Cerita Pendek Cian Ibnu Sina Sj
Emas 24 Karat
SUNGGUH berharga sekerat emas, walau hanya secuil dimiliki. Tak ada seorang pun yang tak mengetahui perhiasan ini, apalagi menolaknya jika diberi secara cuma-cuma. ”Tak harus terburu-buru lah Nak, tak memakai perhiasan emas juga tak mengapa. Tak usah risau, apalagi gusar. Memang betul Nak, emas adalah ukuran barang bagus, simbol utama; kaya miskin banyak orang pakai emas, meski hanya ¼ gram yang hanya dipasang di sebelah telinga kirinya. Santai lah Nak, Ayah mu belum ada duit untuk membeli gelang emas permintaan mu itu”.
Berkali-kali sang Ibu menasehati anaknya, sudah sering meneteskan air mata hingga kering. Tetapi sang buah hati masih keras kemauan meminta emas untuk dijadikan gelang sebagai perhiasan di tangannya. Mungkin benar di zaman sekarang ini, anak sangat terbeban menanggung malu bila tak memakai perhiasan dari emas. Setiap hari setiap waktu, menjerit hanya inginkan perhiasan emas. Tak siang tak malam, air mata terus diteteskan demi mendapatkannya.
”Jangan pura-pura lah Bu, sekarang kan zaman modern, sudah bukan zaman kerajaan lagi. Sudah lah Bu, beliin aku sikit saja, tak usah banyak-banyak yang penting aku pakai gelang dari emas.”
Sang Ibunya hanya menatap lembaran acara di televisi, asyiknya mengintip Audisi Penyanyi Indonesia, sebuah televisi swasta. Apakah dengan memakai perhiasan emas adalah suatu kewajiban bagi perempuan yang memang tak bisa ditawar-tawar lagi?
Nampaknya penasaran bener terhadap perhiasan yang kuning ini, tak habis pikir. Ibu yang cerdas, selalu berbincang dengan nuraninya. Bagaimana kalau buah hatinya di ajak jalan-jalan, biar melihat bagaimana sebenarnya perhiasan kuning itu. Gayung pun bersambut, suami dari Ibu yang cerdas tentu lelaki cerdas juga. Ia mengizinkan istrinya untuk membawa jalan-jalan belahan jiwanya itu.
Hari berganti sunyi, sepi menghilangkan ramai. Matahari masih mamayungi seisi bumi, tak ditunda-tunda lagi. Demi sang buah hati, apa pun dikorbankan untuk kebahagiannya. Yang jauh terasa dekat, begitu lah yang dekat semakin tiada jarak lagi. Sehabis memikir sambil meneguk jamu hasil ramuannya sendiri, sambil menulis agenda hariannya. Engku Putri mengajak Rara untuk bepergian ke luar negeri, sekadar menatap bagaimana di manca negara sebenarnya perhiasan itu digunakan.
”Sudah lah Nak! Tak baik pula menangis terus, sekarang berangkat sama Ibu ke negeri jiran. Untuk melihat emas, siapa tahu kamu suka dengan emas di negeri seberang sana”.
“Mari lah Bu! Aku juga sudah tak tahan ingin memiliki emas untuk perhiasan gelang, kelak aku pakai di tangan kanan dan kiri”. Keduanya setuju untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Engku Putri membawa ke tiga tempat saja, berangkat dari Singapura menepi di Beijing.
Lalu meneruskan perjalanannya ke Yerusalem, Palestina. “Lihat lah Nak, yang bundar besar di atas bangunan suci ini. Ini masjid kaum muslimin sejak dahulu, ini berumur ratusan tahun. Dahulu dibangun pada tahun 690 Masehi. Nama masjid ini adalah masjid Qubbah As-Sakhirah atau biasa dijuluki dengan sebutan; Dome of The Rock. Tampak dari sini Nak, bukan kah yang besar di atas itu terbuat dari emas?”
Rara hanya bisa menatap, lalu membenarkan perkataan Ibunya, setelah menikmati hidangan sarapan ala Israel. Mereka berdua sejenak melepas lelah di sudut waktu, dekat Al-Aqsa. Di pinggiran masjid itu nampak banyak orang yang lumpuh mengayuh tubuhnya, hanya minta-minta sekadar untuk makan. “Bu, apakah orang-orang lumpuh ini sejak lahir atau karena suatu peristiwa dan kenapa dibiarkan begitu saja?”. Pertanyaan yang cerdas, membangkitkan memory Engku Puteri ke masa silam. “Mereka lumpuh karena perang Nak, karena kebiadaban orang-orang Yahudi Israel”.
Hanya sebentar saja mereka berdua berbincang soal emas besar itu, tak lama kemudian, keduanya membersihkan sisa lelah yang terpenggal pada lembaran perjalanan. Kemudian membeli tiket melanjutkan perjalanan ke negeri lain. “Sudah dulu ya Nak, diskusinya nanti kita teruskan lagi. Sekarang kita harus meramu waktu agar sampai di tanah minyak, segera menepi di negeri suci Syi'i.
Tepat di sebuah negeri “seribu satu malam” itu, Engku Puteri dan Rara berhenti di tepian diskotik milik Hajjah Fatimah Nurul Qashrie. Sambil meneguk arak timur, sedikit berbincang-bincang soal perjalanannya. Namun disela-sela perbincangan, sudah nampak di pelupuk mata Rara sebuah bangunan besar, persis seperti yang ia lihat kemarin hari di Palestina. “Bu kok bangunan itu sama seperti yang kemarin, kita mendekat yu?”. Rupanya sudah tak sabar ingin melihat yang kedua kalinya. “Sabar lah Nak, sekarang malam mau menutup cahaya siang, besok pagi kita mendekat tepat ke arah sana”.
Ditemani pagi yang cerah, tanpa tetesan hujan tanpa irisan angin. Keduanya bergegas menyulam memori semalam yang telah lewat. Secepatnya membungkus cerita kemarin bersama Hajjah Fatimah Nurul Qashrie. Lalu pamit meninggalkan diskotik tua itu, Rara tak ketinggalan melipat anggur timur yang segar itu di kantong kecilnya. Sedangkan Engku Puteri tidak sempat melupakan arak timur jauh yang seperti jamu itu, ia bahkan teringat saat meneguk jamu ramuannya sendiri, tiga hari sebelum pergi.
Keduanya menunggang keledai sewaan seharga 120 dirham, bersama sengat siang mereka menepi di pembaringan terik matahari. Tak jauh dari bangunan besar itu, mereka berhenti. Lalu berjalan perlahan, sambil menatap bangunan tua itu. Selangkah demi selangkah menapaki tanah kering itu, tiba lah mereka berdua tepat di depan bangunan itu. ”Bu nampaknya bagunan ini sama seperti yang aku lihat kemarin di Yerusalem, ini juga terbuat dari emas sebesar ini? Aneh, kok masih banyak juga orang-orang miskin keliaran menjejali dinding nasib di negeri ini”.
Rara mulai senang sekaligus bimbang, ia baru merasakan kalau apa yang dilihatnya kurang begitu meyakinkan hati nuraninya. Sedangkan Engku Puteri mulai merasa lega, ia berhasil membawa Rara ke hamparan nalar yang mapan selama ribuan tahun. Ia sukses membawa jalan-jalan anak kesayangannya menemukan keindahan, sekaligus duka yang mendalam yang pernah disaksikan langsung oleh buah hatinya.
Baru lah kali ini, Rara lupa kalau ia sesungguhnya sedang menginginkan sangat emas itu. Akan tetapi, Engku Puteri yakin bahwa lupa anaknya adalah justru sangat ingat tentang emas yang diinginkannya itu. Ia yakin bahwa lupa sebenarnya ingat yang sangat mendalam. Karenanya, ia membawa ke tiga tempat itu. ”Sudah lah Nak! Tak usah melamun, besok kita sambung lagi perjalanan ke tanah Melayu. “Tidak lah Bu! Beri tahu lah aku terlebih dahulu”.
Begitu gembiranya hati Engku Puteri, hingga tak sempat banyak menjelaskan kepada Rara seperti saat di Palestina. “Oh ya, maafkan Ibu Nak! Ini namanya masjid Hasan Al-Askari, di bangun pada tahun 944 Masehi. Daerah ini namanya Samara, nama negaranya Irak berdekatan dengan negara Iran. Penamaan masjid ini disandarkan kepada cucu Rasulullah saw, yaitu Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib. Masjid ini merupakan bangunan suci kaum Syi'i; pengagum sahabat Rasulullah saw. Yang menantunya sendiri, ia adalah Imam Ali Bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah”.
