ada kekacauan didunia ini. Setidaknya satu perkataan yang sering dikatakan keliru, yaitu perkatan agama diharapkan tidak ada kekacauan didunia ini. Seorang ahli agama yang bernama William Temple , pernah berkata “…agama adalah menuntu tpengetahuan untuk beribadat”. Dan lebih lanjut ia mengatakan pokok dari agama bukan pengetahuan tentang Tuhan tapi perhubungan antara seorang manusia dengan Tuhan. Istilah agama ternyata sebuah kata yang terbentuk pada periode pertengahan dan modern, pertama, ketika gereja keristen memaksakan wewenangnya untuk membedakan anara paktik Keristenisasi sebagai agama “sejati” dengan paganisme (penyembahan berhala) sebagai agama “palsu”. Kedua, ketika para pemikir, ilmuan, dan ahli Filsafat politik modern awal hendak membedakan antara hal religiusdari hal yang sekuler

Pada permulaannya agama sebenarnya bertujuan menjadi suatu instrument untuk perdamaian dunia. Ia menjadi symbol yang selalu diimpikam semua orang, ia menjadi tumpuan akhir dari berbagai kekacauan dan kerusakan dalam dunia. Namun ketika agama jatuh pada tataran eksoteris (ekspersi manusia) ia (agama) seakan menjadi monster yang amat menakutkan. Persoalannya terletak pada tingkat mengapresiasikan nilai ketuhanan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang telah memiliki sekat-sekat ideologis cultural dan kepentingan politik yang berbeda beda sehingga sering terjadi benturan antara masing-masing komunitas social yang merasa mereka adalah pewaris kebenaran dari Tuhan, sehingga mereka mengklaim bahwa diluar dari golongan mereka adalah kafir. Fenomena seperti itu dapat kita rasakan pada peradaban sekarang ini dimana kelompok atau personal yang melakukan ritual yang berbeda dengan golongan lain dianggap sesat dan kafir, dan menurut sebagian orang halal untuk dibunuh seperti dalam kasusus pemboman di Bali yang mengatasnamakan agama Islam dan seakan akan pembenaran dari tindakannya yang dilkukan seakan-akan adalah kepentingan Tuhan . Pada dasarnya apayang dilakukan adalah hal yang bodoh kerena islam tidak mengajarkan kekerasan.

Paradigma keber-Agamaan seperti itu patut dikatakan keliru karena agama diturunkan dari Tuhan untuk kepentingan manusia, bukan dari Tuhan untuk kepentingan Tuhan, dan bukan pula dari manusia untuk Tuhan. Melainkn dalam hal ini Tuhan berposisi sebagai sumber spirit moral. Dari Nya manusia berasal, kepadanya pula manusia akan kembali untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya selama hidup didunia. Agama pada dasarnya bersifat kemanusiaan tetapi bukan berarti kemanusiaan yang berdiri sendiri melainkan kemanusiaan yang memancarkan dari wujud Tuhan. oleh sebab itu, sebagaimana nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan maka nilai keagamaan mustahil menentang nilai kemanusiaan.

Pada intinya agama yang benar secara universal sesungguhnya ia hadir atau diturunkan adalah untuk memperjuangkan emansipasi harkat manusia. Bukan menghancurkan atau menghilangkan existence manusia. Ketika pesan universal agama itu turun keruang budaya, ia akan mengalami proses partikularistik yang plural.realitas ini kemudian sangat membutuhkan penyikapan yang arif; diantaranya, pertama menghargai keragaman yang partikularistik-pluralistik sebagai keniscayaan dalam kehidupan. Kedua, pesan universalistic agama yang mesti memilii hubungsn benang merah dengan realitas historis yang partikularistik orisinalitasnya, maka praktek agama pada tingkat historisnya akan kehilangan makna dan fungsinya bagi kemanusiaan, bahkan akan terjadi manipulasi agama, yaitu agama dipraktekan hanya secara simbolik-formalistik.

