Stasiun
Oleh Fani Ahmad Fasani
Siang datang lebih cepat dari dugaanku, padahal jarak antara malam dan pagi kurasakan jauh saat ditempuh. Aku telah memutuskan untuk menjemput. Matahari menatap mataku lalu perih, aku membuang muka, dia tahu aku belum tidur sekejappun.
Sudah jam sebelas lebih empat puluh delapan. Mungkin kurang dari setengah jam lagi kereta itu datang. Sebaiknya aku segera duduk syahdu di ruang tunggu. Setelah nanti pengeras suara mengumandangkan kedatangan mahluk besi melata itu, aku baru ke tepi rel. Kali ini aku merindukan gemuruhnya dari jauh, seperti pertanda hujan yang lekas. Kemudian setelah decitnya mereda, para penjemput berdiri, kuli-kuli angkut, pedagang asongan dan tentunya penumpang selanjutnya menyiapkan langkah segera. Aku akan menikmati berada di tengah mereka, seperti kembali menyambut harapan menghampiri.
Harapan itu, ketika aku datang ke kota ini menumpang kereta. Sebelum pergi aku dibekali sebuah novel oleh kakakku, paling tidak buat melawan rasa bosan di perjalanan katanya. Saat kereta mulai berangkat aku membuka halaman pertama. Aku lupa siapa penulisnya, mungkin kisah tentang perjalanan hidup seorang transmigran atau tentang seorang mantan pelukis yang bekerja di pemakaman, aku tak yakin. Lebih lagi, novel itu menuntutku untuk membacanya dengan perlahan, sedang kalimat-kalimat dari para penumpang lebih memburu dan menyita pikiranku. Aku lebih teralih pada wajah-wajah mereka, sebagian kantuk atau obrolan akrab tentang banyak hal. Novel itu tak pernah selesai kubaca dan mungkin potongan karcis itu masih terselip di sana. Aku merasa perlu bersukur untuk tidak ingat dimana menyimpan buku itu, bisa jadi karena ceritanya atau tentang apa yang terselip di dalamnya.
Aku menemukan raut wajah antagonis dengan kemeja hitam panjang, rambutnya tersisir rapi, peranku kini seperti Da vinci memergoki Judas di tengah keramaian. Lelaki itu berjalan menggigit rokoknya di sudut kiri bibir, saat menyalakannya kepalanya miring dan keningnya sedikit terlipat. Dari rautnya aku bisa percaya bahwa ia punya garis darah Ken Arok. Ia akan berangkat ke suatu tempat dengan tujuan terlarang, sialnya, kereta akan setia mengantarnya untuk tujuan apapun, bahkan jika ia berangkat untuk membunuh seseorang atau memisahkan dua kekasih.
Ah, aku tak perlu melanjutkannya, mungkin sebentar lagi kereta itu datang. Ia akan turun dengan kaos biru pekat seperti yang sering dia kenakan dulu, memakai jeans ketat yang agak kumal dan rambut diikat sempurna. Saat itu juga aku akan lupa dengan wajah sinis Judas bin Arok itu dan takkan pernah bisa lagi melukiskan wajahnya di tembok atau dimanapun, raut cucu Shiwa itu semakin tak bernilai untuk kuhapal. Buat apa jika wajah peran utama yang kutunggu akhirnya tampak? Aku akan menepuk bahunya saat ia menghamparkan pandangan mencariku sambil memanggil namanya dengan akrab. Ia akan menjerit kaget, lalu mengalihkan tasnya ke tangan kiri dan menyalamiku tangan kanan tentunya. Atau lebih baik meletakkan tas itu di lantai demi memelukku. Ia akan masih tetap perempuan termanis atau bahkan lebih lagi setelah sekian lama. Ah, semoga kereta yang membawanya setia di jalurnya, di jadwalnya. Semoga nanti ia tak bertanya kenapa hari ini mataku tampak merah dan jam berapa aku tidur semalam. Kali ini siang menampakkan kemalasannya, tapi sebelas menit lagi, sebelas menit lagi kereta itu, jika ia masih beriman terhadap jadwal.
Dulu aku tak sempat mengantarnya, tak sempat kata perpisahan memperoleh waktu pengucapan yang semestinya atau sedramatis yang pernah kuangankan, meski sehari sebelumnya kami membahasnya.
“Aku tahu, selanjutnya kau akan lebih nyaman tanpa aku. Kau tak perlu memaksakan datang jika aku minta ditemani atau mendengarkan cerita-ceritaku yang membosankan”. Aku diam, terlalu takut mengiyakan kalimatnya, komentarku akan terlalu panjang dan bertele-tele.
“Besok kau berangkat jam berapa?”
“Ia akan menjemputku jam sebelas lewat”.
“Siapa?”
“Senna, aku dijemput Senna”. Ia menjawab dengan cepat, sepertinya ia memang menanti-nantikan pertanyaanku itu. Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya berjalan kedekat pintu dan hatiku berdebar, mengapa terlalu cepat dari yang kuduga. Ternyata ia menggapai stop kontak di pinggir pintu untuk menyalakan lampu ruangan.
“Gambarmu sudah kau selesaikan?” Tiba-tiba ia bertanya tentang itu, aku bahkan lupa, apakah aku sempat memberitahukannya tentang hal itu. Semoga dia tidak tahu apa yang sedang berusaha kugambar.
“Belum, sepertinya aku takkan pernah bisa menyelesaikannya”. Ia kemudian berjalan ke arah jendela, aku segera mengalihkan pandangan dari pundaknya saat kurasakan ada yang meluap dari dalam hatiku, sesuatu yang membuat jari-jariku bergetar. Jarum jam di atas dinding mengabarkan penghujung senja, sialnya jarum panjang itu mengarah padaku, aku merasa waktu tengah menudingku. Atau mungkin karena aku memang selalu berada dalam posisi yang tidak semestinya.
Mungkin kini ia sedang menatap ke luar jendela kereta, ke arah lembah dan sawah-sawah, atau perkampungan yang sesak menghampar. Atau ia juga sedang menerawang ke arah dua tahun tujuh bulan empat hari yang telah lewat. Ah, mungkin juga tidak, bahkan ia tak menyebut-nyebut hal itu dalam suratnya. Ia hanya mengisahkan kejadian-kejadian setelah itu, keputusannya untuk pindah dari pekerjaan, ia tidak bertanya kenapa waktu itu aku pergi begitu saja saat ia pamit untuk ke luar sebentar. Mungkin yang membuatku bersedia berada di sini karena dalam suratnya ia tak satupun menyebut nama Senna atau siapapun. Atau mungkin alasan lain yang mendorongku kesini, alasan yang setelah menyita beberapa malam terakhir masih juga menampakan keterjalannya.
Pengumuman di pengeras suara tiba-tiba mengutuk lamunan. Kereta itu kiranya menjelang. Aku beranjak dengan maksud tepi rel, kakiku seperti mengukir sesal untuk langkah-langkahku yang telah, tanganku berkeringat, mungkin karena tubuh ini menuntut tidur. Aku sampai di tepian dengan sempoyong, aku merasa orang-orang disekitar menaruh rasa curiga yang berlebih terhadapku, perasaanku mengatakan orang-orang di belakangku masih mengawasiku. Deru dari jauh yang mampu membuat nyaliku kecut, kereta meliuk saat rel membelok, menyeret ngilu di hatiku, ia semakin mendekat.
Kereta berhenti, pintunya terbuka dan para penumpang turun tergesa, semoga mereka tak memikirkan untuk meruntuhkan dinding kereta. Aku mundur menghindari arus manusia. Aku semakin mundur menjauh, berusaha tak mengijinkan pikiranku untuk bertanya mengapa kulakukan. Baiklah, ini jalan terbaik yang dapat kupikirkan. Karena kemungkinan lain adalah aku tak menemukannya di antara orang-orang yang lalu-lalang disini, ia tidak datang dan esoknya aku akan datang lagi ke stasiun, beberapa kali memeriksa surat yang ia kirim, berharap keliru membaca tanggal yang dijanjikan. Aku menunggu hingga senja, hingga kereta bosan mengantarkan sekian banyak orang dan tak satupun diantara mereka yang aku tunggu. Kemudian aku akan menyesal telah membakar foto itu, karena tak bisa memperlihatkannya pada orang-orang saat aku mencarinya.
Atau mungkin ia memang datang, dengan baju biru tua dan keramahan yang tak bisa kubalas dengan sisa umurku. Ia akan mampir ke tempatku sebentar, memintaku mengantarnya ke penginapan atau menemaninya makan malam. Setelah itu iapun harus kembali pergi dan menjalani segala sesuatunya sebiasanya. Sedangkan aku, kembali pada bayangan-bayangan yang terlalu nyata untuk tidak kuimani. Bagiku kemungkinan ini lebih mengerikan!
Sepertinya memang lebih baik aku pulang, semoga tanpa sesuatupun dihari ini sempat menorehkan kesan yang berlebihan di pikiranku. Di sepanjang perjalanan orang yang berpapasan mengandung kata ejek dan ‘mengapa’. Sepertinya aku memang harus memilih rasa bosan yang sebiasanya hanya miliku dan kamarku. Dan aku menuju kamar, tak ada sambutan ataupun rasa rindu, tapi kali ini sedikit haru tiba-tiba bergejolak ketika kupegang gagang pintu. Jangan-jangan aku menemukan sepucuk surat lagi di depan pintu, orang memasukan lewat sela dibawah pintuku. Jangan-jangan ini kesempatan kedua. Tak membutuhkan kiasan saat aku membuka pelan pintu kamar. Kali ini aku akan langsung tidur, yang tanpa mimpi atau rencana untuk bangun. Atau berharap tidak terjadi.
Kamarku masih muram seperti saat kutinggalkan. Namun kali ini aku mencium aroma parfum yang tak pernah kubeli atau kucita-citakan meski kadang kurindukan. Lebih lembut dari melati tapi semenawan sedap malam, apakah ini aroma dari jenis bunga jarang yang tumbuh di tempat tak sembarang? Mungkin juga ada campuran rempahnya. Semoga ini bukan bau cat yang masih basah.
“Aku menunggumu..”, Tiba-tiba kudengar suara pelan dan mengancam, seolah telingaku sendiri yang berbicara. Sesosok bayangan di pojokan, menatapku dengan pandangan rawan. Aku menyelidiknya kemudian ia tertunduk.
“Siapa kamu?” Tanyaku kesal.
“Tak perlu khawatir, aku hanya arwah..” Aku terkejut mendengar jawabannya, kemudian aku merasa geli karena kupikir, jika memang hantu kenapa tak nampak hanya di malam hari.
“Jadi kau orang yang mampus?” Kataku mengejek.
“Tidak, aku bukan orang seperti yang kau pikir, aku hanya lukisan yang disobek pembuatnya. Dan percuma kau menatapku teliti, yang akan kau lihat hanya wajah seseorang yang kau pikirkan. Bukan wajahku sendiri”.
“Apa maksudmu?”
“Ada sebagian orang yang mampu mengundang napas ke atas kanvas dengan tangan dan cintanya. Seperti yang selama ini kau percaya”.
“Haha.. tak mungkin, tak ada hal semacam itu. Yang perlu kau temui adalah mahluk dari jenismu yang memahami ilmu jiwa. Lagipula kenapa kamu sampai dirobek pembuatmu sendiri, kenakalan apa yang kau telah perbuat?”
“Ia merobeku sebelum merobek.. sudahlah..”
“Jadi kau arwah seorang pelukis?”
“Bukan, setelah ia meninggal aku belum bertemu dengannya. Ia pernah memberiku warna dengan darahnya sendiri, saat itu ia kehabisan warna merah”.
“Sekarang, apa yang kau inginkan dariku? Kau bukan dari jenis yang meminta bunga dan doa-doa kan?”. Jawabku menyindirnya.
“Aku ingin kau menggambar sesuatu, maksudku seseorang”.
“Hah.. dengan darah? Atau dengan kotoran di kuku?”. Aku terus berusaha membuatnya tersinggung.
“Tidak, kau harus menggambar sebiasanya”.
“Untuk apa? Lagipula aku telah berhenti dua tahun empat bulan yang lalu. Aku berhenti menggambar sesuatu, bahkan sketsa.”
“Tidak untuk apapun selain untukmu sendiri, dan aku akan sangat kecewa jika kau tidak melakukannya”. Ia berkata dengan nada datar namun mengandung ancaman, entah kenapa kalimat itu mengingatkanku pada seseorang, ia yang sangat tidak ingin kukecewakan namun aku tak berani menuntutnya demikian.
“Baiklah, akan kucoba. Mungkin aku masih punya beberapa kanvas dan cat”. Aku membuka kembali kotak yang selama ini tak kusentuh, mungkin aku akan membuat gambar sejelek mungkin upaya terakhirku menyatakan kekesalan. Masih ada kertas-kertas berisi sketsa dan selembar kanvas serta cat, beruntung aku belum sempat memusnahkannya, atau aku memang tidak berniat melakukan itu. Aku menyiapkan kanvas dan cat, lalu mendekatkan asbak agar tak jauh dariku, dan satu hal lagi; aku selalu mengoleskan sedikit balsem atau minyak angin pada telapak tanganku jika hendak menggambar. Aku tak tahu ini untuk apa, dan sejak kapan aku melakukannya. Alu menatap satu-satu sketsaku yang lalu, entah kenapa hadir perasaan bahwa terlalu banyak garis menagihku. Entah tentang apa. Tiba-tiba aku teringat rel kereta, aku membayangkan memberdirikannya dan kujadikan tangga entah kemana.
“Jangan terlalu banyak mengingat yang telah lalu”, aku terkejut seperti pertama kali menemukan perempuan itu di kamarku. “Kau harus segera melakukannya, kau harus melakukannya dengan suka cita”.
