Minggu, 10 Februari 2008

Menulis

Menulis Adalah Kewajiban Moral
Oleh Sukron Abdilah

Dunia tulis menulis menjadi hobi baruku setelah sekian lama aku menyukai permainan sepakbola. Namun, ada ganjalan yang seringkali menghambatku untuk menuangkan sebuah ide menjadi sebentuk tulisan yang menarik. Tak pelak lagi, aku pun kelabakan di bikin pusing, karena ide terasa mengawang-ngawang tak tentu arah dibenak kepala.

Bahkan yang lebih parah lagi, ketika aku membaca realitas atau gejala sosial disekitar muncul beragam pandangan dan sangat sulit diejawantahkan dalam sebuah coretan.

Hingga suatu ketika aku menemukan kata-kata yang telah usang menurut orang lain, tetapi dalam kehidupanku kata-kata itu seolah menjadi titik awal untuk menikmati hobi baruku ini. Kata-kata itu berbunyi, "tangkaplah ide, sebelum ide tersebut hilang dari benakmu". Dengan susah payah, aku renungi makna yang tersembunyi dibalik teks tersebut agar melahirkan pemahaman baru.

Setelah kulewati berbagai ujian hidup berwujud kemalasan, ternyata muncul makna yang tak kusadari, bahwa kata-kata itu memiliki arti, "semangatlah kawan". Karena tanpa memiliki semangat hidup, boro-boro menangkap ide, untuk menghasilkan ide pun akan terasa sulit. Makanya tak salah bila musuhku yang pertama dan terakhir adalah ketidaksemangatan dalam diri.

Bahkan pada kesempatan lain, aku teringat sebuah ungkapan yang maha dahsyat memotivasi hidup: “Hal-hal yang menakjubkan, tidak lain adalah hal-hal sederhana yang disentuh oleh tangan jenius”. Begitulah Boris Pasternak dalam novelnya Dr. Zhivago menyebutkan.

Kejeniusan tanganku harus mulai diasah kemampuannya guna mendapatkan ketentraman jiwa dan tergapainya peradaban bangsa yang cemerlang. Dalam bahasa lain, kalaulah tak segera dituangkan dalam sebuah tulisan, jiwa ini seakan terus-menerus mengidap penyakit "insomnia" di malam hari. Bahkan ketika masalah tak pernah dituangkan dalam sebuah teks, malam serasa siang dan siang pun serasa malam sehingga hidup selalu dilingkari kegundahan. Mungkin inilah yang disebut oleh Umberto Eco -- menulis adalah sebuah kewajiban moral.

Bacalah

Carut-Marutnya kondisi bangsa seakan tak terlepas dari sebuah permasalahan yang hadir sebagai akibat dari kebijakan kaum pemegang otoritas yang “salah sasaran”. Mulai dari kebijakan di dunia pendidikan, sosial, ekonomi, politik, bahkan sampai budaya pun tak jarang menuai imbasnya. Tak sampai disitu, peran diriku dan kawan-kawan sebagai “pengkritik” seakan meredup, bahkan nyaris padam laiknya cahaya lilin yang terhembusi angin malam.

Media massa sebagai wahana yang pas bagi aku dan kawan-kawan untuk “berunjuk gigi” pun seolah terlupakan sebagai akibat dari minimnya budaya baca-tulis. Tak heran bila fublic opinion (pandangan umum) yang seharusnya diketahui masyarakat sering tidak tersampaikan secara efektif. Bahkan, orientasi gerakanku dan kawan-kawan pada masa sekarang seolah hanya berwujud oralistik. Demontrasi, aksi, pembakaran ban, dan membuat macet jalan raya di perkotaan seolah menjelma laiknya rutinitas gerakan.

Dari gejala diatas, bukan berarti gerakanku dan kawan-kawan tidak diharuskan turun ke jalan. Namun, untuk melebarkan sayap, alangkah arifnya bila mulai menengok media massa yang cakupan pembacanya lebih luas, sehingga mampu membangun citra (image building). Dengan demikian, model gerakan tak sebatas berkoar-koar di depan gedung pemerintahan an sich, tapi melakukan pandangan tertulis yang hadir di media massa.