Identitas Agama Kekinian

Sepintas thesis yang dilontarkan Samuel P. Hutinhton tampak benar, karena dalam tataran realitasnya, agama dijadikan tameng dalam berbagai peperangan dan konflik dalam suatu komunitas masyarakat. Karena merasa agamanyalah yang paling benar dan diluar sari kelompoknya dianggap sesat bahkan mengaggap kafir, meskipun satu keyakinan secara subtansi yang sama, tak jarang pemahaman fanatic buta (ta’asub) ini menjadi awal konflik atas nama agama. Seperti peperangan yang terjadi di Andalusia (Spanyol) yang lebih dikenal dengan perang salib (antara Kristen dengan Islam), juga yang terjadi di Timur Tengah (antara Yahudi dengan Islam). Bahkan yang lebih mencengangkan lagi tentang peperangan antar kelompok yang satu agama, seperti penyerangan masyarakat Islam terhadap Jemaat Ahmadiyah di Bogor, juga konflik yang berkepanjangan di Poso, penutupan dan pembakaran gereja-gereja, pengharaman terhadap kelompok yang berhaluan Pluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme yang diprakarsai oleh MUI, juga aliran-aliran yang lainnya, yang mengatasnamakan kebenaran dan tindakannya dilegalkan oleh agama.

Agama dalam konteks kekinian telah beralih fungsi, dari fungsi kedamaian universal kearah kedamaian lokalitas-sekterian, menjadi bukti bahwa agamapun turut menyumbangkan dalam segenap pemicu kekacauan. Namun kita tentunya tidak biasa menyalahkan agama, sebagai pemicu konflik, karena konflik yang terjadi pada dasarnya terjadi atas pemahaman person terhadap agama itu sendiri. Agama dipahami secara sempit dan cendrung letterlijk sehingga melahirkan pemahaman yang sempitpula, agama sering dipahami sebagai untouchable yang melahirkan fundamentalis religi.

Tak heran kemudian banyak muncul kecaman terhadap existensi agama-agama dalam paruh abad ini. Seperti yang dikatakan Wilson dengan rasa pesimisnya ia mengungkapkandilema agama-agama, bahwasanya;

Didalam Al-kitab (Bible) disebutkan bahwa uang merupakan sumber segala kejahatan. Atau lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa cinta Tuhan merupakan sumber segala kejahatan. Agama merupakan tragedy umat manusia. Agama mengajak kepada hal-hal yang sangat luhur, sangat murni dan sangat tinggi dalam jiwa manusia, akan tetapi hamier tidak ada satu agamapun yang tidak ikut memberikan andil dan pemicu atas berbagai peperangan, tirani dan penindasan atas kebenaran. Marx pernah menggambarkanagama sebagai candu masyarakat, bahkan agama lebih berbahaya dari candu agama tidak membuat orang tertidur, agam mendorong orang untuk menganoaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas peasaan dan pendapat orang lain, dalam rangka mengklaim kebenaran sebagai milik mereka sendiri. Atas perasaan dan pendapat orang lain, dalam rangka mengklaim kebenaran sebagai milik mereka sendiri.

Pada konteks ini tejadi klaim kebenaran (truth claim) secara eksklusif, dimana kelompok yang memiliki keabsahan karakteristik beragama seperti ini, keabsahan teologinya ada pada nya, dan keselamatan (salvation claim) hanya ada dan menjadi milik mereka pula. Memperhatikan tanggapan pesimisme Wilson terhadap keberagamaan seperti itu sesungguhnya merupakan kritik keras dan peringatan terhadap peranan semua agama. Bahwasanya dalam setiap agama pasti ada penganut yang memiliki potensi negatif dan destruktif yang membahayakan, yang mengancam pada tingkat kekacauan (chaos). Sungguh sangat ironis ketika agama sudah hilang semangat kemanusiaannya dalam suatu peradaban maka ia akan tampil sebagai instrumen yang dapat menhancurkan peradaban maka sudah pasti ia akan tampil sebagai instrumen yang menghancurkan manusia dan peradabannya.