Balsem di tanganku sudah mulai terasa hangat, aku mengambil kertas untuk membuat sketsa atau sebentar membiasakan gerak tanganku. Menajamkan pensil dengan silet, ia berbalik menatapku. Garis diagonal membelah oval, aku kira itu tak seharusnya. Aku teringat jam dinding di ruang tunggu stasiun yang pelan berjalan, aku menatapnya tiap tujuh menit. Satu lingkaran kecil di pinggiran oval; aku melihat wajah gadis kecil melongok dari jendela kereta, mungkin ia duduk dipangkuan ayahnya yang mengantuk. Matanya seperti tak pernah rela meninggalkan stasiun, meski sekilas aku sepertinya bisa menebak apa saja yang sedang ia kenangkan, mungkin sepetak tanah di tepi mesjid dimana ia bermain tali pada sore hari. Kertasku belum menyajikan bentuk yang sungguh, mata pensil menyindirku. Aku merautnya kembali dengan kelelahan yang tak kumengerti. Tangan kananku bergetar menggerakkan silet, tangan kiriku memegang pensil dengan erat, urat-urat dilenganku kiriku hijau membayang.
“Kau belum membutuhkan warna merah”. Aku merasakan pundakku basah, seorang perempuan menepuk halus pundakku, mungkin tangannya berkeringat, atau itu benar-benar cat. Semoga memang pundakku saja yang memang basah. Mataku terasa perih, sepertinya aku benar-benar perlu tidur. []
Cileunyi, 21 September 2007
Jumat, 01 Februari 2008
[+/-] |
Stasiun |
[+/-] |
Ngeblog |
Blog Juga Hasil Karya Cipta; Menurut Anda Gimana?
Oleh Ibn Ghifarie
Di tengah-tengan akrabnya budaya ngeblog di pelbagai masyarakat Indonesia sekaligus ikut pula mengejar target 1 juta blogget di tahun 2008
Ayo ngeBlog! melalui penampilan baru juga tak mau ketinggalan dengan menyuarakan slogan ‘Ayo Capai 1 Juta Blogger di 2008′ muncul gejala tak lazim dikalangan para Blogger.
Betapak tidak, budaya copy-paste menjadi pemandangan wajar saat memperbarui blognya. Tak lain guna mengejar kampanye tersebut. Atau memang hanya iseng-iseng semata supaya terkesan rajin mengupdate rumahnya. Mengerikan memang?
Namun, apa mau dikata tradisi ini sudah kadung mendarah daging di seluruh rakyat Indonesia ini.
Kala, kebiasaan ini mewabah di para blogger. Sekonyong-konyong seorang kawan dekatku mempertanyakan gejala itu ‘Kira-kira blog termasuk kategori karya cipta bukan? mengawali obrolan senja di Sekretariat, Kamis (31/01).
‘Ya bagi saya dapat dikategorikan sebuah karya cipta. Asalkan dapat memuat hasil renungan, obrolan, bacaan, kegelisahan, kepenatan yang ditungkan dalam satu bentuk tulisan dan di tampilkan dalam blognya, jawabku.
Makanya saudah menjadi aturan bagi para Blogger. Meski tak ada sanki dan cacian dalam mengnyadur tulisan. ‘Pokoknya jangan asal copy-paste saja’, tegasku.
Selain itu, kalau bisa dalam mengutif satu karya orang lain. Tolong dikutip juga link sang empunya blog supaya tidak disebut plangi dan dapat dipertanggung jawabkan bila ada persoaln di kemudiahan hari, harapanku.
‘Kalau begitu caranya. Ngeblog juga termasuk hasil karya yang harus di hargai dong,’ ungkap temenku yang lainya.
Nah, kira-kira menurut rekan-rekan se-blogger gimana; termasuk karya cipta atau tidak? [Ibn Ghifarie]
Ayongeblog!!!
Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 31/01/08;13.25 dan Komputer Ngeheng, 31/o1/08;23.58 wib
Kamis, 31 Januari 2008
[+/-] |
Cinta |
Cinta Platonic Kaum Ojeg
Oleh Ifran Amalee
Seandainya cucu saya nanti membaca tulisan ini, diam-diam saya menunggu mereka berteriak, “Wow kisah cinta kakek gue amazing banget!” Nggak salah dong kalau ingin dikenang anak cucu?
Sebelum mereka membaca kisah cinta Putri Burdur dan Qamaruzzman, atau kisah roman tragis Romeo dan Juliet, dan sebelum mereka (dan ini yang lebih penting) diracuni gosip cinta segitiga para artis sinetron, kisah cinta kakeknyalah yang pertama harus mereka ketahui. Bener nggak? Gimana nggak, sedahsyat apa pun pengorbanan Romeo, nggak bakal ngaruh sama nasib anak cucu saya. Tapi, kisah cinta sang kakek dan nenek punya saham besar membentangkan cerita hidup mereka. Meskipun ini buat anak cucu saya, siapa pun kamu, boleh kok menyimaknya!
Tapi, sebelum memasuki episode kisah cinta yang dahysat itu, saya ingin bercerita tentang sebuah keluarga dengan tujuh orang lelaki dan seorang perempuan yang hidup di dalamnya. Tujuh orang lelaki itu adalah seorang bapak yang berprofesi sebagai guru SD dengan masa pengabdian lebih dari 30 tahun, dan enam orang anak, dengan usia berselang 2 hingga 3 tahun. Jika enam orang kakak beradik itu difoto berbanjar, dari yang paling bungsu hingga si sulung, maka akan terbentuklah konfigurasi anak tangga yang rapi. Dan laki-laki kurus kedua setelah si bungsu pada barisan itu adalah saya. Sedangkan satu-satunya perempuan di keluarga itu adalah seorang ibu yang stok kesabarannya nggak pernah devisit.
Perempuan yang menjadi kaum minoritas serta himpitan hidup yang begitu berat untuk dipikul seorang guru SD, menjadikan suasana di rumah begitu maskulin, keras. Kehidupan keluarga dijalani dengan kerja keras, anak-anak harus belajar dan menjadi pintar agar satu hari nanti mereka tidak terjebak lagi dalam siklus nasib pegawai negeri. Ayah saya menerapkan disiplin yang keras, tak ada kegiatan yang sah di rumah selain kegiatan agama dan belajar. Tanpa terasa atmosfir di rumah menjadi laki-laki bangeut. Dan belakangan saya sadari kondisi seperti itulah yang membentuk saya menjadi kaku, termasuk pada makhluk yang bernama perempuan.
Di lingkungan rumah, saya saqya cuma main sama anak lelaki. Meskipun di usia itu belum mengenal jender, tanpa disadari, pelan-pelan persepsi di kepala terbentuk bahwa perempuan adalah makhluk yang berbeda, bahkan asing, mungkin seperti alien. Ketika menginjak masa akhir SD, teman-teman sepermainan mulai berdandan rapi, mereka mengusir bau matahari dari tubuh mereka dan menggantinya dengan minyak wangi sinyonyong, mereka mulai bermain dengan anak-anak perempuan yang mulai berdandan pula, saat itulah saya merasakan bahwa pertemanan sudah dikhianati! Saya menuduh mereka sudah bersekutu dengan alien. Jika saat itu saya sudah mengenal Soe Hok Gie, mungkin saya bakal berteriak, “lebih baik diasingkan daripada jadi ABG!” Ketika anak-anak seusia saya berubah jadi don juan muda, saya memilih bersekutu dengan anak-anak kecil. Perasaan ditinggalkan saya usir dengan mengorganisir tim sepakbola anak-anak, membuat pistol-pistolan kayu dan mobil-mobilan dari bungkus rokok . Meskipun untuk semua itu, saya mendapat julukan “raja budak!”
Ketika karir masa ABG teman-teman saya makin meroket dengan masuk SMP, mereka mulai menulis surat cinta pada teman sekelasnya, sementara saya semakin jauh dari dunia perempuan. Saya masuk pesantren, sebuah sekolah asrama yang siswa laki-laki dan perempuan dipisahkan dengan sebuah benteng. Benteng itu memperkuat persepsi saya bahwa perempuan adalah makhluk yang berbeda. Hampir enam tahun hidup di pesantren itu, kami bisa melihat makhluk asing bernama perempuan hanya dalam beberapa kesempatan: pertemuan santri sebelum libur bulanan, olah raga (karen lapang sepakbola berada di tengah-tengah lokasi putra dan putri), dan di jalan yang melintas antara lokasi putri dengan pintu gerbang pesantren. Di luar itu kami hanya melihat perempuan di dunia luar ketika kami libur sehari setiap bulan (itu pun jika punya uang untuk pulang) atau ketika libur panjang. Sisanya selama tujuh hari seminggu, 12 bulan setahun, selama enam kali bumi mengelilingi matahari, kami hidup dengan kaum lelaki di sekolah asrama yang sempit acak-acakan. Eh, Asrama itu sebenarnya bisa rapi kalau ada lomba kebersihan antar asrama, itu pun cuma sebentar. Setelah juri melakukan penilaian, beberapa menit kemudian asrama kembali ancur abis, seperti rumah yang sudah dirazia datasemen88 karena dicurigai sebagai markas teroris.
Dua belas tahun hidup di tengah keluarga dengan 6 laki-laki dan cuma seorang perempuan, saya nggak pernah diberi pengetahun yang cukup tentang seluk beluk makhluk bernakma perampuan, dan nggak pernah diberi kuliah khusus tentang sebuah konsep gaib bernama CINTA. Hingga suatu hari di tahun kedua di pesantren saya saksikan teman-teman melakukan hal-hal konyol. Mereka menulis puisi dan surat dengan kata-kata indah, lalu memasukkannya ke dalam amplop wangi, dan menitipkannya pada emak-emak petugas dapur. Beberapa hari kemudian mereka menerima amplop serupa, lalu membukanya dengan hati-hati seperti seorang putra mahkota mendapatkan surat wasiat dari raja. Surat itu dibaca sendiri atau bergorombol di ranjang asrama. Tak lama berselang, si penerima surat menampakkan senyum kemenangan dan teman-teman lain memberikan selamat. Tapi kadang kejadiannya bisa berbeda, si penerima surat bermuka kusut mirip ekspresi santri yang weselnya telat, lalu teman-teman lain mencemoohnya sambil memperlihatkan lembaran surat itu kepada teman-teman lain. Di dalam surat itu ada kata yang membuat hati si penerima surat luluh lantak: DITOLAK!
Satu persatu teman saya bersekutu dengan alien. Dan saya tetap belum juga tahu mahluk gaib bernama CINTA. Waktu itu belum ada penyeranta atau telepon genggam. Semua laluintas persuratan dan ucapan salam mengalir deras dari putri ke putra dan sebaliknya melalui kurir ilegal: para emak dapur yang bekerja di teritori perbatasan. Meskipun saya nggak pernah menggunakan jasa kurir itu, tetapi saya pernah juga sih merasakan jasanya, beberapa salam dan surat pernah saya terima, meskipun saya nggak tahu apa artinya. Saya lebih senang bersekutu dengan teman-teman yang sealiran.
Sikap dan pandangan terhadap makhluk asing bernama perempuan membaut teman-teman sekelas terpecah menjadi dua partai. Partai petama adalah teman-teman yang say aceritakan tadi, yaitu kelompok anak-anak ingusan yang ganjen dengan menulis surat cinta dan menjalin hubungan backstreet dengan santri putri. Partai kedua adalah orang yang tetap istqamah memegang khittah (kayak ormas aja). Kelompok pertama kami sebut kaum “buayawan” (pelesetan dan budayawan) yang diambil dari kata buaya, nggak tahu kenapa buaya selalu difitnah identik sama sifat ke-playboy-an. Untuk mengenali kaum buayan, nggak terlalu susah. Tampilan mereka keren, necis, di lemarinya biasanya selalu tersedia sisir, kaca, minyak rambut Urang-aring atau Lavender, deodoran serbuk BB Harum Sari, serta stok kertas plus amplop surat wangi. Anggota kelompok ini terdiri dari laki-laki berwajah di atas rata-rata, kalaupun ada anggotanya yang berwajah minus, biasanya mereka mengandalkan rasa pede dalam takaran overdosis.
Kelompok kedua menamakan diri OJeG akronim dari “Organisasi Jomblo Ganteng”. Eh, kata ganteng di sini sama sekali nggak menunjukkan realitas sebenarnya. Ini cuma pembelaan: ingin mengungkapkan bahwa kejombloan anggota kelompok ini bukan karena mereka jelek dan nggak laku. Biasanya anggota kelompok ini terdiri dari orang orang yang memang nggak mau pacaran, karena itu melanggar aturan pesatren. Ada juga anggota yagn memang pengecut, nggak punya cukup keberanian untuk memanifestasikan cintnaya. Tapi ada juga sih yang merupakan mantan buayawan terekstradisi gara-gara mereka diputuskan atau ditolak santri putri. Dan orang-orang yang berada di area abu-abu, yang nggak punya sikap, secara otoamatis kami klaim sebagai anggota partai ini. Tentu saja kamu bisa menebak kalau saya ada di organisasi ini. Bahkan lebih dari itu, saya adalah pejabat teras di organisasi ini. Bersama seorang teman bernama Elpi (meskipun namnya Elpi, dia laki-laki tulen, nama itu diberikan ayahnya, karena dia lahir waktu ayahnya ikut seminar Lembaga Penelitian Indonesa yang disingkat eLPI). Bersama dialah saya mrumuskan platform dan filosofi organisasi ini. Percaya nggak, platform itu tetap kami anut hingga bertahun-tahun kemudian, bahkan ketika saya sudah menikah, Elpi tetap menjomblo.
