Adabul Ikhtilaf : Etika Berbeda Pendapat*
Oleh AHMAD GIBSON AL-BUSTOMIE
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah “. (Al Ahzab : 21)
Difference is one of existential feature or characteristic oh creture, specially man kind. The characteritic wich substantially differ bitween the creature as an finite formed with God, The One and The Only.
Berbeda dan adanya perbedaan merupakan salah satu ciri eksistensial dari makhluk, secara spesifik manusia. Karakteristik yang secara substansial membedakan antara makhluk sebagai wujud yang berbilang dengan Allah Yang Maha Esa. Masyarakat manusia hidup dan menjalani kehidupannya berdasarkan azas perbedaan itu. Interaksi sosial antar sesama manusia, selain didasarkan pada sejumlah kesamaan, tetapi juga secara mendasar didasarkan pada sejumlah perbedaan.
Terdapat dua sikap individu dan masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan itu, dan sikap ini cenderung bersifat ambivalent (ada secara bersamaan dan saling bertentangan). Satu sisi menerima kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda, tapi di sisi lain dalam waktu bersamaan, manusia cenderung merasa tidak nyaman dengan adanya perbedaan-perbedaan itu. Kadang lebih dari itu, manusia cenderung marasa terancam dengan adanya perbedaan-perbedaan itu. Dalam kehidupan manusia, perbedaan adalah fakta yang bersifat mutlak (faktisitas), sedang kesamaan dan kebersamaan adalah sebuah kemungkinan harus diupayakan dan cendeung bersifat utopis.
Dalam perspektif psikologi dan psiko-analisa, sikap agresi pada manusia merupakan suatu fakta instingtif yang mengalir yang tidak selalu merupakan hasil dari rangsangan luar. Manusia hanya mencari dan memilih kanal untuk mengekpresikan kecenderungan agresi tersebut. Dengan kata lain, agresi bukanlah suatu reaksi seorang individu manusia terhadap stimuli (rangsangan) dari luar, melainkan rangsangan dalam yang sudah “terpasang” yang mencari pelampiasan dan akan terekspresikan melalui kanal rangsangan yang kecil sekalipun. Kanal itu hanyalah sekedar pijakan dalam membangaun alasan untuk menjadikan ekpresi agresi itu menjadi syah secara sosial.
Hasrat untuk menaklukan merupakan hasrat yang ada secara inheren pada diri manusia. Hasrat yang semakin menemukan bentuk dan kekuatannya kita dan mendapatkan ruang serta pasilitas untuk mengekpresikan dan mengaktualisasikannya. Menaklukan, secara implisit memiliki makna menguasai, memiliki dan menghancurkan. Dan menaklukan (eksternal) juga, dalam perspektif filsafat eksistensialisme, memiliki makna egosentik. Diri sebagai pusat segala hal. Suatu sikap dan prinsip yang (dalam perspeksif eksistensislime tertentu) dianggap sebagai untuk yang akan melenyapkan eksistensi manusia karena pada saat itu manusia melepas dan menafikan relasi sebagai pondasi dasar bagi aktualisasi eksistensi manusia.
Bila kita mengingat kata-kata yang disampaikan para Malaikat pada saat penobatan Adam (manusia) sebagai pengeman amanat kekhilafahan, yaitu bahwa manusia sebagai agressor (senang menumpahkan darah), tampaknya ada benarnya. Kemudian, apakah kehadiran agama dimaksudkan sebagai entitas untuk menetralisir dan mengikis kecenderungan agresi tersebut, atau sebagai kanal dan justifikasi bagi aktualisasi karakter instingtif tersebut?
II
Geneologi Adabul Ikhtilaf dalam Islam
Kehadiran Islam ke muka bumi di tangan Rasulullah Muhammad saw. telah dengan sendirinya membawa sesuatu yang berbeda, dan karenanya kehadirannya menuai pertentangan dan perlawanan dari masyakatnya. Padahal, apa yang disampaikan oleh Rasulullah pada saat itu bukan merupakan ajaran yang benar-benar asing bagi masyarakat Quraisy, bahkan harus dikatakan sebagai ajaran yang berakar dari ajaran nenek moyang “pemilik” tempat suci di jazirah Arab, yaitu Nabi Ibrahim dan Ismail yang “mewariskan” tempat suci Ka’bah.
