Refleksi Tahun Baru
Oleh SUKRON ABDILAH
BEBERAPA hari ke belakang kita telah merayakan tahun baru umat Islam, 1430 Hijriyah. Tinggal beberapa hari juga tahun baru 2009 Masehi tiba. Bagi umat Islam, hari ini adalah awal tahun yang harus diisi dengan aksi nyata membebaskan umat dari keterpurukan. Dan, bagi bangsa Indonesia yang majemuk, akhir tahun ini (2008) adalah ruang dan waktu yang tepat untuk merenungi segala tindak-tanduk yang dilakukan pada tahun lalu.
Berdekatannya perayaan dua tahun baru (Hijriyah dan Masehi) ini, diharapkan ada secercah harapan transfomatif bagi kelangsungan NKRI. Tahun baru hijriyah harus diawali dengan hijrah-nya bangsa ini dari kondisi kurang baik menjadi baik. Kemudian, tahun baru masehi adalah awal kita menengok tingkah laku di tahun yang lalu dan menatap optimis apa yang hendak dilakukan pada tahun yang akan datang.
Dalam mitos Yunani kuno, awal tahun baru masehi diberi nama Januari, karena diambil dari nama Janus, salah satu dewa yang memiliki dua wajah. Kenapa Januari memiliki dua wajah? Sebab, di satu sisi bulan ini berdekatan dengan tahun 2008 dan juga awal memasuki tahun 2009. Biasanya, ada peralihan budaya di awal tahun (Januari). Kita bakal merasa susah menanggalkan kebiasaan di tahun 2008, tapi cahaya optimisme meruak setiap kali memandang kalender yang berganti dengan angka 2009.
Seperti seorang siswa sekolah yang baru naik kelas ke tingkat yang lebih tinggi. Pertama kali seseorang memasuki kelas baru dan meninggalkan kelas lama, ada semacam kebiasaan di kelas lama yang tanpa sadar dibawanya ke kelas baru. Tahun baru juga begitu rasanya. Kita memasuki tahun baru, tapi ada kebiasaan tahun lalu yang sulit diubah, direkonstruksi, dan bahkan diganti dengan kebiasaan yang lebih baik. Dan, tugas kita adalah menyelami secara reflektis dan kritis apakah ada tingkah laku yang semestinya diubah, diganti, bahkan harus dibuang dan ditinggalkan.
Kecanggungan budaya, biasanya akan menyertai pergantian tahun baru masehi nanti. Gegap gempita perayaan tahun masehi tidak menggambarkan kondisi jiwa bangsa seluruhnya. Di tengah kegembiraan, belum tentu setiap orang merasakan kegembiraan tak terkira. Riuh-rendahnya suara terompet dan taburan kembang api pada pukul 00.00 juga tidak mewakili kegembiraan bangsa.
Bukan hal mustahil kalau di tengah perayaan yang gerlap gemerlap itu ada sejumlah warga yang terganggu, tak bisa makan, dan tidur beralaskan tembikar di trotoar jalan raya, yang pasti dipadati pengendara bermotor. Malam tahun baru harusnya diisi dengan refleksi, tafakkur, dan renungan kasih terhadap kondisi bangsa yang sedemikian lelah dengan soal sosial-politik, ekonomi, budaya, dan tetek bengek soal yang membuat pusing tujuh berkeliling-keliling.
Jengah hati ini dengan praktik korupsi. Gelisah jiwa ini dengan bertebarannya kemiskinan dan kesenjangan. Golput adalah filsafat politik protes dari sebagian bangsa yang mulai tak percaya kepada partai politik. Ini bukan soal cerdas ataukah tidak bangsa Indonesia. Tapi, soal kejujuran dan keteguhan memperjuangkan aspirasi rakyat yang mulai memudar dari wakil rakyat bagai air laut yang mulai tak terasa asin. Tenggelamlah rakyat Indonesia di tengah pusaran samudera ketakberesan persoalan yang melilit, seolah menjadi bumbu kebernegaraan kita.
Filsafat kura-kura adalah tanda keawasan dan kewaspadaan yang mesti ditiru di tahun baru. Kebijaksanaan hidup lewat tempurung yang selalu dijadikan tempat berlindung. Merefleksikan diri. Sambil mengawasi segala marabahaya yang setiap saat pasti mengancamnya dari luar menjadikan hewan bijaksana ini memiliki usia panjang. Kesejahteraan Indonesia akan panjang, jika saja para pejabat awas dan waspada terhadap bahaya yang mengancam stabilitas nasional.
