Kultum, Malamatiyah, dan Eksekusi Mati
Oleh AHMAD SAHIDIN
DALAM sebuah diskusi di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung, cendekiawan Muslim Prof.Dr.Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., menyampaikan bahwa tradisi kultum sebelum shalat mempunyai akar historis. Yakni pada masa kekuasaan Daulah Umayyah atau masa hidup Imam Hasan bin Abu Thalib, cucu Rasulullah saw.
Khalifah yang memegang Daulah Umayyah ini punya kebiasaan menyampaikan tausiyah singkat atau kultum tiap menjelang shalat dzuhur di masjid pemerintah. Selain menyampaikan doktrin-doktrin Islam, juga seringkali digunakan sebagai alat untuk mencaci-maki dan menghina atau menghujat keluarga Nabi Muhammad saw. Sudah bukan lagi rahasia bila Ali bin Abu Thalib beserta keturunannya dianggap sebagai penentang penguasa yang sah.
Anehnya, orang yang dijelek-jelekkan itu, yaitu Imam Hasan, tidak marah atau menghujat balik. Malah mendengarkan saja sambil menunggu waktu shalat berjamaah. Setelah selesai kultum dan dikumandangkan iqamat; khalifah yang memberi kultum itu menjadi imam shalat. Makmumnya adalah para parajurit DaulahUmayyah dan masyarakat, termasuk Imam Hasan. Kultum itu tiap hari dilakukan oleh penguasa Umayyah dan tiap hari juga Imam Hasan menyimaknya.
Suatu hari Imam Hasan terlambat datang. Sang penguasa yang memberi kultum clengak-clenguk ke barisan belakang jamaah shalat dzuhur. Kultum pun terus berlangsung. Lebih dari tujuh menit, penguasa itu menyampaikan tausiyah. Sambil menyampaikan petuah-petuah politisnya, penguasa itu tak sadar mengeluarkan kata-kata, “ke mana putra Ali, belum datang juga. Apa sudah pindah masjid karena saya caci maki dan jelek-jelekkan terus”.
Kata-kata itu tedengar oleh jamaah. Jamaah saling berpandangan. Sebagian ada yang tampak geram sambil memanggut-manggutkan kepalanya. Lebih dari satu jam, muncullah cucu terkasih Rasulullah saw itu dari arah belakang. Saat terlihat datang, salah seorang prajurit langsung bilang pada khalifah, “Tuan, orang yang ditunggu sudah hadir”.
“Oh,” kata khalifah dengan wajah ceria. Khalifah pun menyampaikan cacian dan makian serta hujatannya pada keluarga Rasulullah saw tersebut. Setelah itu dikumandangkan iqamah dan melaksanakan shalat dzuhur berjamaah, termasuk yang dicaci pun turut serta menjadi makmum.
Namun, kesabaran Imam Hasan tidak berbalas kebaikan atau kesadaran. Kian hari malah tambah bengis. Terutama pada mereka yang dekat dengan keturunan Rasulullah saw. Mereka yang dekat dengan Imam Hasan diancam dan yang membandel disiksa dan dipenjarakan. Banyak yang telah menjadi korban. Namun penguasa tampaknya tidak merasa cukup puas dengan tindakan keji dan zalim yang ditimpakan pada keturunan Rasulullah dan pengikutnya. Setelah dipisahkan dari umat dan dikecam: Imam Hasan diracun.
Sungguh akhlak mulia yang dimiliki Imam Hasan bin Abu Thalib ini. Meski dicaci dan dimaki dihadapan publik, tetap saja masih ikut serta dalam barisan shalat jamaah. Bahkan, saat dibunuh dengan racun pun tiada sepatah pun kata kecaman terlontar pada musuhnya. Sebuah pelajaran akhlak yang luhur yang tidak dimiliki oleh kaum Muslim setelahnya.
