Senin, 03 November 2008

Mati

Kultum, Malamatiyah, dan Eksekusi Mati
Oleh AHMAD SAHIDIN

DALAM sebuah diskusi di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung, cendekiawan Muslim Prof.Dr.Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., menyampaikan bahwa tradisi kultum sebelum shalat mempunyai akar historis. Yakni pada masa kekuasaan Daulah Umayyah atau masa hidup Imam Hasan bin Abu Thalib, cucu Rasulullah saw.

Khalifah yang memegang Daulah Umayyah ini punya kebiasaan menyampaikan tausiyah singkat atau kultum tiap menjelang shalat dzuhur di masjid pemerintah. Selain menyampaikan doktrin-doktrin Islam, juga seringkali digunakan sebagai alat untuk mencaci-maki dan menghina atau menghujat keluarga Nabi Muhammad saw. Sudah bukan lagi rahasia bila Ali bin Abu Thalib beserta keturunannya dianggap sebagai penentang penguasa yang sah.

Anehnya, orang yang dijelek-jelekkan itu, yaitu Imam Hasan, tidak marah atau menghujat balik. Malah mendengarkan saja sambil menunggu waktu shalat berjamaah. Setelah selesai kultum dan dikumandangkan iqamat; khalifah yang memberi kultum itu menjadi imam shalat. Makmumnya adalah para parajurit DaulahUmayyah dan masyarakat, termasuk Imam Hasan. Kultum itu tiap hari dilakukan oleh penguasa Umayyah dan tiap hari juga Imam Hasan menyimaknya.

Suatu hari Imam Hasan terlambat datang. Sang penguasa yang memberi kultum clengak-clenguk ke barisan belakang jamaah shalat dzuhur. Kultum pun terus berlangsung. Lebih dari tujuh menit, penguasa itu menyampaikan tausiyah. Sambil menyampaikan petuah-petuah politisnya, penguasa itu tak sadar mengeluarkan kata-kata, “ke mana putra Ali, belum datang juga. Apa sudah pindah masjid karena saya caci maki dan jelek-jelekkan terus”.

Kata-kata itu tedengar oleh jamaah. Jamaah saling berpandangan. Sebagian ada yang tampak geram sambil memanggut-manggutkan kepalanya. Lebih dari satu jam, muncullah cucu terkasih Rasulullah saw itu dari arah belakang. Saat terlihat datang, salah seorang prajurit langsung bilang pada khalifah, “Tuan, orang yang ditunggu sudah hadir”.

“Oh,” kata khalifah dengan wajah ceria. Khalifah pun menyampaikan cacian dan makian serta hujatannya pada keluarga Rasulullah saw tersebut. Setelah itu dikumandangkan iqamah dan melaksanakan shalat dzuhur berjamaah, termasuk yang dicaci pun turut serta menjadi makmum.

Namun, kesabaran Imam Hasan tidak berbalas kebaikan atau kesadaran. Kian hari malah tambah bengis. Terutama pada mereka yang dekat dengan keturunan Rasulullah saw. Mereka yang dekat dengan Imam Hasan diancam dan yang membandel disiksa dan dipenjarakan. Banyak yang telah menjadi korban. Namun penguasa tampaknya tidak merasa cukup puas dengan tindakan keji dan zalim yang ditimpakan pada keturunan Rasulullah dan pengikutnya. Setelah dipisahkan dari umat dan dikecam: Imam Hasan diracun.

Sungguh akhlak mulia yang dimiliki Imam Hasan bin Abu Thalib ini. Meski dicaci dan dimaki dihadapan publik, tetap saja masih ikut serta dalam barisan shalat jamaah. Bahkan, saat dibunuh dengan racun pun tiada sepatah pun kata kecaman terlontar pada musuhnya. Sebuah pelajaran akhlak yang luhur yang tidak dimiliki oleh kaum Muslim setelahnya.

Bagi Kang Jalal—panggilan Jalaluddin Rakhmat—sosok Imam Hasan bin Abu Thalib merupakan tokoh penganjur persatuan dan kesatuan umat Islam—ukhuwah islamiyah. Cacian dan makian, bagi seorang Muslim yang kaffah dan pecinta perdamaian, tidak membuatnya ikut-ikutan mencaci kembali atau membalasnya. Tapi justru dengan membiarkannya, telah menjadi bukti bahwa kita tak perlu mengikuti atau meniru perbuatan jelek itu.

Ya, demi mempertahankan keberadaan Islam dan agar umat Islam tidak berpecah serta tidak ditindas, Imam Hasan merelakan dirinya untuk diperlakukan tidak horrmat dihadapan publik. Inilah sebuah nilai keislaman yang sangat langka dan perlu penafsiran yang mendalam. Sebab sikap dan tindakan cucu Rasulullah saw ini sudah masuk wilayah amalan batin: sabar.

Ya, cacian dan makian bagi Imam Hasan bin Abu Thalib merupakan bagian dari riyadhah untuk meningkatkan kualitas iman sekaligus sebuah upaya tazkiyatun nafs. Sikap Imam Hasan ini dikemudian hari menjadi salah satu bentuk praktik kaum sufi; yang dikenal dengan istilah malamatiyah. Istilah ini diambil dari kata ‘malamah’, yang secara bahasa berarti ‘celaan’. Kaum malamatiyah adalah orang-orang yang dengan sengaja menjalani kehidupan hina dengan tujuan untuk menyembunyikan hakikat pencapaian spiritualnya. Pendiri ajaran ini biasanya disandarkan pada Hamdun al-Qashshar, sufi abad ke-3 H/9 M, yang berasal dari Naisyapur di Khurasan. Pengikutnya meyakini bahwa al-Qashshar secara batiniah hidup dalam kebersatuan dengan Allah; dan secara lahiriah bertindak seolah-olah terpisah dari Tuhan.

Praktik malamatiyah merupakan sebuah tradisi untuk menurunkan derajat kita agar diri ini tidak menjadi sombong; karena yang berhak untuk sombong dan mengaku mulia dan besar hanyalah Allah. Sebuah kisah mengenai praktik sufi ini diceritakan bahwa seorang sufi yang duduk di masjid merasa gembira ketika ia diseret oleh petugas masjid. Atau berterimakasih ketika diberi makan bersama anjing. Memang sebuah irasionalitas: keimanan yang di luar kategori orang-orang biasa.

Di negeri kita ini, saya kira ada yang berpendapat bahwa tiga orang anggota Jamaah Islamiyah yang menunggu eksekusi mati ini sebagai orang yang termasuk mempraktikan malamatiyah: rela dikorbankan demi sebuah tujuan yang diyakininya mulia.

Tentu saja mereka berbeda dengan Imam Hasan bin Abu Thalib, Suhrawardi al-Maqtul, atau Syaikh Siti Jenar. Ya, harus diakui bahwa sebuah keyakinan merupakan wilayah tersendiri dan mandiri. Tak ada yang bisa menjamahnya: karena ia sebuah ‘teka-teki’ yang di akhirat akan terbuka semuanya.

AHMAD SAHIDIN,Alumni jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung; kini sedang menyelesaikan penulisan buku TEOLOGI DAN PEMIKIRAN ISLAM: sejak masa klasik hingga sekarang.

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Mati