Surut lah sudah keinginan keras Rara memiliki perhiasan emas, tapi belum habis penasaran di hatinya. Sambil termenung sepanjang jalan, keduanya meneruskan ke tanah Melayu. Berlabuh di Bandar Sri Begawan, beramah tamah dengan negeri kerajaan Melayu itu. Hidangan ramah tamah negeri seribu minyak ini, mengingatkan ke kampung halaman. Selain karena dekatnya dengan tempat keduanya tinggal, juga bahasanya masih sama. Seleranya mirip dengan budaya sendiri, senantiasa akrab saling menyapa setiap menemui orang yang diajak berbincang.
Bagunan ketiga ini juga besar, terbuat dari emas murni. Indah dipandang, meski tak sempat bagaimana rasanya. Rara menganggapnya demikian, soalnya pikir Rara, dua tempat sebelumnya, ada emas besar itu justru berbarengan orang-orang sekitar miskin yang papa itu. “Bu kalau masjid yang satu ini aku tahu; dibangun tahun 1980-an, ada 29 kubah berlapis emas 24 murni karat. Namanya masjid Jami'e Al-Asr atau masjid Bandar Sri Begawan, luasnya 2 hektar, ke mana lagi kita melihat emas lebih besar lagi, masih ada?”.
Mulai terbuka luas cakrawala kehidupan duniawi di mata Rara, Engku Puteri bergembira mendengar keluhan buah hatinya itu. Tak lama keduanya bergegas menuju bandara, langsung meluncur menuju Jakarta. Setibanya di Bandara internasional Soekarno-Hatta, lalu melanjutkan perjalanannya ke Depok dan bermalam di sana. “Besok kita sambung terus ke Cinere Nak, melihat indahnya bagunan yang paling baru, emasnya tak kalah lebih besar dari yang sebelumnya”. Tanpa mengasah lelah atau menjumput ragu. Dengan penuh kasih sayang yang harmonis, Ibu dan anak itu menuju Cinere.
“Alamak besar sangat Bu! Kapan masjid Indonesia ini dibangun?”. Spontan rasa penasaran menghadang Rara saat melirik ke bilik parkir di halaman bagunan megah itu. “Marilah kita masuk, kita tanyakan kepada mereka tentang masjid ini.”
Belum sempat mengucapkan salam, keduanya telah diterima sebagai tamu. Lalu masuk menuju ruangan masjid, melirik ke sana ke mari. Dengan penuh senyum, penjaga masjid itu lalu menjamu berbagai hidangan ala Sunda. “Ini tanah Pasundan, silakan mencoba makanan khas kami. Setelah shalat berjama'ah, nanti saya jelaskan sejarah masjid ini.”
Setelah menikmati jamuan, si penjaga masjid menghilang ke kamar, nampaknya ada sesuatu yang tertinggal.
Setelah kembali dari kamar itu, ia berganti dari seragam penjaga masjid menjadi pakaian biasa khas Indonesia. “Maaf agak lama sedikit, bagini lah ceritanya: namanya sesuai pemiliknya, masjid ini bernama Masjid Dian Al-Mahri. Kepunyaan Hajjah Dian Juriah Al-Rasyid Al-Mahri, seorang wanita kaya-raya. Dibangun pada tahun 1999, dan diresmikan pada tahun 2006. Bagunan seluas 8000 meter ini, berdiri di atas tanah 70 hektar. Halaman dalamnya berukuran 45 x 75 meter, mampu menampung jama'ah sebanyak 10000 orang, dengan altar marmer impor dari Turki”.
Mendengar penerangan penjaga masjid ini, Rara hanya termengu mendesap aneh luar biasa. Kaget penuh keheranan. Berdampingan dengan Ibunya, Rara tak banyak tanya tentang masjid ini. Bahkan memberi isyarat dengan bahasa tubuh untuk setuju saja menyimak penjelasan dari penjaga masjid selanjutnya. Sang Ibu pun tak bisa berbuat banyak, pikirnya lebih selamat membimbing kesayangannya dalam bahasa diam. Sambil menikmati suasana senja, sementara si penjaga masjid seakan tak sabar ingin terus melanjutkan ceritanya. Ia pun mohon diri untuk meneruskan, maklum banyak kesibukan yang harus dikerjakan lagi.
”Kemudian enam menara berbentuk segi enam ini, yang menjulang ke atas setinggi 40 meter itu, adalah perlambang rukun Iman. Semua menara ini dibalut dengan batu granit yang indah berwarna abu-abu, ini impor dari Itali dan Brazil. Di tengah ruangan masjid bergantung lampu megah dari kuningan berlapis emas murni, beratnya 2, 7 ton. Lampu ini dikerjakan oleh tenaga ahli orang asing, masih impor pula dari Itali. Sementara luas areal parkir hanya 700 meter, cukup untuk 300 mobil besar dan 1400 kendaraan kecil. Yang berdekatan dengan masjid itu adalah gedung serba guna, sanggup menampung 25000 jama'ah”.
Bersama senja menuju larutnya malam, penjelasan si penjaga masjid belum habis. Hilir mudik orang keluar masuk masjid, membuat tempat ini ramai. Indah megah menawan mata memandang, seperti istana di kerajaan tempo dulu. Nampaknya, desain arsitektur gaya Timur melekat pada bangunan ini. Jama'ah pun bukan hanya nyaman memasuki ruangan ini, malah begong seribu tanya. Setiap orang masuk, saat itu pula mata memudar menatap sekeliling seni ornamen di masjid itu. Orang-orang pun selalu kebingungan benar kah ini masjid yang sedemikian megah ini?
Rara yang duduk dihimpit Ibunya, menatap tajam ke arah si penjaga masjid itu. Penuh sugesti, betapa dunia tengah dinikmati aneka impor-an. Nyaris tidak ada barang yang memukau yang asli dari tanah air. “Bu semua bangunan nampaknya dari negeri jauh ya Bu?”. Engku Puteri hanya cukup menegaskan kalau ucapan anaknya itu benar. “Kamu benar Nak! Bangsa kita memang bangsa impor, hampir semua di impor dari negeri orang”. Ditemani hingar bingar udara senja yang semakin menyurut, keduanya semakin serius menyimak cerita dari penjaga masjid; kemegahan, keindahan, dan keluarbiasaan adalah inti dari cerita.
Penjaga masjid melanjutkan tentang masjid megah itu, setelah meneguk teh manis yang juga kiriman dari Itali. Matanya mengedip pejam terbuka, tanda menikmati teh dari negeri mafia itu. Kedua tamunya tak dihiraukan, saat merasakan selera dari teh itu. “Sementara kubah besar itu berlapis emas murni 24 karat, dengan berat 2000 ton. Ini masjid kubah emas keempat, sekaligus terbesar dunia setelah Palestina, Yerusalem, dan Brunei Darusalam. Keseluruhan berat lapisan emas semuanya hanya 200 kwintal”.
Hingga tuntas penjaga masjid berturtur, Rara menyimak dengan diam seribu bahasa. Ia menaruh kewaspadaan yang mendalam sangat. “Mengapa membuat bumi Allah Swt ini dengan begitu mahal, menghabiskan milyaran bahkan tryliunan rupiah. Sementara masih banyak orang-orang berada di bawah garis kemiskinan; pendidikan, ekonomi, dan kesehatan?”. Meski dikatakan dalam hati yang terdalam, namun seorang Ibu tahu apa yang terlintas dalam jiwa anaknya. Lalu menyapa Rara dengan nada yang sungguh mesra.
“Begitu lah Nak, emas digunakan untuk menghiasi kubah masjid yang besar-besar. Sebagai persembahan hamba kepada pencipta-Nya. Apakah tangan kamu mau Ibu pakaikan emas juga, seperti kubah itu?” Setelah pamit meninggalkan halaman masjid Dian Al-Mahri itu, baru lah Rara menjawab sapaan Ibunya. .