Bagi Kang Jalal—panggilan Jalaluddin Rakhmat—sosok Imam Hasan bin Abu Thalib merupakan tokoh penganjur persatuan dan kesatuan umat Islam—ukhuwah islamiyah. Cacian dan makian, bagi seorang Muslim yang kaffah dan pecinta perdamaian, tidak membuatnya ikut-ikutan mencaci kembali atau membalasnya. Tapi justru dengan membiarkannya, telah menjadi bukti bahwa kita tak perlu mengikuti atau meniru perbuatan jelek itu.
Ya, demi mempertahankan keberadaan Islam dan agar umat Islam tidak berpecah serta tidak ditindas, Imam Hasan merelakan dirinya untuk diperlakukan tidak horrmat dihadapan publik. Inilah sebuah nilai keislaman yang sangat langka dan perlu penafsiran yang mendalam. Sebab sikap dan tindakan cucu Rasulullah saw ini sudah masuk wilayah amalan batin: sabar.
Ya, cacian dan makian bagi Imam Hasan bin Abu Thalib merupakan bagian dari riyadhah untuk meningkatkan kualitas iman sekaligus sebuah upaya tazkiyatun nafs. Sikap Imam Hasan ini dikemudian hari menjadi salah satu bentuk praktik kaum sufi; yang dikenal dengan istilah malamatiyah. Istilah ini diambil dari kata ‘malamah’, yang secara bahasa berarti ‘celaan’. Kaum malamatiyah adalah orang-orang yang dengan sengaja menjalani kehidupan hina dengan tujuan untuk menyembunyikan hakikat pencapaian spiritualnya. Pendiri ajaran ini biasanya disandarkan pada Hamdun al-Qashshar, sufi abad ke-3 H/9 M, yang berasal dari Naisyapur di Khurasan. Pengikutnya meyakini bahwa al-Qashshar secara batiniah hidup dalam kebersatuan dengan Allah; dan secara lahiriah bertindak seolah-olah terpisah dari Tuhan.
Praktik malamatiyah merupakan sebuah tradisi untuk menurunkan derajat kita agar diri ini tidak menjadi sombong; karena yang berhak untuk sombong dan mengaku mulia dan besar hanyalah Allah. Sebuah kisah mengenai praktik sufi ini diceritakan bahwa seorang sufi yang duduk di masjid merasa gembira ketika ia diseret oleh petugas masjid. Atau berterimakasih ketika diberi makan bersama anjing. Memang sebuah irasionalitas: keimanan yang di luar kategori orang-orang biasa.
Di negeri kita ini, saya kira ada yang berpendapat bahwa tiga orang anggota Jamaah Islamiyah yang menunggu eksekusi mati ini sebagai orang yang termasuk mempraktikan malamatiyah: rela dikorbankan demi sebuah tujuan yang diyakininya mulia.
Tentu saja mereka berbeda dengan Imam Hasan bin Abu Thalib, Suhrawardi al-Maqtul, atau Syaikh Siti Jenar. Ya, harus diakui bahwa sebuah keyakinan merupakan wilayah tersendiri dan mandiri. Tak ada yang bisa menjamahnya: karena ia sebuah ‘teka-teki’ yang di akhirat akan terbuka semuanya.
AHMAD SAHIDIN,Alumni jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung; kini sedang menyelesaikan penulisan buku TEOLOGI DAN PEMIKIRAN ISLAM: sejak masa klasik hingga sekarang.
Senin, 03 November 2008
[+/-] |
Mati |
[+/-] |
Anak |
Anak-anak dan Kekerasan
Oleh SITTA R MUSLIMAH
Rentang masa perkembangan anak semestinya dipenuhi kegembiraan sehingga berpengaruh positif bagi jiwanya. Akan tetapi, kecemasan dan ketakutan anak sekarang hadir di mana-mana: di sekolah, di jalanan, bahkan di rumah yang dihuni orangtuanya sekalipun. Kak Seto, dalam suatu kesempatan, pernah mengklaim bahwa kekerasan terhadap anak yang dilakukan orangtua mencapai angka 80 persen.
Saya pikir, ketika anak akrab dengan kekerasan, ancaman kehilangan jati diri, kepercayaan, dan kemandirian dalam dirinya akan menghilang. Maka, menciptakan lingkungan yang menenteramkan anak adalah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar. Sebab, tanpa situasi tenteram dan tenang, anak akan merasa tertekan sehingga berakibat pada terganggunya perkembangan jiwa.