Terdapat berbagai jenis perlawanan yang dilakukan masyarakat, khususnya Quraisy. Diantaranya dalam bentuk bantahan dan penolakan karena ajaran yang dibawa Rasulullah itu akan membawa efek perubahnya struktur dan infra-struktur masyarakat; dan itu tentunya akan sangat “meresahkan” masyarakat. Dan untuk itu, Rasulullah saw. membuka dialog terbuka dengan menghadirkan para pemuka Quraisy. Dan secara umum dialog itu gagal. Kegagalan itu, pada dasarnya bukan terletak pada “ketidakpercayaan” mereka terhadap integritas kepribadian Rasulullah, karena Rasulullah sangat dikenal sebagai individu yang memiliki kejujuran yang jarang ditemukan bandingannya (al-amin). Akan tetapi lebih pada kekhawatiran akan perubahanperubahan pada struktur sosial serta masalah kedudukan dan peran-peran sosial. Struktur sosial-kultural yang merujuk pada sitem keyakinan yang telah sekian lama hidup, dan telah “mengalami perubahan”, lama setelah ditinggal nenek moyangnya, Ibrhim dan Ismail.
Ketika para pengikut Rasulullah mayoritas dari kelompok masyarakat kelas bawah, bahkan tidak sedikit dari kelas sosial ‘abid mulai banyak yang mengikuti Rasulullah, maka tekanan tersebut semakin meningkat pada tindak anarkis dan kekerasan dalam bentuk penyiksaan-penyiksaan. Ketika itulah ada upaya Rasulullah untuk menghijrahkan para sahabatnya dan memina perlindungan dari Raja Ethiophia. Semakin lama tekanan kepada Rasulullah dan para sahabatnya semakin kuat dan gencar. Dan, pada titik kulminasi muncul upaya pembunuhan bukan hanya terhadap para sahabat
Rasullah, bahkan terhadap Rasulullah sendiri. Bahkan lebih dari itu, diadakan semacam sayembara untuk melakukan pembunuhan terhadap Rasulullah dengan hadiah dan imbalan yang sangat menggiurkan. Pengejaran terhadap Rasulullah pada akhirnya secara syah dilegalkan. Hanya karena Kekuasaan dan Pertolongan Allah-lah, Rasulullah bisa selamat dari pengejaran dan upaya pembunuhan yang mereka lakukan.
Dan, pada akhirnya Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah dengan ditemani oleh Abu Bakar ra., sementara tempat tidur Rasulullah ditempatih Ali bin Abi Tahlib kw.
Dari sejak Rasulullah mulai menyebarkan dan mendakwahkan ajaran Islam hingga terjadinya hijrah ke Madinah, merupakan suatu drama dari tragedi kemanusiaan yang disebabkan oleh perbedaan, perbedaan agama dan keyakinan. Haruskah perbedaan-perbedaan itu berujung seperti yang Rasulullah dan para sabahat alami? Kebencian, penyiksaan, pengejaran dan pembunuhan serta perang terbuka antar sesama saudara dan familly? Dan bagaimana sikap dan perlakukan Rasulullah terhadap semua perlakuan mereka itu? Dalam konteks dan kondisi inilah, bukti dari kualitas kepribadian Rasulullah sebagai soko guru, tauladan, uswah-hasanah. Bahkan dalam konteks kekinian, kita harus akui bahwa sikap Rasulullah dalam menghadapi perbedaan dan tekanan dari orang lain yang memiliki perbedaan keyakinan itu sebagai suatu tauladan yang “utopis”. Kenapa utopis? Karena kita tampaknya tidak memiliki kesabaran yang memadai untuk menghadapi semua itu, serta tidak memiliki iman yang cukup kuat untuk meyakini bahwa terdapat hakhak Allah dalam menentukan keimanan dan masa depan manusia.