“Tidak mau, Aku tidak mau lagi Bu! Aku tak suka ditangan ku ada gemilang emas, namun disampingku malah banyak kaum papa; masih banyak yang tertindas, terbelakang (ekonomi dan pendidikan), dan terpinggirkan. Aku sungguh tak kuasa beribadah yang disampingnya banyak kaum lemah, Apakah aku harus ibadah di atas penderitaan orang lain dengan semegah ini ?”. Katanya sambil menoleh manis kepada ibunya.*** [Batam Pos, Minggu, 28 Desember 2008]
Jumat, 23 Januari 2009
[+/-] |
Emas |
[+/-] |
Gen |
Gen Yahudi dan Co-Creator
Oleh AHMAD SAHIDIN
JUMAT pagi, alhamdulillah saya bisa kembali mendapatkan pencerahan dari seorang penulis dan saintis Dr. Tauhid Nur Azhar. Bapak tiga putra ini datang ke kantor (Penerbit Salamadani: Jalan Pasirwangi I No.3 Soekarno Hatta, Bandung) dengan gaya dan ke-khas-an yang tetap melekat padanya. Sosok yang berperawakan tinggi dan full senyum itu langsung naik ke lantai dua, bersalaman, dan duduk di kursi meja rapat tempat kami berkumpul.
Salah seorang teman saya, yang kini menempati jabatan cukup strategis dalam penerbit tempat saya bekerja ini, langsung menyambut dan memberikan informasi tentang maksud dihadirkannya Dr.Tauhid NA dalam acara koordinasi pekanan kali ini. Setelah dibacakan profil Dr.Tauhid NA, dimulailah “ceramah” yang mencerahkan itu.
Seperti biasa, Dr.Tauhid mengawali pembicaraannya itu tidak lepas dengan humor-humor. Awalnya ia memaparkan tentang hijrah dan makna-maknanya, termasuk hijrah dalam konteks “gen” manusia dan gen Yahudi.
Menurutnya, gen itu merupakan potensi (dasar) manusia yang sudah tertanam bersamaan dengan lahirnya manusia ke alam dunia. Tiap bayi yang lahir pasi memiliki gen (asli) yang, seiring dengan perkembangan tubuh dan otaknya, mengalami perubahan hingga mengerucut pada salah salah satu “gen” yang ada dalam diri manusia.
“Manusia memiliki gen yang bermacam-macam. Ada gen yang bisa berkembang menjadi orang baik dan juga terdapat potensi yang dapat menjadikan diri manusia itu zalim atau berakhlak buruk. Seperti Yahudi, hakikatnya bukan bangsa, tapi gen atau sifat dasar manusia terburuk yang ada pada manusia. Sehingga karakter culas, tidak menepati janji, anti kemanusiaan, licik, bisa pula melekat pada diri kita. Jika kita berperilaku itu, ya berarti bisa disebut Yahudi,” paparnya.
Bila diri kita tidak ingin seperti Yahudi, lanjutnya, maka energi negatif berupa sifat-sifat buruk dalam diri manusia itu harus dikendalikan (manage) dengan energi positif kita sehingga menghasilkan energi suportif. Misalnya tentang kemalasan, yang biasanya menjadi karakter yang sulit dilepaskan dari manusia, bila terus dipacu dengan motivasi yang baik bisa berubah menjadi rajin.
“Tanaman yang kurang perhatian manusia atau hanya dipupuk saja, hasilnya beda dengan yang tanaman yang dipupuk dan diberi sentuhan kasih sayang atau perhatian manusia. Pasti lebih segar dan tumbuhnya bagus ketimbang yang tidak diperhatikan,” katanya.
Karena itu, menurutnya, seorang manusia (Muslim) haruslah melakukan hijrah agar kondisinya lebih baik dari sebelumnya. Yakni dengan mengenali hakikat diri dan hal-hal di luar diri, sehingga dalam proses berjalannya bisa lebih baik dan dapat terdeteksi ke ara mana langkah kita. Menuju ke arah yang membinasakan atau justru yang melejitkan diri kita menjadi manusia yang berprestasi. Untuk meraih itu, manusia tidak boleh tetap bersikukuh memegang pemahaman lama, tapi harus mencoba menghasilkan sesuatu yang baru dengan senantiasa pro-aktif.
Paradigma “jemput bola” atau pro-aktif ini oleh Dr.Tauhid disebut dengan istilah co-creator. Ia mendefinisikannya sebagai “metode” gabungan antara realitas (kondisi riil) dengan cita-cita (hasrat) dalam rangka menghasilkan kesimpulan atau keputusan sehingga dari sana bisa menghasilkan produk. “Sudah bukan zamannya lagi kita memaksakan bacaan atau buku kepada orang agar dibeli atau dinilai berguna. Karena tiap orang kebutuhan bacanya beda, jadi tak bisa dipaksakan. Karena itu sebaiknya penerbit coba menggunakan metdode co-creator dalam menghasilkan buku bacaan. Yakni dengan melakukan riset kebutuhan pasar dan dari fakta itu redaksi bisa memulai bekerja,” kata doktor lulusan Universitas Sains Malaysia ini.
Sebenarnya, banyak point-point penting dikemukakan oleh Dr.Tauhid NA, termasuk tentang buku terbarunya tentang “DNA Rasulullah saw” yang akan diterbitkan Penerbit Salamadani pertengahan tahun ini. Buku Dr.Tauhid NA yang telah diterbitkan Salamadani adalah “Love for All”, “Haram Bikin Seram”, ”Ajaib bin Aneh”, ”Simbol-simbol Shalat”, “Berkawan dengan Malaikat Maut”, “Gelegar Otak”, dan “Jejak Kuliner”. Meskipun dari judul-judulnya tampak sederhana, tapi isinya masih tidak bisa lepas dari nuansa sains (ilmiah). Bahkan, dalam ceramah atau diskusi yang sempat saya hadiri, meskipun tema acara itu membahas philanthropy, tetap saja ada nuansa sainstis. Mungkin sudah menjadi icon dari sosok Dr.Tauhid NA. Karena bernuansa sains, bagi pembaca seperti saya yang kurang memahami dunia sains menjadi sebuah wawasan baru; pencerahan yang menyadarkan tentang pentingnya memahami persoalan dari berbagai perspektif.
Kembali ke wacana co-creator. Gagasan tentang co-creator yang dikemukakan Dr.Tauhid NA bukan hal yang baru dalam khazanah filsafat Islam. Sebut saja penyair dan filsuf Muslim modern Muhammad Iqbal. Dalam pemikiran filsafat manusia, Iqbal menjelaskan tentang co-creator. Menurutnya, manusia dalam mengembangkan jati diri (insaniyah) yang berperan sebagai khalifatullah sebenarnya adalah co-creator yang memiliki potensi sama dengan yang dilakukan Tuhan. Namun bukan berarti bahwa manusia itu sama dengan Tuhan. Tapi hanya berperan sebagai pengembang dari ciptaan Tuhan. Contohnya tentang kelahiran manusia baru. Kelahiran bayi (manusia baru) bisa terjadi bila ada hubungan seks antara laki-laki dan perempuan. Aktivitas seks yang hingga membuat hamil istri dan kemudian lahirlah manusia baru ke dunia ini—dalam konsep penciptaan—bisa disebut co-creator; yang maknanya bahwa manusia itu memiliki sifat Creator Tuhan dalam menghasilkan manusia baru.
Mengapa bisa terjadi? Bukankah banyak pasangan suami-istri yang bertahun-tahun menikah tapi belum dikaruniai anak? Jawabannya: belum ada kesatuan kehendak dengan Tuhan. Meskipun manusia bermohon-mohon, bila tidak ada kehendak dari Tuhan tidaklah terjadi. Jadi, konsep co-creator bisa terwujud bila ada kesatuan kehendak: antara keinginan manusia dan keridhaan Ilahi. Sehingga wajar bila umat Islam oleh Rasulullah saw diperintah untuk selalu mendekatkan diri dengan Allah; karena Dia merupakan sumber dari terjadinya alam semesta dan kehidupan manusia. Dia merupakan wujud asal dari semua wujud yang tanpak di alam semesta ini; Dia yang menjadikan segalanya tercipta dan terjadi hanya dengan Kun faya kun.