Ketika agama saling berperang dan dengan mengatasnamakan Tuhannya, yang dianggap sebagai perang suci dan dengan anggapan dia mati dalam syahid dan akan masuk surga. Keyakinan ini muncul karena adanya truth and salvation claim dari masing-masing agama. Secara awam masing-masing kelompok agama yan konflik diatas panggilan iman untuk membela kebenaran, seakan menjadi benturan “antara kebenaran dengan kebenaran” padahal secara subtansial jika perang antar penganut agama-agama dipikirkan secara arif dan rasional perang itu adalah “perang menodai kesucian agama”. Dengan kata lain dapat disebut sebagai kepalsuan melawan kepalsuan atau kezalimaan melawan kezaliman. Karena agama kehilangan fungsi dan berubah peran yaitu hak kemanusiaan yang harus dijunjung dan diemansifasikan-selaku cita illahiyang tertinggi, oleh karena itu peran profetis itu berubah menjadi peran anarkis dan dehumanisasi.kita mendapatkan orisinalitas dan pesan universal agama dinodai dan dimanipilasikan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tak pelak lagi kemudian kehidupan keberagamaan disatu sisi memberikan harapan dan peganggan hidup bagi orang yang memeluknya, namun disisi lain kehidupan keberagamaan pulalah yang yang menjadi sumber konflik dan malapetaka baik itu untuk manusia maupun alam semesta.

Agama dan Konflik Sosial di Indonesia

Konflik yang terjadi atas nama agama rupanya tidak hanya terjadi di dunia barat maupun Timur, namun kini telah merambah ke dalam negeri Tanah air Indonesia. Kalaulah kita mencermati perkembangan dan dialektika hubungan antar agama di Indonesia, seakan kita sampai pada eksterm bahwa agama tidak mampu melahirkan masyarakat yang harmonis, apalagi kreatif, dan tidak bisa menyentuh pada sisi esensinya sebagai agama yang membawa kebaikan (fitrah). Hal ini dapat ddibuktikan dengan semakin meluasnya konflik-konflik antar intern dan ekstern agama dalam masyarakat, seperti yang terjadi dewasa ini, manusia dengan mudahnya mengahus, memprovokasi bahkan dengan tanpa berdosanya menghilangkan nyawa orang lain, dengan dalih mengatasnaakan agama. Berbagai usaha dan terapi telah diujicbakan namun hasilnya belum memuaskan,kalau kita hendak mengembalikan manusia kepada fitrahnya yang abadi (perennial), karena itu seruan untuk menerima agama yang benar harus dikaitkan dengan fitrah manusia sebagai makhluk social yag tidak bisa lepas dari saling ketergantungan dengan individu maupun kelompok lain.sebagaimana kitab suci telah menulisnya dalam ayat;

“Maka hadapkanlah wajahmu untuk agama ini sesuai dengan kecenderungan alami menurut fitrah Allah yang dia telah ciptakan manusia diatasnya. Itulah agama yang tegak lurus, namun sebagian manusia tidak mengetahui”

Wajah agama pada akhirnya bergerak menurun tajam dari “perekat bangsa” (obligation in supra solidum) kearah pemecah bangsa (obiligo in contravention solidium). Kegamaan pada awal kemerdekaan mejadi sentrum (lembaga) berubah menjadi disentrum (pisau). Agama yang berupa kumpulan doktrin yang mendamaikan berubah menjadi ajakan kekerasan. Agama yang berupa kumpulan teks yang membebaskan yang metafosis menjadi gumpalan yang rigid. Agama terbukti menjadi salah satu pemicu yang dipakai dalam garakan-gerakan yang mengatasnamakan kebenaran yang berlindung didalam agama, juga yang mengkalim gerakan-gerakan separatisme-disintegrasi bangsa.

Ada beberapa model dan alasan mengapa agama terkesan gagal daram mengatasi (mengurangi) konflik sehingga terus menerus meluas. Pertama, agama di Indonesia sering menampilkan dirinya sebagai sosok “penguasa yang sakti” yang tak terbatas. Kedua, dalam derajat tertentu, agama menunggangi konflik-konflik laten dalam mayarakat. Konflik yang awalnya yang merupaan konflik personal, antar warga, antar suku, antar daerah,dan antar golongan, da meledak sesekali karena disusupi oleh agama. Ketiga, diberbagai lapisan masyayakat agama menjadi opium padt yang menghilangka rasionalitas, karena ia merupakan sesuatu yang efektif untuk menumbangkan rezim tertentu.

