Jumat, 01 Februari 2008

Stasiun

Stasiun
Oleh Fani Ahmad Fasani

Siang datang lebih cepat dari dugaanku, padahal jarak antara malam dan pagi kurasakan jauh saat ditempuh. Aku telah memutuskan untuk menjemput. Matahari menatap mataku lalu perih, aku membuang muka, dia tahu aku belum tidur sekejappun.


Sudah jam sebelas lebih empat puluh delapan. Mungkin kurang dari setengah jam lagi kereta itu datang. Sebaiknya aku segera duduk syahdu di ruang tunggu. Setelah nanti pengeras suara mengumandangkan kedatangan mahluk besi melata itu, aku baru ke tepi rel. Kali ini aku merindukan gemuruhnya dari jauh, seperti pertanda hujan yang lekas. Kemudian setelah decitnya mereda, para penjemput berdiri, kuli-kuli angkut, pedagang asongan dan tentunya penumpang selanjutnya menyiapkan langkah segera. Aku akan menikmati berada di tengah mereka, seperti kembali menyambut harapan menghampiri.

Harapan itu, ketika aku datang ke kota ini menumpang kereta. Sebelum pergi aku dibekali sebuah novel oleh kakakku, paling tidak buat melawan rasa bosan di perjalanan katanya. Saat kereta mulai berangkat aku membuka halaman pertama. Aku lupa siapa penulisnya, mungkin kisah tentang perjalanan hidup seorang transmigran atau tentang seorang mantan pelukis yang bekerja di pemakaman, aku tak yakin. Lebih lagi, novel itu menuntutku untuk membacanya dengan perlahan, sedang kalimat-kalimat dari para penumpang lebih memburu dan menyita pikiranku. Aku lebih teralih pada wajah-wajah mereka, sebagian kantuk atau obrolan akrab tentang banyak hal. Novel itu tak pernah selesai kubaca dan mungkin potongan karcis itu masih terselip di sana. Aku merasa perlu bersukur untuk tidak ingat dimana menyimpan buku itu, bisa jadi karena ceritanya atau tentang apa yang terselip di dalamnya.

Aku menemukan raut wajah antagonis dengan kemeja hitam panjang, rambutnya tersisir rapi, peranku kini seperti Da vinci memergoki Judas di tengah keramaian. Lelaki itu berjalan menggigit rokoknya di sudut kiri bibir, saat menyalakannya kepalanya miring dan keningnya sedikit terlipat. Dari rautnya aku bisa percaya bahwa ia punya garis darah Ken Arok. Ia akan berangkat ke suatu tempat dengan tujuan terlarang, sialnya, kereta akan setia mengantarnya untuk tujuan apapun, bahkan jika ia berangkat untuk membunuh seseorang atau memisahkan dua kekasih.

Ah, aku tak perlu melanjutkannya, mungkin sebentar lagi kereta itu datang. Ia akan turun dengan kaos biru pekat seperti yang sering dia kenakan dulu, memakai jeans ketat yang agak kumal dan rambut diikat sempurna. Saat itu juga aku akan lupa dengan wajah sinis Judas bin Arok itu dan takkan pernah bisa lagi melukiskan wajahnya di tembok atau dimanapun, raut cucu Shiwa itu semakin tak bernilai untuk kuhapal. Buat apa jika wajah peran utama yang kutunggu akhirnya tampak? Aku akan menepuk bahunya saat ia menghamparkan pandangan mencariku sambil memanggil namanya dengan akrab. Ia akan menjerit kaget, lalu mengalihkan tasnya ke tangan kiri dan menyalamiku tangan kanan tentunya. Atau lebih baik meletakkan tas itu di lantai demi memelukku. Ia akan masih tetap perempuan termanis atau bahkan lebih lagi setelah sekian lama. Ah, semoga kereta yang membawanya setia di jalurnya, di jadwalnya. Semoga nanti ia tak bertanya kenapa hari ini mataku tampak merah dan jam berapa aku tidur semalam. Kali ini siang menampakkan kemalasannya, tapi sebelas menit lagi, sebelas menit lagi kereta itu, jika ia masih beriman terhadap jadwal.