Gagasan tentang co-creator ini dalam wacana filsafat kontempor mengalami perkembangan yang mulai mengerucut ke arah filsafat integralisme; yang mencoba menyatukan pengetahuan atau disiplin ilmu-ilmu dalam satu paradigma universal. Di negeri kita, gagasan integralisme ini telah diawali oleh Armahedi Mazhar—guru besar ilmu fisika ITB—yang menulis buku “Filsafat Integralisme” (yang diterbitkan oleh Pustaka ITB dan edisi revisi oleh Mizan); Husein Heriyanto—dosen UI Jakarta—yang menulis buku “Paradigma Holistik” (diterbitkan oleh Teraju); dan pakar filsafat Islam Dr.Mulyadi Kartanegara yang menulis buku “Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik” (diterbitkan oleh Mizan). Dalam buku yang terakhir ini, diulas tentang landasan-landasan untuk menyatukan kembali khazanah ilmu-ilmu agama dan sekular (umum); dengan merujuk klasifikasi ilmu-ilmu dari para ilmuwan Muslim seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Mulla Shadra, dan lainnya. Dan kabarnya, wacana co-creator dan integralisme, kini menjadi salah satu disiplin (ilmu) yang diajarkan di pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Bandung, 23 Januari 2009.e-mail: ahmadsahidin@ymail.com
[+/-] |
Jihad |
Mengkritisi Effektifitas Jihad Ke Palestina
Oleh ALINUR
Kirim berjihad ke Lapindo saja… tidak perlu jauh-jauh sampai Israel… ongkos mahal, kalo ke Lapindo jalan kaki saja bisa sampai… ngirit dana, berani ke Lapindo nggak?
Itulah kata-kata spontan teman saya ketika kami menonton televisi yang menyiarkan ramainya beberapa organisasi Islam di Indonesia membuka pendaftaran untuk berjihad ke Palestina.
Memangnya, tak lama setelah pasukan Israel menyerang Palestina secara brutal dan menimbulkan banyak korban jiwa diawal tahun baru hijriah, masyarakat Muslim Indonesia langsung bereaksi. Ada dua reaksi keras dari umat Islam Indonesia yang banyak menyita perhatian media massa baik itu televisi maupun koran ketika Israel memulai serangan. Pertama, adanya unjuk perasaan di hampir seluruh kota besar di Indonesia menentang agresi Israel ke Palestina tersebut. Mereka menuntut organisasi dunia Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan juga Amerika untuk mengecam dan memaksa Israel menghentikan agresinya. Unjuk perasaan terbesar adalah yang dilakukan oleh simpatisan dan anggota Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dihadiri lebih dari 200 ribu orang.
Anggota PKS unjuk perasaan di depan kedutaan Amerika Sarikat di Jakarta karena negeri Paman Sam itu dianggap mendukung serangan tersebut. Bahkan Amerika dengan tega memveto resolusi dewan keamanan PBB agar kedua hala mengadakan gencatan senjata (ceasefire).
Kedua, adanya pembukaan pendaftaran berjihad ke Palestina yang diorganisir oleh beberapa organisasi Islam seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majlis Mujahidin Indonesia (MMI). Kantor FPI di Jember dan Bandung misalkan didatangi ratusan orang yang siap menjadi relawan untuk dikirim ke Palestina. Begitu juga MMI mendaftar lebih dari 1000 orang dari berbagai kota seperti Solo, Surabaya, Jakarta, Yogyakarta dan Padang yang siap berjihad.
Tentu saja solidaritas yang dilakukan oleh PKS dan organisasi-organisasi Islam di Indonesia itu perlu dihargai dan dibanggakan. Ikatan emosional sebagai Muslim (brotherhood) tentunya telah mendorong mereka untuk merasakan penderitaan saudaranya di Palestina. Dalam sejarah Indonesia, negara-negara Timur Tengah termasuk Palestina adalah negara yang pertama-tama mengakui kemerdekaan nusantara pada tahun 1945. Artinya, situasi Palestina sekarang hampir sama dengan situasi Indonesia diawal kemerdekaan yang memerlukan dukungan di arena politik internasional. Maka wajar kalau rakyat Indonesia sangat prihatin dengan nasib rakyat Palestina sekarang.
Hanya saja, selain bangga atas solidaritas kemanusian mereka, ada hal yang perlu dikritisi dan dipertanyakan.
Dalam kasus unjuk perasaan PKS, banyak orang yang memuji bahwa PKS adalah satu-satunya partai politik di Indonesia yang berani terjun ke jalan mendukung Palestina. Padahal ada lebih dari empat puluh partai politik di Indonesia yang siap bertanding pada pilihan raya tahun ini. Tapi ada juga yang mengkritisi bahwa PKS hanya memanfaatkan situasi gejolak di Palestina untuk kepentingan politik menjelang pilihan raya.
Memang ratusan ribu anggota dan simpatisan PKS yang melakukan unjuk perasaan banyak yang membawa bendera PKS sambil mengangkat nomor urut PKS dalam pemilu yaitu nomor lapan (8). Komentar negatif bahwa PKS menggunakan isu Palestina untuk kepentingan kampen dibantah oleh presiden PKS Tifatul Sembiring. ”Itu tuduhan tidak benar! Kalau aksi PKS hanya saat ini sahaja, mungkin benar adanya. Tapi perhatikan konsistensi PKS! Ada pilihan raya atau tidak PKS tetap melakukan aksi solidaritas ke Palestina,” ujar Tifatul.
Tifatul kelihatannya benar karena sejak tahun 2006, PKS sering melakukan unjuk perasaan untuk mendukung Palestina dengan programnya ”One Man One Dollar to Save Palestina”. Dalam unjuk perasaan tahun ini, PKS mengklaim berhasil mengumpulkan uang sebesar 2 milyar rupiah dari para pendukungnya yang siap dikirim untuk membantu Palestina.
Sementara itu, pendaftaran jihad oleh berbagai organisasi Islam di Indonesia juga perlu dikritisi dan dipertanyakan effektifitasnya. Salah satunya adalah seperti komentar teman saya diawal tulisan ini yaitu bahwa sebaiknya para relawan yang siap berjihad ke Palestina itu perlu berpikir ulang.
Selain tentunya susah mendapatkan ijin dari pemerintah Indonesia dan Israel untuk berangkat ke Gaza, medan pertempuran di Gaza juga perlu diperhatikan oleh para relawan jihad. Janganlah keberangkatan ke Palestine seolah olah membiarkan diri untuk mati konyol karena tidak tahu medan dan tidak tahu cara berperang apalagi tanpa senjata.
Artinya, emosi sesaat ingin membantu sesama saudara Muslim di Palestina tanpa perhitungan yang matang adalah kurang baik. Karenanya, setiap solidaritas kemanusiaan baik itu yang dilakukan oleh PKS ataupun organisasi-organisasi Islam seperti HTI, FPI dan MMI perlu dilakukan secara proporsional dan profesional.
Artinya, kalau PKS peduli dengan masyarakat Palestina yang jauh di Timur Tengah sehingga bisa mengumpulkan uang miliyaran rupiah, PKS juga harus mampu ikut berpartisipasi mengumpulkan dana untuk membantu masyarakat miskin di Indonesia yang ada dalam kesulitan. Kalau alasannya adalah persaudaraan (brotherhood), bukankah persaudaraan sesama warga Indonesia yang jaraknya lebih dekat jauh lebih penting.
Akan lebih terasa manfaatnya kalau PKS bisa membantu saudara-saudara sebangsa yang ada di Sidoarjo yang sampai sekarang masih belum bisa keluar dari kesulitan karena musibah lumpur.
Beranikah PKS unjuk perasaan besar-besaran seperti ditunjukan ketika demo Palestina untuk mendesak pemerintah agar segera menyelesaikan kasus lumpur Lapindo yang berlarut-larut?
Begitu juga semangat berkorban untuk berjihad para sukarelawan (volunteers) dari FPI, HTI dan MMI. Beranikah para relawan itu berjihad di Indonesia dalam bentuk lain seperti ikhlas mengajar tanpa bayaran anak-anak jalanan dan anak miskin yang tidak bisa belajar di bangku sekolah karena tidak mampu membayar iuran? Bukankah mencari dan menyebarkan ilmu pengetahuan kepada mereka yang membutuhkan merupakan bagian dari jihad juga?
