Urang Sunda “Melek Internet”?
Oleh SUKRON ABDILAH
Dengan menggunakan media internet, urang Sunda bisa menuangkan pikiran atau pengalaman lokal melalui weblog, website, social networking dan mailinglist sehingga ikatan lokal menguat dan bisa dilihat serta dirasakan (look and feel).
Urang sunda yang melek internet merupakan ejawantah dari pribahasa “miindung ka waktu mibapa ka zaman“.
Perangkat komputer desktop atau juga notebook yang terkoneksi ke internet, hal itu bisa kita jadikan alat penghantar pesan (The medium is the message). Terutama, pesan yang berisi tentang khazanah kebudayaan Sunda. Andai saja urang Sunda tidak mampu ngigeulan dan ngigeulkeun perkembangan zaman, jangan sewot kalau etnik Sunda bakal termasuk kepada ribuan etnis di dunia yang akan segera punah dan terkubur.
Maka memanfaatkan teknologi informasi yang diboyong arus globalisasi – salah satunya internet – dalam menginformasikan soal kesundaan merupakan satu usaha guna memelihara kelestarian seni dan budaya di tatar Sunda. Dengan demikian, generasi muda mesti proaktif melakukan penetrasi budaya global (mancanegara) dengan cara meng-upload konten berupa teks, video, dan photo yang berisi kebudayaan lokal masyarakat Sunda di website pribadi, mailinglist, weblog dan jaringan sosial (social networking).
Mengeksiskan Sunda
Apalagi eksistensi seni dan budaya di Jawa Barat saat ini kian terancam. Dari 8 cabang seni berjumlah 257 jenis yang terdokumentasikan, sekitar 124 masih berkembang, 100 tidak berkembang, dan 26 jenis kesenian telah punah. Sementara itu, untuk nilai-nilai tradisional yang terdokumentasikan: 145 macam makanan tradisional, 25 permainan rakyat, 12 kampung adat, 20 cerita rakyat, 39 upacara adat, dsb.
Oleh sebab itu, jadi keniscayaan memanfaatkan perangkat komputer dan internet agar eksistensi seni dan budaya Sunda khususnya atau budaya lain di Jawa Barat terpelihara. Maka, kita jangan menjadi urang Sunda yang posisinya sama dengan katak dalam tempurung. Ia tidak tahu tentang perkembangan teknologi informasi dan tidak mau menunjukkan kepada orang lain (dengan mengeksiskan Sunda lewat website atau blog) bahwa etnis Sunda itu eksis.
Globalisasi – khususnya di bidang teknologi informasi – tentu saja mesti dimanfaatkan oleh urang Sunda untuk melakukan penetrasi budaya luar. Itulah yang diistilahkan para sosiolog penganut konvergensi dengan glokalisasi. Sebagai respon aktif dari segelintir komunitas yang masih memegang nilai-nilai lokal yang merasa bahwa kebudayaannya banyak terpinggir oleh kekuatan globalisasi yang cenderung menyeragamkan.
Terputusnya jaringan informasi tentang kesundaan di era virtual dan dunia maya (cybernet) akan mengakibatkan generasi muda Sunda pareumeun obor. Dengan internetisasi, budaya Sunda akan ngajowantara ke era tanpa sekat, dan ketika orang Sunda atau non-Sunda di luar negeri mengetik entri “Sunda” di search engine (google umpamanya), uploader dari Sunda telah menyediakan informasi tentang kekayaan budaya kita.
Tidak seperti sedang mencari naskah langka Sunda di perpustakaan yang banyak disembunyikan hingga tertutup bagi masyarakat. Hanya orang tertentu saja yang bisa membaca, menganalisis, dan mengomentari isi naskah tersebut. Hal ini di era revolusi informasi seperti sekarang tidak akan terjadi. Sebab, setiap orang dengan bermodal Rp. 3000 – bagi mahasiswa yang suka mengakses internet di warnet – sudah bisa membaca, menganalisis, dan mengomentari eksistensi budaya Sunda.
Mengakses kesundaan
Dengan internet, kita bisa menemukan kesatuan antara produksi, reproduksi, dan penyebaran informasi hilir-mudik antara audience dan produsen. Bahkan, yang lebih hebat lagi, selain menjadi konsumer, di internet kita bisa menjadi content provider, dan komentator content, dengan audience yang telah ada yakni teman yang berada di jaringan sosial (social networking). Ketika kita menuliskan isi pikiran tentang kesundaan atau pengalaman hidup urang Sunda serta dipublikasikan di weblog pribadi kita (blogger.com, wordpress, multiply, dll), misalnya, akan ada komentar-komentar dari para pembaca. Setelah itu, akan terjadi diskusi, tukar pikiran, atau sekadar komentar basa-basi.
Globalisasi, ternyata telah dihadapi kaum muda Sunda. Misalnya, mendirikan situs web seperti www.urang-sunda.net, www.sundanet.com, www.kasundaan.org, www.pasundan.org, www.simpay-wargiurang.com dan banyak urang Sunda yang memublikasikan ide-gagasan kesundaan di web berbayar ataupun gratisan semacam di blogger.com, wordpress, multiply, dan lain-lain. Bahkan, ada juga kamus elektronik yang menggunakan bahasa Sunda yaitu su.wikipedia.org.
Alamat-alamat di atas tersedia berbagai informasi tentang kekayaan seni dan budaya Sunda, yang bisa dijadikan pelepas “dahaga kesundaan” oleh para pengguna (user) internet. Website di atas juga merupakan gerakan glokalisasi urang Sunda sebagai langkah proaktif atas tekanan globalisasi yang cenderung menyeragamkan budaya dalam istilah “desa global”. Ada semacam gerakan – punten memplesetkan istilah Antony Gidden – pokoknya “aku” generasi (Sunda) dalam mewujudkan “aku” masyarakat pertama Sunda (“me”-first generation) yang percaya diri akan identitas lokalnya.
Keuntungan bagi masyarakat Sunda “melek internet” adalah akan menyadari bahwa manusia di Indoensia atau dunia dipenuhi pluralitas kebudayaan. Sebab, di internet, kita bisa merengkuh seluruh isi media berupa teks, gambar-gerak, citra audiovisual, dan realitas virtual dari latar belakang kebudayaan yang berbeda. Tapi, jangan lantas kehadiran internet mencipta masyarakat Sunda “melek internet” yang mengamputasi “sense of crisis” ketika berinteraksi dengan masyarakat.
Tapi, masalahnya mampukah pemerintah memperbaiki infrastruktur Infromation and Comunication Technology (ICT) sehingga akses internet bisa dijangkau warga? Nah, sudahkah kaum cerdik cendikia Sunda memiliki tradisi media literacy karena kemudahan akses internet? kalau sudah, tak salah jika mengutip pandangan Thomas L Friedman – seorang kolumnis harian The New York Times: “Terima kasih pada komputer, terima kasih pada internet” . Wallahua’lam
Sabtu, 16 Februari 2008
[+/-] |
Melek |
Jumat, 15 Februari 2008
[+/-] |
Dongeng |
Bentuk Moral Anak lewat Dongeng
Oleh SITTA R MUSLIMAH
Mendongeng atau story telling ternyata dapat dijadikan sebagai media membentuk kepribadian dan moralitas anak usia dini. Sebab, dari kegiatan mendongeng terdapat manfaat yang dapat dipetik oleh pendongeng (orangtua) beserta para pendengar (dalam hal ini adalah anak usia dini).
Manfaat tersebut adalah, terjalinnya interaksi komunikasi harmonis antara oran gtua dengan anaknya di rumah, sehingga bisa menciptakan relasi yang akrab, terbuka, dan tanpa sekat.
Ketika hal itu terpelihara sampai sang buah hati menginjak remaja, tentunya komunikasi yang harmonis antara oran gtua dan anak akan menjadi modal penting dalam membentuk moral. Karena kebanyakan ketika mereka beranjak remaja atau dewasa, tidak mengingat ajaran-ajaran moral diakibatkan tidak adanya ruang komunikasi dialogis antara dirinya dengan orang tua sebagai “guru pertama” yang mestinya terus memberikan pengajaran moral. Jadi, titik terpenting dalam membentuk moral sang anak adalah lingkungan sekitar rumah, setelah itu lingkungan sekolah dan terakhir adalah lingkungan masyarakat sekitar.
Namun, ketika dilingkungan rumahnya sudah tidak nyaman, biasanya anak-anak akan memberontak di luar rumah (kalau tidak di sekolah, pasti di lingkungan masyarakat). Oleh karena itu, agar tidak terjadi hal seperti itu sudah sewajibnya orang tua membina interaksi komunikasi yang baik dengan sang buah hati supaya di masa mendatang ketika mereka memiliki masalah akan meminta jalan keluar kepada oran g tuanya.
Upaya preventif agar tidak terjadi pemberontakan dari sang buah hati terhadap tatanan moral yang berlaku, adalah dengan membudayakan kembali dongeng sebelum tidur. Tentu saja, kisah yang didongengkan itu harus berisi panduan hidup yang berbasis pada filsafat hidup dan nilai moral yang visioner dan positif bagi perkembangan hidupnya di masa depan. William Pakpahan mengatakan bahwa pengetahuan moral bisa diajarkan di rumah, caranya dengan membahas buku-buku dongeng, kitab suci, dan menceritakan kisah yang konstruktif bersama anak.
Mulailah mendongeng
Aktivitas mendongeng atau story telling memang telah jadi budaya di negeri kita selama ratusan tahun lamanya. Ini dibuktikan dengan adanya legenda, misalnya di tatar Sunda, kita mengenal Sasakala Situ Bagendit, Sasakala Tangkuban Parahu, sakdang kuya jeung sakadang monyet dan masih banyak lagi. Bukti tersebut mengindikasikan bahwa telah sejak dahulu kala, nenek moyang kita melakukan kegiatan mendongeng kepada anak-cucunya agar tertanam nilai moral sejak usia dini. Dan, biasanya dongeng yang lebih berpengaruh kepada anak-anak adalah kisah-kisah keteladanan yang berkaitan dengan dunia anak yang imajinatif.
Merrill Hermin dalam bukunya berjudul How to Plan a Program for Moral Education (1990) berpendapat bahwa bercerita atau mendongeng memungkinkan orang berbicara tanpa memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Sebab setiap pendengar memiliki kebebasan untuk setuju atau tidak setuju dan akan berusaha menempatkan posisinya di mana ia mau dalam cerita itu.
Selain itu, cerita atau dongeng bisa menjadi wahana untuk mengasah imajinasi dan alat pembuka bagi cakrawala pemahaman seorang anak. Ia akan belajar pada pengalaman-pengalaman sang tokoh dalam dongeng tersebut, setelah itu memilah mana yang dapat dijadikan panutan olehnya sehingga membentuknya menjadi moralitas yang dipegang sampai dewasa. Karena itulah, peran pendongeng atau oran g tua dalam menjelaskan atau merangkum seluruh kisah dalam cerita kepada anak-anak mesti menjadi seorang penjelas yang pasih. Alhasil, seorang anak akan mengerti intisari dari cerita yang didongengkan tersebut.
Maka, agar tidak terjadi penanaman bibit moral yang paradoksal, orang tua selayaknya memberikan penafsiran secara rasional, konstruktif, dan tidak terjebak pada pengisahan yang klenik. Selain itu, sebaiknya kegiatan mendongeng juga dilakukan sebelum seorang anak hendak tidur, supaya sang anak bisa lebih menyerap materi cerita yang berisi keteladanan sang tokoh dalam cerita itu.
Misalnya, ketika kita menceritakan sasakala Situ Bagendit, menyelipkan ajaran moral bahwa memberi kepada yang membutuhkan atau fakir miskin itu merupakan keniscayaan. Tujuannya agar seorang anak dapat membentuk kepribadiannya secara positif dan menentang kekikiran (kaceuditan) Nyi Endit sehingga menyebabkan ia dan kekayaannya ditenggelamkan oleh air.
Pertanyaannya, sudahkah malam ini atau malam tadi kita membacakan dongeng yang berisi keteladanan kepada sang buah hati? Semoga saja kita memiliki dongeng sebelum tidur yang bermutu dan bisa membentuk moral anak kita. Amiin!
Akhirul kalam, pengetahuan moral merupakan pangkal pokok dari sisi kemanusiaan kita. Maka, jangan biarkan kalau buah hati kita tergerus oleh arus budaya yang bisa membawa dirinya menjadi generasi yang kehilangan pribadi dan moral. Karena itulah, untuk mengokohkan kepribadian dan moral dalam diri anak-anak kita salah satu caranya adalah mendongengkan kisah-kisah yang berisi keteladanan, sehingga di masa mendatang mereka memiliki landasan untuk mengubah bangsa-negara ke arah yang lebih baik.
Kamis, 14 Februari 2008
[+/-] |
Pilkada |
Siapkah Indonesia Berdemokrasi? Sebuah Refleksi Proses Pilkada
Oleh YUSUF WIBISONO
Presiden Amerika Abraham Lincoln, pernah menyatakan dalam pidato kenegaraannya tentang arti negara demokrasi yang sesungguhnya, yakni “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Definisi ini menurutnya berlaku bukan hanya untuk Amerika Serikat, tetapi dapat juga diterapkan untuk semua negara-bangsa di seluruh dunia. Memang, demokrasi adalah pilihan ideologi negara yang sangat berat, bahkan mungkin merupakan bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit. Tidak sedikit memunculkan pertentangan dan ketegangan tatkala negara-bangsa memberlakukan pemerintahan demokrasi. Demokrasi tidak dirancang untuk efisiensi – tapi demi pertanggungjawaban (sense of responsibility) – sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat pemerintahan diktator, namun sekali mengambil tindakan, bisa dipastikan adanya dukungan publik untuk langkah itu. Kendatipun begitu, demokrasi bukanlah merupakan proses yang sudah selesai dan tanpa kelemahan yang berarti.
Menyimak perjalanan proses demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru, sepertinya mengalami pasang-surut yang berarti. Batu uji demokrasi yang nampak adalah ketika pemilihan kepala daerah (Pilkada) di sebagian wilayah Indonesia, dibarengi dengan pencideraan norma-norma demokrasi yang hakiki. Pesta demokrasi (Pilkada) yang seharusnya saling menghargai perbedaan, ternyata yang muncul adalah saling menghujat, kampanye hitam, bahkan lebih parahnya konflik horisontal antar pendukung calon semakin meramaikan media cetak dan elektronik. Sepertinya atmosfir toleransi semakin menjauh dari bangsa ini yang baru bangkit dari keterpurukan, dan mungkin sangat sulit untuk mencapai bangsa yang beradab (civilization), kalau realitas yang demikian itu terus-menerus mewarnai proses demokrasi.