Jangan heran jika pribadi anak pada masa mendatang akan memantulkan laku yang keras dan otoriter. Ia akan berubah menjadi warga keras, tidak toleran, pendendam, dan antisosial. Bahkan, timbul fanatisme berlebihan terhadap keyakinannya sehingga ia menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang mengarah pada kekerasan.
Kekerasan terhadap anak secara fisik atau psikis adalah perilaku masyarakat jahiliyah dan tidak berbudaya. Melakukan kekerasan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa anak sehingga harus kita redam. Mencaci, berkata-kata kotor, tidak sopan, dan menjewer anak akan membentuknya menjadi seorang anak yang tidak disiplin. Paling berbahaya lagi, kekerasan fisik dan psikis terhadap anak akan melahirkan generasi yang menyelesaikan sengketa dengan kekerasan juga.
Pelanjut bangsa
Dari sisi sumber daya manusia, anak adalah generasi penerus berlanjutnya suatu bangsa dan kelompok strategis yang harus diperhatikan agar mereka dapat tumbuh dan berkembang mencapai kedewasaan sampai berumur 18 tahun. Saat ini, dengan jumlah penduduk berusia kurang dari 18 tahun sekitar 68 juta jiwa atau 30 persen, diperlukan perhatian yang tidak sekadar tertuang dalam bentuk peringatan rutin tahunan, misalnya Hari Anak saja.
Perhatian harus berlanjut sepanjang hayat dalam memperlakukan anak dengan cara yang baik dan beradab tanpa kekerasan. Menurut mantan Deputi Perlindungan Anak Kementerian Peranan Wanita Rachmat Sentika (2007), kunci utama untuk menjadikan anak sebagai potensi negara dalam rangka keberlangsungan hidup dan kejayaan bangsa adalah komitmen pemerintah untuk menjadikannya prioritas utama pembangunan.
Menurut dia, upaya merealisasikan harapan bangsa untuk mencetak generasi penerus bangsa di Indonesia adalah menciptakan lingkungan yang mengutamakan perlindungan bagi anak, menghidupkan nilai dan tradisi yang memajukan harkat dan martabat anak, serta mengeksplorasi dan memobilisasi sumber daya untuk mendukung penyelenggaraan perlindungan anak (www.kapanlagi.com).
Oleh karena itu, Indonesia sangat membutuhkan kehadiran pemimpin yang peduli terhadap anak. Sebab, pemimpin bangsa yang arif dan bijaksana berasal dari seorang anak yang sehat jiwa dan fisik. Ketika kita banyak memperlakukan anak-anak secara keras, berarti kita gagal membentuk generasi penerus bangsa. Pada posisi ini, anak adalah mustika atau mutiara berharga yang sering kita cari untuk dijadikan tumpuan berharap atas membaiknya Indonesia ke depan.
Pendidikan kasih sayang
Bu Muslimah, tokoh dalam novel Laskar Pelangi, yang sejak tanggal 25 September 2008 difilmkan, adalah potret seorang guru yang mendidik muridnya dengan kasih sayang. Akrab, tidak canggung, dan merasa seperti anak sendiri ketika mengajar muridnya seharusnya menginspirasi guru, orangtua, dan pejabat negara untuk memberikan perlindungan bagi anak-anak. Jadi, upaya menciptakan kondisi jiwa anak yang sehat sehingga kelak mereka bisa berkontribusi untuk negara adalah menggagas pendidikan kasih sayang.
Hal itu merupakan salah satu bentuk pendidikan yang tidak hanya mengurus kemampuan intelektual siswa dan anak kita. Secara pribadi, saya sangat terharu dengan metode pendidikan kasih sayang yang diberikan Bu Muslimah kepada Harun, seorang murid yang mentalnya terbelakang. Beliau memberikan rapor khusus kepada Harun meskipun menurut standar pendidikan nasional ia tidak dapat dikategorikan sebagai murid yang pantas naik kelas. Maka, bagi guru dan orangtua di rumah, ketika anak-anak kita tidak mampu mencapai prestasi seperti yang kita inginkan, jangan lantas bertindak keras.