Tapi jangan salah sangka, meskipun OJeG ini kumpulan orang jomblo, bukan berarti isinya laki-laki nggak normal, kita teteup punya rasa punya hati (kayak rocker). Kami punya konsep cinta sendiri, cinta platonik: cinta rahasia yang hanya disimpan dalam hati dan tak perlu dimanifestasikan dengan cara yang tolol seperti kaum buayawan. Kalau nggak salah, konsep ini ditemukan tidak sengaja ketika kami membaca tulisan Faisal Baraas di kolom Beranda Rumah Kita HU Republika sekitar tahun 1993. Fasial Baraas menulis sebuah cerpen yang indah, kisah cinta yang tak diungkapkan antar dua orang mahasiswa kedokteran. Mereka memnjalin persahabatan dan memendam rasa cinta tanpa mengunkapkannya hingga 6 tahu lamanya. Ketika mereka diwisuda bersama, si lelaki langsung melamarnya, dan cerita pun berakhir happy ending. Pelajaran cinta yang amazing banget buat sekte kami: bahwa cinta tak usah dungkapkan, biar cinta memancar sendiri membentuk tali gaib yang mengikat kesetiaan dalam waktu yang lama.
Menanggapi tulisan itu, kaum buayawan meragukan cerita itu dengan mengatakan, “Bagaimana kalau kita belum sempat mengungkapkannya, orang lain lebih dulu mengungkapkan cintanya. Akhirnya orang yang kita cintai direbut orang?”. Kami hanya menjawab dengan sebuah mitologi Yunani yang juga menjadi filosofi OJeG: bahwa manusia itu dulunya punya dua kepala, dua badan, empat tangan dan empat kaki, tapi cuma punya satu hati. Lalu tuhan memisahkan mereka, yang satu jadi laki-laki yang satu perempuan. Mereka punya badan yang utuh, tapi hatinya cuma sepotong! Ketika kita hidup di dunia sebetulnya di suatu tempat (yang tak pernah kit aketahui) ada seorang perempuan yang dulunya belahan jiwa kita. Satu sama lain akan saling mencari. Jangan takut ketuker, kita akan bertemu dengan pasangan jiwa kita (suatu hari nanti). Saya percaya betul mitologi itu. Kepercayaan itu ternyta terbukti beberapa tahun kemudian.
Filososfi partai OJeG semakin kuat ketika kiayi kami mengungkapkan sebuah resep yang tak pernah saya lupakan. Oh iya, jangan bayangkan kiayi kami sebagai orang berjubah putih seperti pangeran diponegoro. Dia itu laki-laki tua bertopi koboy. Kami tidak menyebutnya “Kiayi” tau “Buya”, kami menyebutnya “Babeh”. Menurut saya, dialah orang dengan pendirian paling kuat yang pernah saya tahu. Demi mempertahankan prinsipnya itu dia rela melepaskan jabatan anggota dewan dan memilih membuat pesantren di pinggir kota Garut. Tapi keyakinanya yang kuat itu juga yang membuat pesantren ini menjadi satu dari sedikit pesantren Muhamadiyah yang diperhitungkan dan masih survive hingga sekarang. Setiap akan libur bulanan, sebelum kami pulang ke rumah, biasanya Babeh akan menyampaikan pengumuman seputar kenaikan iuran, peraturan pesatren dan sedikit wejangan. Saya nggak pernah ingat pasti apa yang dia sampaikan selain sebuah kalimat yang berbunyi, “Mun naksir santriwati, tulis we ngarana di kertas, terus sakuan.” Artinya kira-kira begini, kalau kita ngeceng sama cewek, cukup tulis saja namanya, terus kita simpan tulisan itu di saku. Ucapan itu mungkin cuma kekesalan Babeh sama santri sejenis kaum buayawan yang akhir-akhir ini makin ganas melakukan manuver, sering tersiar kabar santri dan satriwati meeting di kota ketika liburan. Babeh menyarankan agar santri nggak usah dulu pacaran, deh. Kalau ngeceng boleh, nggak lebih dari itu. Tapi buat saya, ucapan Babeh itu menjadi kata bertuah buat kaum OJeG. Saya nggak ingat betul kenapa saya terdorong saya melakukan saran Babeh dalam arti sesungguhnya. Dan saya nggak sadar bahwa apa yang saya lakukan menjadi titik awal karir cinta platonik saya.
Libur bulanan bagi kami seperti oasis bagi musafir padang pasir yang nggak nemu air selama 30 hari. Kami berkesempatan pulang ke rumah orangtua. Orang-orang Garut pulang dijemput atau naik angkutan kota, orang-orang Jakarta biasanya ikut orang Garut untuk perbaikan gizi atau tetap tinggal di asrama. Orang Bandung biasanya mengorganisir acara pulang bersama dengan mencarter bis MIOS. Nama-nama santri putra dan putri yang akan ikut pulang bersama dicatat dalam selembar kertas. Bagi siapa pun catatan itu tidak lebih dari kertas biasa, yang suatu hari bakal mampir di warung Bi Icah dan menjadi bungkus bala-bala. Tapi bagi saya, kertas itu menjad kertas terpenting dalam sejarah hidup saya. Di kertas daftar nama itu saya menemukan sebuah nama paling indah. Saya lipat kertas itu hingga menjadi lipatan yang sangat kecil dan hanya tersisa sebuah nama, “Mila Aparilia Zakiah”. Lipatan kertas itu saya simpan di saku dompet saya yang dilapisi plastik transparan, hingga setiap saya membuka dompet itu, nama itu selalu mengambil perhatian pertama.
To tell the truth, melihat wajahnya Cuma 3 kali. Pertama, ketika dia naik podium menerima anugerah sebagai anggota IRM (OSIS) teladan. Melihatnya for the first time, saya de javu, seperti melihat bayangan wajah sendiri di air yang sedang beriak kecil. Belakangan banyak teman yang mengatakan bahwa wajah kami mirip. Dan itulah yang membuat saya makin yakin, bahwa kami adalah sepasang manusia yang dulu tuhan pisahkan. Oh iya, satu teori yang juga menjadi keyakinan kaum OJeG adalah bahwa sepasang jodoh pastilah memilki wajah yang mirip.
Pertemuan kedua terjadi pada sebuah pelatihan kepemimpinan. Sebagai panitia saya bisa mengamatinya dalam jarak yang cukup aman. Saya melihat wajahnya dalam jarak yang cukup dekat, dan dapat menangkap wajah seorang perempuan yang sepertinya selalu ingin menangis. Pertemuan terakhir terjadi ketika dia memutuskan untuk keluar dari pesantren dan melanjutkan ke SMA 8 Bandung. Waktu itu saya nggak sempat lihat wajahnya. Dari kejauhan dia berpamitan kepada teman-temannya dengan membawa semua peralatan, layaknya orang pindah rumah. Tiba-tiba saja saya merasakan kehilangan seseuatu, meskipun tidak pernah memiliknya. Seandainya ada pohon dan hujan turun, kayaknya saya bakal berubah jadi Sakhru Khan yang menari mengelilingi pohon sambil bernyanyi di bahwa guryuran hujan. Melolong sejadi-jadinya …
Tapi saya masih loyal pada khittah korps OjeG, saya masih yakin pada kebenaran cerpen Faisal Baraas, saya juga yakin pada resep cinta platonik Babeh. Lipatan kertas dengan sebuah nama masih tersimpan rapi di dompet dan terus bertahan hingga empat tahun berikutnya. Saya tak gentar walaupun sejumlah kabar burung mengatakan bahwa dua orang kakak kelas saya menjadi rival memperebutkannya. Tapi saya tak pernah merasa bersaing dengan siapa pun, sebab dia adalah mansua dengan hati sepotong, dan sepotongnya ada di dada ini. Wajah saya lebih mirip dibanding dengan orang-orang yang mengaku sebagai pesaing. Soal persaingan ini banyak hal yang agak konyol terjadi.
Sebagai komunitas yang terdiri dari sekitar 400 orang santri laki-laki yang hidup di sebuah komplek asrama, kami selalu berkumpul setiap acara makan. Ketika itulah saya sering berpapasan dengan kakak kelas yang disebut-sebuat sebagai saingan. Dan saat ituah teman-teman kami memanas-manasi, seperti serombongan suporter yang sedang mengarak jagoannya memasuki ring tinju. Bahkan satu ketika saya pernah diseret dari asrama menjuju lapang pingpong. Saya baru sadar maksudnya setelah melihat seseorang yang berdiri di seberang meja dengan bet di tangan, tatapannya seolah berkata, “ayo kita buktikan siapa yang berhak mendapakatan perempuan yang kita perebutkan!”
Saya percaya intuisi dan imajinasi lebih canggih daripada pengetahuan logis, sebelum saya tahu bhwa Enstein mengatakan hal serupa. Intuisi saya mengatakan bahwa tuhan sudah menuliskan skenario kisah cinta saya, sperti seorang programer komputer menliskan kode-kode HTML untuk programnya. Meskipun tersiar kabar bahwa permpuan yang namanya tertulis pada kertas di dompet itu sempat hilang dari radar saya, beberapa musim lamanya. Saya percaya dia perempuan yang akan duduk di sisi saya ketika sang penghulu membimbing membacakan kalimat akad. Ternyata intusi itu seperti anjing, selama kita mempercayainya, dia akan mengabdi pada tuannya. Tidak pernah berkhianat. Kalau kamu nggak percaya, datanglah ke rumah saya, kamu pasti disambut seorang perempuan bernama Mila Arilia Zakiah yang sekarang Ibu dari Kafa Billahi Kafila, putri kami: Bukti nyata hasil cinta platonik yang diyakini. Edan teu?
[+/-] |
|
Obsesi Google di Ranah Nirkabel
Diposting Oleh Pengelola
Bukan GPhone yang selama ini diisu-isukan banyak orang, Google Inc malah meluncurkan Android. Sepanjang satu tahun terakhir ini media dan pemerhati industri telepon bergerak disibukkan akan kemungkinan terjunnya perusahaan mesin pencari Google Inc ke bisnis telekomunikasi seluler.
Rumor yang berkembang adalah lahirnya Google Phone (GPhone) sebuah telepon genggam yang tengah dikembangkan penguasa internet tersebut beserta 33 perusahaan teknologi informasi lainnya.
Hadirnya perangkat telekomunikasi bergerak tersebut tentu saja membuat khawatir sejumlah perusahaan produsen ponsel, operator telekomunikasi serta perusahaan terkait lainnya termasuk pengembang sistem operasi ponsel seperti Symbian, Palm maupun Windows Mobile. Selain “brand image” Google yang sudah cukup kuat, spekulasi yang berkembang adalah diadopsinya teknologi VoIP (Voice over Internet protocol) kedalam GPhone beserta platform yang dikembangkannya sendiri. Alasan tersebut sangatlah beralasan karena dengan terintegrasinya VoIP pada GPhone menelpon tidak perlu lagi menggunakan pulsa tapi cukup menggunakan Google Talk yang telah disediakan pada akun Gmail.
Awal bulan ini tepatnya 5 November 2007, kasak-kusuk tersebut akhirnya terpatahkan dengan hadirnya Android yang dikembangkan OHA (Open Handset Alliance) sebuah konsorsium yang salahsatu anggotanya adalah Google Inc. Konsorsium yang dimotori perusahaan penguasa internet tersebut beranggotakan 34 perusahaan yang terdiri dari perusahaan software, semikonduktor, internet, telepon genggam juga operator telekomunikasi seluler dari berbagai negara. Sedangkan Android sendiri ternyata bukanlah sebuah perangkat telepon bergerak yang didesas-desuskan selama ini. Lalu apakah Android?.
Android merupakan sebuah sistem operasi yang berjalan untuk telepon seluler seperti halnya Symbian, Palm dan Windows Mobile yang kita kenal selama ini. Android yang merupakan perangkat lunak berbasis Java dengan sistem operasi Linux dan berada dibawah lisensi Apache V2 merupakan sistem operasi open source (terbuka) sehingga tiap orang berhak mengembangkannya. OHA saat peluncuran Android menjelaskan dimasa mendatang ponsel akan mempunyai kemampuan layaknya PC, bahkan lebih. Misalnya membangun jaringan sosial maupun mengelola blog akan lebih mudah jika menggunakan ponsel. Maksudnya ketika kita merekam kejadian bintang jatuh maka seketika itu juga dapat mempostingnya ke blog kita di internet. Android juga dapat membawa pengguna telepon genggam menjelajahi kawasan yang diinginkan melalui teknologi Sistem Pemetaan Global (GPS).
Intinya dengan Android ini Google ingin mendorong fungsi komputer pada telepon genggam yang ujung-ujungnya untuk melancarkan bisnisnya di ranah nirkabel. Pertanyaannya, apakah ponsel yang kita pakai selama ini bisa juga digunakan untuk Android? Sayang sekali jawabannya tidak. Artinya kita harus membeli handset baru untuk dapat menikmati Android. Diperkirakan Google akan bekerjasama dengan sejumlah produsen telepon genggam untuk pengadaan perangkat yang akan digunakan pada Android.
Lantas apa yang membuat Google memasuki bisnis ini? Alasannya mudah ditebak, uang. Semakin tingginya pengguna ponsel dan belanja iklan menggunakan perangkat bergerak membuat Google bermanuver ke bisnis yang belum pernah dijamahnya tersebut. Diperkirakan tahun 2012 nanti belanja iklan menggunakan telepon seluler akan mencapai US$ 11 miliar dimana Google akan meraup sekitar US$10 milyar dari “link text” yang dikawinkannya dengan telpon genggam. Saat ini saja ponsel sudah dapat digunakan untuk membaca berita, membuka dan mengirim email, bahkan memposting gambar maupun video ke halaman web. Dengan semakin meluasnya akses internet melalui ponsel maka Google pun akan meraup banyak uang dengan mengintegrasikan mesin pencarinya pada ponsel.