Belakangan ini sudah menjadi pemandangan umum (melalu media), kegiatan Pilkada selalu diwarnai dengan konflik antar pendukung calon dan diiring bentrokkan fisik dengan aparat keamanan. Lebih tragisnya, eskalasi kerusuhan merebak sampai kepada masyarakat yang tidak terlibat secara langsung dalam proses pesta demokrasi tersebut. Padahal "ongkos" politik, ekonomi, sosial dan budaya sangat "mahal" untuk dijadikan taruhan dalam dalam proses Pilkada. Pemandangan seperti itu, sesungguhnya menggambarkan realitas objektif keberadaan masyarakat kita yang masih belum siap menghadirkan norma-norma demokrasi yang sejati dalam proses pemilihan kepala daerah. Masyarakat kita pada umumnya, masih memerlukan learning process yang lebih intens untuk menjadi warga-bangsa yang berkepribadian civilize ( toleran, menghargai HAM, mandiri dan taat pada aturan yang sudah disepakati bersama).
Untuk menuju ke arah itu, semestinya mulai dari sekarang Penyeleggara Negara berinisiatif untuk mendidik warganya melalui berbagai alternatif. Salah satunya, adalah pendidikan politik yang beretika semenjak usia dini, paling tidak dari jenjang menengah pertama atau setingkat SMP. Lebih jelasnya, memasukkan pendidikan politik yang beradab ke dalam kurikulum SMP sampai SMA. Sementara untuk jenjang Perguruan Tinggi , kurikulum pendidikan politik lebih menekankan aspek-aspek filosofis dan humanisme-religius yang bernuansa kearifan lokal. Meskipun demikian, yang lebih penting dari itu semua adalah komitmen semua warga-bangsa untuk selalu memperbaiki citra sebagai masyarakat berbudaya dan beragaama secara konsisten.
Nampaknya hari ini, "makhluk" demokrasi di Indonesia masih menjadi wacana an-sich, atau masih menjadi bahasa "langit" (belum membumi), sehingga -- meminjam istilah Kuntowidjoyo -- belum adanya connecting antara das sain dan das sollen. Maksudnya, dalam konteks demokrasi di Indonesia antara alam ide dengan realitas tidak seiring dan tidak saling mendukung. Dengan demikian -- untuk menuju Indonesia Baru -- seyogyanya lebih mengedepankan semangat peradaban bangsa-dunia yang unggul dan siap berkompetisi dengan negara manapun dalam berbagai hal, terutama tentang nilai-nilai universalitas peradaban manusia.
[+/-] |
Ngeblog |
Blog Bicara! Ada Gitu?
IBN GHIFARIE
Pernah dengar blog yang bisa bicara? Ga mungkin kali.!!!
Kalau yang ngomongin blog banyak. Apalagi yang mengelola blognya seorang seleb. Tentu dapat dipastikan pengunjung dan yang memberi komentar juga membludak. Benerkan ?
Konon, Blog bicara merupakan review blog sekaligus mengajak pemilik blog untuk bercerita tentang blognya dan juga mengajak orang lain untuk bercerita atau mengomentari tentang blog tersebut, harap JaF
Menanggapi apa yang dibicarakanya Ia menjelaskan Blog Bicara bercerita tentang dirinya, sejarahnya, posting-postingnya, tanggapan pengunjung-pengunjungnya. ‘Pokoknya semua tentang dirinya, dan diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi orang lain yang ingin ngeblog, sesuai dengan misi Ayongeblog’
Program ini tidak serta merta hadir, tapi merupakan pengganti acara Pranala. Nah, kali ini Kali ini kami ingin menghadirkan acara yang sepenuhnya didedikasikan kepada dunia blog dimana kami mengajak pemilik blog untuk bercerita tentang blognya dan juga mengajak orang lain untuk bercerita atau mengomentari tentang blog tersebut. Mau disebut acara ulasan blog boleh, review blog juga bisa, tapi kami memilih untuk menyebutnya Blog Bicara.
Acara Blog Bicara hadir setiap hari Rabu pukul 20:35 WIB di Radio Singapura Internasional dan dipandu oleh Fika Rosemarie.
Menyoal bagaimana cara kita supaya mendengarkan program ngeblog ini, masih menurut JaF menguraikan; Pertama, Melalui Radio SW atau gelombang pendek di frekuensi 6120 KHZ (49 MB) atau 7235 KHz (41 MB). Kedua, Melalui siaran Streaming di internet. Caranya klik saja ke www.rsi.sg/indonesian, lalu klik PLAY di bagian siaran live. Ketiga, Melalui Satelit di AsiaSat 3S, Posisi 105.5 Derajat, Frekuensi 3706 MHz. keempat, Melalui Podcasting atau mendownloadnya dalam format MP3 melalui situswww.rsi.sg/indonesian (klik Podcasting di bagian tengah, lalu pilih edisi Blog Bicara.).
Hmm…setelah mendengarkan uraian singkat dari JaF. Masa ga mau lagi percaya soal Blog Bicara. Pasti keterlaluan dech…!!
So..silahkan klik program acara tersebut. Bila ada, maka langsung ikut nimbrung dan ngomentari kegiatan itu. Dijamin bermanfaat. Ok
Ayo Ngeblog, Ayo Ngoment Juga!! [[Ibn Ghifarie]
Cag Rampes, Pojok Komputer Ngeheng, 14/02/08;22.04 wib
Rabu, 13 Februari 2008
[+/-] |
Kedua |
sunangunungdjati; peringkat 2 Blog Yang Paling Banyak Me-Refer ke Ayo ngeBlog!
Oleh PENGELOLA
Berdasarkan data dari Google Analytics, pengunjung Ayo ngeBlog! yang datang dari ngeklik banner atau link ke Ayo ngeBlog! jumlahnya mayoritas, dibandingkan dengan pengunjung yang masuk lewat search engine atau mengetik langsung Ayo Ngeblog di address bar pada browser.
Kurang lebih jumlah yang datang lewat ngeklik link ke Ayo ngeBlog! ada lebih dari 50% dari total pengunjung. Liat Selengkapnya..
Senin, 11 Februari 2008
[+/-] |
Potensi |
Potensi Konflik PILKADA
Oleh ANDRIYANS
Setelah lahirnya Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) seakan menjadi suntikan baru bagi partisipasi politik masyarakat.
Sebagian orang ada yang berpendapat ini adalah sebuah langkah terobosan dalam berdemokrasi di indonesia tapi ada juga yang melihat hal ini adalah sebuah kemunduran dalam berdemokrasi seperti apa yang di sampaikan oleh Gubernur LEMHANAS yang menginginkan Gubernur di daerah di tunjuk langsung oleh presiden.
Pilkada yang berlangsung di 226 daerah, terdiri 11 provinsi dan 215 kabupaten/kota, dan menelan dana sekitar Rp1,25 triliun, suatu harga mahal tentunya yang harus di bayar oleh rakyat indonesia untuk bisa berdemokrasi di negara ini. di tengah kemiskinan yang melanda negeri ini (Badan Pusat Statistik (BPS) secara resmi mengumumkan jumlah penduduk miskin 37,17 juta orang atau 16,58 persen dari total penduduk Indonesia selama periode bulan Maret 2006 sampai dengan Maret 2007).dan rakyat indonesia hari ini dipaksa kemudian oleh sistem untuk ikut dalam arus besar demokrasi di negeri ini.
Pemilihan kepala daerah langsung memberikan warna tersendiri dalam berdemokrasi di indonesia dengan menyertakan rakyat secara langusung untuk menentukan pemimpinnya sendiri di tingkat lokal/daerah.tetapi PILKADA juga melahirkan efek samping yang negatif,seperti polarisasi kelompok masyarakat serta meregangnya interaksi sosial di antara masyarakat itu sendiri dan tidak jarang dari proses PILKADA ini melahirkan bentrokan yang mengarah pada tindakan anarkis.
Beberapa Ilmuwan politik mengatakan, suatu negara dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk jabatan politik.Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat penting bagi demokrasi.Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks Pilkada langsung adalah meminimalisasi potensi-potensi konflik tersebut.
Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya konflik dalam Pilkada,dan jika hal ini tidak diantisipasi maka akan melahirkan sebuah kerugian yang besar yang akan di terima oleh masyarakat. Beberapa hal yang menyebabkan konfli itu diantaranya :
1. banyak kebolongan-kebolongan aturan-aturan Pemilihan kepala daerah (PILKADA). Diatara kebolongannya itu adalah terlalu besarnya hegemoni partai politik dalam Pilkada, hal ini di tunjukan dengan tidak di akomodirnya calon independent dalam Pilkada,walaupun secara tegas Mahkamah Konstitusi membolehkan calon Independen tetapi belum lahir juga aturan yang jelas tentang mekanisme pencalonan secara independent.sedangkan calon-calon yang di tawarkan oleh parpol kebanyakan tidak di sukai oleh rakyat.dan masih banyaknya calon-calon dari luar parpol yang di sukai dan di nilai kompeten untuk menjadi pemimpin di daerah. Hal ini di tunjukan dengan masih tingginya suara golput dalam beberapa rangkai pilkada ke belakang.
2. masih lemahnya pendidikan politik untuk masyarakat.inilah tugas kita sebagai Civil society yang merupakan pilar ke tiga dalam mewujudkan Good Governance.masyarakat sangat perlu untuk di didik agar melek politik supaya masyarakat tidak terus di bohongi oleh calon pemimpinnya di daerah.karena bentrokan yang terjadi adalah setingan para elit politik.lemahnya pemahaman politik masyarakat ini di tunjukan dengan masih banyaknya Incumbent yang terpilih kembali,yang padahal incumbent ini telah gagal dalam mensejaherakan rakyatnya.oleh karena itu pendidikan politik untuk masyarakat sangat penting di dilakukan agar masyarakat paham dan bisa menuai hasil yang optimal dalam momentum pilkada ini untuk masa depan mereka.
3. potensi konflik pasca Pilkda juga perlu di perhatikan dengan baik karena hal ini tidak kalah krusialnya menurut saya. Jika tidak di menej dengan baik maka akan melahirkan konflik yang lebih besar.. Konflik pasca Pilkada juga dimungkinkan, jika terjadi kecurangan dalam proses pemilihan tanpa penyelesaian hukum yang adil, misalnya, menggunakan politik uang. Aturan yang termaktub dalam UU Pilkadal seolah membuka peluang terjadinya persaingan politik uang di antara para kontestan. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan di kalangan kontestan yang “miskin”. Hal ini bisa kita lihat beberapa pilakda kebanyakan berakhir di pengadilan,sebut saja misalnya hasik Pilkada Depok,Pilkada Kab Bandung,atau kabar terbaru yang kita saksikan bersama di media masa. Mahkamah agung memutuskan agar di lakukan pilakda ulang di 4 kabupaten pad pilkada Sulawesi selatan.atau berakhirnya pilkada maluk utara di tangan KPU pusat yang penuh dengan kontroversi.
Menurut saya tiga potensi konflik dalam pilkada ini harus segera kita antisipasi bersama agar tidak merugikan semua pihak. Demokrasi di tingkat local/daerah harus kita maksimalkan sehingga dalam momentum ini bisa lahir sebuah perubahan yang signifikan bukan malah kemudian menjadi kontra produktif bagi kemashlahatan untuk rakyat banyak.semua pihak harus proaktif dalam mewujudkan good governace di tigkat nasional maupun di tingkat local/daerah.
[+/-] |
Jurig |
Carpon Badru Tamam Mifka
Kasurupan Jurig
Geus rumah tangga mah, gawé téh kudu getol. Keur léléngohan onaman, nyiar duit téh bisa lungla-lenglé kénéh, bangun nu nyalsé. Dalah geus kawin mah, isuk-isuk gé geus dititah mangkat ku pamajikan.
Pajar téh rejeki kaburu dikoréh hayam. Tong mumul, tong kedul pokna téh, bisi éléh ajul. Matuh pamajikan mah, mun geus nyindir ku hayam, teu weléh dituluykeun ku ngagul-ngagul Pa Dadang nu isuk-isuk kénéh geus mangkat nyiar duit. Sakapeung mah sok timburu, panas haté mun pareng didagor-dagor jeung kaayaan Kang Dadang. Padahal Kang Dadang mah gawé ngantor di penerbitan, kuring tukang ojég. Béda saeutik meureun.
Cenah gawé ngantor mah kudu disiplin waktu. Isuk-isuk gé kudu daék susuruduk. Lamun elat sapuluh menit gé bakal disetrap ku dunungan, kawas elat abus kelas mangsa kuring ésdé. Tapi ayeuna mah teu jauh béda kuring jeung Kang Dadang, isuk-isuk geus bareng tuturubun. Bédana mah Kang Dadang sieun disetrap dunungan, kuring sieun disetrap pamajikan. Rebun-rebun kénéh wayahna kudu geus mangkal. Gening bener Nyai, najan tiris gé isuk-isuk mah loba urang lembur nu rék ngadon ka pasar.
Tapi karasa capé mun kudu manteng sapopoé di pangkalan. Sakapeung mah isuk-isuk téh sok tara langsung mangkal. Sok ngahaja muru imah Dasép ngadon ngawangkong ngomongkeun manuk jeung nguseup. Mun teu kitu, kuring sok ngahaja kukurilingan ka pasar néang parab lauk. Eureun-eureun sotéh mun pareng papanggih jeung pamajikan. Lamun teu paamprok jonghok jeung pamajikan mah biheung teuing rék mangkat ngojég. Matuh, mun pareng kapanggih kedul mangkal, unggal balik ka imah sok nyampak pamajikan murukusunu saré nonggongan. Dalah, ieu nu dipikahariwang ku kuring mah.
Hayangna mah nyirekem sapopoé di enggon. Ngamandian manuk atawa morongkol ngadéngékeun radio. Tapi da ayeuna mah sok daék mikir, kabutuhan sapopoé teu ujug-ujug ragrag ti langit. Ditambah renghik Si Dado budak kuring hayang jajan jiga nu teu nyaho wayah. Mangkaning budak lalaki hiji-hijina téh geus gedé, kahayangna beuki loba. Komo ayeuna mah geus nincak kelas tilu, biaya sakola jeung kabutuhanna beuki merul unggal minggu. Leuwih beurat mun pamajikan pipilueun ngarenghik. Hayang baju mah, hayang sapatu mah.
Leuheung pamajikan onaman, mun pareng teu kacumponan paménta téh sok teu lila renghikna. Teu pira jadi baeud jeung sare nonggongan dua peuting. Lah, itung-itung puasa senén-kemis wé. Kadituna mah sok malik ogo deui. Tapi béda jeung budak. Abong leutik kénéh, paméntana teu kacumponan téh sok ngarengik papanjangan, kokoséhan papanjangan. Ari sual kahayang mah, teu nerap ka pamajikan jeung budak waé, kuring gé sakapeung mah sok hareudang bayeungyang karasana dipanggang kahayang. Boh nangkarak, boh nangkuban, boh morongkol, teu weléh wé kahayang téh tingarajol narémbongan. Tingabarasat récét ngagalaksak sakujur awak. Tapi kuring sok pangheulana nyadar ku kaayaan.