Ketika masyarakat Muslim Indonesia dengan suka rela berlomba-lomba mengumpulkan uang sumbangan untuk mengirim obat-obatan ke Palestina, beranikah mereka dengan suka rela mengumpulkan uang untuk membantu sesama warga Indonesia yang miskin, kekurangan gizi, sakit-sakitan dan tidak mampu berobat karena tak ada biaya. Artinya, selain peka terhadap penderitaan saudara Muslim di Palestina, masyarakat yang siap berjihad ke Gaza itu juga harus peka terhadap penderitaan sesama warga Indonesia di tanah air.
Tentunya bukan berarti solidaritas terhadap Palestina yang ditunjukkan oleh PKS dan organisasi-organisasi itu tidak berguna. Hanya saja, mereka juga perlu merenung sejauhmana pengorbanan mereka akan effektif membantu rakyat Palestina. Solidaritas dan semangat untuk membantu rakyat Palestina juga harus ditunjukan dalam membantu sesama warga Indonesia. Janganlah ada kesan bahwa mereka lebih peduli kepada penderitaan orang lain yang jauh di Timur Tengah tetapi tidak peduli dengan penderitaan saudara-saudaranya yang lebih dekat. Janganlah ungkapan penderitaan kuman diseberang lautan (penderitaan rakyat Palestina) kelihatan, sementara penderitaan gajah (sesama warga negara) dipelupuk mata tidak kelihatan.
[+/-] |
HHM |
Haji Hasan Mustapa, Lokalitas, Spiritualisme
Oleh ASEP SALAHUDIN
Hampir tidak ada yang menyangsikan kebesaran nama Haji Hasan Mustapa dalam tradisi dan budaya Sunda. Haji Hasan Mustapa inilah yang pada hari Rabu tanggal 21 Januari 2009 dalam sebuah seminar dikaji di al-Jamiah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung atas kerja sama UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Monash University, dan Pusat Studi Sunda.
Haji Hasan Mustapa disebut-sebut sebagai The Great Sundanese Mystic (Seorang Sufi Besar Sunda). Ajip Rosidi mendeskripsikannya sebagai mistikus dan filsuf Islam yang hanya dapat dihitung dan berkembang di lingkungan yang mengenal jiwa dan kebudayaan Sunda.
Perhatian Haji Hasan Mustapa sangat luas membentang mulai persoalan tasawuf sampai etnografi Sunda. Tema-tema yang dibahasnya dielaborasi dengan perenungan mendalam dan dibalut dengan gaya ungkap metaforis sehingga seringkali memberikan ruang bagi pemaknaan yang beragam di samping kemungkinan untuk diapresiasi dengan salah paham.
Di tangan Haji Hasan Mustapa, tradisi bukan sebagai sesuatu yang statis, namun benar-benar dihidupkan kembali dengan muatan makna baru termasuk tradisi keislaman. Ketika cerita Hariang Banga, Ciung Wanara, Sunan Ambu, Prabu Siliwangi, Ratu Galuh, Dayang Sumbi dikedepankan, ada muatan makna religiositas lokal yang mencuat.
Pribumisasi
Seandainya pada 1980-an, Abdurrahman Wahid pertama kali melontarkan gagasan pribumisasi Islam yang menggambarkan bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing sehingga tidak perlu lagi ada yang namanya agenda pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat Muslim di Timur Tengah, maka sesunggunya kalau kita cermati jauh sebelum itu kesadaran yang sama telah tumbuh dalam jiwa Haji Hasan Mustapa tentu saja dengan ideom yang berbeda.
Bagaimana misalnya, Haji Hasan Mustapa menegaskan tentang keniscayaan Islam berdialog secara kreatif dengan tradisi lokal (Sunda). Ketika Islam datang ke tatar Pasundan, kedatangannya itu tidak identik dengan proses peminggiran terhadap budaya lokal yang sudah hidup ratusan tahun lamanya, tetapi justru harus mengakomodasi budaya yang hidup. Dalam ungkapannya yang menarik, "Baheula ku basa Sunda ahirna ku basa Arab. Jadi kaula nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina Basa Arab." Dalam pemaknaan Islam pribumi, Islam dibebaskan dari puritanisme, radikalisme, dan segala bentuk pemurnian Islam dan pada saat yang sama kearifan lokal tetap terjaga tanpa menghilangkan identitas normatif Islam.
Perkawinan budaya
Proses kreatif mengawinkan Islam dengan budaya lokal inilah yang seringkali menimbulkan salah pengertian bahkan ketegangan di antara para ulama, apalagi Islam yang dikembangkan Haji Hasan Mustapa bukanlah Islam eksoteris (fikih), namun Islam esoteris (tasawuf). Ia kerap dituduh sebagai zindik dan kapir seperti dalam pengakuannya: beja majarkeun kaula//geus leungit elmuning santri//geus ngaruksakeun agama//jadi kapir jadi zindik//zindikna jadi mungkir//kana tutur lampah rasul//kana salat puasa//ana malik kula nyeuri//kahuruan ngajawab jeung handuruan. Namun akhirnya, Haji Hasan Mustapa sebagai seorang pemikir soliter hanya cukup mengapresiasi ketidaksetujuan ulama lainnya itu dengan ungkapan:
Kiwari tacan arusum
Nepi kana pamake kami
Heulaanan kuring mundur deui
Tacan tega ka barudak urang
Basana serab pangilo
Sapedah kula kitu
Matak risi nu sisip budi
Budi daya kula
Geus tepi ka kitu
Dongkap ka masyaallohna
Kajen teuing hararemeng galih
Moal matak doraka
Bahkan, ia juga dengan atraktif menyerukan kepada alim ulama dan para khatib untuk setia dan terus berkhutbah dan berceramah dengan menggunakan media bahasa Sunda sebelum dua tahun yang lalu Ajip Rosidi menegaskan bahwa agama adalah rasa dan yang paling efektif untuk menyampaikannya adalah dengan bahasa rasa (bahasa Sunda) sehingga tidak perlu khatib ceramah memakai bahasa Melayu jika tidak justru mereka ikut ambil bagian dalam proses sakratulmautnya bahasa Sunda. Haji Hasan Mustapa menulis:
""Pondokna wae, ngawalatrakeun pangaji Kuranul Adim, Alloh jeung para Nabina sing walatra kahartina kasurtina, sugan sabasa-sabasana. Jadi diurangna pangheulana hutbah mending ku basa Sunda. Barangtangtu panglaerna jampe wudu, jampe adus, telikin ku basa Sunda".
Manusia kosmopolit
Kedalaman perenungan keagamaan Haji Hasan Mustapa sedikit banyak dipengaruhi oleh track record dirinya yang cukup tuntas mendalami ilmu-ilmu agama mulai dari fikih, nahwu, sharaf, tauhid, sampai tasawuf. Belajar tidak hanya di nusantara kepada Kiai Haji Hasan Basri (Kiara Koneng, Garut), Kiai Haji Yahya (Garut), Kiai Abdul Hasan (Tanjungsari, Sumedang), Kiai Muhamad (Cibunut Garut), Muhamad Ijra`I (murid Kiai Abdulkadir, Dasarema, Surabaya) dan Kiai Khalil (Bangkalan, Madura), namun sampai ke luar negeri ke Syekh Muhammad, Syeh Abdulhamid, Syeh Ali Rahbani, Syeh Umar Sani, Syeh Mustomal Afifi, Sayid Bakir, dan Sayid Abdul Janawi yang ada di Mekah.
Haji Hasan Mustapa pada sisi lain, juga merupakan cermin manusia kosmopolit yang tidak kehilangan jati diri kesundaannya. Ia tuntas memahami kultur Sunda, Arab, dan juga kultur lainnya seperti Jawa dan Madura. Tiga yang terakhir itu dilakukan ketika melakukan lawatan budaya secara intens bersama karibnya tahun 1889 Snouck Hurgronye keliling Jawa dan Madura seperti didokumentasikannya dalam Aantekeningen over Islam en Volklore in West en Midden Java.