Meskipun telah dikenalkan kepada masyarakat awal bulan ini, Android diperkirakan baru akan mulai dipasarkan pada kuartal kedua tahun 2008 nanti. Berarti ada waktu sekitar setengah tahun bagi pengembang sistem operasi ponsel lainnya untuk menyiapkan diri guna menghadang serangan Android.
[+/-] |
Gibson |
Ahmad Gibson Al-Busthamie merupakan Dosen pengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung.
Kini, menjabat sebagai Kepala Pusat Informasi dan Komputer (PusInfoKomp) UIN SGD Bandung.
[+/-] |
Vandal |
Sajak Tedi Taufiqrahman
Sajak Belajar Vandal
Ada agama sedang menangis di pojok rumah
Menjerit melihat para penganut mencacah
Ajaran doktrin dan dogma dengan pongah
Ada agama sedang melamun melihat
Nasib bangsa yang dipenuhi dengan para pengkhianat
Penjilat mengerat ayat-ayat suci dengan lahap
Ada agama sedang melayang-layang mengabut di langit
Ada agama sedang meringkuk di balik jeruji
Penjara habis dihantam dibekuk dipukuli
Oleh para aparat tentara dan polisi
Agama tak punya lagi identitas
Tak memiliki wajah
Bisa dijual belikan hanya untuk segunduk uang kertas
Menjadi mantra sumpah serapah
Mengusir hantu dedemit kuntilanak beserta keturunannya
Agama bisa ditemukan di mall swalayan bahkan di pelacuran
Menjadi bahan legitimasi segala hal
Mengobral fatwa halal haram
Dari makanan, kondom sampai dildo
Mengumbar nafsu dan libido
Kekuasaan ketamakan
[+/-] |
Dhipa |
Dhipa Galuh Purba, lahir di Ciamis, 25 September 1977. Menuntaskan nyuprih pangarti di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Jurusan Jurnalistik. Menulis sajak, cerpen, roman, artikel, drama, skenario, dalam bahasa Sunda dan Indonesia.
Skenario FTV "Bisikan Gunung kemukus" (ditayangkan di TPI) menuai protes dari beberapa kalangan, tetapi tidak terlalu mencuat. Sedangkan naskah drama Sunda "BADOG" terpilih sebagai Juara III Saembara Menulis Drama Tingkat Nusantara, Tahun 2007, dan menjadi salahsatu naskah pilihan dalam Festival Drama Basa
Sunda X Tingkat Nusantara, Tahun 2008.
Selengkapnya lihat profilnya
Rabu, 30 Januari 2008
[+/-] |
Ngembara |
Mengembara Bersama Sangkuriang
Oleh Ahmad Gibson Al-Bustamien
Sangkuriang ! Sing wayahna, Cape gawe teu kapake, Oleng panganten teu tulus, Lalayaran dibedokeun, Tuh, balebat geus marakbak, Ciri wanci enggeus beurang, Andika nya kabeurangan.
Siklus kehidupan manusia yang digambarkan dalam mitologi, seperti halnya dalam jendre cerita rakyat lainnya, mengandung pesan tertentu. Pesan tentang intisari dan pencapaian kualitas kehidupan serta tingkat spiritualitas seorang individu. Mitologi yang dalam masyarakat Sunda lebih dikenal dengan sasakala merupakan cara nenek moyang masyarakat Sunda mewariskan kearifan tentang intisari kehidupan dan cara menjalaninya.
Terdapat banyak sekali sasakala atau mitologi yang dikenal dalam masyarakat Sunda, di antaranya Sasakala Tangkubanparahu yang memunculkan tokoh Sangkuriang. cerita yang mengisahkan perjalanan kehidupan seorang anak manusia untuk mencapai tingkat kehidupan spiritual yang tinggi. Sangkuriang merupakan salah satu tokoh yang paling banyak melahirkan pandangan stereotif dari siapa pun termasuk masyarakat Sunda sendiri.
Sangkuriang merupakan salah seorang tokoh yang paling ganjil di antara tokoh-tokoh mitologi yang dikenal dalam mitologi Sunda. Ia terlahir dari seorang perempuan (Dayang Sumbi) yang terlahir dari rahim seekor babi hutan. Lebih dari itu, ia pun (Sangkuriang) berbapakkan seekor anjing (Si Tumang) yang dibunuhnya pula. Sangkuriang pada akhirnya mati (menurut salah satu versi) dengan jalan bunuh diri mengikuti jejak ibunya yang dicintainya yang hendak dikawininya.
Dalam perspektif umum masyarakat Sunda, Sasakala Tangkubanparahu lebih dilihat sebagai gambaran tragedi kehidupan manusia. Ambiguitas kehidupan manusia yang berada dalam cengkraman hukuman Tuhan. Hukuman atas perilaku seorang raja yang melanggar etika kehidupan karena membuang hajat disembarang tempat: buang air ke dalam batok kelapa yang pada akhirnya diminum oleh seekor babi betina. Dosa yang kemudian harus pula ditanggung oleh anak cucunya.
Sasakala Tangkubanparahu merupakan salah satu contoh mitologi yang pesan kearifan tradisinya gagal dicerna oleh masyarakatnya. Mitologi ini pada akhirnya hanya mampu menceritakan asal mula kelahiran sebuah gunung dan cekungan Bandung, dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan manusia kecuali tentang perjalanan kehidupan seorang anak manusia yang durhaka pada orang tuanya. Tampak bahwa, pesan-pesan sasakala ini sedemikian naifnya dibandingakan dengan dinamika perjalanan kehidupan yang dijalani oleh manusia Sangkuriang.
**
KEARIFAN tradisi masyarakat Sunda buhun, seperti halnya kearifan tradisi masyarakat lainnya, memiliki sejumlah kemungkinan penafsiran. Seperti mengupas bawang, yang apabila kulitnya dikupas, kita akan menemukan kulit-kulit lainnya. Dan, apabila terus menerus kita kupas, kita akan sampai pada ruang kosong.
Bagi Sangkuriang, sang tokoh spiritualis, kehidupan merupakan misteri yang harus terus menerus diungkap. Karena, kehidupan bagi manusia Sangkuriang merupakan anugrah yang paling berharga. Misteri yang nilainya bukan terletak pada capaiannya dalam kehidupan, melainkan pada proses menjalaninya.
Pase pertama kehidupan yang mesti dijalani oleh Sangkuriang dalam memungut inti kehidupan untuk menjadi manusia sejati adalah apa yang diajarkan bapaknya untuk berburu. Berburu, adalah satu pola kehidupan yang paling paradoks dalam kehidupan. Satu sisi sang pemburu harus dekat dan akrab dengan alam. Dan di sisi lain, sang pemburu harus menjadi "pemangsa", mengontrol dan mengendalikan kehidupan yang lain, dan secara bersamaan mengontrol kehidupannya sendiri.
Sangkuriang mendapat seorang guru terbaiknya dalam berburu, bapaknya. Oleh karena itu sang bapak ini digambarkan sebagai seekor anjing. Ketika Sangkuriang dan bapaknya gagal dalam berburu itu menjadi tanda bahwa proses berguru kepada sang bapak telah selesai. Sangkuriang harus menemukan ilmu yang lebih tinggi lagi, karena ilmu berburu yang ia dapatkan dari bapaknya tidak lagi mencukupi. Untuk itu Sangkuriang harus melepaskan diri dari "ikatannya" dengan sang bapak. Dalam Sasakala Sangkubanparahu, digambarkan dalam proses pembunuhan: yakni ketika Sangkuriang membunuh bapaknya. Jantung sang bapak diberikan kepada ibunya sebagai tanda bahwa pelajaran dari bapaknya telah selesai, dan mereka memakannya bersama-sama. Intinya, bapak (disimbolkan dengan jantung) disatukan dalam dirinya dan menjadi unsur integral dalam darah yang mengalir dalam diri Sangkuriang. Dengan demikian, hubungan ayah-anak dalam kesadaran Sangkuriang tidak lagi sekadar hubungan biasa, melainkan hubungan yang bersifat kekal, mengalir dalam dirinya, Sangkuriang adalah Si Tumang, dan Si Tumang adalah bapak. Dengan demikian, "pembunuhan" merupakan "simbol" dari "simbol" prosesi penyatuan.
Tidak lama setelah Sangkuriang melepaskan diri dari asuhan bapaknya, ia pun pergi mengembara dan melepaskan diri dari asuhan ibunya. Dalam versi sasakala, Sangkuriang diusir ibunya karena telah membunuh ayahnya. Versi cerita tersebut bisa ditafsirkan bahwa lepasnya asuhan ayah atas anak, menjadi momentum untuk melepaskan ikatan dari ibunya. Sebelum kepergiannya, Dayang Sumbi (Sang Ibu) memberikan "tanda" di kepala Sangkuriang. Tanda yang diberikan melalui prosesi: "pukulan centong nasi" di kepala Sangkuring. Centong merupakan simbol dari masa dan media asuh Sangkuriang oleh ibunya. Bekas pukulan, menjadi tanda dan sekaligus "jalan hidup" yang menjadi awal dan sekaligus akhir (paradoks ruang-waktu, keabadian).
Pengembaraan Sangkuriang digambarkan dalam sejumlah upaya "penaklukan". Penaklukan dunia langit, dunia bawah bumi, lautan dan daratan. Dunia riil dan dunia kasat mata. Semua arah dan dunia dipusatkan dalam dirinya, untuk membangun diri yang "masagi": diri yang merangkum seluruh arah mata angin dan seluruh sudut realitas, dalam waktu yang bersamaan seluruh arah dan seluruh sudut realitas adalah Sangkuriang. Diri adalah pusat segalanya, dan segalanya adalah diri.
Setelah semuanya dapat ia kuasai, Sangkuriang sampai pada pase terakhir dari pengembaraannya, yaitu menemukan kembaran dirinya: awal dan akhir dirinya. Untuk mencapai kesempurnaan diri sebagai diri yang benar-benar masagi, Sangkuriang harus menemukan pusat diri (pancering diri) sehingga membentuk apa yang orang Sunda sebut sebagai papat kalima pancer.
Dalam pencarian akhir ini Sangkuriang menemukan seorang perempuan. Dengan perspektif awal, Sangkuriang berusaha "menyatu" dengan kembaran dirinya dengan cara menguasainya, sebagaimana ia menguasa dunia dan realitas lainnya.
Sementara itu Dayang Sumbi, perempuan itu, tidak pernah bisa ia kuasai, karena memang bukan untuk dikuasai. Karena menemukan jejak keabadian di kepala Sangkuriang, Dayang Sumbi akhirnya tahu bahwa laki-laki yang dihadapinya bukanlah laki-laki sembarangan. Laki-laki yang telah memiliki tingkat pengetahuan yang sangat tinggi yang sedang menapaki makom akhir dari perjalanan spiritualnya. Namun, karena masih terdapat kecenderungan untuk menguasai yang merasuk dalam diri Sangkuriang, Dayang Sumbi itu mengajukan dua hal yang harus dilakukan oleh Sangkuriang untuk menyempurnakan prosesi penyatuan, prosesi yang menjadi pintu masuk makom akhir perjalanan spiritual. Laku yang harus dilakukannya di malam hari dan hanya dalam satu malam, serta harus selesai sebelum keluar balebat, pertanda hari menjelang siang. Yaitu, ngabendung Sang Hyang Tikoro untuk membuat "talaga", dan membuat sebuah perahu untuk melakukan prosesi pengantenan, menyatukan kembara diri.
Malam adalah ruang-waktu primordial yang menyatukan kesucian bumi-langit (feminimitas-maskulinitas), dan siang adalah waktu dunia. Balebat adalah waktu antara yang ada dalam imaji manusia. cahaya yang terlahir dari batas kemampuan manusia untuk menerobos batas-batas pandang untuk menangkap cahaya sejati, kebenaran hakiki. Sanghiyang Tikoro adalah pintu yang membatasi antara nafsu, ego, dengan kearifan batini. Dan perahu adalah kendaraan kehidupan yang memberi kemungkinan kepada manusia untuk berlayar dalam kehidupan sehingga terhindar dari kemungkinan untuk tenggelam dalam "sagara" kehidupan yang penuh dengan penderitaan dan tipuan.
Masih dengan perspektif awal, persyaratan dari Dayang Sumbi (sang perempuan) dimaknai dalam lapis permukaan. Yang Sangkuriang lakukan bukan seperti apa yang Dayang Sumbi maksudkan. Sebagai manusia yang telah berhasil menangkap pelajaran dari pengalaman dunia nyata, ia hanya mampu mengupas kulit pertama dari kulit bawang
kehidupan. Untuk mengupas kulit yang lebih dalam matanya menjadi pedih dan pandangan menjadi buram bahkan tidak lagi bisa melihat.
Dengan seluruh "kesaktian" dan pengetahuannya Sangkuriang membendung Sungai Citarum dan membuat sebuah perahu, dalam satu malam. Namun atas jerih payahnya, Dayang sumbi berujar : Aeh-aeh, naha silo Kabobodo ku panenjo.