Kekuatan kolektif semut dalam membangun sarangnya. Kerendahhatian sebatang pohon bambu dan setangkai padi, adalah filsafat hidup yang bisa diperoleh dari kebijaksanaan kita atas hidup ini. Kedermawanan kerang berbalut mutiara juga adalah ajaran setiap agama. Kesabaran menggelindingkan batu besar dari Sisifus, adalah soal ketekunan yang harus mulai dipegang bangsa ini. Mudah-mudahan di tahun baru, kita mampu berkaca pada tahun lalu, untuk kemudian berjalan awas di tahun yang baru. Itulah semangat yang harus mulai ditanamkan dalam jiwa ketika membangun Indonesia tercinta.
Selamat tahun baru 1430 H dan tahun baru 2009. Semoga kita bahagia selalu menjalani tiap detik, menit, jam, dan hari di tahun yang akan datang. Sebab, tahun adalah sekumpulan ruang dan waktu yang didalamnya, kita harus mulai mencelubkan diri memberikan arti bagi kehidupan. Berpikir kontemplatif yang tersistematisasi adalah inti dari semangat mengurai benang kusut kehidupan, yang jadi pusat kesadaran bahwa berbuat baik dalam hidup adalah keniscayaan.
Kamis, 01 Januari 2009
[+/-] |
2009 |
Senin, 29 Desember 2008
[+/-] |
Menulis Yuk..!! |
Jurnal SUAKA mengundang anda untuk menulis
“ISLAM DAN SEKULARISME”
Kata Kunci:
Politik, Demokrasi, Kontroversi, Indonesia, Agama, Tuhan, Pancasila, Hukum, Gerakan.
Kriteria dan Prosedur Penulisan
* Penulis adalah mahasiswa S1 seluruh perguruan tinggi di Indonesia, ditunjuk oleh SUAKA dan/atau mengajukan diri (khususnya UIN SGD BANDUNG)
* Tulisan merupakan karya sendiri bukan hasil terjemahan atau saduran serta belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun
* Tulisan mengungkapkan sebuah gagasan dan/atau persoalan, bisa berupa survey, hasil penelitian, atau studi pustaka.
* Term of Reference (TOR) dapat dapat diperoleh dengan mengakses situs SUAKA suakaonline.wordpress.com atau meminta langsung ke kantor redaksi
* Gaya bahasa penyajian dipentingkan. Gunakan bahasa Indonesia yang benar dan enak dibaca
* Tulisan disajikan secara ilmiah populer. Untuk sumber acuan digunakan catatan akhir (endnote) lengkap dengan nama penulis, buku yang diacu, tempat penerbit, penerbit, tahun terbit, dan halaman kutip (SUAKA sangat menghargai kejujuran intelektual)
* Dalam penulisan endnote dapat diberi keterangan tambahan secukupnya, baik sumber yang dirujuk maupun yang berkaitan
* Penggunaan data untuk memperjelas tulisan sangat diharapkan
* Redaksi berhak menyunting tulisan dan memperbaikinya tanpa mengubah maksud tulisan
* Panjang tulisan 10 halaman kertas A4 dengan spasi ganda, huruf Times New Roman 12, margin 4-4-3-3. Tulisan dikirim dalam bentuk print-out dan harus menyertakan softfile
* Penulis mencantumkan daftar riwayat hidup (CV lengkap) termasuk didalamnya riwayat pendidikan, pengalaman organisasi, penelitian/publikasi yang pernah dilakukan, dan melampirkan fotocopy KTM dan foto close up posisi bebas
* Selambat-lambatnya naskah harus sudah diterima redaksi pada 10 Januari 2009
* Bagi naskah yang lolos seleksi, SUAKA akan memberikan imbalan sepantasnya
* Redaksi SUAKA dapat dihubungi di kantor SUAKA, Gedung Student Center lantai 1 Blok B3. Jl A.H Nasution no 105 UIN SUNAN GUNUNG DJARI BANDUNG atau via-email; suakanews@gmail.com Kontak : Miftahul Khoer (miko) 0856 2008 705; Iyan 0857 2045 8674
[+/-] |
1430 H |
Pergantian Tahun
Oleh AHMAD SAHIDIN
TAHUN Baru ditandai berakhirnya penanggalan. Ia berganti jadi yang baru. Sebuah masa yang belum dialami sebelumnya dan insya Allah disongsong. Setiap tanggal 1 Januari masyarakat dunia merayakan Tahun Baru Masehi. Tak jarang sebagian umat Islam pun ikut.
