Rabu, 30 Januari 2008

Sajak

Sajak Gagal
Oleh Fani Ahmad Fasani

Pada bagian ini aku hanya ingin mengatakan bahwa mungkin sudah sewajarnya aku merasa beruntung karena tidak berada dalam suasana kasmaran. Aku tidak harus menulis puisi, itu yang pertama kali harus aku syukuri.

Memang sejak dulu aku memang merasa tak pernah berhasil menulis puas sepotong puisi, jika sudah jadi paragraf kecurigaan selalu lebih panjang dalam kepalaku tinimbang puisi itu sendiri. Aku selalu merasa kata-kata enggan berpihak pada keterbatasan ungkapku.

Lagipula siapa yang menetapkan kewajiban menulis puisi jika sedang kasmaran? Dan bukankah selalu ada jalan lain untuk mengatasi gagap ungkap dalam sajak, mungkin bisa dengan laku mbeling itu, semacam anggapan santai; jika kita masih bersusah payah memikirkan bikin puisi, jadi apa kita? Bangsa lain sudah berhasil membuat pesawat, kita masih sibuk dalam jibaku menganggap kata seolah hantu.

Takut sekaligus kagum. Kenapa kita sering pikun terhadap bahasa, yang seharusnya kita kerasan di dalamnya. Ariel Heryanto pernah bilang kapan dalam jaga kita tidak terlibat dengan bahasa?, bahkan sesekali dalam tidurpun kita mengigau.. atau sedikit lebih fenomenologis; bahwa kita hanya mungkin menyapa ‘ada’ di tanah tumpah bahasa. Beruntung, tak ada yang pernah merasa selesai dengan urusan kata-kata. Jika demikian apa yang bisa dikerjakan dewan bahasa dan bagaimana nasib bisnis penerbitan?

Ah, kenapa menyalahkan rasa kasmaran hanya gara-gara aku selalu merasa gagal membuat sepotong puisi. Mungkin aku harus menuruti apa yang dikatakan Pak Bq, untuk jangan melakukan dua pekerjaan sekaligus. Maksudnya jika aku menulis, menulis saja. Jangan sekalian menilai, karena biasanya menulis akan menjadi sulit.

Selalu terasa jelek. Atau lebih aman jika nilai itu dijauh tempuhkan pada yang lain, biarkan orang muntah terserah membaca puisiku meski bukan berarti aku sudah tak berurusan lagi dengan puisiku. Terus bagaimana dengan rasa kasmaran yang kuletakkan dalam kerangka antagonistik? Mungkin rasa syukurku adalah ratapan yang selingkuh.

Bahwa orang yang sedang kasmaran biasanya tak begitu terbebani dengan soal penilaian ini, mereka seolah berada dalam desakan yang cukup bagus untuk segera berpuisi. Rasa syukur ini berarti yang harus dicurigai, jangan-jangan berasal dari rasa frustasiku karena selalu merasa gagal menjabat sepenggal puisi, lalu menuntut pembenaran bahwa wajar saja aku gagal karena aku tidak sedang kasmaran.

Akh, kekonyolan apa yang mengantarkan aku pada anggapan bahwa puisi hanya terbatas pada ungkap rasa kasmaran? Apalagi rasa kasmaran yang kubayangkan terbatas pada sesosok yang disebut perempuan. Bukankah kita juga bisa kasmaran pada puisi itu sendiri? Mungkin gara-gara kemarin temanku Mufti meminta pendapatku tentang puisinya yang dia tulis untuk perempuan. Tapi seorang temanku pernah berpuasa menulis puisi gara-gara pacarnya cemburu, cemburu terhadap puisi padahal sebelum ia menjadi pacar sering kagum pada puisi-puisi yang dikirim temanku itu.

Mungkin ia hanya cemburu pada hal-hal di luar puisi, pada banyaknya perempuan yang meminta puisi atau bertanya soal puisi selepas temanku itu membacakan puisi di depan umum. Berarti memang puisi tak layak dicemburui meskipun seringkali dikasmarani. atau mungkin tidak pernah sama sekali sejauh yang kualami.



Cileunyi, November 2007

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Sajak