Untuk menyempurnakan perjalanan dalam menemukan diri yang sejati, manusia Sangkuriang (Sang Kuring, Si Aku) harus menemukan kembaran diri yang menghubungkan antara masa lalu, masa kini dan masa depannya: menegaskan tanda di kepala yang menjadi penunjuk arah jalan kehidupan, meyempurnakan lingkaran primordial dalam dirinya. Dan, untuk itu ia harus membendung Sang Hyang Tikoro dan membangun sebuah perahu untuk berlayar menuju Asal Diri Nu Sajati. Bukan dengan menguasai sesuatu yang ada di luar dirinya, akan tetapi "menguasai" apa yang ada dalam dirinya. Menyibakkan balebat yang menipu dan menyilaukan pandangan. Membangun bendungan pertahanan dalam diri dari terjangan derasnya air kehidupan dunia, dan membangun pijakan kehidupan yang kokoh untuk mengarungi telaga kehidupan yang penuh gelombang dan godaan, yang memungkinkan memisahkan kembali kembara diri yang sejati.
Namun, kehidupan dunia ini memang bukan panggung selamanya berakhir dengan kesuksesan, walau pun bukan berarti tanpa jalan keluar yang lain. Kesalahan Sangkuriang dalam memaknai kata-kata Dayang Sumbi, karena ia terjebak oleh cara pandang "duniawi"; mengharuskannya mengambil jalan penyelesaian paling sulit. Bukan lagi dengan membendung Sang Hyang Tikoro, akan tetapi dengan memisahkan antara raga badag dengan ruhaninya. Laku yang akhirnya ia jalani seperti apa yang dilakukan Dayang Sumbi.
[+/-] |
Pupujian |
'Pupujian' Bentuk Kearifan Urang Sunda
Oleh Sukron Abdilah
Islam sebagai satu agama diyakini berasal dari Tuhan, sedangkan budaya lokal (Sunda) berasal dari hasil olah karsa, karya, dan cipta manusia Sunda hasil dari dialektika dengan realitas hidup.
Produk kebudayaan urang Sunda itu tidak sepenuhnya hasil murni kreativitas masyarakat Sunda, tapi ada akulturasi ataupun hibridasi dengan kebudayaan yang dibawa orang-orang di luar Sunda. Begitu juga antara Islam dan Sunda. Keduanya akan saling memengaruhi sehingga melahirkan ritual keagamaan dalam bingkai budaya
yang me-lokal.
Agama (Islam) di tatar Sunda akan bermetamorfosa ke dalam pelbagai bentuk, sebagai “akibat samping” dari respon, kreasi atau reaksi para penyebar agama Islam dan
kekukuhan masyarakat Sunda memegang kebudayaannya ketika berdialektika dalam sebuah ruang-waktu yang temporer. Alhasil, dengan pertemuan antara Islam atau agama lain dengan realitas kultural masyarakat etnik Sunda, lahirlah apa yang diistilahkan dengan kearifan lokal (local wisdom) dalam beragama.
Lantas, pertanyaan yang mesti kita kemukakan pada tulisan ini, adalah: bagaimana posisi ajaran Islam ketika tersebar di wilayah tatar Sunda? Apakah Islam mendapat perlawanan sengit, penolakan halus, ataukah urang Sunda berkorvegensi dengan nilai-nilai Islam dalam merancang bangunan kebudayaannya? Terakhir, apakah nilai-nilai Islam “meng-ada” di tatar Sunda hanyalah untuk menyingkirkan nilai-nilai lokal yang sebetulnya memiliki derajat kebenaran ontologis yang sama dengan nilai-nilai agama yang berkarakter universal, termasuk Islam?
Akulturasi Islam dan Sunda
Secara historik, menurut Ayatrohaedi (1986), masuknya Islam ke tanah Sunda diperkirakan pada masa Prabu Siliwangi. Sebelum Sunan Gunung Djati menguasai Banten (1525) dan Sunda Kelapa (1527), boleh dikatakan masyarakat Sunda secara kultural bercirikan keislaman. Menurut Saini KM (1995), bisa diterimanya Islam dengan baik di tatar Sunda karena secara kultural di antara keduanya (Islam dan Sunda) mempunyai persamaan paradigma yang bercirikan platonik. Maka, tak mengherankan jika Sunda sebagai kebudaayaan, bisa “bermanunggal ria” dengan Islam sebagai satu agama, yang diyakini oleh para penganutnya memiliki kebenaran-kebenaran universal. Bahasa antropologi budayanya adalah akulturasi.
Akulturasi Islam dengan Sunda bisa dilihat dari seni yang berkembang sampai sekarang dan masih dipraktikkan masyarakat Sunda pedesaan yang berasal dari muslim Sunda tradisional. Misalnya seni arsitektur mesjid yang menyerupai tiga konsep tangga kehidupan umat Sunda berbentuk “nyuncung” sehingga masjid dikenal dengan bale nyuncung.
Selain itu, ada naskah kitab berbahasa Sunda dengan menggunakan aksara pegon sebagai proses kreatif masyarakat Muslim Sunda, yang dahulunya mungkin dikategorikan modern, tapi sekarang – karena ada proses Indonesianisasi, Latinisasi dan Englanisasi – huruf pegon sebagai hasil dari dialektika budaya Sunda dan Arab Islam, menjadi terkubur dan menghilang; kecuali di pesantren-pesantren salaf tradisional masih ada santri yang ngalogat dengan menggunakan aksara pegon.
Banyak ulama zaman bareto yang menyusun kitab berbahasa Sunda dengan menggunakan aksara pegon ataupun aksara Latin, seperti yang terdapat di dalam tradisi pesantren tradisional. Ulama atau ajeungan itu diantaranya: KH. Ahmad Sanusi, KH Ahmad Maki bin KH Abdullah Mahfud, Rd. Ma’mun Nawawi bin Rd. Anwar, ‘Abdullah bin Nuh, dan masih banyak lagi yang tak bisa saya sebutkan dalam tulisan ini.
“Pupujian”, cermin kearifan
Dalam seni suara pun, kita pasti pernah mendengar lantunan “pupujian” bertajuk “Anak Adam” di mesjid-mesjid atau di tajug pada masyarakat agraris, sebagai berikut: “Anak Adam urang di dunya ngumbara/umur urang di dunya moal lila//anak adam umur urang teh ngurangan/saban poe saban peuting di kurangan.” Kalimat “pupujian” atau “nadhoman” ini memiliki semangat profetik, yakni betapa tidak hidup itu akan berakhir dan menyadarkan para pemuji dan pendengarnya untuk menunaikan shalat ketika adzan telah dikumandangkan. Ini juga mengindikasikan urang Sunda memiliki semangat egalitarianisme dalam berinteraksi dengan masyarakat lewat cara mengajak Sunda Islam anu Eusleum secara lemah-lembut.
Mengapa “pupujian” dilakukan setelah selesai “ngong” adzan? Sebab, inti hidup yang mesti direfleksikan Muslim Sunda adalah membuat hidupnya lebih berarti dengan beribadah dan mengabdi demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan melalui syair-syair yang mengingatkan kepada kematian. Dengan mengingat kematian, maka diharapkan Ki Sunda dapat menghidupkan kembali sakralitas Tuhan dalam kehidupan dengan tidak melanggar tata-darigama yang sesuai dengan ajaran Agama Islam yang bernilai universal dan bisa ditawar hingga terbeli oleh budaya lokal.
Yang terpenting, saat ini adalah memelihara agar aktivitas “pupujian” jangan dipinggirkan dengan alasan tidak berdasarkan pada sunah Nabi. Sebab, di dalam syair-syair pupujian tersebut kita akan menemukan bahwa kedamaian menyebarkan ajaran Islam tidak harus dilakukan secara keras. Bahkan, ketika saya pulang kampung ke daerah Garut, pun uwak – Ajeungan Abbas Ase – memberikan “pupujian” yang menggedor hati, jiwa, rasa, dan jasad saya untuk terus beramal saleh.
Kalau tidak salah, bunyi pupujian itu sbb: “sanes bae yatim teh/nu maot ramana/sanyatana yatim/nu teu berelmu/ teu beramal//sanes kagindingan nu makean badan/saliim..saliim//. Syair dalam versi terjemahan berbahasa Sunda ini, tanpa disertai syair berbahasa Arabnya menyadarkan saya bahwa kemajuan peradaban ditentukan oleh ilmu dan amal. Tentunya, apabila merujuk pada “pupujian” tersebut, selain ilmu dan amal, yang wajib dimiliki oleh muslim Sunda, adalah: kedamaian menebarkan ajaran agama Islam. Itulah yang saya namakan dengan Ki Sunda Islam anu sawawa!
Oleh karena itu, untuk konteks kekinian di kedalaman jati diri urang Sunda mestinya ditanamkan kearifan dalam ngageum Agama Islam, guna menciptakan relasi social-keagamaan yang tidak meminggirkan pemahaman keagamaan teurah Ki Sunda yang lainnya. Ingat, bahwa Ki Sunda pun dahulu pernah jatuh hati pada agama Hindu dan Budha. Maka, Ki Sunda hari ini dan masa depan harus mewujud dalam wujud manusia yang mampu menafsirkan warisan kebudayaannya dan keberagamaannya secara arif dan bijaksana untuk kepentingan Sunda kiwari dan seluruh umat manusia. Itulah sumbangan Sunda buat bangsa, agama, dan Negara. Bahkan, buat dunia, lho! Ceuk kuring mah, nonoman Sunda anu nyanyahoanan. Wallahua’lam
[+/-] |
Sajak |
Sajak Gagal
Oleh Fani Ahmad Fasani
Pada bagian ini aku hanya ingin mengatakan bahwa mungkin sudah sewajarnya aku merasa beruntung karena tidak berada dalam suasana kasmaran. Aku tidak harus menulis puisi, itu yang pertama kali harus aku syukuri.
Memang sejak dulu aku memang merasa tak pernah berhasil menulis puas sepotong puisi, jika sudah jadi paragraf kecurigaan selalu lebih panjang dalam kepalaku tinimbang puisi itu sendiri. Aku selalu merasa kata-kata enggan berpihak pada keterbatasan ungkapku.
Lagipula siapa yang menetapkan kewajiban menulis puisi jika sedang kasmaran? Dan bukankah selalu ada jalan lain untuk mengatasi gagap ungkap dalam sajak, mungkin bisa dengan laku mbeling itu, semacam anggapan santai; jika kita masih bersusah payah memikirkan bikin puisi, jadi apa kita? Bangsa lain sudah berhasil membuat pesawat, kita masih sibuk dalam jibaku menganggap kata seolah hantu.
Takut sekaligus kagum. Kenapa kita sering pikun terhadap bahasa, yang seharusnya kita kerasan di dalamnya. Ariel Heryanto pernah bilang kapan dalam jaga kita tidak terlibat dengan bahasa?, bahkan sesekali dalam tidurpun kita mengigau.. atau sedikit lebih fenomenologis; bahwa kita hanya mungkin menyapa ‘ada’ di tanah tumpah bahasa. Beruntung, tak ada yang pernah merasa selesai dengan urusan kata-kata. Jika demikian apa yang bisa dikerjakan dewan bahasa dan bagaimana nasib bisnis penerbitan?
Ah, kenapa menyalahkan rasa kasmaran hanya gara-gara aku selalu merasa gagal membuat sepotong puisi. Mungkin aku harus menuruti apa yang dikatakan Pak Bq, untuk jangan melakukan dua pekerjaan sekaligus. Maksudnya jika aku menulis, menulis saja. Jangan sekalian menilai, karena biasanya menulis akan menjadi sulit.
Selalu terasa jelek. Atau lebih aman jika nilai itu dijauh tempuhkan pada yang lain, biarkan orang muntah terserah membaca puisiku meski bukan berarti aku sudah tak berurusan lagi dengan puisiku. Terus bagaimana dengan rasa kasmaran yang kuletakkan dalam kerangka antagonistik? Mungkin rasa syukurku adalah ratapan yang selingkuh.
Bahwa orang yang sedang kasmaran biasanya tak begitu terbebani dengan soal penilaian ini, mereka seolah berada dalam desakan yang cukup bagus untuk segera berpuisi. Rasa syukur ini berarti yang harus dicurigai, jangan-jangan berasal dari rasa frustasiku karena selalu merasa gagal menjabat sepenggal puisi, lalu menuntut pembenaran bahwa wajar saja aku gagal karena aku tidak sedang kasmaran.
Akh, kekonyolan apa yang mengantarkan aku pada anggapan bahwa puisi hanya terbatas pada ungkap rasa kasmaran? Apalagi rasa kasmaran yang kubayangkan terbatas pada sesosok yang disebut perempuan. Bukankah kita juga bisa kasmaran pada puisi itu sendiri? Mungkin gara-gara kemarin temanku Mufti meminta pendapatku tentang puisinya yang dia tulis untuk perempuan. Tapi seorang temanku pernah berpuasa menulis puisi gara-gara pacarnya cemburu, cemburu terhadap puisi padahal sebelum ia menjadi pacar sering kagum pada puisi-puisi yang dikirim temanku itu.
Mungkin ia hanya cemburu pada hal-hal di luar puisi, pada banyaknya perempuan yang meminta puisi atau bertanya soal puisi selepas temanku itu membacakan puisi di depan umum. Berarti memang puisi tak layak dicemburui meskipun seringkali dikasmarani. atau mungkin tidak pernah sama sekali sejauh yang kualami.
Cileunyi, November 2007
[+/-] |
Angkat |
Mahasiswa UIN SGD Bandung Angkat Bicara Soal 7 Hari Berkabung Nasional
Oleh Ibn Ghifarie
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan kantor pemerintahan dan kantor perwakilan RI di luar negeri mengibarkan bendera setengah tiang dari tanggal 28 Januari hingga 2 Februari 2008.
Pemerintah juga menyatakan sebagai hari berkabung nasional selama 7 hari atas wafatnya mantan Presiden RI H.M. Soeharto. Demikian dikemukakan Mensesneg Hatta Rajasa, dalam jumpa pers di Kantor Sesneg Jln. Medan Merdeka Utara, Jakarta, Minggu (27/1).