Sakapeung budak téh kahayangna alah batan budak pajabat. Unggal minggu paméntana sok gunta-ganti. Sok keuheul mun pareng ngarenghik. Mun lain anak sorangan, tibaheula gé geus dikarungan. Manasina kuring téh jalma beunghar nu teu hariwang ngadéngé kahayang budak merul unggal minggu. Tapi kabéh kahayang budak nepi ka ayeuna can aya nu kacumponan, iwal ti sapatu sakola. Répéh dua minggu mah dipangmeulikeun sapatu téh. Tapi heuleut saminggu tidinya, budak jeung pamajikan ujug-ujug ngarenghik hayang meuli tivi. Gusti, ngadéngéna gé asa kabéntar gelap. Lain saminggu dua minggu, renghik hayang tivi téh kadéngé tuluy mangbulan-bulan. Renghik nu laon, tapi ngahaleuang panjang, matak hareudang.
“Nyai, keur urang mah tivi téh kaasup barang mahal.” Ceuk kuring hiji poé. Pamajikan katempona haré-haré, kalahka jongjon ngakeul. Kuring ngarénghap panjang. Teu kungsi lila pamajikan cengkat, nyapukeun dapur. Kuring ukur bisa ngahuleung. Tetempoan karasa rinyay. Eunteup pajeujeut jeung imah lancah. Haseup rokok ngalangkang muru liang kenténg. Haseup kompor ngulibek teu hurung-hurung.
“Kang, kompor garing…”
***
Sok melang nempo pamajikan mun pareng baeud. Teuteupna teu haneut, tiis tur seukeut alah batan hinis. Sok asa dosa ngajak manéhna hirup sangsara. Tapi mangtaun-taun rumah tangga, kuring can manggihan pamajikan amuk-amukan. Manéhna mah sok milih ngabetem mun aya kaambek téh. Tapi sual tivi mah manéhna gé nyadar. Baeud sotéh cenah hariwang ku budak. Si Dado hayang tivi nepi ka embung dahar. Ngadéngé kitu mah kuring gé ngilu hariwang. Atuh teu loba mikir deui, isuk-isuk kénéh kuring ngawani-wani muru imah Pa Dadang, maksud rék nginjeum duit. Pédah wé ayeuna tanggal ngora.
Gening nginjeum duit mah babari, teu cara mayarna. Pa Dadang nginjeumkeun duit, tapi cenah elat mayarna kudu bulan hareup. Lah, kuring nyanggupan. Sugan wé kabedag. Ayeuna mah teu pira kurang lima puluh rebu deui. Mun seug ngojég jeung bisnis manuk lancar, isuk gé tivi geus bisa kabeuli. Kuring jongjon ngahuleng di pangkalan ojég. Pikiran karasa kakalayangan ka mana mendi. Isuk-isuk kéneh geus nagog nungguan panumpang. Sugan wé leubeut jiga kamari. Ngahaja nagogna sisi jalan gedé, sugan wé aya kardus murag tina mobil élep.
Karék inget, gening ayeuna téh poé minggu. Tangtuna jelema lolobana cicing di imah. Dina ayana gé barudak ABG. Éta gening barudak tatangga hungkul nu rék ngadon alulin. Sakapeung mah sok teu daraék marayar. Abong ka dulur, cukup ku cap nuhun. Sabot keur ngeunah ngahuleng, torojol téh Kiyai Damsik, katempona jiga nu rusuh.
“Badé kamana, Pa Kiyai?” pok téh kuring nanya.
“Cik lah anteurkeun ka imah Ki lurah.”
“Katingalna mani rusuh, Pak Kiyai?”
“Enya, tadi keur jongjon ngeunah nguseup, Ki Lurah nelpon. Cenah sadua-dua anakna kasurupan jurig, ditambah bibina.”
“Euleuh kasurupan jurig…”
Motor kuring parkir di garasi Pa Lurah. Geus katempo urang lembur minuhan imah tengah Pa Lurah. Pamajikan jeung budak kuring gé ngilu nongton. Katempo budak Pa Lurah nu duaan keur dirarejeng. Kokojotan. Hahaok kasurupan. Panonna ngabuncelik. Teu jauh di belah katuhu, bibina molotot jeung kekerot. Awakna gigibrig teu eureun-eureun. Kiyai Damsik jajampéan. Niup cai dina rantang. Teu lila cai téh diusapkeun ka budak duaan, tuluy ka bibina. Lain cageur, kalahka beuki tarik kasurupanna. Gogorowokan. Ngacapruk teu puguh. Ceuk Jang Maman mah, saméméh kasurupan budak duaan téh gegelutan di tengah imah. Kadieunakeun jadi gelut nyaan. Bibina mah jongjon lalajo tivi. Apan Bu Lurah jeung Pa Lurahna mah keur ngariung di Posyandu.
“Sugan tadi ulin kamana?” Pa Lurah nanya.
“Teu kamana-mana, Pa. Budak duaan teh ti énjing-énjing gé pogot lalajo tivi sareng bibina.” Ceuk Jang Maman. Kiyai nu ti tatadi ngabandungan héran naker. Teu kungsi lila Kiyai nyampeurkeun tivi nu masih hurung. Sajongjonan mah manéhna melong. Atuh warga gé milu melong éta tivi. Kabeneran keur merul iklan. Gék warga téh naragog, ngadon lalajo. Poho kanu keur kasurupan mah. Cénel dipindahkeun ku Pa Kiyai. Katempo keur konser musik rock. Cénel dipindahkeun deui, film perang. Dipindahkeun deui, film gelut. Dipindahkeun deui, film nu silih gabrug bobogohan, tuluy merul iklan ti mulai dahareun nepi ka cocooan budak nu kawilang geus canggih.
Sabot anteng lalajo, nu kasurupan beuki kokojotan. Kabéh istighfar. Ngomongna ngacapruk deui. Meusmeus budak nu duaan mah hahaok ngajak gelut. Hahaok ka bapak jeung indungna. Sakapeung mah nyambat ngaran Bétmén jeung Spidermén, tuluy hahaok ménta mobil balap jeung hayang ulin ka Nuyok. Bibina sakapeung nyambat sélébritis, tuluy ngajerit ménta dipangmeulikeun bonéka Sahrukkan. Nu kasurupan geus teu jauh béda jeung nu gélo. Habek budak nu hiji neunggeul Ki Miun nu titatadi ngoprot nyekelan leungeun budak. Beletak suku budak hiji deui ngajejek sirah Mang Dadap nun titatadi nagog sisieunna.
“Geus ayeuna mah kapanggih. Alungkeun wé ka balong hareup.” Ceuk Kiyai.
“Saha?”
“Eta nu kasurupan! Maenya ngalungkeun kuring!” Kiyai molotot. Nu titatadi nyarekelan budak tingparelong. Tuluy lieuk ka Pa Lurah jeung ibuna. Pa Lurah unggeuk. Teu loba lila deui, Mang Dadap jeung nu séjénna manggul budak duaan. Ki Japra ngahaja hayang ngagotong si bibi. Geus tepi ka sisi balong hareupeun imah Pa Lurah, nu tiluan teh dialungkeun. Teu pira balon déét, jerona sataktak budak Pa Lurah. Gejebur nu kasurupan patingkocéak. Budak nyambat Supermén. Si bibi nyambat pangéran berkuda putih. Kiyai nitah kabéh cicing. Nu kasurupan luplep di tengah balong. Teu kungsi lila tuluy ménta tulung. Kiyai nitah Mang Dadap jeung nu séjénna geuwat nulungan.
Geus hanjat di darat, nu kasurupan arutah uger. Budak nu duaan ceurik. Bibina luak-lieuk jiga nu hudang saré di luhur kenténg. “Aya naon ngarariung?” pokna bari gagaro sirah.
“Ilaing kasurupan!” Kiyai nyentak. Pa Lurah jeung ibuna katut warga ngabarakatak seuri. “Alhamdulillah…”
“Kausap jurig naon, Ki, barudak kasurupan?” Pa Lurah nanya atoh baur heran naker.
“Teu salah deui, jurigna tivi!”
“Hah, tivi!!!” kabéh warga reuwas. Kabéh olohok.
“Ayeuna mah jurig teh lain cicing di kuburan atawa leuweung sanget. Tapi geus nyumput dina tivi. Nu kasurupan parah mah, hésé neang ubarna.” ceuk Kiyai. Sakur kabéh urang lembur nu ngadéngé omongan Kiyai ngadadak beungeutna sepa.
Isukna, loba urang lembur nu ngajarual tivi. Kuring gé gura-giru malikeun deui duit ka Kang Dadang. Bedo meuli tivi téh. Peutingna kuring ngahuleng jeung pamajikan, dariuk duaan luhureun kasur.
“Nyi, kabayang nya mun jadi meuli tivi, tangtuna bakal cilaka.”
“Cilaka naon, Kang?”
“Kasurupan jurig, listrik nyedot, hutang numpuk. Meureun wayah kieu téh moal silih réndéng luhur kasur jiga ayeuna, tangtuna masih pogot lalajo tivi poho waktu. ”ceuk kuring. Pamajikan seuri ogo.
“Muhun, Dado ogé ayeuna mah teu ngarengik hoyong tivi deui”
“Ari nyai ngarengik kénéh?”
“Muhun.” Témbalna alon
“Hoyong tivi, lin?”
“Sanés. Hoyong bobo.” Pokna ogoan. Rub kuring duaan disimbut. Silih keukeupan. Sora peuting ngarekét baur jeung sora jangkrik…
Sumedang, Januari 2008
[+/-] |
Problem |
Problematika Dani Ahmad Dengan Maia
Oleh AGUS SULTHONIE
Kabar tentang rumah tangga Dani Ahmad dengan Maia seakan tidak ada hentinya. Hampir setiap media massa, cetak atau elektronik, tidak bosan untuk terus menerus memblow-up perseteruan mereka berdua.
Sebagai urusan pribadi mereka, mestinya tidak sampai terpublikasi luas. Akan tetapi karena mereka artis, mau tidak mau, akhirnya terpublikasikan juga.
Saya termasuk suka dengan karya-karya mereka berdua, kalau tidak mau disebut sebagai pengagum. Dari sosok seorang Dani Ahmad bisa melahirkan karya-karya besar dlm bidang-nya. Yang ini menurut saya sebuah prestasi yang luarbiasa bagi seorang seusia Dani. Dan saya cinta terhadap produk bangsa sendiri. Oleh karenanya produktifitas Dani Ahmad merupakan hal yang juga saya cintai sebagai produk anak bangsa. Dan saya pasti akan selalu mendukung produk-produk budaya yang lahir dari kreatifitas kita sendiri.
Tapi, itulah manusia. Dani Ahmad dan Maia adalah manusia juga. Segalanya tidak selalu sempurna. Saat ini rumah tangga Dani Ahmad dgn Maia sedang menghadapi prahara besar, kalau tidak mau disebut diujung tanduk. Dari hal yang tadinya saya tidak tau, menjadi tau tentang problematika mereka berdua.
Sebelumnya saya mohon maaf, jika dianggap turut campur pada persoalan ini. Saya hanya mencoba usul atau sumbang saran saja, tentu yang namanya usul itu bukan suatu yang harus dilakukan, hanya sebagai pertimbangan saja.
Sudah pasti yang namanya rumah tangga akan muncul persoalan, kecil atau besar itu relatif. Yang jelas ini merupakan dinamika dalam rumah tangga. Jangankan kita sebagai manusia biasa, wong Rasulullah SAW saja pernah ada persoalan dlm rumah tangganya kok. Akan tetapi lagi-lagi problematika itu biasanya runyam pada tingkat penyelesaiannya. Jika ini terjadi tentu saja ini bukan penyelesaian yang baik. Dan penyelesaian yang baik itu berorientasi pada win-win solution. Saling menguntungkan dan tidak ada yang dirugikan.
Tentang draft persyaratan Maia, saya fikir itu mengindikasikan bahwa Maia masih care -- alias masih cinta -- pada Dani Ahmad sebagai suaminya. Memang draft persyaratan dari Maia ini menyangkut pada rejeki dan nasib orang lain atau pihak ketiga. Sehingga perlu ada pertimbangan matang untuk draft yang ini. Karena dalam perspektif keberagamaan kita - Islam -, memutus rejeki orang bukan sikap yang baik, sebab berakibat pada terputusnya silatur rahim. Artinya, jangan sampai menyelesaikan persoalan dengan menciptakan persoalan baru. Tentu tidak akan pernah selesai, karena akan menciptakan dendam-dendam lainnya.
Sementara untuk Dani Ahmad, saya fikir dia faham apa yg dilakukan istrinya ini. Dengan kata lain, mungkin harus ada sikap-sikap tertentu Dani yang harus dirubah dan diperbaiki. Saya tidak meragukan profesionalisme Dani Ahmad. Akan tetapi dalam rumah tangga tidak hanya sekedar butuh profesionalisme, tapi juga sebuah pengertian yang peka dan mendalam. Tidak bisa kaku. Wong ini interaksi dan komunikasi dengan istri kok, bukan mesin. Kalau segalanya hitam-putih, ya itu tadi, ga ada ujungnya. Rasulullah SAW adalah Pemimpin Pemerintahan, Pemimpin Perang, juga sekaligus Pemimpin Rumah Tangga. Jika Bung Dani adalah seniman besar, tentu akan paham bahwa memimpin rumah tangga pun ada seninya juga.
Maaf sekali lagi, saya hanya urun rembuk. Lagi-lagi semuanya ini diserahkan pada keputusan mereka berdua. Saya menulis ini karena saya peduli pada mereka. Peduli pada potensi mereka berdua. Peduli pada karya-karya mereka. Tidak ada maksud lain. Wallahu a`lam.
[+/-] |
Sajak |
Sajak Gagal
Oleh FANI AHMAD FASANI
Pada bagian ini aku hanya ingin mengatakan bahwa mungkin sudah sewajarnya aku merasa beruntung karena tidak berada dalam suasana kasmaran. Aku tidak harus menulis puisi, itu yang pertama kali harus aku syukuri.