Ada empat varian dalam agama, yaitu siste keyakinan, organisai, identitas kelompok, dan pengaturan kemasyarakatan. Pada varian system keyakinan yang berlandaskan pada skiptural dan subtansial-agama di Indomesia menampilkan dirinya sebagai penguasa tunggal yang skipturis. Pada varian organisasi keagamaan yang terbagi menjadi odel organic (berepistemologi kearifan aktif) dan model cultural (berepistemologi pasif) agama di Indonesia “dalam derajat tertentu bermatamorfosis dan besimbiosis dengan konflik-konflik laten antar masyarakat”.

Pada varian pengaturan kemasyarakatan yang tediri dari theocracy (masyarakat yang religius), seculer( masyarakat yang duniawi), dan seculer theistic (masyarakat pancasila, agama di Indonesia dalam waktu-waktu ttertentu berwajah dan berkekuatan “antibiotic” bagai panacea atas problem modernitas yang tak ramah. Dengan berbagai fenomena yang muncul kepermukaan sebagaimana yang dipaparkan diatas, yang dapat digarisbawahi bahwa agama di Indonesis hidup seperti dalan ungkapan “post coitum omneanimal tristist est (setelah suatu momen yang baik dan menegangkan, kita sering kehilangan sesuatu yang lebih besar), oleh karena itu mengembalikan peran properties agama-agama adalah suatu kemestian, dimana dalam suatu agamayng benar, ia harus belajar pentingnya menghargai harmoni kemanusiaan universal dan kosmos seagai tujuan penciptaan kehidupan.

Civil Religion dan Rekontruksi Sosial-Religi

Maka, karena itu langkah yang aternatif dari fenomena konflik atas nama wilayah agama adalah dengan mengedepankan kosep civil religion , ditinjau dari segi ennografis tidak ada satu kelompok manusiapun diseluruh duniayang tidak mempunyai kepercayaan. Agama menjadi lembaga, norma bahkan menjadi legenda tertua dalam sejarahdunia yang melibatkan dari jauh kedalam persoalan masyarakat.

Pada sejarah berikutnya agama berhasil membawa perubahan social. Ia mengajarkan transformasi loyalitas sektoral menuju transpormasi identitas individual yang berakhir pada transformasi nilai, dari obligation in solidum kearah obligatiain supra slidum (dari gotong royong segmentis kearah gotong royong segmentisyang diikat oleh nlai-nilai).dengan beragana ,seseorang membangun ketulusan kerja seagama, kemudian seiman dan trans-iman. Agama kenudian bertugas melakukan penyadaran secara menyeluruh (coscienzitation) terhadap proses dan pelestarian menjadi diri manusia merdeka.

Agama yang mampu berbuat seperti logika adaah agama sivil (civil religion). Sebuah agama yang menyadari bahwa tanpilan diwilayah publik hanyaah sebatas nilai dan semangatnya, bukan adanya bentuk-bentuk formal, lebih jauh lagi agama civil menghendak adanya kemerdekaan manusia bukan hanya sekedar monolog top-down melainkan pekerjaan yang menyebabkan naiknya derajat kehormatan bagi yang menjalankan. Adanya kesadaran pluralise membawa setiap manusia pada penerimaan akan terjadinya konflik, karena setiap orang miliki kebutuhan dan cara pandang yang berbeda sehingga dapat mengakibatkan ketegangan serta selisih pendapat dalam berbagai dimensi aktivitas kehidupan. Bahkan Frenklin Dukes mengatakan, pada masyarakat demkratis, konflik adalah dasar dari perubaha sosisl (social change) . Demikian pula halnya dengan Lewis A Coser yang lebih tegas mengatakan bahwa konflik menunjukan terjadinya perubahan dinamika pada setiap masyarakat (dynamic change) . Oleh kaena itu yang dilakukan adalah memenaj kekerasan, justru konflik dapat dimenej menjadi potensi untuk saling membantu, bekerjaama, dan berkompetisi dalam kehidupan.