Kekayaan pengalaman ini pada gilirannya telah membentuk Haji Hasan Mustapa menjadi pribadi yang toleran, bijak, dan selalu berpikir dengan paradigma ragam banyak kemungkinan. Paradigma seperti ini yang dengan penuh kesadaran, membuat Haji Hasan Mustapa lebih tertarik untuk mengemas pemahamannya dalam bentuk dangding dan guguritan di samping dialog imajinatif yang cerdas dan jenaka. ***
ASEP SALAHUDIN, Pemerhati kebudayaan Sunda, mahasiswa doktoral Unpad Bandung. {Pikiran Rakyat, 24 Januari 2009]
[+/-] |
Tokoh |
Tokoh Yang Bukan Pahlawan
Oleh JULIAN MILLIE
SAYA naik taksi ke Cibiru. Waktu itu tinggal beberapa hari lagi sebelum saya dan teman-teman menyelenggarakan semiloka bertema "Haji Hasan Mustapa, Dulu dan Kini". Begitu mobil masuk ke Jalan P.H.H. Mustapa, saya tergerak untuk bertanya kepada pak sopir tentang tokoh yang namanya diabadikan jadi nama jalan itu.
"Pak, saha P.H.H. Mustapa tĂ©h?’ tanya saya mencoba menggali pengetahuan warga Bandung mengenai ulama dari Garut yang meninggal pada 1930 itu.
"Eta mah pahlawan ti Pesantren Cipasung, Tasikmalaya," jawab Pak Sopir.
Jawaban itu, walaupun tidak betul secara faktual, memang bisa dimengerti. Pesantren, pahlawan, dan ulama adalah tiga konsep yang menonjol dalam ingatan sejarah (historical memory) Ki Sunda. Selain itu, masyarakat modern suka menamai jalan dan tempat umum lainnya dengan nama-nama tokoh dan pahlawan yang berjasa dalam perjuangan Republik Indonesia. Jawaban sopir tadi selaras dengan kebiasaan itu.
Namun, jawaban itu menimbulkan pertanyaan menarik tentang Haji Hasan Mustapa, bagaimana penyair mistik itu diperingati dalam peringatan sejarah Ki Sunda? Apakah ada saat-saat dalam kehidupan sehari-hari ketika Ki Sunda sempat mengingat Penghulu Bandung itu? Dengan cara-cara apa Ki Sunda memperingatinya?
Masalahnya menjadi lebih jelas apabila Hasan Mustapa dibandingkan dengan ulama-ulama lain yang seangkatan dengan beliau. Misalnya, K.H. Hasyim Asy’ari, ulama terkenal dari Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur (1871-1947). Dia diperingati dengan beberapa cara di berbagai lingkungan sosial. Sebagai kiai, dia diperingati dalam acara haul, yang dilaksanakan komunitas pesantren pada tanggal kematian sang kiai. Sebagai salah seorang pendiri ormas Islam, Nahdlatul Ulama, dia diperingati oleh sekian banyak pengikut organisasi raksasa itu. Sebagai pahlawan nasional, dia sudah dinobati dengan ketetapan pemerintah sebagai pengakuan terhadap fatwa-fatwanya yang melawan pemerintah penjajah, serta diberi tempat di Museum Pahlawan Nasional. Sebagai penulis dan ulama, dia juga diperingati melalui munculnya edisi baru dari beberapa tulisannya.
Hasyim Asy’ari sampai sekarang masih diberi arti dalam masyarakat sekarang oleh beberapa komunitas. Lain halnya dengan Hasan Mustapa. Sulit mengakui ulama ini sebagai pahlawan. Dia bekerja dalam pemerintah penjajah sebagai penghulu dan menjadi sahabat sekaligus asisten Christian Snouck-Hurgronje, yang ketika itu menjabat sebagai "penasihat pemerintah dalam urusan pribumi".
Selain itu, tidak seperti Hasyim Asy’ari yang masih diperingati oleh komunitas pesantren dalam acara-acara keagamaan, tidak ada komunitas yang membina serta mengkaji gagasan-gagasan keagamaan Hasan Mustapa. Pernah ada golongan elite yang memandang karya-karyanya sebagai ajaran-ajaran, yaitu Galih Pakuan, yang dipimpin oleh Wangsaatmadja, mantan sekretaris Mustapa. Grup itu bubar pada 1960-an. Dengan demikian, peringatan atas Mustapa berada jauh di bawah Asy’ari dalam skala dan frekuensinya.
Namun, Mustapa diberi arti besar dalam bentuk peringatan tersendiri, yaitu penelitian akademis. Ada beberapa penelitian penting mengenai tokoh ini dan karya-karyanya (termasuk oleh R.A. Kern, Ajip Rosidi, Tini Kartini, dkk.).
Sehubungan dengan bentuk peringatan ini, dalam pengamatan saya, ada dua hal yang menjadi motivasi.
Pertama, warisan tulisan-tulisan luar biasa. Ditilik dari segi kecanggihan puisinya dan pemakaian lambang-lambang Islam yang kreatif, baik dari khazanah Islam Arab maupun dari tradisi lokal, sulit ditemukan bandingnya dalam sejarah kesusastraan Indonesia (mungkin ada satu kekecualian, yaitu pada karya penyair mistik asal Barus, Hamsah Fansuri). Warisan itulah yang menarik perhatian peneliti-peneliti dan penggemar-penggemar sastra Sunda.
Kedua, nilai kedaerahan. Kaum akademis Sunda menempatkan tulisan-tulisan Mustapa sebagai warisan yang bernilai sebagai sumber untuk diketahuinya inti kebudayaan Sunda (Inggris: patrimony). Dengan demikian, penting sekali tulisan-tulisan itu dikaji dan disebarkan dalam lingkungan masyarakat Sunda.
Selain peringatan dalam bentuk penelitian, ada juga fenomena baru yang bisa memperkenalkan tokoh Sunda ini kepada khalayak yang lebih luas. Pemikir muda Sunda Asep Salahudin sengaja memakai tulisan-tulisan Mustapa sebagai bahan pemikiran dalam perang wacana yang sedang diterbitkan dalam media zaman sekarang. Sebagai contoh, dia mengutip beberapa bait dangding Mustapa untuk mendukung sudut pandangnya mengenai kurang banyaknya urang Sunda yang berjabatan tinggi di atas panggung politik nasional ("PR", 17/01/09).
Dengan contoh ini, tampaknya sangat mungkin generasi sekarang dan masa depan memaknai Haji Hasan Mustapa dengan cara-cara yang tidak bisa kita bayangkan sebelumnya. Walau dalam beberapa segi peringatan dia tidak seperti Hasyim Asy’ari, terutama dari segi kepahlawanannya, daftar cara-cara peringatan Hasan Mustapa belum tutup.
Dengan memakai penelitian tentang beliau yang sudah digarap oleh angkatan sebelumnya, tokoh yang menarik ini bisa diperingati oleh angkatan muda sesuai dengan kemampuan dan prestasinya. Setidaknya, itulah yang terpikir oleh saya sewaktu naik taksi.***
JULIAN MILLIE, Dosen dan peneliti dari Universitas Monash, Melbourne, Australia. [Pikiran Rakyat, 24 Januari 2009]
[+/-] |
Sastra |
Sastrawan Sunda dan Perempuan
Oleh ATEP KURNIA
Bagaimana perempuan digambarkan atau direpresentasikan oleh sastrawan Sunda? Novel Sunda sebelum Perang Dunia II, umumnya menggambarkan tokoh-tokoh perempuan yang malang.
Novel Sunda pertama yang memulainya. Ya, Baruang ka nu Ngarora (1914) karya D.K. Ardiwinata menampilkan Rapiah. Ia digambarkan sebagai perempuan tidak teguh pendirian. Ia berupaya mengikatkan dirinya pada laki-laki berstatus menak, Aom Kusman. Yang ekstrem, bahkan ia rela diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya yang bergelar raden itu.
Wawacan Rusiah nu Geulis (1921) karya R. Candapraja pun demikian. Tokoh Raden Ayu Lasmana, akhirnya, digambarkan bunuh diri karena tidak kuat berumah tangga dengan saudagar Arab, Sayid Abu Bakar bin Ma`ruf, yang tidak membolehkannya keluar rumah.
Novel karya Yuhana pun menggambarkan perempuan. Pertama, Eulis Acih (1925): Eulis Acih jatuh cinta kepada Arsad. Mereka melarikan diri, tetapi setelah harta bawaan Eulis Acih habis, ia diusir oleh Arsad. Eulis Acih kemudian melahirkan seorang anak, Sukria.