Teruslah memberikan motivasi dan bimbingan tanpa mengebiri kegembiraan anak-anak sebagai upaya mempraktikkan pendidikan kasih sayang di lingkungan sendiri. Kita tidak boleh seperti guru otoriter dan keras yang selalu menghukum muridnya ketika mereka tidak bisa menyelesaikan soal secara benar dan tepat. Kita tidak boleh juga seperti ayah dan ibu yang selalu overprotective karena ingin anaknya berprestasi tanpa mengindahkan kondisi mentalnya.
Untuk kepentingan anak seharusnya kita memberikan pendidikan yang bisa diterima anak tanpa merasa terpaksa. Ingat, proses pendidikan adalah wahana untuk memberikan pengetahuan kepada anak-anak, yang awalnya tidak tahu menjadi tahu. Ketika kita ingin semua murid atau anak kita pintar secara akademik, tanpa melihat potensi yang lain, itu sama saja dengan mendidiknya secara keras. Itulah kiranya yang tak pantas kita lakukan ketika mengelola anak-anak, titipan Tuhan, untuk kemajuan bangsa pada masa mendatang.
Oleh karena itu, mari kita perangi kekerasan anak dengan menggagas pendidikan kasih sayang bagi mereka. Mudah-mudahan dengan pendidikan kasih sayang mereka mampu menjadi generasi pelanjut bangsa yang selalu menyebarkan kebajikan bagi orang-orang di sekitarnya. Amin.
SITTA R MUSLIMAH Pemerhati Masalah Perkembangan Anak, Tinggal di Bandung
Kompas Jawa Barat, Kamis, 30 Oktober 2008
[+/-] |
Padamu |
Padamu Tuhanku
Oleh M ARKEN
Tuhan..
Kadang aku ingin bertanya: dalam dunia apakah aku hidup sekarang ini..? Jalinan kehendak-Mu yang seperti apa yang melingkarinya..? Bagaimana aku memahami semua yang terjadi? Tapi itu tak pernah berani kuajukan. Karena aku mungkin terlamapu takut itu bisa meremukkan gagasanku tentang diri-Mu.
Tuhan…
Tapi masalahnya: Aku berdiri di altar dan hari yang dipenuhi sesaknya ironi cinta dan kamarahan-Mu. Entah harus bagaimana mengimani diri-Mu dalam kondisi seperti itu. Lintang hidup sekitarku sesak oleh tragedi rumitnya menuntaskan emosi. Apa gerangan yang menyebabkan seperti ini..? Sementara oleh kesetiaan pada anggapanku tentang diri-MU, aku diam-diam telah menjadikan-Mu Tuhan yang menjaraki benak dari semua jawaban, bahkan kemungkinan.
Tuhan….
Mungkin sebagian besar peristiwa bisa teruraikan oleh sucinya ayat-ayat dan petunjuk para penafsir-Mu. Tapi itu kurasakan hanyalah menjadikan hadirmu bak singularitas tanpa cerita. Lalu tiba-tiba aku hanya harus yakin bahwa dari sana ruang, waktu, materi energi bahkan pertanyaan ini lahir. Dan percayalah..! titik. Maaf, aku tidak bisa seperti itu.
Tuhan…
Tidak ada keraguan pada diri akan keagungan-Mu. Tidak ada kebimbangan dalam hati tentang ke-Mahaan-Mu. Tapi, hidup ini terlampau singkat dan silap untuk ikut terlibat dalam renungan yang panjang akan diri-Mu. Apakah aku cukup berharga hingga Kau beri kesempatan hadir di dunia ini..? Ataukah ini sekadar pemenuhan takdir yang tak bisa kutolak bahkan jikapun itu menjadikan diriku ‘hitam’ di depan-Mu..?