Bila ditakar dengan apa yang kita lakukan dalam menyikapi perbedaan-perbedaan itu, sangatlah jauh, seperti jarak antara lapisan tanah paling dasar dan bawah dengan lapisan langit paling tinggi dan atas. Mungkin kita akan mengatakan dan dengan sadar sering atau tidak, kita katakan “Ya wajar saja beliaukan seorang Rasul, manusia pilihan, sedangkan kita manusia biasa, bukan Rasul dan bukan pula manusia pilihan”.
Terdapat sejumlah gambaran ekstrim dari sikap Rasulullah yang perlu kita ingat dan renungkan. Suatu siang tidak kita temukan perbedaan pada Rasulullah, baik dalam keadaan lemah maupun dalam keadaan kuat. Ekstrim dalam pengertian bahwa sikap-sikap Rasulallah itu berada di luar takaran kemampuan manusia biasa untuk melakukannya. Yaitu sikap tauladan Rasul yang sering kita dengar dalam ceramah keagamaan serta khutbah-khutbah, atau yang kita baca, antara lain peristiwa Rasulullah saw. yang dilempar dengan kotoran unta. Dan, apa balasan Rasulullah terhadap orang yang berlaku hina pada Rasulullah ini? Rasulullah mendo’akannya supaya orang itu mendafat hidayah dan pertolongan Allah, dan ketika orang itu sakit, Rasulullah menjenguknya. sikap yang jarang sekali kita temukan dalam keseharian kita. Dan, satu lagi sikap yang apabila dilihat dalam konteks kesekarangan, benar-benar sangat sulit tuk dipahami, yaitu ketika peristiwa futuh Makkah. Selain memberikan amnesti masal pada orang-orang yang sebelumnya memusuhi, memerangi dan menganiaya Rasulullah dan sahabatnya. Dan, hal itu mungkin belum seberapa mengingat kelembutan dan sifat kasih sayang Rasulullah, akan tetapi mengingat bagaimana Rasulullah selain mema’aflcan Abu Sufyan juga meneguhkan kedudukannya di Makkah, dalam kedudukan sebelumnya ketika Makkah belum ditaklukan (futuh Makkah).
Sikap-sikap Rasulullah itu tentunya bukan merupakan gambaran dari sikap penakut Rasulullah untuk melakukan perlawan secara prontal. Akan tetapi keluar dari sikap-mental dan cara berpikir yang khas. Dan, hal ini terbukti dari banyaknya orang yang masuk Islam (menyatakan keimanannya) karena sikap Rasul itu.
Bila melihat sikap Rasulullah dalam menyikapi orang yang memiliki perbedaan (keyakinan, paham) maka kita akan melihat bahwa sikap Rasulullah itu bukan sekedar sebuah sikap “toleran”, tapi lebih dari itu: suatu sikap yang terlahir dari cinta antar sesama manusia, bahkan sebagai sesama makhluk Allah. Dan dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah, bukan didasarkan pada sekedar keinginan untuk memiliki sejumlah pengikut, akan tetapi benar-benar lebih didasarkan pada keinginan untuk menyelamatkan manusia sebanyak-banyaknya. Menyelamatkan dalam arti yang sebenar-benarnya, sehingga tidak ada satu patah kata pun istilah “dendam” dan “sakit hati” dalam kamus dakwah dan kehiclupannya.
Dengan demikian, etika berbeda pendapat dan paham (adabul ikhtilaf) dalam kehidupan Rasul, tidak hanya didasarkan pada kepentingan-kepentingan dan fungsi sosial belaka, tapi didasarkan cinta yang merupakan realisasi dari Rahman-Rahim Allah. Manifestasi kongkrit dari paradigma amal-soleh yg selalu mengawali seluruh aktivitasnya dengan dijiwai oleh apa yg diucapkannya, yaitu: Bismillahirrahmanirrahimi.