Tujuan tersebut tak mungkin menjadi kenyataan, bila saja dalam diri tidak tertanam budaya baca-tulis. Sebab itu, kehadiran media massa layak diapresiasi dengan membacanya sehingga mampu menjadi term of reference bagi gerakan kedepan. Tanpa adanya kultur membaca inilah, maka kultur menulis pun akan lekang di telan zaman. Sehingga elan vital gerakan untuk membela rakyat kecil pun hanya utopia belaka. Paulo Freire dalam bukunya Education of Oppresed (1985) berangapan bahwa untuk melakukan sebuah perubahan, maka rakyat harus digiring pada kesadaran.

Proses penyadaran ini, menurutku bakal lebih efektif ketika menggunakan media massa sebagai perangkat untuk menggapai kesadaran bersama (kolektive). Ketika aku buka lembaran ayat suci Al-Quran, kutemukan Firman Allah yang diturunkan pertama kali di Gua Hira, berbunyi, iqra bismi rabbika al-ladzi khalaq, khalaqal insana min 'alaq, (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan manusia dari sesuatu yang bergantung atau segumpal darah). Artinya, sudah sejak lama ajaran Islam menyuruh umatnya untuk selalu membaca, merenungi dan memikirkan kondisi sekitar sehingga memunculkan ide-ide yang bisa dijadikan solusi permasalahan (problem solving). Salah satunya adalah membaca tulisan.

Yang lebih unik lagi, ketika aku memahami kata "'alaq" sebagai sesuatu yang bergantung, serta merta kusamakan dengan ide yang posisinya bergantung juga pada pikiran seorang manusia. Mungkin dari sinilah tujuan manusia berkebudayaan, tiada lain untuk menuangkan ide-ide yang bergantung sebagai salah satu jalan meredakan kecemasan. Hampir sama ketika Nabi Muhammad Saw merasa cemas dan gelisah ketika menyaksikan perilaku bangsa Arab yang jahiliyah ("bodoh") dengan mengasingkan diri ke Gua Hira. Beliau memiliki ide yang bergantung dalam benaknya, tetapi masih tetap bergantung, sehingga Allah memerintahkannya untuk menuangkan ide tersebut, dengan kata-kata jimat, iqra (bacalah).

Ketajaman Pena

Namun, tanpa adanya kesemangatan dalam diri, mungkin tulisan tidak akan pernah lahir, hingga pada akhirnya, aktivitas membaca pun hanya sesuatu yang “absurd”. Dari tesis inilah, mungkin bisa juga aku katakan bahwa ketika menangkap ide dan mengurungnya dalam sebuah tulisan, itu semua merupakan upaya dari proses meredakan kecemasan. Sama seperti ketika sahabatku merasa terganggu jiwanya ketika tidak menuangkan segala masalah hidupnya dalam sebuah tulisan di buku diary.

Bahkan aku pun sempat berpikir bahwa para filsuf dan agamawan menciptakan teks-teks tertulis guna menghilangkan kecemasan yang diakibatkan seringnya berdialektika dengan kehidupan. Unikmya, ketika aku mulai mengajukan judul skripsi di jurusan, maka aku temukan istilah “data primer dan sekunder” yang dipergunakan untuk menunjang hipotesis yang kita ajukan dalam skripsi tersebut.

Lagi-lagi, aku mulai berpikir bahwa yang namanya “biografi kehidupan” ternyata bisa dijadikan sebagai data utama. Misalnya ketika aku harus meneliti pemikiran seorang tokoh, maka akupun harus mengetahui biograrfi kehidupannya. Seandainya tidak mengetahui dan menuliskannya, maka out line skripsi pun bakal ditolak mentah-mentah oleh pembimbing.

Nah, sekarang mulai lagi pikiranku mengawang-ngawang pada metode penelitian sejarah, yang menjadikan teks-teks tahun kebelakang sebagai data primer penunjang penelitian. Meskipun aku bukan seorang sejarawan atau mahasiswa jurusan sejarah, tapi aku masih yakin bahwa teks yang tersusun pada hari ini di media massa bakal menjadi data primer bagi anak-anak kita ketika mereka meneliti suatu peristiwa penting.

Waduh..ngelantur juga ya.

Tapi biar saja, yang jelas aku masih yakin bahwa kultur tulis-menulis mesti dipelihara agar generasi selanjutnya tidak terjebak pada hipotesis-hipotesis yang dangkal dari nilai keilmiahan. Bahkan sampai mengabaikan realitas sosial-historis. Karena menulis adalah kewajiban moral. ***

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Menulis