Dulu aku tak sempat mengantarnya, tak sempat kata perpisahan memperoleh waktu pengucapan yang semestinya atau sedramatis yang pernah kuangankan, meski sehari sebelumnya kami membahasnya.

“Aku tahu, selanjutnya kau akan lebih nyaman tanpa aku. Kau tak perlu memaksakan datang jika aku minta ditemani atau mendengarkan cerita-ceritaku yang membosankan”. Aku diam, terlalu takut mengiyakan kalimatnya, komentarku akan terlalu panjang dan bertele-tele.

“Besok kau berangkat jam berapa?”

“Ia akan menjemputku jam sebelas lewat”.

“Siapa?”

“Senna, aku dijemput Senna”. Ia menjawab dengan cepat, sepertinya ia memang menanti-nantikan pertanyaanku itu. Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya berjalan kedekat pintu dan hatiku berdebar, mengapa terlalu cepat dari yang kuduga. Ternyata ia menggapai stop kontak di pinggir pintu untuk menyalakan lampu ruangan.

“Gambarmu sudah kau selesaikan?” Tiba-tiba ia bertanya tentang itu, aku bahkan lupa, apakah aku sempat memberitahukannya tentang hal itu. Semoga dia tidak tahu apa yang sedang berusaha kugambar.

“Belum, sepertinya aku takkan pernah bisa menyelesaikannya”. Ia kemudian berjalan ke arah jendela, aku segera mengalihkan pandangan dari pundaknya saat kurasakan ada yang meluap dari dalam hatiku, sesuatu yang membuat jari-jariku bergetar. Jarum jam di atas dinding mengabarkan penghujung senja, sialnya jarum panjang itu mengarah padaku, aku merasa waktu tengah menudingku. Atau mungkin karena aku memang selalu berada dalam posisi yang tidak semestinya.

Mungkin kini ia sedang menatap ke luar jendela kereta, ke arah lembah dan sawah-sawah, atau perkampungan yang sesak menghampar. Atau ia juga sedang menerawang ke arah dua tahun tujuh bulan empat hari yang telah lewat. Ah, mungkin juga tidak, bahkan ia tak menyebut-nyebut hal itu dalam suratnya. Ia hanya mengisahkan kejadian-kejadian setelah itu, keputusannya untuk pindah dari pekerjaan, ia tidak bertanya kenapa waktu itu aku pergi begitu saja saat ia pamit untuk ke luar sebentar. Mungkin yang membuatku bersedia berada di sini karena dalam suratnya ia tak satupun menyebut nama Senna atau siapapun. Atau mungkin alasan lain yang mendorongku kesini, alasan yang setelah menyita beberapa malam terakhir masih juga menampakan keterjalannya.

Pengumuman di pengeras suara tiba-tiba mengutuk lamunan. Kereta itu kiranya menjelang. Aku beranjak dengan maksud tepi rel, kakiku seperti mengukir sesal untuk langkah-langkahku yang telah, tanganku berkeringat, mungkin karena tubuh ini menuntut tidur. Aku sampai di tepian dengan sempoyong, aku merasa orang-orang disekitar menaruh rasa curiga yang berlebih terhadapku, perasaanku mengatakan orang-orang di belakangku masih mengawasiku. Deru dari jauh yang mampu membuat nyaliku kecut, kereta meliuk saat rel membelok, menyeret ngilu di hatiku, ia semakin mendekat.