Tuhan…
Begitu banyak doa yang terucap, puji yang tersurat, bahwa Engkaulah yang mampu ‘mengombang-ambingkan’ diriku. Jikalau itu tak Kau kabulkan, kuterima ia dengan seluruh rasaku. Bahwa semuanya hanya milik-Mu, dan tentu Engkau bebas menentukan kehendak-Mu. Namun, maafkanlah.. aku yang sering tak sabar, terus menggerutu dengan anugerah-Mu, terus menolak apa yang mungkin terbaik bagiku. Bukankah semua ini juga dijadikan oleh-Mu..?
Tuhan…
Parasmu tak pernah kutatap, sementara semesta-Mu terus kucecap. Hadirmu tak jua terlacak, meski syukurku terus kurawat. Aku terkadang ingin mengadu, namun hanya bisa tersampaikan dalam hati di tepian telapak tangan yang terangkat, entah diri-Mu ada di mana saat itu. Aku hanya terus berusaha yakin dan percaya bahwa Engkau telah menampung segala keluhku.
Tuhan…
Kata orang, yakin berawal dari hati yang pasrah, bukan rasio yang gelisah. Tapi aku di sini, bahkan tak pernah tau mana teriak benak dan mana suara hati. Engkau tiba-tiba saja ada di sekitarku, di hidupku, sementara aku tak pernah mencari-Mu (tentu saja Engkau juga tak akan begitu saja mendatangiku, bukankah Engkau tidak membutuhkanku..?). Apa yang salah di teguhnya yakinku..? Adakah yang keliru di rumamnya benakku..?
Tuhan…
Ada banyak orang yang begitu berhasrat untuk menjaga-Mu, menyucikan nama-Mu, bahkan mengunjungi rumah-Mu. Atau barangkali berdagang dengan kalam-Mu. Tapi aku entah kenapa tidak jua bisa seperti itu..? Apakah ini memang takdirku ataukah pilihan hidupku..? Jika ini menyesatkanku, maafkanlah ia.. Jika ini tertuliskan sebagai jalanku, sempatkanlah tersenyum kepadaku. Sungguh aku tak pernah berniat apalagi berharap menjual sesuatu dari anugerah-Mu untuk mendapatkan apa yang kuinginkan dalam hidupku.
Tuhan…
pada akhirnya, semua terserah padamu. Aku yang begini adanya, dan kehendak-Mu yang entah seperti apa. Namun, tuntunlah aku, sebab aku juga ciptaan-Mu. Jagalah hidupku dan jangan sering kau olengkan perjalananku. Jika kau bercanda, jangan yang kasar-kasar, sebab umat-Mu yang seperti ini mungkin hanya aku. Jangan kau batasi apalagi mensyarati keluasan rahmat-Mu, karena aku jelas tak setangguh nabi dan malaikat-Mu.
bersambung…
[+/-] |
Fitri |
Idul Fitri Liberatif
Oleh RADEA JULI A HAMBALI
Idul Fitri adalah hari istimewa, bukan hanya karena sarat makna spiritual, tetapi juga menjadi locus dari semangat liberatif berdimensi sosial.
Mengapa Idul Fitri dapat menjadi locus bagi semangat liberatif? Pertama, masalah yang tak habis diurai adalah kemiskinan. Sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi, penanganan kemiskinan masih menemukan kendala.
Melalui sejumlah pilkada, pemimpin datang dan pergi. Namun kehadirannya selalu tak mampu mengenali dan memberi jalan keluar bagi rakyat yang terjerat kemiskinan. Sementara itu, negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru tak berdaya. Negara tidak dapat menyediakan kebutuhan pokok rakyat seperti pendidikan, layanan kesehatan, rasa aman, penyediaan bahan pokok (gas dan minyak tanah).
Kedua, korupsi sudah menjadi endemi di republik, menyebar menjadi kegemaran siapa pun. Dan, korupsi telah menyergap lembaga terhormat (DPR/DPRD, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung) yang seharusnya menjadi benteng dan simbol terakhir pemelihara suatu kehendak umum menjadi bangsa yang punya harga diri dan bermartabat.