Kedua, Mugiri (1928): Neng Rahmah melarikan diri dengan Gan Adung. Mereka tidak direstui sebab menurut orang tua Neng Rahmah, Gan Adung laki-laki hidung belang dan suka memeras perempuan yang mencintainya. Neng Rahmah hamil. Ketika kandungannya membesar, ia diusir Gan Adung, dengan menuduhnya serong dengan laki-laki lain.
Ketiga, Kalepatan Putra Dosana Ibu-Rama (1928): Hadijah dinikahkan kepada Haji Saleh, dengan cara ditipu oleh orang tuanya. Padahal ia telah berpacaran dengan Mahmud. Setelah Hadijah menikah, Mahmud suka bermain perempuan dan berjudi. Bahkan karena itu, ia menculik Hadijah. Mereka kumpul kebo. Ketika sudah bosan, Mahmud mengusir Hadijah. Hadijah terpaksa kembali ke rumah orang tuanya.
**
BAHKAN, di era itu ada beberapa novel Sunda yang menggambarkan keterpaksaan perempuan menjadi nyai-nyai. Dalam Siti Rayati (1923) karya Moh. Sanusi, Patimah, tukang petik teh di perkebunan Ragasirna, diperkosa oleh si galak Tuan Steenhart. Patimah pun hamil. Namun ketika ia minta dijadikan nyai-nyai, Steenhart malah mengusirnya dan menendangnya.
S.H. Kartapradja juga menyajikan cerita nyai-nyai. Dalam Carita Nyi Suhaesih (1928): Nyi Suhaesih sering bertengkar dengan suaminya yang berhenti bekerja karena ada perampingan. Ia pun terbujuk oleh orang yang hendak menjadikannya nyai-nyai Belanda di Bandung.
Sementara itu, Nyi Aminah dalam Carios Istri Sajati (1929) karya Moehamad Moekhtar, hampir saja jadi nyai-nyai. Setelah disia-siakan oleh suami keduanya, ia hampir terbujuk oleh orang yang akan menjualnya kepada seorang tuan.
Akan tetapi, ada satu novel dari era ini, yang berbeda dengan novel-novel di atas. Itulah Lain Eta (1932), buah tangan Moh. Ambri. Novel ini mulai memperlihatkan perlawanan perempuan atas otoritas kaum laki-laki, meski dikarang laki-laki dan juga pada akhirnya ada bias gender di sana. Neng Eha, tokoh perempuan dalam novel tersebut, semula menuruti kehendak ayahnya untuk menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya. Tetapi sesudah menikah, ia tidak menjalani perannya sebagai istri yang baik, sesuai dengan adat. Ia bahkan meninggalkan suaminya.
Selepas Indonesia merdeka, nasib perempuan di tangan sastrawan Sunda pun tampak tidak beranjak. Dalam Sripanggung (1963), Caraka menggambarkan Empat yang kabur dari perkebunan karena hendak diperkosa oleh pegawai berbangsa Belanda. Kemudian ia ikut sandiwara keliling, sebagai sripanggung.
Yus Rusamsi menulis Randa Bengsrat (1965) dan Dedeh (1966). Dalam Randa Bengsrat, Esih memilih bercerai dengan suami pilihannya, Udi, karena terpengaruh pemikiran saudara sepupunya, Ikah. Ia terpengaruh ide kemandirian perempuan. Meski pada akhirnya, ia pun jatuh cinta dan hamil di luar nikah oleh kekasihnya, Alex Kohar. Yang agak lain adalah Pipisahan (1977), karya Rahmatullah Ading Affandie (RAF). Tokoh Emin diceraikan atas permintaan ayah suaminya. Emin tak menolaknya. Setelah menjanda, ia berjuang menghidupi anak-anaknya dengan usaha menjahit pakaian. Pikirannya tertuju pada membesarkan anak-anaknya.
Dalam roman Ngabuang Maneh (1979), Ki Umbara di antaranya menceritakan Gilang (seorang gadis perawat asal Kuningan). Karena kakaknya berbuat tidak senonoh terhadap seorang gadis, Gilang pun merasa malu dan memilih membuang diri ke tanah seberang.
Selain itu, ada Asmaramurka jeung Bedog Si Rajapati (1987) karya Ahmad Bakri. Dalam novel tersebut, Nonoh yang dinikahkan dengan pria pilihan orang tuanya, berselingkuh dengan laki-laki lain. Dan di akhir kisah digambarkan, Nonoh harus menanggung malu karena hamil, masuk bui karena terlibat pembunuhan, dan akhirnya gila.
Akan tetapi, bagaimana perempuan ditampilkan oleh sastrawan Sunda kini? Bila membaca tulisan Teddi AN Muhtadin, "Tubuh, Erotisme, dan `Kompleks Cinta Romantis`: Penggambaran Seksualitas Perempuan dalam Lima Novel Sunda karya Pengarang Pria" (dalam Seks, Teks, Konteks, 2004: 152-179), tampak tidak juga beranjak nasib perempuan tersebut.
Dalam tulisan tersebut, dari lima novel yang dibahas, Teddi menampilkan dua novel kontemporer yang dikarang sastrawan Sunda: Galuring Gending (2001) karya Tatang Sumarsono dan Panganten (2004) karya Deden Abdul Aziz.
Galuring Gending bercerita tentang percintaan antara Sarah dan Panji. Sarah adalah penari dan Panji mahasiswa-aktivis. Suatu kali Sarah "diperkosa" oleh Um Sar, ketika mengadakan pertunjukan di luar negeri. Sejak saat itu ia jadi simpanan beberapa laki-laki. Kemudian sejak kejadian di salah satu diskotek dan ditolong oleh Panji, Sarah pun jadi kekasih Panji.
Teddi mencatat dua ketimpangan hal setelah membaca buku ini. Pertama, ia menilai bahwa fokalisator ekstern melihat Sarah hanya pada tubuhnya. Sedangkan pencerita intern dan fokalisator intern Sarah terhadap Panji adalah kepintaran, keperayuan, dan kejujurannya.
Kedua, Teddi mencatat bahwa sebenarnya dari sisi Sarah, Galuring Gending menampilkan masalah keperawanan beserta konsekuensi-konsekuensinya, terutama ketika rusak sebelum waktunya (hal. 172-173).
Sementara itu, Panganten menampilkan Rinrin yang selalu dibayangi kematian teman curhatnya, Gumilang. Bahkan, Rinrin limbung. Hingga akhirnya ia mengakhiri hidupnya.
Lagi-lagi penderitaan perempuan. Dari pembacaan Teddi, "seksualitas Rinrin (perempuan)," ia nilai, "sangat ditentukan oleh orientasinya kepada Gumilang (laki-laki). Betapa berkuasanya laki-laki. Ia masih bisa mengontrol diri Rinrin bahkan ketika ia tidak hadir (misalnya karena sudah meninggal)." Dengan demikian, dari sisi gender, "Panganten tidak memberikan jalan keluar atas dominasi laki-laki, selain malah mengukuhkannya." (hal. 174-175).
Apa yang kita dapat dari beberapa bacaan di atas? Tidakkah dari dulu hingga kini, perempuan menderita di tangan sastrawan Sunda?***
ATEP KURNIA Penulis lepas, tinggal di Bandung. [PR, 24 Januari 2009]
Rabu, 21 Januari 2009
[+/-] |
Mustapa |
P.H.H. Mustapa, Pemikir Islam yang Terlupakan
"BAPAK tahu siapa Penghulu Haji Hasan (PHH) Mustapa?" tanya Dr. Jullian P. Millie kepada sopir taksi yang duduk di sebelahnya, saat taksi yang ditumpanginya memasuki kawasan jalan tersebut. Dengan amat meyakinkan, sopir taksi menjawab, "Eta mah pahlawan ti Pasantren Cipasung, Tasikmalaya!" Jawaban itu tentu saja salah.
Petikan percakapan tersebut disampaikan Indonesianis asal Australia Dr. Jullian P. Millie dalam acara "Mesek Karya-karya Haji Hasan Mustapa", yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Sunda bekerja sama dengan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung dan Monash University, Australia, Rabu (21/01) di aula Al Jami’ah UIN SGD, Jln. A.H. Nasution No. 105, Bandung.
