Selasa, 29 Januari 2008

Mengapa

Mengapa Harus Beragama?
Oleh Ahmad Sahidin

Dalam kitab “thabaqot assufiah” karya Zunnun al-Misri (796-860 M) menceritakan bahwa dirinya sering diejek karena melakukan praktek-praktek agama yang dianggapnya tidak berguna. Suatu hari Zunnun bertemu dengan orang yang mengejeknya itu. Orang itu disuruhnya untuk menggadaikan cincin permata miliknya ke pasar dengan harga satu dinar.

Dan ternyata di pasar tidak ada seorang pun yang membelinya. Kemudian orang itu datang kembali kepada Zunnun seraya mencemoohnya. Saat diperlakukan seperti itu sang sufi malah tersenyum dan menyuruhnya pergi ke ahli permata untuk menaksir harganya. Sesampainya di tempat ahli permata, cincin Zunnun yang dibawa orang itu ditawar seribu dinar. Setelah kembali, sang sufi berkata kepadanya, “pengetahuanmu tentang agama sama dengan pengetahuan orang-orang di pasar itu”.

Itulah catatan yang saya kira ada hubungannya dengan kehidupan di masyarakat kita. Terutama mereka yang hidupnya berada dalam lingkungan yang kurang taat dalam beragama. Seringkali mendapat kecaman bahwa ibadah-ibadah yang kita lakukan adalah kesia-siaan. Ada beberapa alasan yang biasanya mereka lontarkan, di antaranya shalat dan puasa itu hanya memperlemah fisik sekaligus membuang-buang waktu saja. Ngapain mengosongkan perut dan shalat tiap lima waktu sekali kalau tidak mengenyangkan perut, membuat fisik lemah dan mengganggu aktivitas saja. Inilah yang biasanya mereka jadikan hujjah (pegangan) dalam menolak “identitas” yang melekat di KTP-nya.

Ya, bukankah monyet bila disodorkan dua pilihan, antara pisang dan emas 24 karat, pasti akan mengambil pisang. Benar, karena monyet tidak tahu nilai atau harga yang terkandung dibalik emas tersebut. Artinya, seseorang yang tidak punya pengetahuan (jahil) tentang nilai-nilai dan makna haqiqiyah maka akan menganggap agama sebagai penghambat kemajuan hidup. Al-Qur`an menyebut orang-orang yang bersikap demikian sebagai orang “buta” dan “tuli” (al-Baqarah [2]: 18). Mereka punya telinga tapi tidak mau mendengar, mempunyai mata tidak dipakai untuk membaca dan mengkaji sumber kebenaran, mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk merasakan dan menyadari adanya kebenaran.

Maka pantas bila Allah SWT memberi peringatan, “Barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat ia akan lebih buta dan lebih tersesat” (al-Isra’[17]: 72). Tepatnya bukan buta mata secara fisik melainkan buta mental dan spiritual dikarenakan telah terhalangi dengan kecintaan dunia dan tak sadar adanya akhirat. Faktor inilah yang saya anggap sebagai “berhala-berhala” yang menjadikan masyarakat terkena wabah sekuler dan agnotis (skeptis/ragu-ragu).

Biasanya, fenomena ini akan menjadi penyakit yang perlu diobati. Dengan cara apakah kita mengobatinya? Apa yang harus segera dilakukan jika melihat kondisi kehidupan masyarakat yang mulai cenderung sekuler dan agnotis, bahkan atheis?

Allah SWT dalam al-Quran berfirman, bebaskan budak dari perbudakan! (al-Balad:13). Saya mengartikan, ayat ini berkaitan dengan cara dalam memasarkan ajaran dan nilai-nilainya. Yang pertama adalah kita harus instrospeksi dan mengkritisi terhadap metode dan kemasan bahasa dakwah yang berkembang di tengah masyarakat kita. Kedua, memulai dari saat ini dan dari yang terkecil untuk merealisasikan dan membuktikan kepeduliannya terhadap kaum mustadhafin dengan memberikan berbagai bantuan dan kebutuhan-kebutuhan yang telah membuat mereka lupa atas identitas yang melekat di KTP-nya. Yang ketiga adalah mengajarkan ajaran-ajaran agama yang paling ringan, termudah dan tidak memberatkan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Ini solusi praktis bagi masyarakat biasa.

Namun bagi mereka yang kualitas keilmuannya di atas rata-rata masyarakat, mau tak mau harus berani melakukan dialog yang kontruktif. Bukan destruktif. Oleh karena itu, sangat penting sekali mengenali agama dan makna yang terkandung di dalamnya, termasuk apakah manusia memang membutuhkan agama? Pertanyaan ini yang saya kira penting dan mendesak untuk dijawab. Sebab dengan jawaban yang jelas dan logis, sehingga mereka bisa menerima dengan yakin bahwa agama yang dianutnya itu bermakna bagi dirinya.

Arti agama
Istilah agama merupakan terjemahan dari Ad-Din (dalam bahasa Arab). Ad-Dîn dalam Al Quran disebutkan sebanyak 92 kali. Secara bahasa, dîn diartikan sebagai balasan. Al Quran menyebutkan kata dîn dalam surat Al-Fatihah ayat 4, maliki yawmiddîn – “(Dialah) Pemilik (raja) hari pembalasan. Begitu juga pada sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, ad-dînu nashihah (Agama adalah ketaatan).