Ketiga, aura kehidupan sosial republik masih sarat kecurigaan terhadap kehadiran ”yang-lain” (the others). ”Yang-lain”, baik dalam ideologi, etnis, nilai, atau keyakinan, dipersepsi sebagai ancaman. Karena nurani terpasung dan akal tak mampu bekerja proporsional, cara menyelesaikan kehadiran ”yang-lain” sering tampil dalam wajah menakutkan. ”Yang-lain” kerap menjadi pesakitan, korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Sebagai bangsa dengan cita-cita besar, tidak seharusnya tiga masalah itu membuahkan sikap pesimis, apatis, dan berdiam diri untuk tidak mengusahakan perubahan. Tiga hal itu seharusnya menjadi pemantik semangat bagi umat Islam untuk mengusahakan tata kehidupan sosial yang adil dan sejahtera sesuai cita-cita republik sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD ’45.
Fitrah
Secara spiritual, Idul Fitri adalah momen yang mengabarkan kembalinya manusia kepada bentuk asli dan primordial: kesucian (fitrah). Menurut Cak Nur (2000), secara kebahasaan, fitrah mengandung pengertian sama dengan khilqah, ”ciptaan” atau ”penciptaan”. Akan tetapi, secara peristilahan, fitrah berarti ”penciptaan yang suci”.
Jika dirunut pada pengertian paling fundamental, Idul Fitri yang dimaknai ”penciptaan yang suci itu” adalah ajaran dasar agama yang menandaskan, manusia segera sebelum dilahirkan ke dunia pernah mengadakan ”perjanjian primordial” (ahd, primordial covenant) dengan Tuhan.
Isi ”perjanjian primordial” ini berupa kesediaan manusia (dalam alam rohani) untuk hanya mengakui dan menerima Allah sebagai satu-satunya sosok yang wajib dipercayai dan disembah.
Idul Fitri akan bermakna jika tidak hanya ditempatkan sebagai peristiwa spiritual, tetapi juga diletakkan sebagai locus bagi munculnya semangat liberatif dalam hal penataan kehidupan sosial yang adil dan beradab.
Implementasi semangat liberatif Idul Fitri adalah kesediaan umat Islam menjadi teladan par excellence dalam hal toleransi dan tenggang rasa terhadap kehadiran ”yang-lain” dan menempatkannya sebagai bagian dari faktisitas kehidupan.
Idul Fitri liberatif
Idul Fitri liberatif adalah spirit agama paling nyata tentang bagaimana membebaskan masyarakat dari jerat kemiskinan, ketidakberdayaan, kesewenangan, dan perilaku zalim yang dapat merusak tatanan masyarakat madani. Masyarakat madani adalah suatu tatanan sosial di mana agama tidak hanya dinyatakan sebagai sekumpulan dogma, tetapi ikut terlibat aktif ”politik emansipatoris” dan ”politik kehidupan” (istilah Anthony Giddens).
Pada aras emansipatoris, agama menjadi kekuatan yang bertujuan menghapus eksploitasi, ketidaksamaan, dan penindasan. Pada aras kehidupan, agama menjadi pionir yang memberi motivasi tentang aktualisasi diri, kepedulian moral, dan eksistensi yang dimarginalkan oleh aneka tindakan tidak adil.
Dengan politik emansipatoris dan politik kehidupan, diharapkan agama menjadi kesadaran yang ”melihat” (to see) secara obyektif, ”mempertimbangkan” (to judge) secara jernih, dan ”bertindak” (to act) secara bijak saat berhadapan dengan gejala dan kenyataan sosial yang dihadapi.
Idul Fitri liberatif adalah visi kerohanian baru yang mendaku agama bukan sebagai hypostase (Hans Kung). Dia tidak ada di langit Plato yang sempurna, dari sana menjadi perantara manusia dan Tuhan, tetapi selalu merupakan agama manusia biasa yang berjuang bersama perubahan dan kefanaan.
Maka, benar yang dikatakan para teolog modern, ”agama bukan suatu hakikat metafisik, yang tak mengandung gerak dalam dirinya, dan mantap dalam keabadian: pergolakan yang dihadapi manusia selalu menjadi pergolakan agama”.
Radea Juli A Hambali Dosen Teologi dan Filsafat Universitas Islam Negeri SGD Bandung