Kereta berhenti, pintunya terbuka dan para penumpang turun tergesa, semoga mereka tak memikirkan untuk meruntuhkan dinding kereta. Aku mundur menghindari arus manusia. Aku semakin mundur menjauh, berusaha tak mengijinkan pikiranku untuk bertanya mengapa kulakukan. Baiklah, ini jalan terbaik yang dapat kupikirkan. Karena kemungkinan lain adalah aku tak menemukannya di antara orang-orang yang lalu-lalang disini, ia tidak datang dan esoknya aku akan datang lagi ke stasiun, beberapa kali memeriksa surat yang ia kirim, berharap keliru membaca tanggal yang dijanjikan. Aku menunggu hingga senja, hingga kereta bosan mengantarkan sekian banyak orang dan tak satupun diantara mereka yang aku tunggu. Kemudian aku akan menyesal telah membakar foto itu, karena tak bisa memperlihatkannya pada orang-orang saat aku mencarinya.

Atau mungkin ia memang datang, dengan baju biru tua dan keramahan yang tak bisa kubalas dengan sisa umurku. Ia akan mampir ke tempatku sebentar, memintaku mengantarnya ke penginapan atau menemaninya makan malam. Setelah itu iapun harus kembali pergi dan menjalani segala sesuatunya sebiasanya. Sedangkan aku, kembali pada bayangan-bayangan yang terlalu nyata untuk tidak kuimani. Bagiku kemungkinan ini lebih mengerikan!

Sepertinya memang lebih baik aku pulang, semoga tanpa sesuatupun dihari ini sempat menorehkan kesan yang berlebihan di pikiranku. Di sepanjang perjalanan orang yang berpapasan mengandung kata ejek dan ‘mengapa’. Sepertinya aku memang harus memilih rasa bosan yang sebiasanya hanya miliku dan kamarku. Dan aku menuju kamar, tak ada sambutan ataupun rasa rindu, tapi kali ini sedikit haru tiba-tiba bergejolak ketika kupegang gagang pintu. Jangan-jangan aku menemukan sepucuk surat lagi di depan pintu, orang memasukan lewat sela dibawah pintuku. Jangan-jangan ini kesempatan kedua. Tak membutuhkan kiasan saat aku membuka pelan pintu kamar. Kali ini aku akan langsung tidur, yang tanpa mimpi atau rencana untuk bangun. Atau berharap tidak terjadi.

Kamarku masih muram seperti saat kutinggalkan. Namun kali ini aku mencium aroma parfum yang tak pernah kubeli atau kucita-citakan meski kadang kurindukan. Lebih lembut dari melati tapi semenawan sedap malam, apakah ini aroma dari jenis bunga jarang yang tumbuh di tempat tak sembarang? Mungkin juga ada campuran rempahnya. Semoga ini bukan bau cat yang masih basah.

“Aku menunggumu..”, Tiba-tiba kudengar suara pelan dan mengancam, seolah telingaku sendiri yang berbicara. Sesosok bayangan di pojokan, menatapku dengan pandangan rawan. Aku menyelidiknya kemudian ia tertunduk.

“Siapa kamu?” Tanyaku kesal.

“Tak perlu khawatir, aku hanya arwah..” Aku terkejut mendengar jawabannya, kemudian aku merasa geli karena kupikir, jika memang hantu kenapa tak nampak hanya di malam hari.

“Jadi kau orang yang mampus?” Kataku mengejek.

“Tidak, aku bukan orang seperti yang kau pikir, aku hanya lukisan yang disobek pembuatnya. Dan percuma kau menatapku teliti, yang akan kau lihat hanya wajah seseorang yang kau pikirkan. Bukan wajahku sendiri”.

“Apa maksudmu?”

“Ada sebagian orang yang mampu mengundang napas ke atas kanvas dengan tangan dan cintanya. Seperti yang selama ini kau percaya”.

“Haha.. tak mungkin, tak ada hal semacam itu. Yang perlu kau temui adalah mahluk dari jenismu yang memahami ilmu jiwa. Lagipula kenapa kamu sampai dirobek pembuatmu sendiri, kenakalan apa yang kau telah perbuat?”

“Ia merobeku sebelum merobek.. sudahlah..”

“Jadi kau arwah seorang pelukis?”