Untuk membangun kehidupan yang anti kekerasan dan cinta damai, diperlukan beberapa hal; pertama pemahaman dan sikap keberagamaanyang menghargai realitas pluralisme, kedua, perlu perlu ada transformasi pemahaman agama , dari pemahaman yang individualistic-ritualistik dan terlalu elistis-eksatologis kepada pemahaman integtalitiv-dan komprehensif, yaitu aspek kesadaran eksstensi ya illahi yang akan memberi kesadaran untuk menghargai da memberdayakan manusia.Kekerasan sosisl yang ada di Indonesia dewasa ini menggambarkan agama-agama telah kerim\ng dan telah hilang seangat profetiknya. Oleh karena itu upaya untuk membangun kesadaran prfetik adalah agenda untuk mejadkan agama secara positif dalam rangka menghargai sesame. Ketiga, perlu adanya kritik secara objektif terhadap teks-teks suci agama-agama, yang secara harfiah kelihatannya menyatakan sikap kerasterhadap kelompok lain (ada dalam sebuah agama), jika kitab suci diterjemahkan secara harfiah maka akan melahirkan sikap benci terhadp agama lain, dan akan dijadikan alat legitimasi untuk melakukan kekerasan dan kejahatan kepada orang lain. Keempat, dengan adanya hubungan agama-agama pada masa lalu yang berdarah-darah, khususnya dengan realitas peperangan antara pemeluk agama, dan suku yang berbeda di Indonesia dewasa ini, apabila tidak dikritisi secara objektif, maka hal ini dapat membawa tarauma danrasa kebencian terhadap sesama manusia secara unuversal. Kelima, media diaolog merupakan salah satu cara untuk membangun kesadaran anti kekerasan, karena dialog merupakan media untuk membuka ruang-ruang untuk saling memahami pluralitas.

System sosial merupakan elemen structural yang sangat penting dalam kehidupan manusia selaku makhluk sosisl, yang oleh mazhab fungsional sering diibaratkan sebagai organisme hidup yang satu sama lain saling terkait dan saling membutuhkan agar mampu berthan dan saling melangsungkan kehidupan.

Dalam pandangan Talcott Persons bahwa suatu system social dalam masyarakat agar tetap berfungsi dan mampu melangsungkan kehidupannya memiliki empat persyaratan fungsional. Persyaratan pertama, ialah adaptasi (adaptation) yaitu kemampuan setiap elemen social dalam masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga mampu bertahan dalam dinamika kehidupan. Kedua, mempunyai goal attanment, yaitu kemampuan untuk memobilisasisumberdaya guna mencapai tujuan bersama-kehidupan yang harmonis. Ketiga, integrasi (integration), yaitukemampuan setiap elemen atau system untuk menyatukan diri, sehingga terpelihara solidaritas social da keutuhan. Dan yang keempat, pemeliharaan pola (pattern manintenance) yaitu kemampuan setiap elemen untuk mempertahankandirinya dalam keseimbangan terus menerus yang membentuk orientasi nilai dalam kehidupan bersama.

Demokrasi; Teori Pembebasan

Muhammad Syahrur pernah mengatakan, bahwa inti dasar kehidupan adalah kebebasan tang tidak bisa di tawar-tawar, setiap manusia mempunyai hak untuk bebas tanpa ada intervensi dari luar, setiap orang adalah manusia yang bebas dalam menentukan pilihan-ilihan hidupnya. Tidak ada satu otoritaspun yang boleh menghalangi realisasi dari kebebasan yang dimiliki seseorang, system kehidupan individu dan social harus dibangun untuk memelihr kebebasan setiap orang, menghindari restriksi (tekanan) atas manusia. Karena selama ini masalah eksploitasi manusia oleh manusia menjadi tema yang di usung oleh setiap agama, ideology dan pemikiran dengan klaim bahwa mereka membawa misi keselamatan bagi manusis menuju manusia yang menuju kebbasan yang menjadi fitrah manusia.