Hal ini dkarenakan ketidaktahuan bahwa Islam pun mempunyai sistem penanggalan tersendiri. Hijriyah nama kalender Islam, yang diambil dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad Rasulullah saw beserta umat Islam dari Makkah ke Madinah.
Sebagian ahli sejarah berpendapat, penanggalan dalam Islam dimulai sejak masa Umar bin Khattab menjadi khalifah. Tepatnya pada 638 M, yaitu 6 tahun setelah wafatnya Rasulullah saw, ia menetapkan kalender Hijriah yang berdasarkan sistem lunar sebagai basis penanggalan Islam. Lahirnya penanggalan ini dilatarbelakangi adanya seorang utusan khalifah yang berkunjung ke Yaman. Ia mengkabarkan pada khalifah bahwa orang Yaman menuliskan tanggal dalam surat-suratnya. Maka sejak itu Umar bin Khattab memerintahkan pembuatan penanggalan. Riwayat yang lain mengatakan, seorang penguasa protes terhadap surat yang dikirim khalifah karena tidak jelas mana surat yang ditulis duluan mana yang belakangan—maklum tidak ada tanggalnya.
Harus diakui fungsi adanya kalender hijriyah ini. Selain untuk mengetahui kapan bulan puasa Ramadhan, melaksanakan haji atau kelahiran Nabi Muhammad saw, juga untuk mengenal peristiwa-peristiwa bersejarah Islam lainnya.
Meski tak ada penjelasan sejarah, namun pemilihan 1 Muharram sebagai awal tahun Hijriyah didasarkan atas keutamaan atau peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di bulan tersebut. Banyak kisah yang menceritakan bahwa di bulan Muharram, Allah menyelamatkan para Nabi dari marabahaya dan Allah melarang pertumpahan darah. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran surat At-Taubah ayat 36, bahwa sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah sebagaimana disebut di Kitabullah ada 12 bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, dan terdapat empat bulan di dalamnya merupakan bulan yang diharamkan, salah satunya bulan Muharram.
Bila dilihat dari bahasa, kata muharram berasal dari kata harrama—yang mengalami perubahan bentuk menjadi—yuharrimu-tahriiman-muharraman-muharrimun. Arti muharraman sendiri adalah yang diharamkan. Apa yang diharamkan? Jelas pertumpahan darah dan perang atau yang dapat menghilangkan jiwa manusia. Intinya, Muharram sebagai awal Tahun Baru Islam merupakan bulan untuk mensucikan diri melalui berbagai ibadah, baik ritual maupun sosial.
Tahun baru Islam tak hanya perpindahan tahun dan mengingat perjalanan panjang hijrah Rasulullah saw beserta umatnya ke Madinah, tapi juga sebuah momentum perubahan diri. Alangkah ruginya apabila Tahun Baru ini tidak menjadi momentum perubahan. Bukankah Rasulullah saw mengingatkan, barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dia adalah orang yang beruntung. Inilah orang yang bahagia, yang tidak terlindas badai-badai zaman. Dengan bergantinya tahun, mari kita berbuat dan melakukan perubahan agar hidup bahagia dan lebih baik. Setidaknya berubah dari, yang asalnya tak sering berjamaah menjadi shalat berjamaah. Asalnya sering shalat di rumah beralih shalat berjamaah di masjid. Tadinya sering membentak anak, tahun baru ini mulai mengurangi bentaknya, bahkan kalau bisa langsung mengubahnya menjadi sosok yang arif dan bijaksana. Perubahan-perubahan akhlak dan mentalitaslah yang perlu diwujudkan di tahun baru ini. Jika hanya perubahan fisik dan aksesoris hidup, tahun baru hanya akan sekadar pergantian kalender saja tanpa ada makna atau dampak positif yang membuat hidup makin baik. Saya kira hal ini yang perlu kita renungkan di tahun baru 1430 Hijriah dan 2009 Masehi ini. Selamat merenung!
