Kamis, 31 Januari 2008

Cinta

Cinta Platonic Kaum Ojeg
Oleh Ifran Amalee

Seandainya cucu saya nanti membaca tulisan ini, diam-diam saya menunggu mereka berteriak, “Wow kisah cinta kakek gue amazing banget!” Nggak salah dong kalau ingin dikenang anak cucu?

Sebelum mereka membaca kisah cinta Putri Burdur dan Qamaruzzman, atau kisah roman tragis Romeo dan Juliet, dan sebelum mereka (dan ini yang lebih penting) diracuni gosip cinta segitiga para artis sinetron, kisah cinta kakeknyalah yang pertama harus mereka ketahui. Bener nggak? Gimana nggak, sedahsyat apa pun pengorbanan Romeo, nggak bakal ngaruh sama nasib anak cucu saya. Tapi, kisah cinta sang kakek dan nenek punya saham besar membentangkan cerita hidup mereka. Meskipun ini buat anak cucu saya, siapa pun kamu, boleh kok menyimaknya!

Tapi, sebelum memasuki episode kisah cinta yang dahysat itu, saya ingin bercerita tentang sebuah keluarga dengan tujuh orang lelaki dan seorang perempuan yang hidup di dalamnya. Tujuh orang lelaki itu adalah seorang bapak yang berprofesi sebagai guru SD dengan masa pengabdian lebih dari 30 tahun, dan enam orang anak, dengan usia berselang 2 hingga 3 tahun. Jika enam orang kakak beradik itu difoto berbanjar, dari yang paling bungsu hingga si sulung, maka akan terbentuklah konfigurasi anak tangga yang rapi. Dan laki-laki kurus kedua setelah si bungsu pada barisan itu adalah saya. Sedangkan satu-satunya perempuan di keluarga itu adalah seorang ibu yang stok kesabarannya nggak pernah devisit.

Perempuan yang menjadi kaum minoritas serta himpitan hidup yang begitu berat untuk dipikul seorang guru SD, menjadikan suasana di rumah begitu maskulin, keras. Kehidupan keluarga dijalani dengan kerja keras, anak-anak harus belajar dan menjadi pintar agar satu hari nanti mereka tidak terjebak lagi dalam siklus nasib pegawai negeri. Ayah saya menerapkan disiplin yang keras, tak ada kegiatan yang sah di rumah selain kegiatan agama dan belajar. Tanpa terasa atmosfir di rumah menjadi laki-laki bangeut. Dan belakangan saya sadari kondisi seperti itulah yang membentuk saya menjadi kaku, termasuk pada makhluk yang bernama perempuan.

Di lingkungan rumah, saya saqya cuma main sama anak lelaki. Meskipun di usia itu belum mengenal jender, tanpa disadari, pelan-pelan persepsi di kepala terbentuk bahwa perempuan adalah makhluk yang berbeda, bahkan asing, mungkin seperti alien. Ketika menginjak masa akhir SD, teman-teman sepermainan mulai berdandan rapi, mereka mengusir bau matahari dari tubuh mereka dan menggantinya dengan minyak wangi sinyonyong, mereka mulai bermain dengan anak-anak perempuan yang mulai berdandan pula, saat itulah saya merasakan bahwa pertemanan sudah dikhianati! Saya menuduh mereka sudah bersekutu dengan alien. Jika saat itu saya sudah mengenal Soe Hok Gie, mungkin saya bakal berteriak, “lebih baik diasingkan daripada jadi ABG!” Ketika anak-anak seusia saya berubah jadi don juan muda, saya memilih bersekutu dengan anak-anak kecil. Perasaan ditinggalkan saya usir dengan mengorganisir tim sepakbola anak-anak, membuat pistol-pistolan kayu dan mobil-mobilan dari bungkus rokok . Meskipun untuk semua itu, saya mendapat julukan “raja budak!”

Ketika karir masa ABG teman-teman saya makin meroket dengan masuk SMP, mereka mulai menulis surat cinta pada teman sekelasnya, sementara saya semakin jauh dari dunia perempuan. Saya masuk pesantren, sebuah sekolah asrama yang siswa laki-laki dan perempuan dipisahkan dengan sebuah benteng. Benteng itu memperkuat persepsi saya bahwa perempuan adalah makhluk yang berbeda. Hampir enam tahun hidup di pesantren itu, kami bisa melihat makhluk asing bernama perempuan hanya dalam beberapa kesempatan: pertemuan santri sebelum libur bulanan, olah raga (karen lapang sepakbola berada di tengah-tengah lokasi putra dan putri), dan di jalan yang melintas antara lokasi putri dengan pintu gerbang pesantren. Di luar itu kami hanya melihat perempuan di dunia luar ketika kami libur sehari setiap bulan (itu pun jika punya uang untuk pulang) atau ketika libur panjang. Sisanya selama tujuh hari seminggu, 12 bulan setahun, selama enam kali bumi mengelilingi matahari, kami hidup dengan kaum lelaki di sekolah asrama yang sempit acak-acakan. Eh, Asrama itu sebenarnya bisa rapi kalau ada lomba kebersihan antar asrama, itu pun cuma sebentar. Setelah juri melakukan penilaian, beberapa menit kemudian asrama kembali ancur abis, seperti rumah yang sudah dirazia datasemen88 karena dicurigai sebagai markas teroris.