Kebebasan tidak berasal dari Tuhan, karena ia telah memberikankebebasan pada setiap hamba-Nya dengan rasa kasih sayang yang tidak terbatas, kebebasan seseorang berurusan denan tata laku dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam ruang privat maupun dalam ruang social, terkait dengan pola-pola relasi dan interaksi social dalam ruang sejarah. Dengan dasar kebebasan itu manusia memilikitanggungjawab moral, memiliki tanggung jawab atas seluruh perilakunya yang berdasarkan atas kebebasanyang dimilikinya. Dan tanggung jawab seseorang adalah mewujdkan system kehidupan yang berkeadilan, berkesetaraan, dan memelihara anugerah kebebasan ersebut supaya idak dicedrai oleh manusia itu sendiri.

Masing-masing individu dituntut untuk menampilkan diri sebagai makhluk yang bermoral yang bertanggung jawab, yang akan memikul segala amal perbuatannya tanpa kemungkinan mendelegasikannya kepada orang lain. Karena semua umat manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan martabat mereka yang dikaruniai akal budi dan hati nurani, dan harus bersikap terhadap satu sama lain dalam semangat persaudaraan . Deklarasi Hak Assi Manusia (Declaration of Human Right) merupakan bentuk jaminan kebebasan yang masih abstrak. Dokumen yang disepakati ini harus direalitaskan kekinian dengan menafsirkannya , sehingga menjadi dokumen yang kongkrit dalam sejarah
Seorang peribadi adalah sama dengan nilai kemanusiaan universal, sebagaimana nilai kemanusiaan universal adalah sama dengan nlainya dengan nilai kosmis seluruh alam semesta. Maka agama mengajarkan;

“Barang siapa membunuh seseorang tanpa dosa pembunuhan atau perusakan dibumi maka bagaikan ia membunuh seluruh umat manusia, dan barang siapa yang menolong hidupnya maka bagaikan ia menolong hidup seluruh umat manusia”.

Jadi harkat dan martabat seseorang atau pribdi manusia merupakan sebuah cermin, atau represenasi seluruh harkat martabat manisia. Maka penghargaan dan penghormatan kepada harkat masing-masing individu adalah amal kebajikan yang memuat nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.

Implikasi dari adanya kebebasan dalam kearifan hidup, terlahirnya sebuah system tentang pengaturan masyarakat dalam tataran negara, yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Demokrasi Indonesia atau lebih umum lagi dikenal dengan demokrasi Pancasila, secara teoritis, dorongan untuk mengembangkan demokrasi untuk menurut kondisi khusus sustu tempat adalah wajar sekali, sekalipun dasar yang paling prinsifil dai demokrasi itu universal—berlaku untuk semua tempat danwaktu, namun dalam rincian dan pelaksanaannya, juga dalam intitusinya yang menyangkut masalah structural dan prosedural tertentu, terdapat variasi yang cukup besar antara berbagai negara demokrasi.

System demokrasi tidak terlepas dari berbagaii masalah, seringkali dikemukakan bahwa system demokrasi adalah system politik yang buruk seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Filsuf Yunani yaitu Plato dalam bukunya (Republik Plato) yang mengatakan bahwa system pemerintahan yang menganut system demokrasi adalah yang terjelek diantara yang lainnya. Kendati begitu ia merupakan satu-satunya (system yang dipercaya mampu mengoreksi dirinya sendiri). Karena itu orang lebih memilih demokrasi dengan harapan adanya sesuatu perubahan dan perbaikan. Manusia abad 21 tidak memiliki pilihan lain selain demokrasi sebagai pilihan tunggal untuk menembus kebuntuan teoritik dan praksis social umat manusia, dapat dilakukan terus menerus, dan ketidak mistahilan dapat mencapai kesempurnaan, jika kita mengingat bahwa didunia ini tidak ada sesuatu yang sempurna karena semuannya bersifat kerelatifan dan terus menerus berubah tidak adannya ketetapan mutlak, sesuai dengan dalil umum “segala sesuatu berubah (yakni mengalami transformasi), kecuali “esensi Tuhan” orang Yunani mengatakan, “panta rei”
Demokrasi pada dasarnya menghendaki adanya sebuah ideology yang terbuka atau ideology yang berujung terbuka (open-ended ideology), yaitu ideology yang tidak dirumuskan penjabaran rincinya “sekali dan untuk selamanya (once and for all). Tetapi ada juga ideology yang tertutup seperti komunisme. Ideology yang tertutup, yang dirumuskan penjabaran rincinya sekali untuk selamanya selalu cendrung ketinggalan jaman (obsolete). (dalam hal komunisme, peran pemimpin sangat dominan dalam penjabaran itu, atau ada hanya satu badan atau lembaga yang berhak untuk menjabarnya)
Dalam rangka proses menuju keberbagian dan persetujuan bersama itu maka harus dilaksanakan dengan musyawarah untuk arti yang seluas-luasnya.karena demokrasi mengedepankan kepentiangan individu diatas kepentingan rakyat, dengan istilah lain Vini, Vidi, Vici (dari rakyat, oleh rakyatdan untuk rakyat) Islam mempunyai dasar dalam musyawarah, yang disebut partisipasi egaliter.14 khususnya bagaimana termuat dalam kitab suci dan Sunnah Nabi:

1. Manusia diikat oleh perjanjian primordial dengan Tuhan, yaitu bahwa manusia, sejak dalam kehidupannya dalam alam ruhani, berjanji untuk mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat orientasi hidupnya. .
2. Hasilnya ialah kelahiran manusia dalam kesucian asal (fitrah), dan diasumsikan ia akan tumbuh dalam kesucian itu jika seandainyatidak ada pengaruh lingkungan .
3. Kesucian asal itu bersemayam dalam hati nurani (nurani artinya bersifat cahaya terang), yang mendorongnya untuk senantiasa mencari, berpihak dan berbuat yang baik dan benar.
4. Tetapi karena menusia itu diciptakan sebagai makhluk yang lemah (antara lain, berpandangan pendek, cenderung ttertarik pada hal-hal yang bersifat segera), maka etiap peribadinya mempunyai potensi untuk salah, karena tergada oleh hal-hal menarik dalam jangka pendek.

5. Maka, untuk hidupnya, manusia dibekali dengan akal pikiran, kemudian agama , dan terbebani kewajiban terus menerus mencaridan memilih jalan yang lurus, benar dan baik
6. Jadi manusia adalah makhluk etis dan moral, dalam arti bahwa perbuatan baik dan buruknya harus dapat dipertanggungjawabkan, baik didunia diantara sesama manusia, maupun di akhirat dihadapan Tuhan Yang Maha Esa.

7. Berbeda dengan pertanggungjawaban di dunia yang nisbi sehingga tidak ada kemungkinan manusia menghindarinya, pertanggungjawaban di akhirat adalah mutlak, dan sama sekali tidak mungkin dihindari.

8. Pertnggungjawaban mutlak kepada Tuhan di akhirat itubersifat pribadi sama sekali, sehingga tidak ada pembelaan, hubungan solidaritas dan perkawanan, sekalipun antara sesama teman, karib kerabat, anak, dan ibu-bapak.

9. Semuannya itu mengasumsikan bahwa setiap pribadi manusia, dalam hidupnya diduniaini, memiliki hak dasar dalam memilih dan menentukan sendiri perilaku moral dan etisnya (tanpa hak memilih itu tidak mungkin dituntut pertanggungjawaban moral dan etisnya).

10. Karena hakikat dasr yang mulia itu, manusia dikatakan sebagai puncak makhluk Allah, yang diciptakan olehnya dalam sebaik-baik ciptaannya, yang menuntut asalnya berharkatdan martabat yang setinggi-tingginya.
11. Karenaitu Allah-pun memuliakan anak-cucu Adam, dan menaggungnya didaratan maupun dilutan.

12. Setiap peribadi manusia adalah berharga, seharga kemanusiaan sejagad. Maka barang siapa yang merugikanseorang pribadi, seperti membunuhnya, tanpa alas an yang sah, maka ia bagaikan merugikan seluruh umat manusia. Dan barang siapa yang melakukan kebaikan, maka ia telahberbuat baik terhadap seluiruh umat manusia.
13. Setiap pribadi harus berbuat baik terhadap sesamanyadenngan memenuhi diri pribadi terhadap pribadi lain, dan menghormarmati hak-hak orang lain.