Presiden atas nama negara, rakyat, pemerintah, dan selaku pribadi menyampaikan belasungkawa atas wafatnya H.M. Soeharto. Presiden mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk memberikan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada salah satu putra terbaik bangsa. SBY juga mengajak umat Islam membacakan surat Al-Fatihah.
"Kita semua berduka dengan wafatnya Bapak Haji Muhammad Soeharto, Presiden Republik Indonesia kedua, karena sakit. Atas nama negara, rakyat, pemerintah, dan selaku pribadi, saya mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas wafatnya Bapak Haji Muhammad Soeharto," kata Presiden Yudhoyono dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Kompleks Istana Negara, Jakarta, Minggu (27/1).
Keluarnya Pernyataan sikap Presiden selaku Kepala pemerintahan Indonesia menuai perbagai macan komentar masyrakat. Khususnya dikalangan Civitas Akademikan UIN SGD Bandung. Salah satunya Yogi mahasiswa Materamika Fakultas Sain dan Teknologi menuturkan ‘Wah itu sangat perlu sekali. Sebaba Ia telah berjasa pada bangsa ini’.
Coba kalao bukan oleh Bapak Pembangunan niscaya deretan tinggi banguna yang menjuklang itu merupaka hasil jerih payanya selama 32 tahun. Sekarang kita tainggal menjutkan dan mengisi pembanguna tersebut, jelasnya.
Keberhasilan suatu bangsa itu terlihat dari tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Pada saat pemerintahan Orde baru sangat jelas bila dibandingkan dengan zaman reformasi ini. Pokoknya dimana-mana kalaparan, busung lapar, kurang gizibencana, benerr pan [Pokoknya di daerah mana-mana terkena kelaparan, burung lapar, kurang gizi, bencana, benerkan!!], keluhnya.
Lain lagi dengan Jamhur aktivis Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung, menjelaskan ‘Ini ga boleh terjadi. Karena sanget merugikan masyarakat Indonesia, khususnya kaum terpelajar’,
Seutik-saeutik peure. Lamun keu terus carana. Atuh iraha bangsa urang maju kawan nagara lain [Sedikit-sedikit libur. Kalau begini keadaanya secara terus menrus. Kapan mau majunaya bangsa kita ini seperti negaara lainya], tambahnya.
Ceuk urang teuteup teu bisa [bagi saya tetep ga bisa] soal 7 hari berkabung atas meninggalnya Soeharto, cetusnya.
Menyinggung upacara pemakaman orang nomer satu saat Orde Baru dan Presiden akan bertindak sebagai inspektur upacara saat pemakaman di Astana Giribangun, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, hari ini (Senin, 29/01)
Bagi saya sudah selayaknya bangsa kita menghargai jasa putra terbaik bangsa. Selain itu, memang sudah ada ketentuan UUnya (Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 62 Tahun 1990. PP itu mengatur tentang ketentuan keprotokolan mengenai tata tempat, tata upacara, dan tata penghormatan bagi pejabat negara, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat-red), killah Yogi
Di mata, Jamhur tetap tak boleh terjadi ucapara kematian Bapak Pembangunan itu secara besar-sebaran dan adanya 7 hari berkabung nasional, seban tetap saja dimata Tuhan yang membedakan kita hanya derajat ketaqwaanya sambil menyentil Al-Qur’an,
Hal senada juga diungkapkan oleh aktivis pergerakan yang tak mau disebutkan namanya ‘Yang mesti berkabung nasional itu bukan kematian penguasa 32 tahun itu, melainkan saudara-saudara kita yang terkena Lumpur lapindo. Sudah berapa tahun mereka menderita dan tak mendapatkan kepastian dari pemilih perusahanan’.
Bahkan kabra terbaru pihak Lapindo dibebaskan oelh pengadilan karena tak terbukti salah. Padahal ini sudah jelaj-jelas salah kaprah, paparnya.
Bila ingin tetap menggelar 7 hari berkabung nasional dengan mengibarkan bendera setengah tiang, maka berapa hari untuk menyuarakan berkabungnya kematian hati nurani pada bangsa kita, harapanya. [Ibn Ghifarie]
Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 29/02/08;14.27 wib
[+/-] |
Publik |
Cerpen Badru Tamam Mifka
Republik
Menurut seorang pengamat pendidikan, setidaknya ada tiga sebab kenapa persahabatan Rocky (bukan nama sebenarnya) dan Junnedy hancur berantakan. Pertama, kebodohan; kedua, puisi dan ketiga, lagu kebangsaan. Tetapi belakangan pakar ekonomi malah menambahkan, yaitu pekerjaan, uang dan problem pengangguran.
Tapi justru problem pengangguranlah yang pada mulanya mempertemukan kedua pemuda itu. Rocky adalah seorang pemuda yang putus sekolah sejak kelas 1 SD. Sedangkan Junnedy, seorang sarjana ekonomi. Apapun latar belakang pendidikan mereka, keduanya sama-sama terjerumus dalam lubang hitam pengangguran dan kemiskinan selama 3 tahun terakhir ini. Jangan bilang mereka pemalas, nanti mereka marah besar. Lubang hitam itulah yang kemudian membuat mereka seperti satu tubuh: jika Rocky menderita, maka Junnedy pun terluka. Tapi hari ini seorang dari mereka terlihat gembira. Dialah Junnedy…
“Sepertinya kau membawa kabar yang bagus.” Ucap Rocky tersenyum sambil melebarkan kedua bola matanya.
“Tentu saja, Rocky!” seru Junnedy. Ia pun buru-buru duduk bersila. Sebelum ngomong, Junnedy menenggak segelas air putih punya Rocky hingga habis dan mengambil napas yang dalam. “Kau perlu tahu, Rocky, empat hari lagi kita akan dapat uang!”
“Hah?! Uang?”
“Yeah! Uang!”
“Percayalah, ini bukan semacam keberuntungan judi, rampok bank atau misi menolong nenek kaya yang disekap penculik. Duduk yang manis dan dengarlah. Tadi aku ketemu kawanku semasa kuliah. Dia kini mengabdikan diri sebagai pengasuh di Kelompok Paduan Suara Kampus. Aku sama dia dulu pelopor klub paduan suara itu lho.”
“Pelopor? Paduan suara? Apaan tuh?”
“Ya, semacam kelompok penyanyi, semacam group! Kelompok Paduan Suara Kampus kini dapat panggilan menyanyikan lagu kebangsaan di hari kemerdekaan nanti. Tapi, ada dua personel yang gak bisa hadir di acara besar itu. Yang satu sakit keras, yang satunya meninggal karena kecelakaan. Padahal acara empat hari lagi. Dan kau tahu, Rocky, ia memelas meminta bantuan aku untuk ikut paduan suara dan juga minta bantuan aku untuk mencari satu orang lagi agar personel lengkap. Dia sangat percaya aku. Lalu tiba-tiba aku berpikir bahwa pahlawan-pahlawan untuk menolong kesulitan klub itu adalah kita berdua, Rocky!” Junnedy girang.
“Personel?”
“Ya, semacam anggota dari kelompok.” Ucap Junnedy sedikit mengkel. “Besok kita diminta datang ke tempat mereka untuk latihan, Rocky! Mau?”
“Nyanyi? Nyanyi apa?”
“Ya, nyanyi. Nyanyi Indonesia Raya. Di depan presiden?”
“Di depan presiden?!”
Pikiran Rocky melayang. Ia memang hapal sedikit lagu itu. Tapi, nyanyi? Dapat uang? Yeah! Dia jadi ingat setahun lalu ketika Junnedy mengajak nyanyi di panggung Agustusan, di depan Lurah dan Camat. Penampilan mereka disambut meriah. Junnedy main gitar, dibantu anak-anak gadis kampung nyanyi Tanah Airku. Rocky saat itu nyanyi keras, joget, baca puisi dan melawak. Junnedy memujinya habis-habisan. Ia dijuluki penyanyi bersuara emas oleh Pak Camat. Betapa gembira ia. Betapa bangga ia. Lalu kini ia merasa jadi seorang penyanyi yang dibutuhkan bangsa. Rocky ingat Junnedy yang telah mengajarinya nyanyi, baca puisi, main gitar, baca dan menulis. Sungguh, akan luka jika ia tak memenuhi permintaan Junnedy ini kali. Apalagi ini uang. Ini pekerjaan…
“Aku ikut, Junnedy!”
“Yeah!”
Kedua sobat itu tertawa-tawa senang. Kemudian menjelang malam, mereka tak mau sedikitpun melepas kegembiraan itu. Mereka bernyanyi bersama, menghapal bersama, dan segalanya terdengar hampir sempurna.
“Kita pasti layak, Rocky!”
“Tentu saja.”
“Bahkan kita bisa jadi personel tetap klub paduan suara itu! Kita punya suara emas! Kita akan punya pekerjaan!”
“Yeah!” Rocky tertawa girang. Mereka tertawa senang. Lalu nyanyi-nyanyi terdengar lagi. Sesekali gitar dipetik Rocky sekedar mengiringinya. Sesekali Rocky lupa liriknya, segera Junnedy membetulkannya. Rocky terus belajar membaca lirik dan menghapalnya. Junnedy terus belajar memperhalus suaranya. Mereka berdua berdiri dan bernyanyi di depan cermin. Semalaman suntuk mereka mengolah suara agar terdengar lebih bening, syahdu, lirih dan menggetarkan. Dimana-mana mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ketika di kamar mandi, Junnedy menyanyikannya. Ketika tengah buang hajat, Rocky melengkingkan lagu itu. Mereka tak bisa lepas dari nyanyian itu. Di tempat nongkrong mereka nyanyi. Di pos ronda mereka nyanyi. Terus berlatih. Nyanyian mereka menerobos jendela-jendela mesjid dan lamat-lamat memasuki rumah-rumah penduduk…
***
“Rocky, akhirnya kita akan punya pekerjaan. Mulai sekarang nasib kita akan berubah.”
“Kita akan dapat uang. Betapa senangnya aku.”
“Ya, setelah hampir 3 tahun lebih aku cari kerja kesana-kemari. Setelah 4 tahun kau mengamen di jalanan…”ucap Junnedy lirih. “Ini awal kebahagiaan. Bayangkan, Rocky, sedih sekali ketika dulu aku cari kerja. Capek. Selalu saja di tolak. Ijasah sarjanaku gak berguna mencari kerja. Aku hidup di jalanan, sampai akhirnya aku ketemu kau, ngamen dan tidur di jalanan. Kau ingat itu, kan? Dan kini malah ada orang menawari uang!”
Rocky tertawa renyah. Ia mereguk kopi. Rebahan. Lalu tersenyum sendirian. “Junnedy, pengalaman apa yang pernah buat bangga seumur hidup kau?”
“Bernyanyi di depan umum lalu dipuji banyak orang, baca puisi dalam demonstrasi lalu di kasih tepuk tangan meriah sama dosenku dan temen-temen mahasiswa!”
“Wah, hebat!”
“Kalau kau?”
“Pengalaman indah ketika mengamen dalam bis dan seorang perempuan cantik memintaku menyanyikan lagi lagu bagus. Ia memujiku. Ia tersenyum dan memberiku uang besar sekali!” ucap Rocky dengan muka cerah.
“Uang? Uang!”
“Ya, punya uang banyaaaak!!” teriak mereka berbarengan. Mereka tertawa-tawa senang. Keduanya bangkit dari taman dan berlari-lari seperti anak kecil. Mereka bergulingan. Mereka bergandengan tangan. Mulai bernyanyi Indonesia Raya lagi. Lalu tertawa-tawa. Barangkali terlalu luas untuk mengungkapkan kegembiraan mereka dalam kata-kata.
***
Hari kemerdekaan, 17 Agustus, telah tiba. Cuaca cerah. Jalanan berwarna dengan bendera-bendera merah-putih. Di kejauhan, pawai rakyat sepanjang jalan merayap menuju alun-alun kota, suaranya ramai. Mobil rombongan yang ditumpangi Kelompok Paduan Suara Kampus perlahan melaju menuju gedung upacara hari kemerdekaan di tempat lain, di lapangan luar gedung Istana Negara. Kedatangan mereka disambut ramah oleh panitia upacara kenegaraan. Mereka diantar menuju gedung bagian belakang. Rocky gemetar, juga Junnedy. Mereka baru pertama kali mengikuti acara aneh semacam ini. Pengasuh Kelompok Paduan Suara Kampus menghampiri mereka berdua.
“Kalian siap?”
“Siap, Bang!” sahut keduanya mulai mantap
“Oke, aku percaya pada kalian berdua. Ya, semuanya. Mulai atur napas dan suara. Tagakkan keseimbangan tubuh. Pandangan lurus ke depan. Jangan tegang. Kalian siap?!”
“Siap!!”
“Ok. Sukses!” seru pengasuh. Mereka pun kemudian mulai mempersiapkan barisan di tempat khusus paduan suara.
Beberapa menit kemudian, upacara tampak segera akan dimulai. Pembawa acara upacara akbar hari kemerdekaan mulai terdengar bergema. Semuanya sudah lengkap. Tamu undangan. Prajurit upacara. Pasukan pengibar bendera. Pejabat. Microphon. Juru kamera. Semuanya sudah siap. Tak lama kemudian Presiden dan wakil presiden mulai tampak memasuki wilayah upacara. Suasana terasa agung. Acara satu demi satu mulai berjalan khidmat. Sampai tibalah saatnya regu Paduan Suara Kampus akan menyanyikan lagi Indonesia Raya. Saat bendera dibentangkan. Saat kaki prajurit ditegapkan. Kelompok paduan suara berdiri tegap. Musik pengiring mulai terdengar, dan tangan-tangan memberi hormat.