Dua belas tahun hidup di tengah keluarga dengan 6 laki-laki dan cuma seorang perempuan, saya nggak pernah diberi pengetahun yang cukup tentang seluk beluk makhluk bernakma perampuan, dan nggak pernah diberi kuliah khusus tentang sebuah konsep gaib bernama CINTA. Hingga suatu hari di tahun kedua di pesantren saya saksikan teman-teman melakukan hal-hal konyol. Mereka menulis puisi dan surat dengan kata-kata indah, lalu memasukkannya ke dalam amplop wangi, dan menitipkannya pada emak-emak petugas dapur. Beberapa hari kemudian mereka menerima amplop serupa, lalu membukanya dengan hati-hati seperti seorang putra mahkota mendapatkan surat wasiat dari raja. Surat itu dibaca sendiri atau bergorombol di ranjang asrama. Tak lama berselang, si penerima surat menampakkan senyum kemenangan dan teman-teman lain memberikan selamat. Tapi kadang kejadiannya bisa berbeda, si penerima surat bermuka kusut mirip ekspresi santri yang weselnya telat, lalu teman-teman lain mencemoohnya sambil memperlihatkan lembaran surat itu kepada teman-teman lain. Di dalam surat itu ada kata yang membuat hati si penerima surat luluh lantak: DITOLAK!

Satu persatu teman saya bersekutu dengan alien. Dan saya tetap belum juga tahu mahluk gaib bernama CINTA. Waktu itu belum ada penyeranta atau telepon genggam. Semua laluintas persuratan dan ucapan salam mengalir deras dari putri ke putra dan sebaliknya melalui kurir ilegal: para emak dapur yang bekerja di teritori perbatasan. Meskipun saya nggak pernah menggunakan jasa kurir itu, tetapi saya pernah juga sih merasakan jasanya, beberapa salam dan surat pernah saya terima, meskipun saya nggak tahu apa artinya. Saya lebih senang bersekutu dengan teman-teman yang sealiran.

Sikap dan pandangan terhadap makhluk asing bernama perempuan membaut teman-teman sekelas terpecah menjadi dua partai. Partai petama adalah teman-teman yang say aceritakan tadi, yaitu kelompok anak-anak ingusan yang ganjen dengan menulis surat cinta dan menjalin hubungan backstreet dengan santri putri. Partai kedua adalah orang yang tetap istqamah memegang khittah (kayak ormas aja). Kelompok pertama kami sebut kaum “buayawan” (pelesetan dan budayawan) yang diambil dari kata buaya, nggak tahu kenapa buaya selalu difitnah identik sama sifat ke-playboy-an. Untuk mengenali kaum buayan, nggak terlalu susah. Tampilan mereka keren, necis, di lemarinya biasanya selalu tersedia sisir, kaca, minyak rambut Urang-aring atau Lavender, deodoran serbuk BB Harum Sari, serta stok kertas plus amplop surat wangi. Anggota kelompok ini terdiri dari laki-laki berwajah di atas rata-rata, kalaupun ada anggotanya yang berwajah minus, biasanya mereka mengandalkan rasa pede dalam takaran overdosis.

Kelompok kedua menamakan diri OJeG akronim dari “Organisasi Jomblo Ganteng”. Eh, kata ganteng di sini sama sekali nggak menunjukkan realitas sebenarnya. Ini cuma pembelaan: ingin mengungkapkan bahwa kejombloan anggota kelompok ini bukan karena mereka jelek dan nggak laku. Biasanya anggota kelompok ini terdiri dari orang orang yang memang nggak mau pacaran, karena itu melanggar aturan pesatren. Ada juga anggota yagn memang pengecut, nggak punya cukup keberanian untuk memanifestasikan cintnaya. Tapi ada juga sih yang merupakan mantan buayawan terekstradisi gara-gara mereka diputuskan atau ditolak santri putri. Dan orang-orang yang berada di area abu-abu, yang nggak punya sikap, secara otoamatis kami klaim sebagai anggota partai ini. Tentu saja kamu bisa menebak kalau saya ada di organisasi ini. Bahkan lebih dari itu, saya adalah pejabat teras di organisasi ini. Bersama seorang teman bernama Elpi (meskipun namnya Elpi, dia laki-laki tulen, nama itu diberikan ayahnya, karena dia lahir waktu ayahnya ikut seminar Lembaga Penelitian Indonesa yang disingkat eLPI). Bersama dialah saya mrumuskan platform dan filosofi organisasi ini. Percaya nggak, platform itu tetap kami anut hingga bertahun-tahun kemudian, bahkan ketika saya sudah menikah, Elpi tetap menjomblo.