Musyawarah ini dijalankan dengan adanya asumsi kebebasan pada masing-masing personal manusia. Dalam rangka memberi kerangka pada pelaksanaan kebebebasan-kebebasan asasi itulah pengalaman positif Barat tentang demokrasi prosedural dalam konteks ke Indonesiaan sangat mendukung karena Indonesia masyarakatnya yang plural ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan. Karena musyawaah bukan saja menyangkut prosedur, tetapi didalam dirinya terkandung kerangka pembenaran dengan makna dan tujuan hidup manusia secara universal.

Kesimpulan

Agama adalah cara agar manusia bisa memahami dunia. Tetapi dunia yang kita diami sekarang ini adalah dunia yang makin sulit untuk dipahami, demikian ungkapan Josep Concard, memahami kehidupan agama dewasa ini. Dalam kehidupan modern kelangsunan hidup beragama tak ubah seperti bola sepak yang ditendang kesana kemari oleh pemain (penganutnya) yang didasari atas dasar ambisi.

Kehidupan agama pun kini demikian adanya, agama tidak lagi dijadikan sebagai panutan dan pedoman untuk hidup, malah dijadikan sebagai tameng bagi kehidupan. Agama sering sekali dipakai dalil untuk setiap tindak kekerasan dan melegalkan konflik, karena mereka merasa tindakannya di amini oleh Tuhan, sekalipun harus menghilangkan nyawa orang lain. Bukankah perang salib di Andalusia itu di dasarkan atas pertikaian antar agama?, dimana penyakit truth claim saat ini telah menjadi akut pada setiap pemeluknya. Bukankah kerusuhan yang terjadi di Indonesia, tepatnya terjadi dibeberapa kota baik dalam perbedaan agama, atau se-agama atau perbedaan sukudan ras. Keseluruhan konflik tak bisa terlepas dari peran serta agama yang memicunya terjadinya konflik.

Pertanyaan pertanyaan diatas bukanlah untuk diperdebatkan, melainkan untuk direnungi bagi kita semua; apakah agama yang salah atau jangan-jangan pemahaman kita selama ini terhadap agama masih minim, skipturis dan cenderung fanatik buta, sehingga mengabaikan pesan yang terkandung dalam universal agama. Dan pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana agar kehidupan beragama kembali bias harmonis. Diturunkannya agama sebenarnya demi kedamaian universal, agama yang memiliki dua dimensi yaitu esoteris dan eksoteris.

Maka kini saatnya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia mencoba menata ulang system social dengan memasukan dimensi rasionalkedalam proses demokrasi social lebih sekedar mencekoki emosi kolektif yang bernafas pendek dengan berbagai symbol, ritual dankeguyuban yang semata-mata hanya nampak dipermukaan.

“Sesungguhnya bentuk-bentuk pemerintahan dan pendidikan sangat tergantung pada pandangan kita tentang manusia. Masalah ini adalah masalah yang paling sulit dan luar biasa pentingnya dewasa ini, tetapi banyak orang mencari penyelesaian-penyelesaian yang mudah” (Lois Kattsoff)

Tidak ada satu otoritaspun yang boleh menghalangi realisasi dari kebebasan yang dimiliki seseorang karena manusia secara lahiriah adalah suci esensi Agama (din) dari seluruh rasul adalah sama. Mnusia makhluk yang universal bebas memahami hidupnya dengan jalan yang ia tempuh sendiri, tetapi manusia terbatas oleh etika dan agama dan selama ia tidak merugikan oranglain dalam hal etika dan agama (kesepakatan kolektif) itu dibenarkan dan tidak ada argumen untuk menyanggahnya.

Demokrasi merupakan satu-satunya system pemerintahan atau ketatanegaraan (system yang dipercaya mampu mengoreksi dirinya sendiri). Karena itu orang lebih memilih demokrasi dengan harapan adanya sesuatu perubahan dan perbaikan. selain demokrasi sebagai pilihan tunggal untuk menembus kebuntuan teoritik dan praksis social umat manusia, demokrasi mengedepankan kepentiangan individu diatas kepentingan rakyat, dengan istilah lain Vini, Vidi, Vici (dari rakyat, oleh rakyatdan untuk rakyat) Islam mempunyai dasar dalam musyawarah,

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Sekuler