Rocky menatap langit, juga orang banyak di depannya. Rasa bangganya menggeliat, lebih beberapa tahap dari rasa bangganya ketika acara Agustusan tahun lalu. Kini, betapa orang-orang di kampung akan melihat dalam televisi bahwa ia akan menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan penampilan yang rapi dan gagah. Dia tak menyangka moment paling istimewa ini akan terjadi seumur hidupnya. Seolah-olah kebahagian paling sejati telah terbuka. Seakan tiba-tiba udara segar kebahagiaan mulai menghapus pengap hidupnya selama ini. Tak perlu lagi ejekan masyarakat padanya. Tak ada lagi kesulitan hidup. Tak ada lagi kemiskinan. Lagu Indonesia pun mulai dinyanyikan. Suaranya randah dan merdu. Rocky ingin memberikan penampilan yang terbaik hari ini.
Indonesia, tanah airku…
Tanah tumpah darahku…
Bergetar perasaan Rocky pada peristiwa ini. Nyanyi? Presiden? Uang? Pekerjaan? Tepuk tangan? Rocky tersenyum gembira. Ia perindah suaranya. Semangat hidupnya menggeliat. Kehormatan. Harga diri. Keistimewaan. Panggung Agustusan. Orang banyak. Pujian. Kebanggaan dan Rocky ingin membuatnya lebih…lalu tiba-tiba di tengah-tengah lagu Rocky keluar dari barisan dan ia membaca puisi keras-keras, tepat di depan kamera. Karuan semua orang terkejut. Mereka yang bernyanyi kaget. Tubuh mereka berkeringat dingin. Bergetar. Nyanyian gemetar. Muka mereka pucat! Tapi Rocky terus membaca puisi dengan senyum rekah dan wajah bangga.
Upacara sedikit kacau. Beberapa petugas dan panitia upacara mulai kasak-kusuk mengamankan Rocky. Seribu pandangan tertuju dan seolah-olah meninju. Rocky bingung. Dia diseret ke belakang, masuk gedung, dijatuhkan di ruang sempit, dibentak, di pukul-pukul…
Mereka, Junnedy dan Rocky, diusir dengan kasar. Lalu kembali ke jalanan. Tanpa uang sepeserpun…
“Kau perlu tahu, Rocky, kau membuatku malu, membuatku kecewa. Kau bodoh! Itu acara resmi kenegaraan, bukan Agustusan! Tadi lagu Indonesia Raya, bukan dangdutan! Kau tak perlu baca puisi. Disana gak ada tepuk tangan! Kau hancurkan harapan kita dapat uang, dapat pekerjaan! Setahun sekali kita bahagia. Setahun sekali orang-orang seperti kita dibutuhkan. Selebihnya miskin, bokek, pengangguran! Dan mereka gak akan peduli! Gak akan peduli! ”
Rocky mematung. Dengan jalan gegas, Junnedy meninggalkannya. Pawai belum reda. Betapa riuh suara rakyat. Bisingnya memabukkan. Rocky ingin pulang, berjalan kaki sendirian, tanpa sepeser uangpun. Hatinya sakit. Di sebuah gang, ia terduduk lemas dan tiba-tiba menangis perih…[]
Dari pertemuan kecil, Jhellie…
Sumedang 2007
[+/-] |
Sulthonie |
Ahmad Agus Sulthonie merupakan Dosen pengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung.
Kini, setiap harinya mengelola sekaligus webmaster Pusat Informasi dan Komputer (PusInfoKomp) UIN SGD Bandung.
[+/-] |
Ahmad |
Ahmad Sahidin adalah putra bungsu 4 bersaudara yang lahir di Bandung, 05 Agustus 1981, dari pasangan almarhum KH.Aceng Mahmud bin KH.Muhammad Mukhtar (wafat: 12 Ramadhan 1424/07 November 2003) dan almarhumah Euis Rokhaeni binti Masduki (wafat: 25 Jumadil Akhir 1428/10 Juli 2007).
Sejak kuliah, Ahmad berkawan baik dengan Ibn Ghifarie. Ibn Gihifarie usianya 2 tahun lebih muda. Laki-laki non-sekterianis dan sedang menggarap skripsi “Kritik terhadap Pemikiran (Islam Liberal) Ahmad Wahib” ini biasanya dijuluki Buled. Ia lahir di Garut, dan sedang menyelesaikan S-1 Jurusan Studi Agama-Agama (d/h Perbandingan Agama) Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.
Selain aktif di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK), juga ikut terlibat dalam dialog agama, kepercayaan dan wacana pluralisme Indonesia.
Sosok yang berpostur gemuk ini sehari-hari nongkrong di kampusnya, UIN SGD Bandung, bergelut dalam kecamuk emosi-intelektualitas-spiritualitas bersama gurunya, Ahmad Gibson Al-Busthomi.
[+/-] |
Amikail |
Akhmad Mikail. Lahir di Bandung pada hari sabtu, 11 Januari 1986. pendidikan formal saya dimulai dari TK Pajagalan, SDN Cipaganti II, SLTPN 32, Aliyah di PPI 1 (Pesantren Persatuan Islam Pajagalan) Bandung.
Setelah saya lulus tahun 2007, saya melanjutkan ke UIN SGD Bandung jurusan Teknik Informatika.
Selengkapnya liat profilenya
[+/-] |
Badru |
Badtu Tamam Mifka Lahir di Tasikmalaya, 15 April 1983. Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
my idea:
99 manuskrip kesunyian
kumpulan catatan harian
bandung, i’am in love
kumpulan cerita sunda
sumirah menggugat tuhan
kumpulan cerpen
tuan bukan tuhan
mimbar esei
aku cinta kamu
kumpulan cerpen remaja
tasbih sang kekasih
kumpulan surat-surat cinta
al-qur’an untuk kekasih
kumpulan aphorisma
menulis dong, biar gaul!
kiat n curhat menulis buat remaja
1001 pintu tuhan
kumpulan puisi
Pengalaman Organisasi :
• Pemimpin Redaksi Buletin Al-Kitabah Tahun 2004 • Anggota Komunitas Islam Emansipatoris Bandung Tahun 2005 • Sekretaris Lembaga Pers Gerakan Persatuan Mahasiswa Islam (GPMI) Tahun 2005-2006 • Koordinator Seni Lukis dan Kaligrafi di Lembaga Seni Lukis dan Kaligrafi (LSLK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung Tahun 2005-2006 • Ketua Umum Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun 2005-2006 • Pemimpin Redaksi Buletin Equality Women Studies Centre (WSC) UIN Sunan Gunung Djati Bandung Tahun 2005-2006 • Dewan Redaksi Buletin Waroeng Sastra L-SAK (Lingkar Sastra Kampus) Tahun 2006 • GAMAS (2007), HIMA PUI (2007), Kelompok Penoelis Biasa 2007
No Kontak: 085222255600
mifka15@yahoo.com
Selengkapnya lihat Profilnya
[+/-] |
Sukron |
Sukron Ablilah. lahir di Garut, 22 Maret 1982. Menempuh pendidikan formal di SDN Waruga, Mts Persatuan Islam No. 19 Garut sampai tingkat Mu'allimin (lulus tahun 2002).
Kemudian melanjutkan ke UIN SGD Bandung, jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (lulus 2007). Sehari-harinya menjalani profesi penulis Lepas di beberapa media cetak dan koran online lokal maupun nasional.
Selekngkapnya lihat Profile
Selasa, 29 Januari 2008
[+/-] |
Selamat |
Selamat Jalan "The Smiling General"
Oleh Agus Sulthonie
Pada hari ini, Minggu 27 Januari 2008 tepatnya jam 13:10, mantan Presiden Ke-2 Republik Indonesia berpulang ke Rahmatullah. Wafatnya mantan Presiden Ke-2 ini sebelumnya menderita komplikasi akut, yaitu berbagai organ vital di tubuhnya tidak berfungsi. Bahkan harus dibantu dengan peralatan medis untuk terus berfungsi.
Mantan orang No.1 di Indonesia ini, meskipun dari satu pihak dikejar-kejar dan diburu oleh berbagai tuntutan atas segala yang dituduhkannya. Akan tetapi di sisi lain, The Smiling General ini masih dipuji, dipuja dan diagung2kan atas jasa-jasa beliau selama memimpin negara ini.
Tak dapat dipungkiri memang, lepas dari kontro versi diatas, Pak Harto diakui atau tidak, beliau masih memiliki pengaruh besar dan wibawa yang tidak luntur di mata para petinggi negara maupun di wilayah Asia. Bahkan di level internasional. Hal ini dapat dibuktikan atas kunjungan para petinggi negara tetangga, Malaysia, Singapore, Thailand yang menjenguknya.
Selama 30 tahun memimpin negara ini, berarti hampir dua generasi, jika tiap generasi dihitung 25 tahun. Telah tertanam jasa-jasa pada rakyat dan para jenderal di bawah kepemimpinan beliau. Dan prinsip-prinsip Pak Harto yang bersumber dari Filsafat Jawanya yang paling terkenal adalah "Ojo Kagetan, Ojo Gumonan, Ojo Dumeh", yang berarti "Jangan mudah Terkaget-kaget, jangan mudah untuk takjub atau silau, dan jangan mudah bangga dengan apa yg telah dilakukan". Prinsip ini yang selalu mambawa Pak Harto menjadi orang besar dan kuat, bahkan mengajarkan ini pada orang-orang di sekelilingnya agar menjadi bangsa besar dan kuat, serta menjaga harga diri bangsa ini agar tidak diremehkan oleh bangsa-bangsa lainnya.
Lagi-lagi, Pak Harto adalah manusia. Selalu tidak pernah sempurna. Cita-cita dan prinsip yang dibangun ini pada waktunya berhenti. Berbagai hal yang menjadi penyebabnya. Dan saya rasa tidak cukup membicarakannya di blog ini. Mungkin ada waktu-waktu tertentu untuk menulisnya lebih banyak.
Yang jelas, bangsa ini telah kehilangan putra besarnya. Lepas dari dosa dan kesalahan yang dibuat, kita harus akui bahwa beliau punya jasa-jasa yang tak ternilai dalam pembangunan bangsa ini. Hanya tinggal kita berdoa mudah2an Tuhan YME mengampuni segala dosa dan kesalahannya.
Saya selalu optimis bahwa setiap generasi akan muncul orang-orang besar yang berpikiran besar dan berjasa besar serta berjuang demi kebesaran bangsa kita, tidak demi keluarga dan kelompoknya. Kapan itu? ini adalah persoalan waktu...wallahu a`lam.
[+/-] |
Mengapa |
Mengapa Harus Beragama?
Oleh Ahmad Sahidin
Dalam kitab “thabaqot assufiah” karya Zunnun al-Misri (796-860 M) menceritakan bahwa dirinya sering diejek karena melakukan praktek-praktek agama yang dianggapnya tidak berguna. Suatu hari Zunnun bertemu dengan orang yang mengejeknya itu. Orang itu disuruhnya untuk menggadaikan cincin permata miliknya ke pasar dengan harga satu dinar.
Dan ternyata di pasar tidak ada seorang pun yang membelinya. Kemudian orang itu datang kembali kepada Zunnun seraya mencemoohnya. Saat diperlakukan seperti itu sang sufi malah tersenyum dan menyuruhnya pergi ke ahli permata untuk menaksir harganya. Sesampainya di tempat ahli permata, cincin Zunnun yang dibawa orang itu ditawar seribu dinar. Setelah kembali, sang sufi berkata kepadanya, “pengetahuanmu tentang agama sama dengan pengetahuan orang-orang di pasar itu”.
Itulah catatan yang saya kira ada hubungannya dengan kehidupan di masyarakat kita. Terutama mereka yang hidupnya berada dalam lingkungan yang kurang taat dalam beragama. Seringkali mendapat kecaman bahwa ibadah-ibadah yang kita lakukan adalah kesia-siaan. Ada beberapa alasan yang biasanya mereka lontarkan, di antaranya shalat dan puasa itu hanya memperlemah fisik sekaligus membuang-buang waktu saja. Ngapain mengosongkan perut dan shalat tiap lima waktu sekali kalau tidak mengenyangkan perut, membuat fisik lemah dan mengganggu aktivitas saja. Inilah yang biasanya mereka jadikan hujjah (pegangan) dalam menolak “identitas” yang melekat di KTP-nya.
Ya, bukankah monyet bila disodorkan dua pilihan, antara pisang dan emas 24 karat, pasti akan mengambil pisang. Benar, karena monyet tidak tahu nilai atau harga yang terkandung dibalik emas tersebut. Artinya, seseorang yang tidak punya pengetahuan (jahil) tentang nilai-nilai dan makna haqiqiyah maka akan menganggap agama sebagai penghambat kemajuan hidup. Al-Qur`an menyebut orang-orang yang bersikap demikian sebagai orang “buta” dan “tuli” (al-Baqarah [2]: 18). Mereka punya telinga tapi tidak mau mendengar, mempunyai mata tidak dipakai untuk membaca dan mengkaji sumber kebenaran, mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk merasakan dan menyadari adanya kebenaran.
Maka pantas bila Allah SWT memberi peringatan, “Barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat ia akan lebih buta dan lebih tersesat” (al-Isra’[17]: 72). Tepatnya bukan buta mata secara fisik melainkan buta mental dan spiritual dikarenakan telah terhalangi dengan kecintaan dunia dan tak sadar adanya akhirat. Faktor inilah yang saya anggap sebagai “berhala-berhala” yang menjadikan masyarakat terkena wabah sekuler dan agnotis (skeptis/ragu-ragu).