Memang sejak dulu aku memang merasa tak pernah berhasil menulis puas sepotong puisi, jika sudah jadi paragraf kecurigaan selalu lebih panjang dalam kepalaku tinimbang puisi itu sendiri. Aku selalu merasa kata-kata enggan berpihak pada keterbatasan ungkapku. Lagipula siapa yang menetapkan kewajiban menulis puisi jika sedang kasmaran? Dan bukankah selalu ada jalan lain untuk mengatasi gagap ungkap dalam sajak, mungkin bisa dengan laku mbeling itu, semacam anggapan santai; jika kita masih bersusah payah memikirkan bikin puisi, jadi apa kita? Bangsa lain sudah berhasil membuat pesawat, kita masih sibuk dalam jibaku menganggap kata seolah hantu. Takut sekaligus kagum. Kenapa kita sering pikun terhadap bahasa, yang seharusnya kita kerasan di dalamnya. Ariel Heryanto pernah bilang kapan dalam jaga kita tidak terlibat dengan bahasa?, bahkan sesekali dalam tidurpun kita mengigau.. atau sedikit lebih fenomenologis; bahwa kita hanya mungkin menyapa ‘ada’ di tanah tumpah bahasa. Beruntung, tak ada yang pernah merasa selesai dengan urusan kata-kata. Jika demikian apa yang bisa dikerjakan dewan bahasa dan bagaimana nasib bisnis penerbitan?
Ah, kenapa menyalahkan rasa kasmaran hanya gara-gara aku selalu merasa gagal membuat sepotong puisi. Mungkin aku harus menuruti apa yang dikatakan Pak Bq, untuk jangan melakukan dua pekerjaan sekaligus. Maksudnya jika aku menulis, menulis saja. Jangan sekalian menilai, karena biasanya menulis akan menjadi sulit. Selalu terasa jelek. Atau lebih aman jika nilai itu dijauh tempuhkan pada yang lain, biarkan orang muntah terserah membaca puisiku meski bukan berarti aku sudah tak berurusan lagi dengan puisiku. Terus bagaimana dengan rasa kasmaran yang kuletakkan dalam kerangka antagonistik? Mungkin rasa syukurku adalah ratapan yang selingkuh. Bahwa orang yang sedang kasmaran biasanya tak begitu terbebani dengan soal penilaian ini, mereka seolah berada dalam desakan yang cukup bagus untuk segera berpuisi. Rasa syukur ini berarti yang harus dicurigai, jangan-jangan berasal dari rasa frustasiku karena selalu merasa gagal menjabat sepenggal puisi, lalu menuntut pembenaran bahwa wajar saja aku gagal karena aku tidak sedang kasmaran.
Akh, kekonyolan apa yang mengantarkan aku pada anggapan bahwa puisi hanya terbatas pada ungkap rasa kasmaran? Apalagi rasa kasmaran yang kubayangkan terbatas pada sesosok yang disebut perempuan. Bukankah kita juga bisa kasmaran pada puisi itu sendiri? Mungkin gara-gara kemarin temanku Mufti meminta pendapatku tentang puisinya yang dia tulis untuk perempuan. Tapi seorang temanku pernah berpuasa menulis puisi gara-gara pacarnya cemburu, cemburu terhadap puisi padahal sebelum ia menjadi pacar sering kagum pada puisi-puisi yang dikirim temanku itu. Mungkin ia hanya cemburu pada hal-hal di luar puisi, pada banyaknya perempuan yang meminta puisi atau bertanya soal puisi selepas temanku itu membacakan puisi di depan umum. Berarti memang puisi tak layak dicemburui meskipun seringkali dikasmarani. atau mungkin tidak pernah sama sekali sejauh yang kualami.
Cileunyi, November 2007
[+/-] |
Rindu |
Merindukan 'Kanyaan Inung'
Oleh SUKRON ABDILAH
MUNGKIN kita pernah mendengar istilah "Home Schooling"? Ya, kurang lebih artinya adalah belajar di rumah. Lantas, bagaimana dengan program wajib belajar pendidikan dasar (Wajar Dikdas) 9 tahun yang digagas pemerintahan? Akankah terhambat oleh trend pendidikan "Home Schooling" ini?
Saya rasa tidak akan terhambat. Dengan konsep pendidikan berbasis rumah, seorang anak bisa lebih dekat dengan keluarga. Selain itu home schooler (sebutan bagi anak yang belajar di rumah) juga bisa mengikuti ujian penyetaraan paket A untuk tingkat SD, paket B untuk SMP, dan paket C untuk SMA. Apalagi bagi anak yang berkebutuhan khusus. Boleh jadi pendidikan model beginilah yang mesti diterapkan. Agar mereka memperoleh perhatian yang intensif dari orang tua, khususnya ibu.
Menurut pengamat pendidikan Nibras OR Salim, posisi ibu bagaikan madrasah bagi anak-anaknya. "Al-ummu madrasatun". Oleh karena itu, mereka (anak-anak) semestinya mendapatkan perhatian lebih (baca: pendidikan) dari seorang ibu. Apalagi hampir mayoritas bila seorang ibu banyak berkutat di ranah domestik. Jadi, mereka dapat berinteraksi secara langsung dengan buah hatinya.
Kalau pun ada yang bekerja di perusahaan, lembaga pemerintahan ataupun berwirausaha, tetap mesti meluangkan banyak waktu untuk membimbing dan mendidik anaknya. Seorang ayah pun posisinya sama. Mesti memberikan kasih sayang kepada anak-anak di rumah, tidak lantas bersikap keras kepada anak. Sebagai contoh, karena anaknya berkebutuhan khusus, sikap dan tindakan pun seolah diskriminatif. Cuek, kesal, inferior, marah dan aneka macam perasaan yang menggambarkan ketidakbanggaan memiliki anak berkebutuhan khusus.
Anak yang berkebutuhan khusus seperti penderita autisme, hiperaktif, tuna grahita, retardasi mental dan sebagainya, tentu saja tidak boleh dipilah-pilah. Mereka juga berhak mendapatkan pengetahuan dan keterampilan (life skill) agar hidupnya lebih bermakna. Oleh karena itu, pada hari ini patut kiranya bila kita mulai mengencangkan ikat pinggang. Bersiap-siap (singkil) melindungi anak-anak dari serangan arus gelombang informasi yang mengglobal dengan menciptakan rumah belajar. Lebih khususnya lagi bagi para orang tua yang memiliki buah hati dengan kebutuhan-kebutuhan khusus.
Di dalam berita Pikiran Rakyat (9/12/2006) ada satu pencerahan yang dapat saya ambil, bahwa ibu-ibu di Sunda sangat menyayangi anaknya. Hal ini bisa dilihat dari delapan larik syair tembang Sunda Cianjuran yang saya kutip dari koran kebanggaan warga Jawa Barat ini, sebagai berikut: Duh anak ibu/Nu geulis pupunden ati/Geus bisa ulin/Geus capetang jeung ngopepang/Teu weleh deudeuh/Najan bangor toloheor/Tambah kanyaah/Sarengkak saparipolah...
Lirik sederhana di atas, menggambarkan kasih sayang ibu (indung) kepada anaknya tidak didasari oleh pamrih apapun. Meskipun anak tersebut nakal (bangor), sebagai seorang ibu, ia mesti mampu dijadikan tempat "panyalindungan" oleh buah hatinya. Nyi Mas Saodah sang pencipta lirik nu ngageuing ati sangat cerdas merangkai kata demi kata, bahkan seperti yang dikatakan Setia Hidayat, isi kandungannya pun memuat ajaran-ajaran filosofis urang Sunda.
Lantas, bagaimana dengan kondisi riil masyarakat Sunda saat ini? Apakah substansi dari delapan larik syair yang berjudul Pupunden Ati itu masih kontekstual ngagambarkeun jiwa dan rasa ibu urang Sunda tatkala mengasuh anaknya? Ataukah telah menggeser ke arah kepalsuan kasih sayang yang dibungkus motif-motif kalkulatif, hingga menumbuhkan benih-benih diskriminatif ketika memberikan pembelajaran pada buah hatinya?
Misalnya, orang tua cenderung memilah-milah anak dengan kategori cacat dan sehat sehingga bisa dilihat pada masyarakat yang awam dengan dunia pendidikan, banyak tidak menyekolahkan anak berkebutuhan khusus. Padahal, orang tua, khususnya warga Sunda, mesti mengasihi dan menyayangi anaknya meskipun ada kekurangan-kekurangan dalam diri anak tersebut. Itulah bentuk "kanyaah indung" yang seharusnya dipegang saat ini, yakni mendidik tanpa menggunakan "asas pemilahan".
Apalagi semua orang, tentunya berhak mendapatkan pengajaran yang bisa dijadikan perantara untuk pengembangan pribadinya. Maka, pembelajaran sepanjang waktu (life long education) adalah sesuatu yang urgen untuk diperhatikan. Sebab, posisi anak adalah "pupunden ati", yakni tumpuan harapan orang tua. Generasi penerus. Pembawa tongkat estapet perjuangan. Dan pelindung di kala usia sudah mulai digerogoti zaman.
Bukankah ada pepatah dari Nabi Saw: "Uthlubul ilma min al-mahdi ila al-lahdi", carilah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat? Di dalam teks UUD 1945 pasal 31 juga ditegaskan secara gamblang bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran". Ini menandakan bahwa setiap orang berhak memperoleh pendidikan tanpa kecuali, termasuk anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tepat kiranya bila Nabi Saw menjelaskan: "Mencari ilmu itu diwajibkan atas setiap muslim dan muslimah" (al-hadits). Wallahua'lam.***
Penulis, pegiat Studi Agama dan Kearifan Lokal Sunda, Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jawa Barat.
[+/-] |
Khawarij |
Khawarij, Ekstrimisme Islam
Oleh AHMAD SAHIDIN
PAGI itu fajar mulai berpijar. Merah kuning emas hiasi langit. Di seberang sana sebuah tentara pasukan berkuda dengan senjata lengkap berjejer rapih.
Pemandangan serupa tampak di seberang lainnya. Di antara dua pasukan yang siap tempur itu, seseorang berdiri di tengah-tengah. Ia memandang keduanya. Wajah bingung sangat tampak. Kembali ia memandang, seakan-akan meminta jawab. Ia berjalan mendekat ke seberang yang rata-rata berjejer para sahabat dan keturunan tokoh Quraisy Mekkah yang dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia bertanya, “Mengapa kalian berperang? Bukankah sama-sama Muslim?”
Hening. Tak ada yang menjawab. Ia berlari ke seberang yang berbaris dengan barisan keturunan Rasulullah SAW. Ia berdiri dan bertanya, "Ya Amirul Mukminin Ali karamallohu wajhah, bukankah mereka itu Muslim? Kenapa mesti berperang? Bukankah mereka shalat dan ibadah seperti Anda?"
Sambil memegang panji hitam, Ammar bin Yassir , atas perintah Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib, menjawab, ”Kaulihat lihat bendera itu di sana. Dahulu, bersama Rasulullah SAW, aku memerangi bendera itu untuk tanzil al-quran (membenarkan wahyu). Kini memerangi bendera yang sama untuk membela ta`wil al-quran (berperang karena berbeda memahami dan menafsirkan quran). Sahabatku, kau benar, mereka itu Muslim. Yang menjadikan kita berperang karena mereka berbeda dengan kita. Kita mengusung kebenaran ilahiyah dan berperang untuk Allah, Rasulullah, dan agama Islam. Sedang mereka tidak seperti kita".
Dalam peperangan, pihak Muawiyah terdesak. Penasehatnya, Amr bin Ash, menyarankan agar mengacungkan Quran dan melakukan tahkim (damai-musyawarah).
“Tuanku Muawiyah, jika mereka menyetujui, kita atur dulu siasat yang bagus sehingga Tuan tetap jadi khalifah Islam,” saran Amr . Muawiyah pun mengiyakannya. Lalu kedua pihak sepakat untuk mengirimkan perwakilannya. Mulanya Ali memilih Malik al-Asytar. Tapi sebagian pengikutnya yang berasal dari Arab baduy menolak karena dianggap sangat dekat dengan Ali. Mereka memutuskan Musa al-Asyari—yang lebih tua dan zuhud serta tak berambisi politik—mewakili Ali bin Abu Thalib.
Kedua pihak sepakat menurunkan dua pimpinan dan kemudian akan memilih secara bersama-sama di antara keduanya yang berhak menjadi pemimpin umat Islam. Karena Musa lebih senior, sebagai penghormatan, Amr mempersilahkannya untuk lebih dahulu ke mimbar dan mengumumkan bahwa Ali telah diturunkan dari kedudukannya sebagai pimpinan.
Selanjutnya, Amr naik mimbar dan berpidato, “Terimakasih saudaraku, Musa al-Asyari, karena Ali bin Abu Thalib telah turun sebagai khalifah, maka dengan ini saya tegaskan secara bersama bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah Islam kalian semua”.
Melihat kelicikan itu, sebagian pengikut Ali mengamuk. Orang-orang berlarian entah kemana. Pengikut Ali yang mengamuk ini dikenal sebagai Khawarij—yang memisahkan dari barisan—dan membentuk firqah sendiri dengan aturan hukum yang harfiah. Menurut Khawarij, kedua pihak yang berdamai tidak menjalankan hukum Allah SWT. Karena itu mereka semua, Amr-Muawiyah-Musa-Ali termasuk yang murtad dan harus bertobat. Namun ajakan tobat itu tak digubris. Sebab, Ali bin Abu Thalib membantah, “bukankah mereka yang awalnya menghendaki adanya tahkim. Merekalah yang harus bertobat karena tak patuh dan membantah perintahku dalam melanjutkan perang yang akan meraih kemenangan”.
Khawarij tetap pada pendiriannya. Keempat orang itu tetap dianggap telah murtad dan kafir sehingga pantas untuk dihukum mati atas dosa-dosanya yang menjadikan wafat ribuan umat Islam dalam perang. Mereka berpijak pada argumen, tidak ada hukum kecuali berhukum dengan hukum Allah. Barangsiapa yang tak berhukum dengan ketentuan-Nya, maka layak untuk ditiadakan—meski sudah bersyahadat—kalau tak bertobat.
Hanya satu orang yang berhasil dibunuh, yaitu Ali bin Abu Thalib. Ali wafat pada 21 Ramadhan tahun 40 Hijriah, di Masjid Kufah saat shalat subuih. Menatu Rasululllah SAW ini wafat ditebas seorang Khawarij bernama Ibnu Muljam, yang mengayunkan pedangnya hingga melukai kepala Imam Ali bin Abu Thalib.
Selama dua hari, Imam Ali terbaring sakit akibat lukanya yang amat parah dan pada 21 Ramadhan, beliau berpulang ke rahmatullah. Beberapa sebelum wafat, Ali berwasiat kepada kedua anaknya, Hasan dan Husein, “Janganlah kalian membunuh kaum khawarij sepeninggalku. Sebab, berbeda antara orang yang mencari kebenaran dan terjerumus dalam kesalahan; dengan orang yang mencari kebatilan dan mendapatkannya” (Nahjul Balaghah—khutbah 59).
Ia juga meriwayatkan sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: Pada akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akalnya. Mereka berkata-kata seolah-olah mereka adalah manusia yang terbaik. Mereka membaca Al-Quran tetapi tidak melepasi kerongkong mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah menembusi binatang buruan. Apabila kamu bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka karena sesungguhnya, membunuh mereka ada pahalanya di sisi Allah pada Hari Kiamat (HR.Muslim).