24-12-2008
[+/-] |
Titik |
Titik Temu Agama-agama
Oleh MUHAMMAD YUSUF WIBISONO
Keberadaan agama-agama di dunia seringkali menjadi topik pembahasan yang tak henti-hentinya dari masa ke masa. Terutama yang menyangkut agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen dan Islam, yang menurut sejarah Islam adalah dari satu keturunan yang sama yaitu dari Nabi Ibrahim, atau dikenal dengan ”Bapak para Nabi” (abul-anbiya’).
Ibrahim juga dijuluki “Bapak Orang Beriman” dalam tiga tradisi agama Yahudi, Kristen dan Islam, meskipun pada gilirannya konsep keimanan di antara tiga agama tersebut menjadi pemicu perbedaan yang berarti sampai saat ini.
Seperti yang disebutkan Al-Quran bahwa setiap kelompok manusia selalu didampingi oleh para rasul, meskipun hanya sebagian kecil saja yang dituturkan oleh Al-Quran dan Nabi Muhammad. Bahkan dalam satu riwayat tertentu, Nabi Muhammad menyatakan jumlah rasul itu ada tiga ratus lima belas orang. Tetapi yang banyak dikenal oleh umat Islam pada umumnya sebanyak dua lima rasul, mulai dari Nabi Adam (bapak umat manusia) sampai Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul (khatam al-anbiya wa al-mursalin). Nurcholis Madjid (1994) menuturkan, bahwa Al-Quran pun mengisahkan sebagian para rasul itu adalah pelanjut dari ajaran Taurat dan Injil (“Perjanjian Lama” dan “Perjanjian Baru”), dan semua berasal hanya dari kalangan bangsa-bangsa Semit di Timur Tengah.
Menurut keimanan Islam, bahwa sebagian besar para rasul itu merupakan keturunan Nabi Ya’qub yang digelari Israil (hamba Allah) yang kemudian mereka lebih dikenal dengan sebutan Bani Israil (keturunan Israil). Pernyataan ini juga diperkuat oleh Al-Quran dengan sebutan al-asbath (lihat QS.Al-Baqarah: 136 dan 140) yang terbagi ke dalam dua belas suku (QS.Al-A’raf:160), yang mengikuti jumlah anak Nabi Ya’qub yang berjumlah dua belas orang. Dalam sejarah Islam mengisahkan bahwa suku-suku Israil itulah yang selama ratusan tahun dijadikan budak dan selalu ditindas oleh Fir’aun sang penguasa Mesir, yang dikemudian hari dibebaskan oleh Nabi Musa dan sekaligus menjadi umatnya.
Masih menurut kisah Al-Quran, bahwa Nabi Ya’qub adalah putra Nabi Ishaq dan Nabi Ishaq adalah putra Nabi Ibrahim dari istri pertamanya, Sarah. Sedangkan dari istri kedua, Siti Hajar, Nabi Ibrahim mempunyai putra bernama Nabi Ismail yang kelak menurunkan Nabi Muhammad SAW. Jadi secara geneologi bahwa para rasul itu adalah masih satu keturunan yaitu Ibrahim. Untuk itu, secara primodial paham-paham keimanan ketiga agama itu (Yahudi, Kristen dan Islam) adalah bertolak dari “Millah Ibrahim” (Agama/ajaran Ibrahim). Artinya, ketiga agama itu, idealnya mempunyai konsep keimanan yang sama, meski pada tataran tradisi ritual (syari’ah) beraneka ragam sesuai dengan perbedaan ruang dan waktu.
Oleh karena itu, membicarakan ketiga agama, Yahudi, Kristen dan Islam dalam rangka mencari titik temu merupakan agenda utama yang perlu dikedepankan. Hal itu terkait dengan semakin meruncingnya perbedaan cara pandang teologis yang unjungnya merangsek pada konflik fisik berabad-abad lamanya. Untuk hal tertentu, peristiwa konflik bernuansa agama diperingati sebagai “tragedi kemanusiaan” yang sulit dicarikan penyelesainnya. Padahal, semua ajaran agama-agama besar itu menyerukan untuk menciptakan perdamaian di muka bumi dengan menjunjung tinggi semangat menebar kasih sayang di antara sesama manusia.