Tapi jangan salah sangka, meskipun OJeG ini kumpulan orang jomblo, bukan berarti isinya laki-laki nggak normal, kita teteup punya rasa punya hati (kayak rocker). Kami punya konsep cinta sendiri, cinta platonik: cinta rahasia yang hanya disimpan dalam hati dan tak perlu dimanifestasikan dengan cara yang tolol seperti kaum buayawan. Kalau nggak salah, konsep ini ditemukan tidak sengaja ketika kami membaca tulisan Faisal Baraas di kolom Beranda Rumah Kita HU Republika sekitar tahun 1993. Fasial Baraas menulis sebuah cerpen yang indah, kisah cinta yang tak diungkapkan antar dua orang mahasiswa kedokteran. Mereka memnjalin persahabatan dan memendam rasa cinta tanpa mengunkapkannya hingga 6 tahu lamanya. Ketika mereka diwisuda bersama, si lelaki langsung melamarnya, dan cerita pun berakhir happy ending. Pelajaran cinta yang amazing banget buat sekte kami: bahwa cinta tak usah dungkapkan, biar cinta memancar sendiri membentuk tali gaib yang mengikat kesetiaan dalam waktu yang lama.

Menanggapi tulisan itu, kaum buayawan meragukan cerita itu dengan mengatakan, “Bagaimana kalau kita belum sempat mengungkapkannya, orang lain lebih dulu mengungkapkan cintanya. Akhirnya orang yang kita cintai direbut orang?”. Kami hanya menjawab dengan sebuah mitologi Yunani yang juga menjadi filosofi OJeG: bahwa manusia itu dulunya punya dua kepala, dua badan, empat tangan dan empat kaki, tapi cuma punya satu hati. Lalu tuhan memisahkan mereka, yang satu jadi laki-laki yang satu perempuan. Mereka punya badan yang utuh, tapi hatinya cuma sepotong! Ketika kita hidup di dunia sebetulnya di suatu tempat (yang tak pernah kit aketahui) ada seorang perempuan yang dulunya belahan jiwa kita. Satu sama lain akan saling mencari. Jangan takut ketuker, kita akan bertemu dengan pasangan jiwa kita (suatu hari nanti). Saya percaya betul mitologi itu. Kepercayaan itu ternyta terbukti beberapa tahun kemudian.

Filososfi partai OJeG semakin kuat ketika kiayi kami mengungkapkan sebuah resep yang tak pernah saya lupakan. Oh iya, jangan bayangkan kiayi kami sebagai orang berjubah putih seperti pangeran diponegoro. Dia itu laki-laki tua bertopi koboy. Kami tidak menyebutnya “Kiayi” tau “Buya”, kami menyebutnya “Babeh”. Menurut saya, dialah orang dengan pendirian paling kuat yang pernah saya tahu. Demi mempertahankan prinsipnya itu dia rela melepaskan jabatan anggota dewan dan memilih membuat pesantren di pinggir kota Garut. Tapi keyakinanya yang kuat itu juga yang membuat pesantren ini menjadi satu dari sedikit pesantren Muhamadiyah yang diperhitungkan dan masih survive hingga sekarang. Setiap akan libur bulanan, sebelum kami pulang ke rumah, biasanya Babeh akan menyampaikan pengumuman seputar kenaikan iuran, peraturan pesatren dan sedikit wejangan. Saya nggak pernah ingat pasti apa yang dia sampaikan selain sebuah kalimat yang berbunyi, “Mun naksir santriwati, tulis we ngarana di kertas, terus sakuan.” Artinya kira-kira begini, kalau kita ngeceng sama cewek, cukup tulis saja namanya, terus kita simpan tulisan itu di saku. Ucapan itu mungkin cuma kekesalan Babeh sama santri sejenis kaum buayawan yang akhir-akhir ini makin ganas melakukan manuver, sering tersiar kabar santri dan satriwati meeting di kota ketika liburan. Babeh menyarankan agar santri nggak usah dulu pacaran, deh. Kalau ngeceng boleh, nggak lebih dari itu. Tapi buat saya, ucapan Babeh itu menjadi kata bertuah buat kaum OJeG. Saya nggak ingat betul kenapa saya terdorong saya melakukan saran Babeh dalam arti sesungguhnya. Dan saya nggak sadar bahwa apa yang saya lakukan menjadi titik awal karir cinta platonik saya.