Ghuluw sebagai ektrimisme agama
Dalam khazanah ilmu kalam, almarhum Ayatullah Murtadha Muthahhari menyebut Khawarij sebagai model firqah ghuluw (ekstrim). Muthahhari mengaitkannya dengan surat Al-Maidah ayat 77, “ …janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tak benar dalam menjalankan agamamu…” ; dan surat Annisa ayat 171, “…janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu…”.
Dalam istilah Quran, ghuluw bermakna mereka yang tidak mengenal hakikat nash; sehingga serampangan dalam menerapkannya. Jadi, arti ghuluw adalah mereka yang mencari kebenaran, tapi belum menemukannya dan sehingga terjerumus dalam ekstrimisme agama. Contoh gerakan ini adalah Khawarij. Mereka dalam sejarah melakukan kedzaliman terhadap umat Islam yang pahamnya berbeda dengan cara membunuhnya. Mereka juga membuat standar aturan agama secara harfiah. Pernah diceritakan, kaum Khawarij yang rata-rata berdiam di padang pasir dan gurun-gurun, melakukan investigasi akidah terhadap orang-orang yang ditemuinya. Jika ada orang yang mengaku Muslim ditanyakan perihal keimanan Ali bi abu Thalib. Jika mengatakan beriman, maka berakhirlah hidupnya di tempat itu. Jika mengatakan tidak tahu, maka selamat. Mereka juga berbeda dalam memperlakukan orang. Jika seorang Muslim, akan selalu dicurigai. Tapi bila non-muslim, amanlah dari kedzalimannya. Di masa berkembangnya Khawarij, orang-orang Islam selalu menghindar dari mereka dengan mengatakan dirinya bukan muslim.
Namun keberadaan mereka tidak lama. Sebab penguasa yang berkuasa, Dinasti Umayyah, tak menghendaki keberadaannya. Begitu juga keluarga dan pengikut Rasulullah SAW memadamkan pengaruh mereka dengan mengikis habis konsep ekstrim tersebut melalui bantahan dan peperangan. Karena corak dan perilaku yang ekstrim, Khawarij kian hari tak mendapatkan tempat di masyarakat. Sedikit demi sedikit punahlah mereka.
Selain Khawarij, gerakan yang se-model terlihat pada Wahabiyah di Arab Saudi—yang memberangus, membid`ahkan dan mengkafirkan tharekat-tharekat dan aliran Islam yang bercorak sufistik; gerakan reformasi Kemal Atturk di Turki—yang mengubah bacaan shalat, adzan, dan ucapan salam dengan bahasa lokal serta larangan keras untuk mengenakan busana muslimah yang berjilbab; rezim Thaliban di Afghanistan—yang mewajibkan laki-laki berjanggut, mengenakan ujung celana di atas mata kaki dan keharusan memakai cadar atau burdah serta larangan bekerja di luar rumah bagi kaum perempuan. Jika tidak mematuhi, maka hukuman keraslah yang diterima warga Afghanistan; dan beberapa aksi bom di Tanah Air serta pencekalan terhadap beberapa organisasi Islam, juga termasuk kategori ekstrimisme agama.
Namun sebenarnya, tidak hanya mereka yang menfasirkan nash-nash agama secara harfiah yang dianggap ekstrimisme agama, juga kalangan liberalisme dan sufisme yang yang bepegangteguh dalam pemahannya dan menganggap salah terhadap yang lain pun bisa dikategorikan ekstrimis.
Penyebab lahirnya ekstrimisme agama
Ayatullah Murtadha Muthahhari, dalam buku Islam dan Tantangan Zaman (diterbitkan Pustaka Hidayah, Bandung, 1996) setidaknya menyebutkan dua hal yang menyebabkan seseorang atau firqah terjerumus dalam ekstrimisme agama. Pertama adalah dikarenakan menafsirkan nash-nash Islam secara harfiah dan tak mau menggali khazanah ilmu-ilmu Islam yang lebih luas. Kedua, dikarenakan kebodohan (jahl) dan kejumudan (tafrith) pola pikir .
Sehingga mereka yang bercenderungan ekstrim, menurut Dr.Yusuf Qardhawi, ulama Ahlussunah di Mesir, dalam buku Membedah Islam Ekstrim (diterbitkan Mizan, Bandung, 2001), biasanya dicirikan dengan selalu fanatik pada satu pendapat dan tak mengakui pendapat yang lainnya. Tak bisa membedakan antara nilai-nilai agama dan cenderung bersikap keras dan kasar. Juga cenderung buruk sangka dan mudah mengkafirkan orang yang berbeda dengan pahamnya.
Ekstrimisme agama beda dengan Kafir
Seperti yang dijelaskan Imam Ali pada kedua putranya, orang yang bersikap ekstrim dalam beragama berbeda dengan orang yang berbuat bathil. Orang bathil bisa dikategorikan yang tidak tunduk atau menolak kebenaran dan melawan yang haqq secara terang-terangan. Mereka ini bisa disebut kafir atau kufur, yang bisa diartikan menolak kebenaran atau yang benar-benar secara kasat mata melawan dan merongrong Islam dan menindas umat manusia.
Menurut Ustadz Jalaluddin Rakhmat, konsep tentang kafir ada di dalam Al-Quran dan Sunnah. Kata kafir di dalam Al-Quran selalu didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Orang non- muslim yang berakhlak baik tidak masuk kategori kafir. Ia mencontohkan makna kafir dalam redaksi Al-Quran, bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih (syukur)-- “immâ syâkûran waimmâ kafûrâ (bersukur ataupun tidak bersukur); lain syakartum la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd (kalau engkau bersukur, Aku akan tambahkan nikmatku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azabku amat pedih).
“Di sini (dalam ayat-ayat di atas—penulis) kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya. Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan,” kata Cendekiawan Muslim dari Yayasan Muthahhari, Bandung, yang biasa disapa Kang Jalal dalam wawancara dengan Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla beberapa tahun lalu.
Menurut Kang Jalal, dalam Al-Quran konsep kafir dihubungkan dengan kata pengkhianat atau kemaksiatan yang berulang-ulang—atsîman aw kafûrâ. Karena itu, orang Islam pun bisa disebut kafir, kalau dia tidak bersyukur pada anugerah Tuhan.
Dalam surat Al-Baqarah disebutkan, “Innalladzîna kafarû sawâ’un ‘alaihim aandzartahum am lam tundzirhum lâ yu’minûn--Bagi orang kafir, kamu ajari atau tidak kamu ajari, sama saja. Dia tidak akan percaya”. “Walaupun agamanya Islam, kalau ndableg tak bisa diingetin pantas disebut kafir. Nabi SAW sendiri mendefinisikan kafir (sebagai lawan kata beriman) dengan orang yang berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadis disebutkan, tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya lelap dalam kelaparan,” kelakar Kang Jalal.
Islam bukan agama teroris
Harus kita akui bahwa Islam bukan agama teroris. Sebagaimana yang sering dilayangkan penguasa Adi-kuasa dunia, Amerka dan konco-konconya. Tapi meski begitu, Islam memang punya landasan untuk bersikap keras dan juga bersikap lembut. Seperti yang dikemukakan almarhum Ayatullah Murthadha Muthahhari dalam kitab Asyna’i ba Qu’an (Mengenal al-Quran) menyatakan bahwa dalam Islam terdapat cinta dan benci. Namun cinta dan benci yang bersifat rasional, bukan bersifat emosional atau tanpa dasar dan tanpa tolok ukur.
Beliau menambahkan: “Islam adalah agama pedang dan cinta. Ia adalah agama kekerasan dan kelembutan. Hanya kekerasan yang pada tempatnya saja yang diperbolehkan oleh Islam. Sebagaimana kelembutan yang pada tempatnya yang diperbolehkan oleh Islam. Justru dari sinilah letak keagungan dan keutamaan Islam. Jika Islam tidak menyatakan hal ini di mana kekerasan tidak dijawab dengan kekerasan pula atau logika harus dijawab dengan logika, niscaya kita tiada akan menerimanya. Islam tidak pernah mengatakan, jika salah satu dari pipi anda ditempeleng, maka berikanlah pipi Anda yang lain. Namun Islam mengatakan, barangsiapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadap kalian (QS al-Baqarah: 194). Jika hal ini tidak dikatakan oleh Islam maka dari sinilah letak kelemahan dan kekurangan Islam. Islam sangat menjunjung tinggi cinta kasih. Namun jika cara penggunaan cinta kasih tidak lagi bermanfaat maka Islam melarang (pengikutnya) untuk berdiam diri.”
[+/-] |
Fani |
Fani Ahmad Fasani. Mahasiswa Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung. Keseriusanya dalam tradisi menulis menghantarkan Ia pada juara pertama ‘Lomba Cerpen Se-Jawa-Bali’ yang diadakan oleh LPM Suma (Suara Mahasiswa) dengan tajuk ‘Dilarang Menangis’ (2005).
Selengkapnya lihat profile
[+/-] |
Pradewi |
Pradewi Tri Chatami. Mahasiswa Psikologi Fakultas Psikologi UIN SGD Bandung. Aktivitas keseharianya di WSC (Woment Studies Center) Bandung sebagai Ketua Divisi Jurnalistik dan Pers.
Info selengkapnya lihat profile
[+/-] |
Sitta |
Sitta R Muslimah, lahir di Garut pada tanggal 06 Januari 1984. Ia mulai menggeluti dunia tulis menulis, justru ketika telah menyelesaikan kuliahnya di UIN Bandung, jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam.
Tepatnya pada tahun 2007, ia diangkat menjadi Asisten Dosen untuk mengampu mata kuliah Psikologi. Tulisannya pun untuk pertama kali dimuat di H.U. Kompas biro Jawa Barat, rubrik Riungan.
Sebelum dirinya menimba ilmu di UIN SGD Bandung, pendidikannya dihabiskan di Pesantren Persatuan Islam No.19 Garut sampai tingkat Mu’allimin. Lulus tahun 2002, dan meneruskannya ke UIN SGD Bandung, lulus tahun 2006. Alasannya menuangkan ide di weblog untuk menjaga ide-gagasan agar tidak tertimbun oleh zaman. Sehingga, bias diwariskan kepada anak-cucunya, kelak.
Aktivitasnya, selain menulis artikel dipercayai mengepalai yayasan SOLALIN; sebuah lembaga milik keluarga yang konsen di dunia perkembangan anak autisme. Sekarang juga, ia bersama beberapa terapis anak autis sedang menggodog kurikulum berbasis individu. Atau lebih dikenal dengan Individual Education Program (IEP), yang dikhususkan bagi anak-anak autis.
Bagi perempuan yang suka dengan orang-orang dengan mobilitas tinggi ini, menjadi pemerhati perkembangan anak usia dini merupakan panggilan yang telah diguratkan oleh TUhan dan seluruh manusia. Maka, ia pun berslogan: “let’s blogging, therefore you’r exist”.
[+/-] |
Tedi |
Tedi Taufiqrahman Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ushuludin UIN SGD Bandung. Mantan Ketua Umum LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman) Bandung periode 2006-2007
Kini, lebih banyak menulis di media cetak.
[+/-] |
Oki |
Oki Sukirman, Pria kelahiran Sumedang, 11 Juni 1987. Pengalaman pendidikan SD Sinar Djati 1993-1999. MTS Darul Arqam 1999-2002. MA Darul Arqam 2002-2005 dan Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung.
Info Selengkapnya lihat profile
[+/-] |
Fauzan |
Fauzan Alumni IAIN SGD Bandung, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab angkatan 1998. Di dunia maya memakai nama Fauzan.
Owner situs www.bahasa.web.id dan www.persib.net. Menjadi admin sekaligus shareholder situs www.go-persib.com
Kini mengelola warnet di daerah Dandeur Rancaekek. Info selengkapna lihat
Minggu, 10 Februari 2008
[+/-] |
Ukhuwah |
Ukhuwah Islamiyah dan Izzul Islam Wal Muslimin
Oleh Oki Sukirman
Menarik sekali ketika membahas tentang ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Tema yang memang actual, apalagi terkait dengan realitas social kehidupan umat Islam dewasa ini.
Nyatanya kehidupan umat Islam saat ini tak lebih -seperti yang diramalkan Rosulullah SAW pada sebuah hadistnya- bagaikan buih di lautan. Umat Islam secara kuantitas memang banyak, namun mereka tetap dalam bayang-bayang dan cengkraman kaum kafir.
Memang harus kita akui ini merupakan fakta yang tidak mengenakan khususnya bagi kita umat Islam. Tapi fakta tidak pernah hadir dengan wajah dusta, bagaimana para kaum muslim di Timur Tengah yang notebenenya merupakan Negara-negara dengan jumlah kaum muslimin mayoritas, seolah tak berdaya ketika saudaranya diserang dan diperangi oleh musuh (nyata bersama) umat Islam.
Ketika Negara Irak diinvasi oleh Amerika Serikat dengan alibi untuk mencari senjata pemusnah massal –yang nyata-nyatanya sampai sekarang senjata pemusnah massal itu tak terbukti adanya- atau ketika Palestina dibombadir oleh Israel demi mempertahankan bumi Allah dari cengkraman Yahudi, Kemana Negara-negara –yang memploklamirkan- Islam seperti Arab Saudi, Iran, Mesir, UEA, Qatar, Bahrain? Sepertinya mereka tidak punya daya untuk melawan –atau setidaknya membela-. Bahkan yang lebih tragis dan menyakitkan ternyata mereka (Negara-negara muslim itu) menjadi sekutu musuh-musuh Islam untuk menyerang saudaranya.
Penjajahan secara fisik atau perang senjata telah nyata didepan mata menyerang umat Islam. Namun yang lebih berbahaya adalah penjajahan ideologi yang dilancarkan oleh kaum kafir. Tujuan mereka hanya satu, yaitu agar kaum Muslimin terpisah dan dijauhkan dari ajaran-ajarannya terutama Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Gejala-gejala yang dilakukan oleh kaum kafir menurut M. Amien Rais dalam beberapa tulisannya adalah sebagai upaya alienasi masyarakat Islam dari ajaran Islam serta kolonialisme dan imperialisme Barat dengan melakukan Westtoxication atau proses peracunan Barat atas dunia Islam. Akibatnya, sebagian masyarakat Islam kemudian dihinggapi penyakit –meminjam istilah Abul Hasan Bani Sadr – Westomania yaitu penyakit kejiwaan yang menganggap Barat adalah segala-galanya.
Dengan adanya Westomania ini, umat Islam dengan mudahnya dihasut, dipengaruhi bahkan diadudomba sehingga perselisihan dan pertengkaran antara umat Islam sendiri pun tak terhindari, yang pada akhirnya tentu mengancam ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam). Maka logika yang berkembang adalah bagaimana mungkin memujudkan kemandirian umat dan mencapai kejayaan Islam, jika saja ukhuwah Islamiyah saja tidak terbangun dengan kuat dan kokoh.