Biasanya, fenomena ini akan menjadi penyakit yang perlu diobati. Dengan cara apakah kita mengobatinya? Apa yang harus segera dilakukan jika melihat kondisi kehidupan masyarakat yang mulai cenderung sekuler dan agnotis, bahkan atheis?
Allah SWT dalam al-Quran berfirman, bebaskan budak dari perbudakan! (al-Balad:13). Saya mengartikan, ayat ini berkaitan dengan cara dalam memasarkan ajaran dan nilai-nilainya. Yang pertama adalah kita harus instrospeksi dan mengkritisi terhadap metode dan kemasan bahasa dakwah yang berkembang di tengah masyarakat kita. Kedua, memulai dari saat ini dan dari yang terkecil untuk merealisasikan dan membuktikan kepeduliannya terhadap kaum mustadhafin dengan memberikan berbagai bantuan dan kebutuhan-kebutuhan yang telah membuat mereka lupa atas identitas yang melekat di KTP-nya. Yang ketiga adalah mengajarkan ajaran-ajaran agama yang paling ringan, termudah dan tidak memberatkan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Ini solusi praktis bagi masyarakat biasa.
Namun bagi mereka yang kualitas keilmuannya di atas rata-rata masyarakat, mau tak mau harus berani melakukan dialog yang kontruktif. Bukan destruktif. Oleh karena itu, sangat penting sekali mengenali agama dan makna yang terkandung di dalamnya, termasuk apakah manusia memang membutuhkan agama? Pertanyaan ini yang saya kira penting dan mendesak untuk dijawab. Sebab dengan jawaban yang jelas dan logis, sehingga mereka bisa menerima dengan yakin bahwa agama yang dianutnya itu bermakna bagi dirinya.
Arti agama
Istilah agama merupakan terjemahan dari Ad-Din (dalam bahasa Arab). Ad-Dîn dalam Al Quran disebutkan sebanyak 92 kali. Secara bahasa, dîn diartikan sebagai balasan. Al Quran menyebutkan kata dîn dalam surat Al-Fatihah ayat 4, maliki yawmiddîn – “(Dialah) Pemilik (raja) hari pembalasan. Begitu juga pada sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, ad-dînu nashihah (Agama adalah ketaatan).
Sedangkan secara istilah, dîn diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, hukum, dan norma yang dapat mengantarkan seseorang menuju kebahagiaan manusia. Kebahagian dan keselamatan inilah yang kadang sering menjadi cita-cita yang dikejar tiap umat manusia di dunia. Siapa sih yang tak mau bahagia? Tentu sedikit sekali orang yang tak menginginkan hal tersebut. Dan kebanyakan orang sangat berharap dengan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Di dunia ini, Tuhan Yang Mahaesa telah memberikan jalan dan petunjuknya berupa agama yang dibawa para Nabi dan Rasul Allah. Juga ada, bila kita mau mengakuinya, agama yang didasarkan atas hasil proses berpikir dan perenungan yang mendalam, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran yang bisa mencerahkan masyarakat. Agama jenis ini biasanya dibawa para filsuf, mistikus, tokoh adat dan lainnya. Mereka mengembangkan dan menjalaninya disesuaikan konteks budaya lokal yang ditempatinya. Di Indonesia, dikenal beberapa aliran seperti Aliran Perjalanan (kepercayaan Sunda), Madrais (Agama Jawa Sunda), Agama Wetu Telu, dll. Betulkah kepercayaan-kepercayaan ini sebuah kebenaran yang dibenarkan atau diturunkan Ilahi?
Bagi saya, yang awam dalam persoalan ketuhanan, tak penting untuk dipertanyakan. Yang harus kita ungkap adalah, mengapa agama begitu penting bagi manusia? Atau butuhkah manusia dengan agama?
Agama itu sebuah pilihan
Husein al-Kaff, Assatidz Hauzah Ilmiyah Al-Jawad Bandung, menyebutkan bahwa manusia merupakan satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibandîng makhluk-makhluk lainnya. Sebab ia berasal dari unsur hewani (materi) dan unsur ruhani (immateri). Bila dilihat dari sisi hewani, manusia bisa dikategorikan binatang. Namun dari kekuatan fisiknya, manusia tak bisa melebihi binatang—karena punya kelebihan-kelebihan yang tak dimiliki manusia.
Namun bila menyimak al-Quran Surat An-Nisa ayat 28 dan Ar-Rum ayat 54, Allah SWT menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan lemah. Kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua. Karena itu, menurut Husein, sangat tak pantas bila manusia berbangga dengan penampilan fisiknya. Memang harus diakui kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (hati dan akal). Dengan akal, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di atasnya. Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bil-quwwah) yang perlu difaktualkan (bil-fi’li) dan ditampakkan. Karenanya, wajar bila ada manusia yang lebih utama dari sebagian lainnya—karena hasil usahanya sendiri. Bahkan ada pula manusia yang menampakkan potensinya itu hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya—bahkan lebih dari hewan (QS. Al-A’raf : 170 dan Al-Furqan : 42).
Selain akal dan hati, fitrah termasuk unsur ruhani. Fitrah ini merupakan modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Ayatullah Syahid Murtadha Muthahhari menyebutkan ada lima macam fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia, yaitu mencari kebenaran (haqiqat), condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (kreasi) dan cinta (isyq) serta kecendrungan untuk beragama.
Bila kita cermati, kecenderungan beragama ini merupakan fakta yang ada pada tiap diri manusia. Sadar atau tidak, manusia punya kecenderungan untuk menghubungkan dirinya dengan kekuatan yang Mahasempurna dan Mahasegalanya—sebagai bentuk ketidakberdayaannya.
Harus diakui bahwa tak mudah melihat apakah benar manusia punya kecenderungan beragama ini. Namun Al-Quran—mungkin juga agama-agama lainnya—mengakui bahwa manusia punya pilihan untuk beragama ataupun tidak. Ini tergantung manusianya. Apakah ia melakukan perenungan hingga mendapatkan pencerahan bahwa dirinya butuh agama? Atau sebaliknya, setelah perenungan itu meyakini bahwa ia tak membutuhkan agama? Namun harus diakui fitrah—beragama—itu ada dengan sendirinya. Hanya keberadaannya berbeda, ada yang kuat dan ada yang lemah—tergantung seberapa besar pengaruh-pengaruh yang menerpanya. Karena itu, manusia tidak harus dipaksa beragama.Tapi cukup untuk merenungkan hakikat dirinya dan keberadaan semesta ini—sehingga bila sadar ia dengan sendirinya mengakui dirinya tak berdaya dan membutuhkan Yang-Mahasegalanya.
Meski kecenderungan beragama ini bersifat pilihan, namun untuk menentukan yang pantas disembah yang menentukan akal. Jadi, mengapa manusia harus beragama? Jawabannya, beragama itu merupakan fitrah manusia—”Maka hadapkanlah wajahmu kepada dîn dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan” (QS. Ar-Rum : 30).
Karena agama itu sebuah pilihan, sebagian Umat Islam menjadikannya pegangan hidup (way of life) dan tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Islam agama yang luhur dari segi nilai-nilai dan secara praktek telah dibuktikan dalam sejarah, tatanan masyarakat yang dibangun Rasulullah SAW pada abad 7 Masehi sangat baik, aman, damai dan tercerahkan.
Wah, tentunya berat dan butuh proses panjang bila kita ingin merujuk dan meneladani sepak terjang Rasulullah SAW dalam menjalankan sekaligus menbentuk karakter beragama yang tercerahkan. Insya Alloh, kita akan sampai bila mau berupaya. Semoga.
PENULIS adalah Anggota Post-Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
[+/-] |
Naik |
Kenapa Bahan Pokok Harus Naik?
Oleh Yusuf Wibisono
Belakangan, rakyat Indonesia semakin terbebani dengan kenaikan bahan-bahan pokok yang melambung tinggi. Terutama rakyat kecil, semakin sulit untuk menikmati kehidupan yang layak di bumi Nusantara yang dikenal kaya dengan hasil buminya.
Ironis memang, bila melihat potret yang paradoks disekitar kita, di satu sisi banyak rumah mewah dan berjubelnya kendaraan yang model keluaran baru dengan harga yang selangit, sementara di sisi lain, sebagian masyarakat kita masih ada yang makan "nasi aking" atau " nasi second ". Inilah fakta sosial yang tak terbentahkan di era kepemimpinan SBY-JK, bahwa belum adanya perubahan yang signifikan di beberapa bidang terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat.
Apa yang terjadi bila masyarakat banyak yang mengeluhkan tentang kenaikan bahan pokok yang melambung tinggi dan tak terjangkau harganya oleh mereka? Bila hal itu terjadi terus-menerus, dapat dibayangkan banyak rakyat yang sulit mendapatkan makanan yang layak dan lebih parahnya mereka melanjutkan hidupnya dengan tertatih-tatih. Sehingga yang terbersit dalam benaknya adalah krisis kepercayaan terhadap pemerintah SBY-JK dalam menangani problem fundamental rakyat.
Dalam konteks ini, masyarakat pada umumnya tidak mempersoalkan dampak harga minyak dunia yang sempat menembus lebih dari 100 dolar, tapi secara riil mereka melihat ketidakadilan policy pemerintah dalam pemerataan kesejahteraan. Atau yang lebih lunak, rakyat menganggap rezim SBY-JK sudah tidak mampu lagi menjalankan roda kepemerintahannya. Oleh karena itu, boleh jadi fenomena ini akan mempengaruhi popularitas kedua pemimpin RI, apalagi berkaitan dengan kepemimpinan nasional ke depan.
Indikasi ini sudah jelas merefleksikan ketidakberdayaan pemerintah untuk meregulasi kebutuhan bahan pokok, padahal persoalan kebutuhan bahan pokok merupakan faktor fundamental yang tidak bisa dijadikan trail and error atau uji coba. Yang menjadi pertanyaan berikutnya, apakah memang harus berbading lurus antara kenaikan minyak dunia dengan bahan-bahan pokok? Dan Apakah pemerintah tidak dapat ekspansi pasar untuk menstabilkan harga-harga bahan pokok? Wallahu'alam..
[+/-] |
|
Google Language Tools, Berbahasa Asing itu Menyenangkan
Oleh Fauzan
Ternyata chatting pake bahasa asing itu mengasyikan. Pengalaman ini saya dapatkan bersama sahabat saya Ari dari Tanggerang. Kami berdua menggunakan bahasa Perancis yang kami sendiri tidak mengerti maksudnya. Kami menggunakan fasilitas translate yang disediakan oleh google.
Saya sendiri pernah mengikuti kursus dasar bahasa Perancis di jalan Purnawarman Bandung. Tak tanggung-tanggung, nilai akhir saya untuk pelajaran Perancis dasar adalah Tres Bien (very good). Hihi, narsis.
Back to chatting, pada mulanya Ari meminta saya untuk mengirimkan gambar2 Bekamenga, mantan striker Persib yang kini dikontrak FC Nantes. Saya lalu membuka situs camfoot.com, yang merupakan situs sepakbola Kamerun, negara asal Bekamenga. Situs itu memang memakai bahasa Perancis, dan dengan sedikit keterampilan berbahasa Perancis dan tentunya Google language tools, saya surfing ria di sana. Gambar2 Beka-pun saya dapatkan. Iseng2 saya kirim juga tulisan2 ttg Beka yang memakai bahasa Perancis. Tak diduga, Ari pun membalas dengan menggunakan bahasa Perancis. Akhirnya obrolan pun berlangsung memakai bahasa Perancis.
Kami sama-sama mengandalkan Google Language Tools dalam conversation ini. Namun sayangnya, bahasa yang bisa d translate adalah bahasa utama dunia, seperti inggris, Perancis, Jerman, Arab, Spanyol, dll. Bahasa Indonesia belum ada. Jadi setiap mau ngomong Perancis, kami terjemahkan dulu ke dalam bahasa Inggris, kemudian kami translate di google. Begitu pula ketika saya menerima jawaban. Bahasa Perancis yang saya tidak mengerti di translate dulu ke bahasa Inggris. Benar-benar merepotkan, tapi disanalah keasyikannya.
Kami berdua yang tidak mengerti bahasa Perancis, tiba-tiba bisa ngobrol nyambung dengan menggunakan bahasa tersebut lewat translate tool dari google ini. Dan berita-berita Bekamenga yang menggunakan Perancis-pun dapat dimengerti, karena salah satu fitur translate ini adalah menerjemahkan satu halaman situs dari satu bahasa ke bahasa yang lainnya.
Cobain deh! atau udah pernah nyobain? Google memang semakin memudahkan hidup kita, dan ternyata, bisa berbahasa asing itu menyenangkan.
[+/-] |
Ibnu |
Ibn Ghifarie. Lahir ke dunia ini di daerah Kandangwesi Bungbulang Garut Selatan, 24 tahun silam. Kawan-kawan dekatnya sering memanggilnya dengan panggilan akrab: Boelldzh (baca; Buled), dari pengertian basa Sunda, karena postur tubuhnya bulat.
Ia menempuh pendidikan kolor merah di SDN Bung Bulang II Garut. Pergi merantau sekolah menengah di Mts Tarogong, MAPK (Madrasah Aliah Program Khusus) Tarogong Garut.
Petualangan belajarnya kemudian parkir di UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada jurusan Studi Agama-Agama (d/h Perbandingan Agama). Konon, kelak ia sempat dikutuk menjadi “sekertaris” kaum aktivis di kampus tersebut.
Kini, ia hanya mungkin lebih banyak bertemu kita lewat ruang menulis. Sebab, “ruang tersebut memberi kehormatan besar bagi setiap orang yang ingin hidup beradab” ucapnya suatu ketika.
Lebih lengkap silahkan kunjungi profilenya