Secara sosiologis, pertemuan agama Yahudi, Kristen dan Islam sudah berlangsung sangat lama. Berbagai dialog sudah dan sedang dilakukan oleh mereka dalam rangka mencari persamaan dan perbedaannya, baik dari aspek tradisi ritualnya sampai pada tataran teologisnya. Dialog dalam konteks teologis pada dasarnya bukan hanya mencari perbedaan semata, tetapi hal itu akan menjadi basis etika hubungan kemanusiaan. Dalam arti, agama-agama apa saja dalam melangsungkan dialog tidak menjadi “tabu” ketika sekaligus mencari persamaan dan perbedaannya dalam tataran teologisnya, yang pada gilirannya menjadikan spirit “agree and dis-agreement” (kesafahaman dalam perbedaan). Hal ini juga sesuai dengan pernyataan filosof modern Hans Kung yang dikutip Nurcholis Madjid, “No peace among the nations without peace the religions; No peace among religions without dialog between the religions; No dialogue between religions without investigating the foundation of the religions”.
[+/-] |
Ibu |
Memperingati Hari (Kematian) Ibu
Oleh BADRU TAMAM MIFKA
Ritual Hari Ibu tanggal 22 Desember adalah kado ulang tahun yang sangat istimewa bagi para Ibu. Tapi masihkah istimewa ketika kemudian sang ibu hanya dianggap semacam ”mesin produksi” belaka? Di satu sisi kita rajin memperingati Hari Ibu, tetapi di sisi lain kita hirau dari bertambahnya angka kematian ibu akibat melahirkan. Kita tak peduli, betapa banyak Ibu di negeri ini tak mendapat hak untuk melanjutkan hidup setelah tugas melahirkan selesai ditunaikan. Sekali melahirkan, sudah itu mati…
Bangsa yang besar ini menuntut kaum perempuan untuk melahirkan generasi bangsa yang berkualitas, tetapi di sisi lain acapkali lalai memberikan jaminan yang layak bagi proses terciptanya generasi bangsa. Bangsa yang besar ini menuntut kaum ibu untuk memenuhi kewajibannya sebagai tulang punggung negara, tetapi di sisi lain tak memberikan hak-hak para ibu dengan baik. Bangsa yang besar ini rajin menggelar seminar di hotel-hotel berbintang dengan biaya besar tentang kondisi kaum perempuan, tak tanggung-tanggung honor pembicara memakan biaya jutaan rupiah, tetapi pedulikah mereka dengan nasib seorang ibu di sebuah desa yang meninggal karena tak mampu membiayai ongkos kelahiran anak yang hanya sebesar 350.000 rupiah?
Sungguh ironis. Problem kesejahteraan perempuan di negeri ini masih sangat memprihatinkan. Tidak terjaminnya kesejahteraan kaum perempuan berakibat pada buruknya kondisi kehidupannya. Rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi adala2__€tret buram hilangnya hak kaum perempuan mendapatkan kesejahteraan, termasuk hak mendapat pelayanan kesehatan ketika melahirkan. Di Indonesia, Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih sangat tinggi. Data statistik tahun 2002-2007 memperlihatkan AKI sebesar 307 kasus per 100.000 kelahiran. Artinya, setiap 1000 kasus kelahiran, minimal 3 orang Ibu meninggal akibat melahirkan. Jumlah ini sama dengan rata-rata 15000 orang ibu mati setiap tahun ketika melahirkan.
Penyebab utama kematian ibu adalah komplikasi berupa pendarahan setelah persalinan, keracunan kehamilan (eklamsia), penyakit penyerta, persalinan lama, dan abortus. Sedang kematian bayi umumnya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan, tetanus, gangguan perinatal dan diare. Semua itu terjadi karena akumulasi faktor penyebab tidak memadainya sarana dan pelayanan kesehatan, faktor ekonomi, sosial budaya dan peran serta masyarakat. Selain itu, ada faktor-faktor penyebab yang tak kalah krusial yaitu kurangnya pengetahuan tentang pentingnya kesehatan, masih rendahnya pemahaman pengarusutamaan gender, serta anggaran pemerintah yang minim untuk puskesmas dan posyandu sehingga dana untuk sarana dan prasarana serta penyuluhan di posyandu masih sangat minim.
Untuk yang disebut terakhir adalah faktor yang mesti segera diselesaikan oleh pemerintah. Masalah penyediaan pelayanan kesehatan khusus bagi ibu hamil dan melahirkan harus dijadikan prioritas kebijakan. Tentu saja, mengenai kebijakan pemerintah, ada hal yang paling mendasar yaitu bagaimana membangun paradigma pembuat kebijakan yang sensitif gender. Karena sebuah kebijakan akan sangat tergantung dari sejauhmana respon positif pemerintah terhadap isu-isu gender. Ketidakresponsifan pemerintah terhadap isu gender dapat kita lihat dari minimnya alokasi anggaran untuk dana kesehatan.