Membangun Ukhuwah Islamiyah yang kokoh.
Permasalahan ukhuwah merupakan salah satu variabel penting dalam pembangunan kekokohan “bangunan Islam” setelah tauhid atau mengesakan Allah SWT. Sebab ukhuwah merupakan salah syarat utama meraih Izzul Islam Wal Muslimin dan mendapatkan ridho Allah SWT. Melalui ukhuwah Islamiyah kemandirian umat Islam dapat terbangun bahkan lebih dari itu kejayaan dan kedigdayaan Islam dulu pernah dalam genggaman Islam dapat direbut kembali dari tangan kaum kafir.
Sejarah Islam telah menggoreskan pena emas. Dalam perkembangan Islam, umat Islam telah membuktikan bagaimana ukhuwah Islamiyah dapat menjadi jembatan untuk meraih kemandirian umat dan kejayaan Islam. Ini ditandai oleh peristiwa hijrah Rosululloh dan pengikutnya ke Madinah yang merupakan salah satu tolak ukur dari perkembangan Islam. Setiba di Setiba di Madinah kaum muslimin yang hijrah (muhajirin) oleh Rosulullah SAW dipersaudarakan dengan kaum pribumi madinah (anshor).
Dengan adanya jalinan persaudaraan antara kaum muhajirin dan kaum anshor, mereka saling tolong menolong, sepenanggungan dalam suka dan duka, mempunyai rasa empati yang tinggi, dan selalu mengutamakan kepentingan saudara seimannya daripada kepentingannya sendiri (itsar). Bahkan Rosulullah SAW memberikan salah satu gambaran indah terhadap indahnya jalinan ukhuwah antara umat Islam tersebut. “Permisalahn orang mu’min dengan orang mu’min yang satu dengan mukmin yang lain dalam kasih sayang ibarat sebuah anggota badan yang jika merasa sakit yang satu maka anggota badan yang lainpun ikut merasakan sakit” (HR Bukhori Muslim)
Dengan semangat persaudaraan Islam itulah, memberi bantuan, dan bersama-sama membangun negeri Islam Madinah. Sidi Gazalba, seorang cendekiawan muslim asal Malaysia dalam bukunya ”Kebangkitan Islam dalam Pembahasan” (1979), menuliskan, ”Dipandang dari ilmu strategi, hijrah merupakan taktik. Strategi yang hendak dicapai adalah mengembangkan iman dan mempertahankan kaum mukminin.” Hijrah adalah momentum perjalanan menuju Daulah Islamiyah yang membentuk tatanan masyarakat Islam, yang diawali dengan eratnya jalinan solidaritas sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah) antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor.
Jalinan ukhuwah yang menciptakan integrasi umat Islam yang sangat kokoh itu telah membawa Islam mencapai kejayaan dan mengembangkan sayapnya ke berbagai penjuru bumi. Kaum Muhajirin-Anshar membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa pada kemandirian untuk memperjuangkan Islam jaya dan disegani.
Akar Permasalahan.
Dan memang bisa dimengerti bersama, jika umat Islam dewasa ini tidak disegani musuh-musuhnya, bahkan menjadi umat yang tertindas, serta menjadi bahan permainan umat lain, antara lain akibat jalinan ukhuwah Islamiyah tidak kuat dan tidak seerat kaum Mujahirin-Anshar.
Memang tidak mudah untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah yang kuat dalam rangka membangun kemandirian umat dan kejayaan Islam tersebut, banyak sekali aral melintang yang ditemui dalam menempuh jalan ke arah sana. Terkadang perbedaan ijtihad, faham, serta interpretasi pada suatu permasalahan bisa menimbulkan perselisihan dan percekcokkan yang dapat mengganggu tali ukhuwah diantara umat Islam.
Namun pada hakikatnya semua itu letak permasalahnya ada pada jiwa dan mental setiap individu umat Islam itu sendiri yang mana belum bisa melaksanakan ajaran Islam secara komprehensif (kaffah) yang berkenaan dengan ukhuwah.
Memang konteks ukhuwah tidak sama dan sebangun dengan sama pada satu urusan atau terhimpun pada satu organisasi yang sama, ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk mewujudkan kearah sana dan tidak bisa diraih dengan jalan instans namun melalui proses dan perjalanan yang panjang sehingga diantara kaum muslimin tercapailah puncak kemesraan ukhuwah yang pada akhirnya akan melahirkan sikap takaful (saling membantu), Ta’awun (saling menolong), tasamuh (saling menghargai/toleransi).
Kemesraan ukhuwah tersebut dapat dimulai melalui proses ta’aruf atau saling mengenal. Dalam kontek ukhuwah proses ta’aruf tidak saja dari segi fisikal saja namun dari segi psikis juga semisal pengenalan sifat, karakter, kadar keseriusan taqarrub (kedekatan) pada Allah, kesenangannya, latar belakang keluarga, dan sebagainya. Ta’aruf yang baik akan meminimalisir kekeringan dan keretakan hubungan sesama muslim. Ia juga dapat membuat hati menjadi lembut serta mampu melenyapkan bibit perpecahan.
Bila wilayah ta’aruf telah terbentang, maka akan tumbuh sifat tafahum (saling memahami). Sikap tafahum akan menjaga kesegaran dalam berukhuwah. Karena, ketika keterpautan hati telah terjalin maka timbul sikap saling toleransi, dan saling kompromi pada hal-hal yang mubah (boleh) sehingga akan membuat hubungan satu sama lain menjadi lebih harmonis. Puncak tafahum adalah ketika seorang mukmin dengan mukmin lainnya dapat berbicara dan berpikir dengan pola yang sama.
Namun tahapan diatas terasa belum cukup jika tidak tidak dibarengi dengan beberapa kerangka dalam pembangunan ukhuwah Islamiyah yang lain, diantaranya Pertama, atas dasar cinta dan iman kepada Allah Swt hendaknya setiap individu harus mempunyai kesiapan untuk bisa mengesampingkan pandapat sendiri -atas nama kepentingan sendiri- dan menerima pendapat bersama untuk kepentingan umat. Karena dengan cinta dan imanlah akan menjadi modal penting bagi setiap individu untuk bisa menerima kepentingan bersama diatas kepentingan-kepentingan pribadinya.
Maka tak berlebihan bila Imam Hasan Al-Banna mengatakan bahwa dengan dua sayap (iman dan cinta) inilah Islam diterbangkan setinggi-tingginya ke langit kemuliaan. Bagaimana tidak, dan dengan iman dan cintalah persatuan ummat akan terbentuk dan permasalah pun akan terpecahkan.
Kedua, Melestarikan sikap husnudz-dzan (prasangka baik) diantara sesama dan menghindari sikap su’ud-dzan (prasangka buruk). Karena kalau saja sejak semula kita sudah mempunyai sikap su’ud-dzan (prasangka buruk) terhadap kegiatan keagamaan yang ada misalnya, maka segala yang dilakukan, walaupun itu baik mesti akan ditafsirkan jelek, sehingga menimbulkan keretakan di dalam tubuh umat Islam sendiri.
Ketiga, menghindari sikap fanatisme madzhab atau golongan yang memonopoli kebenaran -sebagaimana tidak ada sekelompok manapun yang memonopoli kesalahan-. Jangan sampai karena suatu kegiatan keagamaan Islam yang dilakukan oleh sekelompok orang atau kelompok lain (yang bukan kelompoknya sendiri), maka selalu dicurigai dan disalahkan, sementara kelompoknya sendirilah yang paling benar. Sebab bagaimanapun wujudnya kebenaran, selama itu berada ditangan manusia, maka kebenaran itu nilainya relative (nisbi). Karena itu setiap menghadapi dan memecahkan umat, perlu ditumbuhkan sikap musyawarah “wa syaawirhum fil-amri” (bermusyawarahlah dalam menghadapi setiap masalah), sehingga segala permasalahan yang dimusyawarahkan dapat diselesaikan dengan baik tanpa melalui perpecahan dan perselisihan dalam tubuh umat Islam sendiri.
Keempat, perlu adanya wawasan dan komitmen bersama tentang keislaman yang tinggi dari diri setiap muslim. Semakin dalam wawasan keislaman kita, maka akan semakin tinggi pula rasa saling pengertian atau ukhuwah Islamiyah kita. Wawasan keislaman sendiri didapatkan adalah dengan proses belajar, pendalaman dan pengkajian pada permasalahan keagamaan.
Kelima, berupaya untuk senantiasa berdakwah, yang mana salah satu tujuannya adalah mengkampanyekan “persatuan umat” dan pemahaman bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat -bukan sumber perpecahan, serta menggalang semangat “anti-perpecahan”-. Selain itu juga dakwah merupakan upaya pencerahan, pengembangan, pembangunan dan pemberdayaan umat dan struggle for life (perjuangan untuk hidup) dan struggle for better (perjuangan untuk menjadi terbaik). Sebab pada intinya dakwah tidak semata-mata proses mengenalkan manusia kepada Tuhannya, melainkan juga merupakan sebuah proses transformasi sosial, dengan sejumlah tawaran dan alternatif solusi-solusi bagi umat dalam mengatasi masalah kehidupan yang mereka hadapi.
Namun pada perjalanannya dakwah pula perlu mengacu pada strategi dan pendekatan komprehensif yang pernah dilakukan dan dikembangkan oleh Rasulullah SAW. Dengan muatan pengembangan atau pemberdayaan umat serta berwawasan pembebasan dan problem solving Rasulullah dalam proses mendesain tersebut menggerakan proses takwin, yakni tahap pembentukan masyarakat Islam dengan kegiatan pokok operasional dakwah bil-lisan sebagai ikhtiar sosialisasi akidah. Prosesnya dimulai dari unit terkecil dan terdekat (rumah tangga/keluarga) sampai kepada perwujudan-perwujudan kesepakatan dan masyarakat umum, sosialisasi ukhuwah, dan ta’awun yang ditata menjadi insturmen sosiologis menuju kristalisasi dan internalisasi Islam dalam kepribadian masyarakat, sehingga pada gilirannya akan terekspresikan dalam ghirah dan sikap membela keimanan, keislaman dan tekanan struktural para penindas.
Amrullah Achmad (1996:67) menyatakan bahwa pada tahap takwin ini, fundamen sosial Islam dalam bentuk akidah, ukhuwah Islamiyah, dan ta’awun sudah dapat dibangun Rosulullah SAW, sehingga wujud masyarakat yang bersifat mandiri dan swadaya tersebut terus berkembang dan menjadi community base kegiatan dakwah Islam.
Lalu setelah mobilisasi takwin harus ada juga proses taudi’, yakni tahap keterlepasan masyarakat dari berbagai ketergantungan menuju kemandirian umat dan swadaya, terutama secara manajerial.
Maka dengan demikian jelaslah bahwa dakwah dalam rangka membangun bangunan ukhuwah Islamiyah yang kokoh pada akhirnya adalah untuk mewujudkan kemandirian umat dan lebih jauh lagi untuk mencapai Izzul Islam Wal Muslimin (Kejayaan Islam dan kaum muslimin) Amin.
[+/-] |
Dongeng |
Dongeng Harengheng (Sasakala Reungit)
Ku Dhipa Galuh Purba
Néng Wiwin ogé sakedapan mah rada ngahuleng, basa nyaksian Si Buruy anu riringkid mawa bantal jeung simbut, bari ngagidig semu rurusuhan. Bubuhan Néng Wiwin mah jalma anyar, nya tangtu baé can pati apal kana kabiasaan barudak di Cigorowék.
Bisa jadi, panyangkana mah rék pundung deui, alatan dicarékan ku akina. Maklum da Si Buruy mah, ampir unggal bulan, pundungna téh. Lamun lain perkara embung dicukur, paling ogé urusan jeung tatanggana, alatan nyumputkeun sendal. Matak urang Cigorowék mah da geus teu pati aranéheun deui.
Tapi ari peuting éta mah, Si Buruy lain rék pundung cara sasarina. Sanajan akina ninitah ogé, Si Buruyna tara daékeun. Pangpangna mah sieun henteu dipangmeulikeun pakéan anyar. Unggal bulan puasa ogé, mémang Si Buruy mah sok pindah saré ka tajug. Malah lain Si Buruy baé. Kaasup batur ngabluna ogé, da sarua tukang meuting di tajug.
Bras, Si Buruy ka hareupeun tajug. Di dinya geus ngadagoan barudak pantaranana aya kana sapuluh urang. Biasa baé, sabangsaning Si Aték, Si Ook, jeung sajabana. Teu pati béda jeung Si Buruy, maranéhna ogé geus tatahar bekel saré sapuratina.
“Jadi kumaha acara peuting ayeuna?” tanya Si Aték, bari menerkeun kopéahna anu rada déngdék.
“Béjana mah, di imah Mang Sarkowi aya dulurna ti kota,” témbal Si Buruy.
“Urang mana?”
“Béjana mah ti Cianjur.”
“Cianjurna di mana?”
“Ciranjang.”
“Wawuh ka Nénéng Rostika?”
“Nyao. Na jeung nanya ka uing atuh. Tanyakeun baé ka jinisna,”
“Aéh heueuh. Aya ku poho,”
“Geulis, teu?”
“Dalapan koma tujuhpuluh tilu.”
“Oh, saluhureun Néng Wida, sahandapeun Néng Lina,” Si Ook mairan.
“Geus gandéng atuh! Kawas urusan matematika baé. Sok di beulah mana éta téh saréna?”
“Moal salah, pasti di kamar tengah. Da kamar tukang mah, apan sok dipaké gudang paré.”
Mémang barudak téh keur meujeuhna badeur. Sakapeung mah sok matak ngajangarkeun kolot. Heureuyna ogé sok kamalinaan. Éta baé, boga pangarasep kana noong ogé, apan geus adat kakurung ku iga. Leuheung basa, lamun tara bari ngaruksak. Da ieu mah, apan bilik imah Aki Jamhuri ogé, nepi ka barolong, balas ditarojosan ku paku. Kungsi éta ogé Si Aték neunggar cadas. Basa hiji mangsa keur noong budakna Mang Suhadma. Teu kanyahoan mimitina, Mang Suhadma geus aya di tukangeunana, bari mawa haseupan. Teu antaparah deui, haseupan téh dirungkupkeun kana sirah Si Aték, nepi ka tosblong. Puguh baé Si Aték reuwas kabina-bina. Beretek lumpat tipararétot. Mangkaning haseupan téh, hésé pisan diudarna.