Apabila, sikap, prilaku dan cara pandang Rasulullah ketika berhadapan dengan orang yang memiliki perbedaan keyakinan dan agama tersebut bisa kita sebut sebagai etika atau akhlak (prilaku yang dilakukan secara sadar) dalam berbeda pendapat atau paham (‘adabul ikhtilaf) yang dicontohkan Rasulullah untuk ditiru dan diteladani oleh ummatnya. Tidak jarang ditemukan keterangan, bahwa terdapat sejumlah kaum kafir yang masuk Islam dan menjadi sahabat Rasulullah hanya karena melihat kelembutan dari sikap Rasulullah. Dan dalam konteks ini, harus saya katakan bahwa, tidak sedikit orang yang nyinyir dan merasa tidak simpatik oleh sikap sebagian umat Islam yang berlaku “kasar” dalam menghadapi komunitas lain yang berbeda paham. Hal yang tidak jarang, sikap nyinyir itu diekspresikan dan diungkapkan oleh sesama umat Islam.
Sejarah assassination (mihnah), yang merupakan sikap dan aksi terhadap orangorang yang berbeda pendapat (paham) dalam beragama dalam Islam memang bukan sesuatu yang baru, baik secara terbuka maupun secara halus. Diantara yang paling dikenal adalah peristiwa mihnah yang dilakukan kaum Mu’tazilah terhadap kaum salaf yang bersebrangan dengan kaum Mu’tazilah. Hal yang kurang lebih sama, walau pun tidak seradikal yang terjadi dalam “dunia pemikiran Kalam”, juga terjadi dalam dunia pemikiran fiqh (hukum Islam). Tidak sedikit ulama fiqh yang mengalami pengasingan, dan meninggal dunia dalam kesepian dan penderitaan yang berkepanjangan. Dan pada umumnya itu terjadi dan diawali oleh perbedaan paham keagamaan. Dan dalam kancah politik Islam hal ini (perbedaan paham politik) bahkan sempat mengorbankan para cucu Rasulullah.
Dengan demikian, menjadi “wajar” apabila contoh dari etika berbeda pendapat (adabul ikhtilaf) yang dicontohkan Rasulullah itu kini hanya menjadi ajaran yang bersifat “utopis”, dan karenanya dakwah Islam tidak jarang diwarnai oleh kekerasan dan umpatan. Sikap pema’af yang dicontohkan Rasulullah berubah menjadi sikap anarkis, dan do’a yang juga dicontohkan Rasulullah berubah menjadi hujatan. Karenanya, sejarah perjalanan umat Islam pasca Rasulullah kaya dengan bekas ceceran darah dan kutukan. Kini kita menjadi terbiasa dengan itu. Sikap yang mana sesungguhnya yang Islam (Allah dan Rasul-Nya) ajarkan pada kita?
Apabila Rasul memandang orang kafir dengan tatapan penuh kasih sayang dan penuh perma’afan, sedangkan kita memandang orang kafir dengan tatapan penuh kebencian dan hasrat untuk melenyapkannya dari muka bumi. Saya tidak yakin, apakan ilustrasi saya ini terlalu bernuansa generalisasi dan dibesar-besarkan, atau sebagai fakta yang benar-benar terjadi. Saya berdo’a dan berharap, bahwa apa yang ada dalam pikiran saya ini mutlak salahnya.
* disampaikan pada “Penataran dan Lokakarya Pencegahan dan Penanggulangan Pemurtadan dan Penyimpangan Pemahaman Agama (Islam); Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat, di Wisma Taruna JI. Lengkong Besar No. 64B Bandung.
Senin, 12 Januari 2009
[+/-] |
Etika |
[+/-] |
Komitmen |
Komitmen Ketulusan
oleh BAMBANG Q ANEES
Di tengah polemik tentang pencabutan mandat dan persoalan Poso yang seperti tak ada habis-habisnya, ada baiknya kita berefleksi mengenai reformasi. Reformasi adalah komitmen bersama untuk bertransformasi dari kehidupan lama yang represif menuju tatanan masyarakat terbuka.
Reformasi politik telah berjalan sedemikian rupa, namun sayangnya — setiap saat– sepertinya kita mengalami sesuatu yang selalu salah jadi dan salah guna.Mungkin ada yang kurang dari komitmen reformasi kita, reformasi politik saja memang tak akan mampu mewujudkan harapan. Ada reformasi lain yang harus segera diwujudkan, Jakob Utama (2000) menyebutnya “reformasi ketulusan”.