Di Jabar, misalnya, alokasi dana kesehatan dalam APBD selama 2003-2007 saja masih sangat minim, yakni Rp 2.200,00/orang (seharga dua strip obat sakit kepala) dari jumlah ideal Rp 243.783,00/orang. Sementara di tahun 2008, Rancangan APBD Kab. Bandung secara keseluruhan masih belum berpihak pada masyarakat. Sebesar 60-70% anggaran daerah dikonsumsi untuk belanja aparatur (belanja rutin), sisanya baru untuk belanja publik.
Tentu saja, dampak dari minimnya anggaran untuk kesehatan itu berkorelasi pada tingkat kematian ibu. Dalam catatan BPS tahun 2007 di perkirakan dari persalinan oleh nakes 53,4 % akan ada AKI 450 bumil/100.000 KH. Sedangkan menurut data Dinkes kabupaten Bandung tahun 2007 tercatat ada 46 kasus ibu melahirkan yang meninggal dan ada 115 bayi yang meninggal. Masih minimnya masyarakat kabupaten Bandung yang menggunakan tenaga kesehatan hanya 53,4 % masih jauh dari targetan MDG’S 85,3%. Berdasarkan kenyataan tersebut, AKI/AKB kabupaten Bandung menempati urutan tertinggi di jawa barat. Sungguh ”prestasi” yang menyedihkan.
Komitmen Pemerintah dan Pemberdayaan
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap orang yang pemenuhannya menjadi tanggungjawab bersama, baik individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Kesehatan adalah hak semua orang, seperti termaktub dalam UUD 1945 tahun 2000 pasal 28 h ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Dalam hal ini, penting sekali adanya komitmen pendanaan anggaran daerah bagi program kesehatan dalam rangka mencapai penurunan AKI/AKB. Pun perlu dikembangkannya intervensi program strategis yang sesuai dengan tantangan wilayah kabupaten Bandung, tepat sasaran dan tepat jumlah anggaran dan harus memenuhi program yang cost efektif. Selain itu, perbaikan tingkat pendidikan, ekonomi dan geografis akan menunjang penurunan kematian ibu dan bayi. Misalnya upaya-upaya perbaikan transportasi jalan di desa-desa terpencil, wajib belajar 9 tahun untuk laki-laki dan perempuan, kesetaraan gender dan juga upaya-upaya penundaan usia perkawinan (nikah dini).
Pemberdayaan perempuan pun harus dimulai sejak remaja. Perempuan remaja harus cerdas, pintar dan tepat dalam mengambil keputusan. Pendidikan ibu-ibu terutama yang ada di pedesaan mesti terus dikembangkan. Masih banyaknya ibu yang beranggapan bahwa kehamilan dan persalinan merupakan sesuatu yang alami yang berarti tidak memerlukan pemeriksaan dan perawatan, serta tanpa mereka sadari bahwa ibu hamil termasuk kelompok risiko tinggi. Ibu hamil memiliki risiko 50% dapat melahirkan dengan selamat dan 50% dapat mengakibatkan kematian.
Pun masih banyak masyarakat yang memandang kematian bayi dan ibu pada saat melahirkan dianggap suatu hal yang biasa. Atau tidak diutamakannya asupan gizi bagi ibu hamil; sebagian masyarakat malah mengutamakan bapak dibandingkan ibu, sebagai contoh dalam hal makanan, sang bapak didahulukan untuk mendapat makanan yang bergizi sedangkan bagian yang tertinggal diberikan kepada ibu, sehingga angka anemia pada ibu hamil cukup tinggi mencapai 40 %. Padahal pemberian ASI yang baik kepada bayi merupakan intervensi yang menentukan kesehatan bayi dan tidak dapat ditinggalkan. Hak bayi untuk menerima air susu ibu hendaknya terus dikampanyekan oleh semua elemen masyarakat.
Walhasil, keterlibatan semua pihak harus dioptimalkan dalam menekan AKI/ AKB, dari mulai bidan desa, masyarakat, peran aktif pemerintah desa sampai di tingkat pemegang kebijakan. Karena kesehatan ibu dan bayi adalah salah satu faktor utama bagi tumbuhnya generasi bangsa dan kehidupan keluarga di Indonesia yang lebih baik.[]