Dina Bulan Puasa taun ieu mah, acara Si Buruy anu kaitung ngetrend kénéh teh, nyaéta abring-abringan dina wanci saur, bari nakolan sabangsaning kaléng butut. Malah sakali mangsa mah, nepi ka bedug masigit ogé apan diparanggul. Leuheung basa, lamun diteundeun deui kana urutna. Da ieu mah sangeunahna pisan atuh. Clé di mana karep. Puguh baé, basa Ustad Otong rék nakol bedug subuh, kacida medenghelna barang ningali bedug geus teu nyampak di tempatna. Mangkaning di Cigorowék mah apan can aya spéker. Geus ilahar, wanci subuh téh tandana ku nakol bedug. Ustad Otong kutuk gendeng, bari kukurilingan néangan bedug. Kapanggih-panggih téh, ngajugrug di sisi balong anu Mang Lurah, pipireun pisan kamar Néng Lina.
Sapeuting harita mah, Si Buruy saparakanca, teu bisa ‘raraméan’ cara sasari. Sajabana ti kaayaan hujan, katambah geus disetrap, tur meunang peringatan ti Mang Lurah. Lamun sakali-kali deui nyieun masalah sarupa kitu, mangka moal dibéré kolek cau, sésa ‘konsumsi’ anu tarawéh. Antukna ngan ukur ngawangkong, bari ngararasakeun panon anu geus hayang liliaran.
“Aya ku loba-loba teuing reungit, euy. Mani napuk kieu,” ceuk Si Aték, bari gogoléhéan kana rékal. Kituna téh leungeunna mani pahibut, ngeprakan reungit.
“Étah, ulah dipaéhan. Reungit téh leluhur urang kénéh,” ceuk Si Buruy.
“Na kabina-bina teuing, ari ngomong téh.” Si Aték nyéréngéh.
“Itu geura. Marukana ngawadul. Uing mah nyaan, ceuk Bah Anés. Sing Wani kabéntar gelap tah,”
“Kumaha sih caritana?”
“Kieu…” derekdek baé Si Buruy nyaritakeun dongéng perkara reungit, anu kungsi didongéngkeun ku Bah Anés sawatara waktu kaliwat. Kieu cenah mah:
Jaman baheula téh, antara reungit jeung jalma, aya patula-patalina. Hanjakal pisan, kaayaan waruga anu kalintang bédana. Ari reungit mah awakna gedé, tapi teu bogaeun jangjang. Ari jalma mah, awakna leutik (sagedé reungit jaman ayeuna) tapi boga jangjang.
Dina hiji poé, basa jalma keur gegeleberan luhureun kulambu, reungit pangangguran ngajakan ngawangkong.
“Jal, sigana lamun uing bisa hiber, aya bahan rada ngeunaheun nya. Bisa nginjeum jangjang, teu?” ceuk reungit, bari cengkat. Kop kana sendal, tuluy leumpang, muru ka palebah jalma anu keur euntreup.
“Ah, embung. Ké uing moal bisa hiber atuh,” témbal jalma.
“Kajeun atuh, da moal lila ieuh,” Reungit satengah maksa.
“Sok atuh, asal uing nginjeum awak silaing. Uing ogé hayang ngasaan boga awak gedé.” pokna. Meunang sakedapan mah, reungit ngahuleng. Tapi lila-lila mah unggut-nggutan bari nyéh baé seuri.
“Sok atuh, tapi omat, ulah kabur,”
“Rék kabur kumaha? Apan awak gedé mah, babari néanganna ogé. Mun sotéh uing, tinggal hiber baé rék niat kabur mah,”
“Aéh, enya nya.” Reungit nyatujuan. Satuluyna mah, tukeuran wéh. Awak reungit dibikeun ka jalma. Jangjang jalma dibikeu ka reungit.
Nya ti harita pisan, kaayaan waruga reungit jadi leutik téh. Tapi ku lantaran jalma ngarasa ngaunah mibanda awak badag. Antukna teu daekeun ditukeuran deui. Kungsi sakadang reungit nyusulan jalma ka Babakan Sophia. Tapi béjana mah, jalma téh kalah nyumput dina jero lomari. Malah nepi ka ayeuna, jalma kalah nyiar tarékah, sangkan henteu diontrog ku reungit. Pon kitu deui, nepi ka kiwari, reungit taya kabosen néangan jalma. Tapi jalma siga anu api-api torék. Najan reungit ngagorowok kana liang ceuli ogé, angger baé teu didéngé. Malah sok kalah dipaéhan.
“Ké, ké, ké…asa teu pati nyambung carita téh. Euweuh ti dituna, bangsa manusa kudu urusan jeung reungit mah…” Si Ook ngahuleng.
“Geus, teu kudu dipikiran. Pilakadar ogé dongéng Bah Anés gedebul. Dipercaya teuing atuh,”
“Jadi, pangna reungit sok nyoco téh, sigana mah alatan awakna teu dibikeun deui, nya?”
“Enya bener. Tapi ari perkara reungit anu sok rajeun nyerot getih mah, aya alésan khusus atuh,”
“Naon tah?”
“Apan aya kénéh, sésa pasifatan jalma anu ngancik dina reungit,”
“Na ari jalma, baheulana sok resep nyerot getih jalma kitu? Aéh, getih reungit?
“Bandungan baé jalma jaman ayeuna…” kituna téh bari menerkeun bantalna. Ukur sakédét nétra, geus kadéngé sora kérékna.
Leng, Si Aték ngahuleng, bangun anu jangar naker tayohna téh.***
Kailhaman sabada ngawangkong jeung Kang Ahmad Gibson Al-Bustomi di Pasamoan Sophia
[+/-] |
Main |
Permainan, Asah Empati Sosial Anak
Oleh Sitta R Muslimah
Harian Kompas ( 12/03/2007 ) memberitakan bahwa di daerah Malang seorang ibu dan 4 anaknya tewas (bunuh diri) dengan cara menenggak racun potasium akibat tak kuat menanggung beban persoalan ekonomi. Dengan adanya kasus bunuh diri ini mengindikasikan bahwa kebanyakan masyarakat kita telah menanggalkan solidaritas dan tidak ada kekuatan empati sosial.
Bahkan, kejadian ini adalah bukti nyata dari ketidakpedulian lembaga pemerintah terhadap rakyat miskin. Akar penyebab dari persoalan kasus bunuh diri ini terletak pada tumpulnya implementasi untuk saling asah, saling asih, dan saling asuh pada masyarakat modern yang cenderung individualistik.
Oleh sebab itu, menciptakan generasi yang memiliki solidaritas dan empati sosial yang kokoh, tangguh dan kuat dalam jiwanya adalah misi utama dari lembaga pendidikan prasekolah. Dalam merealisasikan misi utama tersebut, diperlukan sebuah lembaga pendidikan yang sejak dini mendidik anak-anak untuk peka terhadap kondisi lingkungan sosial sekitar. Tujuannya guna menciptakan kepekaan diri ketika nanti disekitarnya ada orang yang membutuhkan pertolongan.
Maka, lembaga pendidikan prasekolah mestinya menerapkan model pembelajaran moral dengan bentuk metode yang mengasyikkan sesuai dengan perkembangan jiwa anak. Misalnya, memanfaatkan media permainan yang tidak hanya mengasah kecerdasan intelektual saja, tetapi dapat juga mengasah kecerdasan sosial anak sejak dini.
Permainan kooferatif
Prinsip bermain sambil belajar sangat berpengaruh pada perkembangan jiwa anak usia prasekolah. Permainan yang melibatkan anak-anak secara kolektif dimaksudkan untuk menguatkan kecerdasan sosial. Ketika mereka telah terbiasa dengan permainan yang dilakukan bersama, akan berimplikasi positif terhadap kemantapan perkembangan psiko-sosial anak.
Maka, untuk menciptakan sebuah kondisi psiko-sosial yang mantap pada anak usia dini, Taman Kanak-kanak (TK) atau Playgroup mestinya mengikuti prinsip bermain kooferatif. Suatu kegiatan bermain yang dilakukan anak-anak secara berkelompok dan didalamnya terjadi interaksi sosial yang kuat. Dari sinilah, seorang anak akan belajar menghargai dan mengakui eksistensi anak-anak sepermainan lainnya. Mereka akan memiliki solidaritas dan empati sosial yang kuat ketika menginjak usia dewasa karena telah terbiasa berinteraksi secara harmonis melalui kegiatan bermain bersama.
Di dalam permainan kooferatif juga seorang anak mestinya diajarkan untuk tidak sekali-kali merendahkan orang lain. Jika saja mereka masih berbuat demikian, tentu saja masa dewasanya akan dipenuhi tindakan yang mementingkan diri sendiri. Mungkin juga ketika mereka berkeluarga, kasus bunuh diri seperti yang dilakukan oleh warga di daerah Malang akan merebak menjadi fakta sosial. Bahkan, tidak menutupkemungkinan juga ketika mereka menjadi pemimpin di sebuah instansi pemerintahan akan melakukan praktik kejahatan (korupsi) karena tumpulnya empati sosial.
Oleh sebab itu, lembaga pendidikan prasekolah – dalam hal ini TK dan Playgroup – dianjurkan untuk memberikan pembelajaran moral secara atraktif dan mengasyikkan sehingga membekas dikedalaman rasa. Misalnya, dengan cara membangun rumah-rumahan bersama, menyusun balok-balok hingga membentuk sebuah bangunan, mengekspresikan bahasa cinta-kasih kepada temannya, bernyanyi bersama dan lain sebagainya. Dengan permainan kooferatif seperti ini, niscaya benih-benih kebersamaan akan tumbuh dalam jiwanya sehingga membentuk karakter positif di masa mendatang.
Merasakan penderitaan sesama
Kita mestinya tahu bahwa masa usia 4-6 tahun adalah masa untuk bermain dan bercanda ria. Oleh sebab itu, untuk menanamkan solidaritas sosial pada anak usia dini, bijaksana rasanya jika menggunakan metode pembelajaran yang mendidik dan menghibur. Pokoknya harus sesuai dengan karakter psikologis seorang anak. Alhasil, nilai-nilai sosial (untuk merasakan penderitaan orang lain) tatkala masa usia dewasa tiba akan menguat, mengkarakter, dan implementatif dalam keseharian. Itulah manusia yang dapat mempribadikan dan menyatukan diri dengan dunia sosial karena mereka merasakan penderitaan sesama.
Sebetulnya perkembangan anak-anak dipengaruhi oleh apa yang dimainkannya semenjak kecil. Bermain juga merupakan salah satu kegiatan yang dapat menstimulasi perkembangan kognitif, psikososial, psikomotorik, dan model komunikasi positif jika dikreasikan secara mengasyikkan oleh lembaga pendidikan prasekolah. Jadi, jelas sudah bahwa model pembelajaran yang diberikan kepada anak usia dini mesti berpijak pada prinsip bermain.
Mengasingkan anak-anak dari dunia sosial adalah kesalahan pertama yang akan berdampak pada melemahnya rasa sosial di dalam dirinya. Tidaklah mengherankan jika setelah usianya menginjak remaja, mereka tidak peka lagi terhadap persoalan yang sedang dihadapi orang lain. Ketika kondisinya terjadi seperti ini, penulis pikir pantas jika negara ini disebut dengan negara yang kehilangan generasi dan akan coreng moreng dengan tingkah laku patologis yang dipraktikkan penduduk negeri ini. Andai saja tertancap kuat solidaritas dan empati sosial dalam masyarakat mendatang, kasus bunuh diri akibat tidak kuat menanggung beban ekonomi seperti yang terjadi di daerah Malang mungkin dapat dihindari. Ke depan, tempat bertumpunya harapan seperti ini terletak pada pundak anak-anak. Jadi, memperkokoh dan menanamkan solidaritas sosial di dalam dirinya, sekarang ini adalah kemutlakan. Tentu saja, dengan menggunakan metode yang atraktif, mengasyikkan dan tidak menjenuhkan lewat permainan. Wallahua’lam
[+/-] |
Dilema |
Dilema Keragaman Islam
Oleh Ahmad Sahidin
KONON, ada seseorang yang menginginkan baju yang di masa kanaknya dipakai kembali di masa dewasa yang sudah berbeda ukuran tubuhnya. Secara logika, tentu tidak bisa dipakai kembali karena ukuran baju tersebut sudah berbeda dengan ukuran tubuhnya. Dan jika dipaksakan akan tersiksa karena baju itu kekecilan.
Lalu, bagaimana caranya agar baju itu bisa terpakai olehnya? Hanya satu pilihan : membeli kain dengan warna yang sama, lalu dijahit sesuai dengan desain/pola yang sama persis dengan baju yang diinginkannya dan disesuaikan dengan ukuran tubuhnya.
Ini hanya ilustrasi yang saya kaitkan dengan persoalan Islam di masa sekarang,terutama masalah penerapan syariat Islam yang tak henti-hentinya digembar-gemborkan beberapa harakah di negeri ini. Dan kita sebagai sesama muslim dianjurkan berdialog dengan penuh kearifan (hikmah) dengan caa yang bijaksana pula. Maka atas dasar itulah tulisan ini dihadirkan.
Untuk mengawalinya, saya berpijak pada persoalan sumber utama Islam yaitu al-quran (wahyu) terlebih dahulu. Karena yang menjadi titik pokok berbagai pesoalan Islam muncul di masa sekarang ini adalah disebabkan kurangnya pemahaman teerhadap kalamullah yang sesuai dengan hakikatnya.
Saya sebagai orang awam beranggapan, wahyu atau kalamullah adalah pedoman sekaligus perangkat dalam menjalankan kehidupan bagi manusia agar teratur dan sejahtera di dunia dan akhirat. Yang saat diturunkannya dari “langit” tidak serta merta semuanya tetapi bertahap. Kenapa? Karena ia adalah petunjuk, pedoman dan aturan yang turun atas respon realitas sosial-kultur-geografis dan jiwa zaman masyarakat di waktu itu. Yang bermakna sebagai arahan dan bimbingan hidup yang mesti dilekatkan, layaknya baju sebagai pelindung dari serangan alam dan memperindah bentuk tubuh; atau--dalam bahasa agama--untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang a-moral, a-susila, dehumanis dsb.