Soal reformasi memang bukan melulu soal politik, yang lebih utama adalah soal mental. Setelah sekian lama terkungkung otokrasi orde baru, kita terhanyut dalam kebiasaan penuh rekayasa, tertutup, penuh curiga, dan susah untuk percaya pada pihak yang berbeda. Kita juga “terdidik” untuk tidak menyatakan apa yang sebenarnya demi keselamatan atau keuntungan pribadi. Akhirnya seluruh jerih payah reformasi politik atau hukum menjadi aturan main dengan mental pemain yang masih sama dengan sebelumnya: pemain yang melupakan ketulusan.
Maka, meminjam pertanyan Jakob Utama, “Dapatkah kita katakan atau sekurang-kurangnya kita jadikan komitmen bahwa kita juga sedang bertransformasi dari masyarakat yang tidak tulus ke masyarakat yang tulus; dari masyarakat serba tertutup dan serba curiga ke masyarakat terbuka yang disertai sikap dan kebajikan saling percaya?”
Ikhtiar dalam Ketulusan
Saat ini, kita sungguh-sungguh membutuhkan ketulusan. Ada satu kisah menarik yang dikutip Gay Hendricks (2002) pada buku The Corporate Mystic. Ada dua orang pengangkut batu yang menampilkan raut muka berbeda. Yang pertama mengangkut batu dengan wajah penuh kekesalan, dari mulutnya tak henti-hentinya mengeluarkan sumpah serapah; sedang yang kedua justru sebaliknya. Pengangkut batu kedua justru menampilkan wajah riang, mata berbinar-binar, dan sambil bersenandung.
Terhadap keduanya, seseorang bertanya, “Apa yang sedang kalian lakukan?” Orang pertama menjawab, “Lihat saja sendiri, di hari yang panas begini saya harus mengangkut batu-batu sialan ini!” Sedang orang kedua menyatakan, “Di sana akan dibangun rumah ibadah, kelak kami akan memiliki rumah yang hangat untuk berdekatan dengan Tuhan”.
Dalam situasi reformasi ini, semua warga negara seperti pengangkut batu itu. Semuanya melakukan kerja yang melelahkan, memperbaiki tatanan kehidupan yang memang sudah porak poranda dan menyelesaikan masalah-masalah yang seperti tak pernah habis. Dalam rasa lelah keluhan pasti muncul, juga rasa putus asa. Namun pengangkut batu kedua mengajari kita bagaimana menanggung beban hidup menjadi kebahagiaan.
Ketulusan membuat seseorang menjadi lebih jujur, menerima tugas sebagai amanah, bebas dari kepura-puraan, dan bahagia. Melalui ketulusan, rasa lelah tak membuat seseorang merasa lebih berjasa –seraya mengajukan bayaran yang lebih tinggi. Dalam ketulusan, seluruh penderitaan dapat tertahankan. Ketulusan tak pernah bisa melahirkan “kambing hitam” dari suatu persoalan.
Agama dan Ketulusan
Ajaran utama semua agama adalah membimbing pemeluknya untuk menjalani kehidupan secara tulus. Al-Quran (QS Shad, 46), misalnya, menyatakan bahwa para nabi dan rasul adalah mereka yang tulus-ikhlas, bebas dari pelbagai penyakit busuk hati, tidak berpura-pura, dan bebas dari segala penyakit yang dapat meruntuhkan hakikat kemanusiaan.
Tarif Khalidi (2003), dalam The Muslim Jesus, mengutip kisah menarik dari Kitab al-Bayan karya Abu Utsman al-Jahiz (ulama muslim abad ke-9). Konon, suatu hari Yesus berpapasan dengan Bani Israil yang menghinanya. Setiap kali mereka mengucapkan kata-kata kotor, Yesus menjawabnya dengan kata-kata yang baik. Simon yang suci mengajukan protes, “Akankah engkau menjawab mereka dengan baik ketika mereka terus-menerus mengucapkan kata-kata kotor?” Yesus menjawab dengan tenang, “Setiap orang mengucapkan apa yang dimilikinya”.
Lihat, betapa damainya ikhtiar ketulusan!