“Bukan, setelah ia meninggal aku belum bertemu dengannya. Ia pernah memberiku warna dengan darahnya sendiri, saat itu ia kehabisan warna merah”.

“Sekarang, apa yang kau inginkan dariku? Kau bukan dari jenis yang meminta bunga dan doa-doa kan?”. Jawabku menyindirnya.

“Aku ingin kau menggambar sesuatu, maksudku seseorang”.

“Hah.. dengan darah? Atau dengan kotoran di kuku?”. Aku terus berusaha membuatnya tersinggung.

“Tidak, kau harus menggambar sebiasanya”.

“Untuk apa? Lagipula aku telah berhenti dua tahun empat bulan yang lalu. Aku berhenti menggambar sesuatu, bahkan sketsa.”

“Tidak untuk apapun selain untukmu sendiri, dan aku akan sangat kecewa jika kau tidak melakukannya”. Ia berkata dengan nada datar namun mengandung ancaman, entah kenapa kalimat itu mengingatkanku pada seseorang, ia yang sangat tidak ingin kukecewakan namun aku tak berani menuntutnya demikian.

“Baiklah, akan kucoba. Mungkin aku masih punya beberapa kanvas dan cat”. Aku membuka kembali kotak yang selama ini tak kusentuh, mungkin aku akan membuat gambar sejelek mungkin upaya terakhirku menyatakan kekesalan. Masih ada kertas-kertas berisi sketsa dan selembar kanvas serta cat, beruntung aku belum sempat memusnahkannya, atau aku memang tidak berniat melakukan itu. Aku menyiapkan kanvas dan cat, lalu mendekatkan asbak agar tak jauh dariku, dan satu hal lagi; aku selalu mengoleskan sedikit balsem atau minyak angin pada telapak tanganku jika hendak menggambar. Aku tak tahu ini untuk apa, dan sejak kapan aku melakukannya. Alu menatap satu-satu sketsaku yang lalu, entah kenapa hadir perasaan bahwa terlalu banyak garis menagihku. Entah tentang apa. Tiba-tiba aku teringat rel kereta, aku membayangkan memberdirikannya dan kujadikan tangga entah kemana.

“Jangan terlalu banyak mengingat yang telah lalu”, aku terkejut seperti pertama kali menemukan perempuan itu di kamarku. “Kau harus segera melakukannya, kau harus melakukannya dengan suka cita”.

Balsem di tanganku sudah mulai terasa hangat, aku mengambil kertas untuk membuat sketsa atau sebentar membiasakan gerak tanganku. Menajamkan pensil dengan silet, ia berbalik menatapku. Garis diagonal membelah oval, aku kira itu tak seharusnya. Aku teringat jam dinding di ruang tunggu stasiun yang pelan berjalan, aku menatapnya tiap tujuh menit. Satu lingkaran kecil di pinggiran oval; aku melihat wajah gadis kecil melongok dari jendela kereta, mungkin ia duduk dipangkuan ayahnya yang mengantuk. Matanya seperti tak pernah rela meninggalkan stasiun, meski sekilas aku sepertinya bisa menebak apa saja yang sedang ia kenangkan, mungkin sepetak tanah di tepi mesjid dimana ia bermain tali pada sore hari. Kertasku belum menyajikan bentuk yang sungguh, mata pensil menyindirku. Aku merautnya kembali dengan kelelahan yang tak kumengerti. Tangan kananku bergetar menggerakkan silet, tangan kiriku memegang pensil dengan erat, urat-urat dilenganku kiriku hijau membayang.

“Kau belum membutuhkan warna merah”. Aku merasakan pundakku basah, seorang perempuan menepuk halus pundakku, mungkin tangannya berkeringat, atau itu benar-benar cat. Semoga memang pundakku saja yang memang basah. Mataku terasa perih, sepertinya aku benar-benar perlu tidur. []



Cileunyi, 21 September 2007

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Stasiun