Sedangkan secara istilah, dîn diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, hukum, dan norma yang dapat mengantarkan seseorang menuju kebahagiaan manusia. Kebahagian dan keselamatan inilah yang kadang sering menjadi cita-cita yang dikejar tiap umat manusia di dunia. Siapa sih yang tak mau bahagia? Tentu sedikit sekali orang yang tak menginginkan hal tersebut. Dan kebanyakan orang sangat berharap dengan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Di dunia ini, Tuhan Yang Mahaesa telah memberikan jalan dan petunjuknya berupa agama yang dibawa para Nabi dan Rasul Allah. Juga ada, bila kita mau mengakuinya, agama yang didasarkan atas hasil proses berpikir dan perenungan yang mendalam, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran yang bisa mencerahkan masyarakat. Agama jenis ini biasanya dibawa para filsuf, mistikus, tokoh adat dan lainnya. Mereka mengembangkan dan menjalaninya disesuaikan konteks budaya lokal yang ditempatinya. Di Indonesia, dikenal beberapa aliran seperti Aliran Perjalanan (kepercayaan Sunda), Madrais (Agama Jawa Sunda), Agama Wetu Telu, dll. Betulkah kepercayaan-kepercayaan ini sebuah kebenaran yang dibenarkan atau diturunkan Ilahi?

Bagi saya, yang awam dalam persoalan ketuhanan, tak penting untuk dipertanyakan. Yang harus kita ungkap adalah, mengapa agama begitu penting bagi manusia? Atau butuhkah manusia dengan agama?

Agama itu sebuah pilihan
Husein al-Kaff, Assatidz Hauzah Ilmiyah Al-Jawad Bandung, menyebutkan bahwa manusia merupakan satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibandîng makhluk-makhluk lainnya. Sebab ia berasal dari unsur hewani (materi) dan unsur ruhani (immateri). Bila dilihat dari sisi hewani, manusia bisa dikategorikan binatang. Namun dari kekuatan fisiknya, manusia tak bisa melebihi binatang—karena punya kelebihan-kelebihan yang tak dimiliki manusia.

Namun bila menyimak al-Quran Surat An-Nisa ayat 28 dan Ar-Rum ayat 54, Allah SWT menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan lemah. Kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua. Karena itu, menurut Husein, sangat tak pantas bila manusia berbangga dengan penampilan fisiknya. Memang harus diakui kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (hati dan akal). Dengan akal, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di atasnya. Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bil-quwwah) yang perlu difaktualkan (bil-fi’li) dan ditampakkan. Karenanya, wajar bila ada manusia yang lebih utama dari sebagian lainnya—karena hasil usahanya sendiri. Bahkan ada pula manusia yang menampakkan potensinya itu hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya—bahkan lebih dari hewan (QS. Al-A’raf : 170 dan Al-Furqan : 42).

Selain akal dan hati, fitrah termasuk unsur ruhani. Fitrah ini merupakan modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Ayatullah Syahid Murtadha Muthahhari menyebutkan ada lima macam fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia, yaitu mencari kebenaran (haqiqat), condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (kreasi) dan cinta (isyq) serta kecendrungan untuk beragama.

Bila kita cermati, kecenderungan beragama ini merupakan fakta yang ada pada tiap diri manusia. Sadar atau tidak, manusia punya kecenderungan untuk menghubungkan dirinya dengan kekuatan yang Mahasempurna dan Mahasegalanya—sebagai bentuk ketidakberdayaannya.

Harus diakui bahwa tak mudah melihat apakah benar manusia punya kecenderungan beragama ini. Namun Al-Quran—mungkin juga agama-agama lainnya—mengakui bahwa manusia punya pilihan untuk beragama ataupun tidak. Ini tergantung manusianya. Apakah ia melakukan perenungan hingga mendapatkan pencerahan bahwa dirinya butuh agama? Atau sebaliknya, setelah perenungan itu meyakini bahwa ia tak membutuhkan agama? Namun harus diakui fitrah—beragama—itu ada dengan sendirinya. Hanya keberadaannya berbeda, ada yang kuat dan ada yang lemah—tergantung seberapa besar pengaruh-pengaruh yang menerpanya. Karena itu, manusia tidak harus dipaksa beragama.Tapi cukup untuk merenungkan hakikat dirinya dan keberadaan semesta ini—sehingga bila sadar ia dengan sendirinya mengakui dirinya tak berdaya dan membutuhkan Yang-Mahasegalanya.

Meski kecenderungan beragama ini bersifat pilihan, namun untuk menentukan yang pantas disembah yang menentukan akal. Jadi, mengapa manusia harus beragama? Jawabannya, beragama itu merupakan fitrah manusia—”Maka hadapkanlah wajahmu kepada dîn dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan” (QS. Ar-Rum : 30).

Karena agama itu sebuah pilihan, sebagian Umat Islam menjadikannya pegangan hidup (way of life) dan tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Islam agama yang luhur dari segi nilai-nilai dan secara praktek telah dibuktikan dalam sejarah, tatanan masyarakat yang dibangun Rasulullah SAW pada abad 7 Masehi sangat baik, aman, damai dan tercerahkan.
Wah, tentunya berat dan butuh proses panjang bila kita ingin merujuk dan meneladani sepak terjang Rasulullah SAW dalam menjalankan sekaligus menbentuk karakter beragama yang tercerahkan. Insya Alloh, kita akan sampai bila mau berupaya. Semoga.

PENULIS adalah Anggota Post-Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Mengapa