Tentang hal ini, ada catatan sejarah Arab abad enam masehi, yang saat itu masyarakatnya gandrung dengan perbuatan-perbuatan yang jauh dari nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Meminum-minuman keras adalah salah satu kebiasaan yang digandrungi saat itu. Karena minuman keras itu mengakibatkan “ketidaksadaran” sang peminum yang kemudian berani berbuat dan bertindak yang tidak semestinya, maka turunlah aturan berupa “ayat-ayat” dari Tuhan melalui utusan/pilihan-Nya yang menceritakan bahayanya “khamr” dan kemudian disusul dengan perintah pelarangan terhadap minuman yang memabukkan. Yang sama halnya dengan adanya aturan untuk menutup seluruh tubuh perempuan (kecuali telapak tangan dan muka). Secara konteks sosial, turunnya aturan tersebut menurut mufasir Ibnu Katsir dan Imam Zarkasyi bahwa, perempuan pada masa itu terbiasa dengan keadaan telanjang dada dan leher tanpa kain yang menutupinya. Sehingga tampak jelas urat-uratnya dan bagian sekitarnya, bahkan mereka senang menjulurkan kain ke belakang--mungkin yang sedang ngetrendnya begitu--hingga membuat laki-laki berani menarik perempuan secara paksa demi memenuhi hasratnya. Masih menurut mufasir tersebut, bahwa model pakaian seperti ini dipakai Hindun Bin Utbah dan perempuan elit lainnya, semata-mata untuk memberikan semangat juang ke para lelaki yang hendak berperang. Terutama saat perang uhud, mereka menjanjikan akan memberikan tubuhnya kepada lelaki yang berhasil meniadakan pembawa berita Tuhan, yaitu Nabi Muhammad Bin Abdullah yang dianggap telah merobohkan tatanan sosial-ekonomi-budaya dan agama yang berlaku saat itu. Itulah sebabnya Tuhan menurunkan surat an-Nur ayat 31, yang memerintahkan untuk tidak memamerkan perhiasan dan disuruh untuk menjumbaikan kerudung (khimar) ke bagian kantong-kantong dada perempuan muslim (khususnya istri-istri Nabi) sebagai pembeda dengan perempuan musyrikin. Ayat itulah yang kemudian merevisi tradisi berpakaian perempuan Arab tanpa menetapkan corak, warna, model dan jenis busana tertentu (lihat Qs. al-ahzab : 59). Dan yang ditekankan dalam konteks ayat tersebut adalah faktor moral, kebersahajaan dan upaya antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan yang bersifat merugikan. Maka atas konteks historis ini, jelas bahwa persoalan busana yang sesuai dengan syariat Islam bukan yang berlaku seperti muslimah Arab, tetapi busana yang tidak mengumbar syahwatnya dan sekaligus dapat mencegah terjadinya tindakan yang merugikan perempuan.
Persoalan selanjutnya adalah berkaitan dengan konstruksi budaya pathrialkal yang mendominasi. Hal ini saya temukan pada salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang merasa malu ketika mendapatkan anak perempuan hingga menguburnya hidup-hidup. Ini menunjukkan bahwa tradisi Arab yang dominan saat itu, bahwa kekuasaan dan kepemimpinan adalah milik laki-laki. Sedangkan perempuan adalah simbol kelemahan dan hanya dijadikan pemuas syahwat laki-laki. Bahkan yang paling menakjubkan adalah tradisi menaikkan derajat manusia, yaitu bila seorang suami yang ingin mendapatkan keturunan ningrat atau bangsawan, ia harus mengirim istrinya untuk tinggal sekaligus berhubungan badan/kelamin (jima) dengan orang yang dimaksud sampai hamil. Dan bila istrinya itu melahirkan anak laki-laki (dari hasil persetubuhannya itu) akan dianggap berbakti hingga tidak sungkan-sungkan diberi kalung dan gelang sebagai hadiah. Karena, bagi mereka, dengan lahirnya anak laki-laki itu derajat seseorang akan sekelas/selevel ningrat atau bangsawan tersebut. Budaya pathrialkal ini yang menjadikan sebuah keyakinan teologis bahwa Tuhan, atau Penguasa dan Pencipta langit dan bumi serta isinya disimbolkan dengan bentuk huruf kata ganti tunggal laki-laki seperti “HU”, “LAHU”, “AL -LAHU”, “HUWA” dan lain-lain. Maka tidak heran bila kita menemukan dalam beberapa ayat al-Qur`an, terutama dalam surat al-ikhlas ada term-term bahasa tersebut, yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dominasi budaya lokal Arab saat itu.
Fenomena di atas itulah yang bagi saya perlu dicermati, seandainya saudara-saudara kita tetap bersikukuh bahwa “baju” yang telah berumur seribu lima ratus tahun harus berlakukan di Indonesia. Sebab seperti yang telah saya kemukakan di atas bahwa hadirnya wahyu dari Allah sangat berkenaan dengan konteks sejarah dan tradisi lokal Arab. Karena kehadirannya merupakan respon terhadap “masalah-masalah” kemanusiaan yang terjadi saat itu, maka yang paling mungkin adalah mengambil “pesan-pesan” substantif yang terkandung di dalamnya. Artinya, kita harus memilah mana unsur-unsur lokalitas Arab abad enam-tujuh masehi dan mana pula yang benar-benar disebut “nilai dan ajaran” yang diturunkan dari Allah.
Persoalan yang berhubungan dengan al-Quran dan Ummat Islam adalah perbedaan tafsir yang mengakibatkan lahirnya beberapa sekte dalam Islam. Ada bebarapa sekte (firqah) yang memperdebatkan tentang tafsir perbuatan baik dan buruk manusia. Pertama, sekte Jabariyah yang berpandangan bahwa segala sesuatu yang diperbuat manusia, terlepas apakah itu baik maupun jelek, adalah telah ditentukan di lauhmahfudz. Dalam hal ini, manusia ibarat wayang yang digerak-kendalikan sang dalang. Apapun tindakan dan perbuatan manusia, sesungguhnya bebas dari tanggung jawab pelakunya. Sebab yang paling bertanggung adalah yang menggerakkan atau mentakdirkannya begitu. Ada beberapa ayat al-Qur`an yang menjadi argumen mereka yaitu, ...tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (Qs. al-Hadid :22);...sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (Qs.at-Thariq : 3);...maka Allah menyesatkan siapa pun yang Dia kehendaki....(Qs.Ibrahim : 4) dsb. Sekte kedua adalah Qadariyah. Kelompok ini berpendapat sebaliknya dengan pandangan Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa, manusia adalah yang bertanggung jawab atas segala tindakan maupun perbuatannya. Menurut mereka, karena Allah telah menurunkan aturan haq wa bathil yang terdapat dalam al-Qur`an, maka manusia bebas untuk menentukan sekaligus memilih dan menjalankan kehidupannya sesuai dengan pilihannya itu. Jika ia berbuat jelek (bathil) atau tidak mengikuti perintah-perintah Allah maka neraka sebagai balasannya. Begitu pun sebaliknya, jika ia berbuat baik (haq) atau menjauhkan diri dari larangan-larangan Allah akan mendapatkan surga sebagai imbalannya. Ayat yang dijadikan argumen mereka yaitu, ...sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum jika mereka tidak mengubah keadaan yang ada pada mereka sendiri (Qs. ar-Ra`du : 11);...Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (Qs. al-Ankabut : 40);...katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman,dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir (Qs. al-Kahfi : 41).
Persoalan itu berlanjut pada sekte-sekte selanjutnya. Salah satunya kelompok Asy`ariyah yang berpendapat, bahwa makna (hakikat) etika manusia sangat ditentukan Allah. Maksudnya, barangsiapa yang bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah yang terdapat dalam al-Qur`an, maka ia berakhlak. Adapun mereka yang tidak selaras dengannya adalah imoral atau tidak berakhlak. Pendapat ini berbeda dengan kelompok Mu`tazilah, yang menyatakan bahwa semua perintah Allah adalah benar adanya dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah Swt. Maksudnya, agama memang berperan dalam menyediakan tata-aturan (etika) dan menunjukkan bagaimana seharusnya kita memikirkan tugas-tugas kita; sedangkan “hakikat” dari tugas kita itu sesungguhnya ditentukan bukan dengan agama tetapi oleh pelaku etika itu sendiri. Maka menurut kelompok Mu`tazilah, Allah harus memberi pahala semua perbuatan baik; dan jika tidak memberi pahala, berarti Allah telah berbuat tidak adil. Konsekuensinya, Allah Swt tidak punya pilihan lain kecuali mengganjar segala perbuatan baik dan buruk yang dilakukan manusia. Pemahaman Mu`tazilah inilah yang kemudian dibantah balik kelompok Asy`ariyah, bahwa Allah mampu melakukan apa saja. Termasuk menyiksa dan memasukkan orang yang tidak berdosa (atau yang berbuat baik) ke neraka dan memberi pahala dan memasukkan mereka yang berdosa ke dalam surga. Ini bukan kezaliman. Karena semua tindakan yang dikehendaki Allah adalah adil menurut Allah dan Allah betul-betul Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Inilah kenyataan sejarah yang begitu kontroversial terjadi di antara para mutakallimun (teolog-agamawan) yang muncul sejak perang Siffin dan pasca arbitrase (tahkim) antara ahlul bayt (yang dipimpin Imam Ali Bin Abi Thalib beserta keturunan dan kerabat Rasulullah Saw) dengan ahlul sunnah (yang pimpin Muawiyah Bin Abu Sufyan beserta mereka yang kembali pada ajaran jahiliyah) pada tahun 658 Masehi, di Adzrah, padang pasir Syiria. Dampaknya adalah perpecahan ukhuwah-Islamiyah yang terbagi dalam beberapa sekte seperti Khawarij, Sunni, Syi`ah, Murji`ah, Qadariyah, Jabariyah, Asyariyah, Mu`tazilah, Maturidiyah, Ikhwanus Shafa, Murabithun, Muwahidun; sampai awal Abad Modern yang memunculkan gerakan tajdiyah (puritanisme) seperti Pan-Islamisme dan Wahabiyah di Timur Tengah, yang keduanya telah berpengaruh ke Indonesia dalam melahirkan gerakan Persatuan Islam/PERSIS, Muhammadiyah, Jamiatul Khoir, Syarekat Islam dan lain-lain; serta gerakan anti-puritanisme seperti Syiah Imamiyah di Iran dan Nahdhatul Ulama (NU) di Indonesia serta di kawasan-kawasan lainnya.
Atau sekarang muncul dua model Islam. Pertama, model Islam fundamental-radikal yang bercorak tekstual dalam memahami wahyu dan ingin menghadirkan “Islam-ideal” masa Rasulullah Saw. Kedua, model Islam liberal-plural yang bercorak kontekstual dalam memahami wahyu dan berorientasi ke depan.
Mana yang benar dari mereka dalam memegang dan menjalankan agama? Wallohu a`lam bi showab adalah jawabannya. Namun sejarah telah membuktikan bahwa dampak dari perdebatan itu telah menelan korban yang berakhir dengan darah dan caci-maki yang mencerminkan hilangnya nilai-nilai Islam. Kelompok Khawarij membunuh Imam Ali Bin Abi Thalib; Mu`tazilah membantai dengan cara mihnah pada kelompok yang tidak sepakat dengannya; Murabithun menghancurkan kelompok Muwahidun; Wahabiyah mengkafir-bid`ah-musyrikkan golongan lain.
Inilah budaya solipsis-apostasisme yang masih melekat. Ini terjadi dikarenakan tidak adanya pemegang “otoritas-agama” yang sah dan diakui secara menyeluruh oleh Ummat Islam sejak wafatnya Rasulullah Saw (tahun 632 Masehi) hingga sekarang. Juga berkaitan dengan tidak komprehensif dan holistiknya mereka dalam mengkaji dan memahami kalamullah wa sunnaturrasulillah. Terutama pada aspek sejarah, asbabul nuzul, konteks zaman, faktor dan kondisi yang dihadapi saat turunnya al-Qur`an dan keluarnya hadits maupun sunnah dari Nabi Muhammad Saw.
Bukankah al-Qur`an turun secara berangsur-angsur? Artinya, ayat-ayat yang diturunkan dari Allah berkaitan dengan konteks sejarah dan sebagai respon terhadap fenomena yang terjadi saat itu. Bahkan kodifikasi al-Quran yang seharusnya sesuai kronologis turunnya al-Quran adalah salah satu dari sekian hal yang menimbulkan pertentangan, paradoks dan konflik-konflik teologis. Sejarah mencatat bahwa mushaf al-Quran yang beredar di Ummat Islam (yang diawali surat al-fatihah dan diakhiri surat al-anas) adalah disusun atas dasar pengetahuan dan ijtihad (politis) Utsman bin Affan yang saat menjadi khalifah banyak yang menentangnya. Sehingga tidak dapat diingkari ketika merujuk pada kalamullah tampak paradoks satu sama lain (seperti kutipan ayat yang diambil sekte Qadariyah dan Jabariyah di atas). Jelas, yang paling bertanggung-jawab atas berbagai realitas yang tragis dan memilukan serta memalukan sejarah adalah sang kodifikator, Utsman Bin Affan. Andaikata mushaf disusun secara kronologis sesuai dengan asbabul nuzul dan konteks zamannya, maka akan terhindar dari perdebatan kontroversial yang tragis maupun terus berkelanjutan sampai kini.
Tetapi persoalannya tidak selesai begitu saja. Sebab yang menjadi persoalan kemudian adalah tafsir. Persoalan tafsir harus diakui sangat penting dan tidak selesai seperti membalik telapak tangan. Terbukti sejak pasca wafat Rasulullah hingga sekarang masih tetap kontroversial. Pada konteks ini seorang intelektual muslim asal Pakistan, yaitu almarhum Fazlur Rahman, telah menganjurkan dalam proses penafsiran harus dipahami melalui konteks zaman dan historisitas hadirnya wahyu. Tentu kita harus merujuk pada nash-nash otentik dan kemudian ditafsirkan sesuai konteks sekarang. Jika ini tidak dilakukan, maka cerita-cerita penindasan TKW / TKI di Arab Saudi, ketidakberdayaan karena tidak bisa beraktivitas melakukan pekerjaannya dan kemiskinan di Afghanistan dan Pakistan yang disebabkan tidak berfungsinya beberapa anggota tubuh akan kian bertambah di dunia Islam. Meskipun itu akibat perbuatannya, tetapi bukankah hukuman diberlakukan bertujuan untuk membuat “jera” para pelaku dan yang hendak mengikutinya, tanpa “mematikan” hidup dan kehidupan di pasca hukumannya itu. Karena itu nash-nash perlu dibaca dan ditafsirkan dalam konteks kemanusiaan, edukatif, akhlakul karimah dan bukan yang sebaliknya.
Artinya, dalam memahami nash-nash haruslah sebagaimana (mestinya) “pesan-pesan” dan “nilai-nilai” yang diinginkan oleh yang menurunkan wahyu, atau oleh yang berhak menentukan otoritas tafsir tersebut. Bagi umat Islam-Syi`ah yang ada di Iran tentu tidak ada masalah karena yang menentukan semua persoalan agama dan keislaman adalah Imam min ahlulbait; yang secara teologis merupakan pelanjut kepemimpinan Islam setelah Rasulullah. Namun bagi kita, yang lazim disebut Islam-Sunni tidak punya konsep wilayatul faqih, karena yang kita akui adalah konsep syuro.
Dulu memang ada ulama-ulama yang kredibelitasnya tidak diragukan, tetapi sekarang di Indonesia, yang ada hanya “ulama-ulama istana” yang nilai keulamaannya jauh dari ajaran-ajaran Rasulullah. Inilah masalah lainnya yang perlu disikapi dan cermati jika benar-benar ingin membuktikan bahwa al-islamu ya`lu wala yu`la alaih.