Jawaban sopir taksi yang salah itu, menunjukkan bahwa P.H.H. Mustapa tidak begitu dikenal oleh masyarakat Sunda pada umumnya. P.H.H. Mustapa hanya dikenal dan diperbincangkan di bangku-bangku akademi, baik di dalam maupun di luar negeri. Sebagian besar karya-karyanya yang berbentuk manuskrip, yang ditulisnya dalam rumpaka dangding itu tersimpan di Universitas Leiden, Belanda. Sebagian besar manuskripnya itu ditulis dalam hurup pegon (hurup Arab-Sunda).
Dalam kehidupan intelektual di tatar Sunda pada zamannya, P.H.H. Mustapa tidak hanya dikenal sebagai penyair atau pujangga, tetapi juga dikenal sebagai pemikir Islam dan sebagai ahli hukum dalam bidang agama.
"Bahwa dalam sejarah hidupnya P.H.H. Mustapa bekerja pada Belanda, yang pada masa itu disebut sebagai masa perjuangan, tidak masalah. Hal itu tidak mengecilkan arti P.H.H. Mustapa sebagai penyair besar Sunda yang hingga kini belum ada tandingannya. Puisi-puisi yang ditulisnya sarat dengan renungan filosofis, kaya dengan nuansa mistik Islam. Selain itu, P.H.H. Mustapa sangat pandai mencipta idiom baru dengan cara antara lain ngadumaniskeun kosa kata Arab dengan kosa kata Sunda," ujar Hawe Setiawan, salah seorang pembicara dalam acara tersebut.
Selain Hawe dan Jullian, pembicara lainnya adalah Mukhlas, Gibson Al Bustomi, Ruhaliah, dan Alfathri Adlin. Acara tersebut dibuka oleh Rektor UIN SGD Bandung, Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir.
Nanat Fatah Natsir mengatakan, membaca kembali karya-karya P.H.H. Mustapa menjadi penting dewasa ini, karena apa yang ditulisnya baik dalam bentuk dangding maupun dalam bentuk prosa, mengandung nilai-nilai yang tinggi untuk diapresiasi.
"P.H.H. Mustapa mampu menjabarkan nilai-nilai keislaman dan kesundaan dengan jernih. Untuk itu, tak aneh kalau karya-karya yang ditulisnya hingga kini masih jadi bahan kajian, baik di dalam maupun di luar negeri," tuturnya.
P.H.H. Mustapa adalah orang besar pada zamannya. Karya-karya yang ditulisnya banyak mengungkap renungan religius. Pengalaman mistik dalam menghayati keislamannya itu lebih banyak ditulis dalam bentuk dangding. Salah satu petikan dangding-nya yang mengungkap persoalan tersebut seperti petikan di bawah ini.
la ilaha illahu
pokpokan nu beurat lain
Ilallah nu beurat enya
Allahu meh taya lain
hu bitu ngan kari enya
hakeki ngan kari budi
"Sayangnya, karya-karya P.H.H. Mustapa yang demikian itu, masih banyak yang belum dialihbahasakan ke dalam huruf latin. Seluruh karya P.H.H. Mustapa yang ada di Leiden itu sebagian besar masih ditulis dalam huruf pegon. Saya sendiri saat ini tengah mengalihbahasakan dangding P.H.H. Mustapa dari dua manuskrip yang dipinjam dari Kang Ajip Rosidi dalam bentuk mikrofilm," ungkap Dr. Ruhaliah, M. Hum.
P.H.H. Mustapa memasuki dunia proses kreatif sebagai penulis, justru dimulai bukan dalam usia muda. Akan tetapi dimulainya pada usia tua, yakni ketika memasuki usia 47 tahun. Selain itu, naskah-naskah yang ditulisnya pun hanya diketahui oleh masyarakat terbatas.
Karyanya yang pertama yang ditulis tahun 1899 adalah Aji Wiwitan Gelaran, sedangkan yang terakhir Aji Wiwitan Aji Saka II jilid ke-14, yang ditulis tahun 1929. Dalam kariernya sebagai penulis dangding, P.H.H. Mustapa berhasil menulis lebih dari 10.000 bait dangding, suatu prestasi yang luar biasa. (Soni Farid Maulana/"PR")
[+/-] |
Kamar |
Sajak Mikoalonso
Kamar Malaikat
Inilah dinding neraka
Yang penuh cat darah dan
Tembok kusam yang menyebalkan.
Namun kalian dilarang menginap
Dalam keadaan kencing
Biar tunggu saja
Para malaikat itu
pulang dari bioskop
Mikoalonso, Bandung, 2008
[+/-] |
Hidup |
Jati Diri Hidup dari seorang Mahasiswa
Oleh MYRNA NUR SAKINAH
Mencari jati diri hidup merupakan salah satu tujuan dari kebanyakan tujuan Mahasiswa. Ketika seseorang telah memasuki Dunia Kampus yang merupakan dunia baru bagi mereka-mereka setelah mereka duduk di bangku SMA.
Itulah kenyataannya, banyak berbagai fenomena yang dialami oleh Mahasisiwa sendiri ketika dalam masa pembelajaran masa perkuliahan. Banayak kendala dan cobaan yang datang mendadak ketika kita menuju masa taraf hidup kedewasaan. Masing-masing orang yang memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda mencerminkan dirinya yang hidup di tengah-tengah khalayak masyarakat. Melalui tingkat pendidikan, bagaimana dia bersosialisasi, belajar dan bekerjalah yang dapat membedakan Mahasiswa yang satu dengan Mahasiswa lainnya.
Didalam pendidikan Mahasiswa sangat memerlukan fasilitas yang memadai yang mendukung masa perkuliahannya. Ketika dia mempraktekan teori yang didapatkannya, dia pun juga harus mampu untuk mengaplikasikannya kepada orang lain. Mahasiswa dituntut agar mampu untuk menjelaskannya kepada orang lain atas pendidikan yang dia dapatkan. Disinilah kita menemukan keanekaragaman yang dimiliki oleh tiap Mahasisiwa. Ada yang mempraktekannya secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat dicontohkan ketika seorang Mahasiswa barada di dalam pembelajaran akademik yang dilakukan didalam masa perkuliahannya. Mengerjakan tugas, membaca, mencari sumber lain yang dijadikan sebagai acuan untuk pendidikan. Secara tidak langsung dapat dicontohkan ketika seseorang melakukan diskusi dengan siapapun tentang dunia pendidikan ketika mereka ada dimanapun. Ketika di warung, café, warnet, dan tempat-tempat lainnya yang selalu dijadikan tempat mereka kunpul dan diskusi.
Mampu untuk Hidup bersosialisasi dengan yang lainnya merupakan salah satu kebanyakan tujuan Mahasiswa. Ada empat karakter yang dimiliki Mahasiswa bahkan metode tiap orang pun berbeda-beda dalam menjalani bagaimana ia dapat hidup bersosialisasi.Pertama, Mahasiswa yang mengetahui tentang teori dan langsung mengaplikasikannya dengan yang lain. Kedua, Mahasiswa yang tidak tahu akan teori-teori bersosialisasi namun mampu untuk mengaplikasikannya dengan yang lain. Ketiga. Mahasiswa yang tahu tentang teorinya namun tidak dapat mengaplikasikannya. Keempat, Mahasiswa yang samasekali tidak tahu teori dan tidak mengaplikasikannya. Namun jenis yang keempat ini jarang ditemukan.
Belajar dan bekerja dapat membedakan Mahasiswa yang satu dengan lainnya. Tingkat inilah yang menjadi acuan pertama dalam masa pembelajaran. Seseorang yang sungguh-sungguh dengan belajar dan bekerjanya akan sangat berbeda dengan orang yang selalu nyantai ataupun menyepelekannya(tidak perduli dengan apa yang terjadi). Bahkan berdasarkan survey, Mahasiswa berasumsi dengan belajar dan bekerjalah kita dapat menemukan jati diri kita. Siapa kita, dimana kita belajar dan bekerja, mengapa kita belajar dan bekerja, kapan kita belajar dan bekerja, untuk siapa kita belajar, apa yang kita pelajari. Namun itulah kenyataannya, segala apapun membutuhkan prosesnya tersendiri. Di dalam proses inilah mahasiswa dituntut agar selalu bersabar dan berdo’a dalam menjalani apapun dan selalu ada dalam jalan yang benar.
Dengan cara yang berbeda-beda setiap orang mempunyai karakter dan khasnya masing-masing dalam upaya pencarian jati hidup mereka.
Penulis Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris (BSI).