Libur bulanan bagi kami seperti oasis bagi musafir padang pasir yang nggak nemu air selama 30 hari. Kami berkesempatan pulang ke rumah orangtua. Orang-orang Garut pulang dijemput atau naik angkutan kota, orang-orang Jakarta biasanya ikut orang Garut untuk perbaikan gizi atau tetap tinggal di asrama. Orang Bandung biasanya mengorganisir acara pulang bersama dengan mencarter bis MIOS. Nama-nama santri putra dan putri yang akan ikut pulang bersama dicatat dalam selembar kertas. Bagi siapa pun catatan itu tidak lebih dari kertas biasa, yang suatu hari bakal mampir di warung Bi Icah dan menjadi bungkus bala-bala. Tapi bagi saya, kertas itu menjad kertas terpenting dalam sejarah hidup saya. Di kertas daftar nama itu saya menemukan sebuah nama paling indah. Saya lipat kertas itu hingga menjadi lipatan yang sangat kecil dan hanya tersisa sebuah nama, “Mila Aparilia Zakiah”. Lipatan kertas itu saya simpan di saku dompet saya yang dilapisi plastik transparan, hingga setiap saya membuka dompet itu, nama itu selalu mengambil perhatian pertama.

To tell the truth, melihat wajahnya Cuma 3 kali. Pertama, ketika dia naik podium menerima anugerah sebagai anggota IRM (OSIS) teladan. Melihatnya for the first time, saya de javu, seperti melihat bayangan wajah sendiri di air yang sedang beriak kecil. Belakangan banyak teman yang mengatakan bahwa wajah kami mirip. Dan itulah yang membuat saya makin yakin, bahwa kami adalah sepasang manusia yang dulu tuhan pisahkan. Oh iya, satu teori yang juga menjadi keyakinan kaum OJeG adalah bahwa sepasang jodoh pastilah memilki wajah yang mirip.

Pertemuan kedua terjadi pada sebuah pelatihan kepemimpinan. Sebagai panitia saya bisa mengamatinya dalam jarak yang cukup aman. Saya melihat wajahnya dalam jarak yang cukup dekat, dan dapat menangkap wajah seorang perempuan yang sepertinya selalu ingin menangis. Pertemuan terakhir terjadi ketika dia memutuskan untuk keluar dari pesantren dan melanjutkan ke SMA 8 Bandung. Waktu itu saya nggak sempat lihat wajahnya. Dari kejauhan dia berpamitan kepada teman-temannya dengan membawa semua peralatan, layaknya orang pindah rumah. Tiba-tiba saja saya merasakan kehilangan seseuatu, meskipun tidak pernah memiliknya. Seandainya ada pohon dan hujan turun, kayaknya saya bakal berubah jadi Sakhru Khan yang menari mengelilingi pohon sambil bernyanyi di bahwa guryuran hujan. Melolong sejadi-jadinya …

Tapi saya masih loyal pada khittah korps OjeG, saya masih yakin pada kebenaran cerpen Faisal Baraas, saya juga yakin pada resep cinta platonik Babeh. Lipatan kertas dengan sebuah nama masih tersimpan rapi di dompet dan terus bertahan hingga empat tahun berikutnya. Saya tak gentar walaupun sejumlah kabar burung mengatakan bahwa dua orang kakak kelas saya menjadi rival memperebutkannya. Tapi saya tak pernah merasa bersaing dengan siapa pun, sebab dia adalah mansua dengan hati sepotong, dan sepotongnya ada di dada ini. Wajah saya lebih mirip dibanding dengan orang-orang yang mengaku sebagai pesaing. Soal persaingan ini banyak hal yang agak konyol terjadi.

Sebagai komunitas yang terdiri dari sekitar 400 orang santri laki-laki yang hidup di sebuah komplek asrama, kami selalu berkumpul setiap acara makan. Ketika itulah saya sering berpapasan dengan kakak kelas yang disebut-sebuat sebagai saingan. Dan saat ituah teman-teman kami memanas-manasi, seperti serombongan suporter yang sedang mengarak jagoannya memasuki ring tinju. Bahkan satu ketika saya pernah diseret dari asrama menjuju lapang pingpong. Saya baru sadar maksudnya setelah melihat seseorang yang berdiri di seberang meja dengan bet di tangan, tatapannya seolah berkata, “ayo kita buktikan siapa yang berhak mendapakatan perempuan yang kita perebutkan!”

Saya percaya intuisi dan imajinasi lebih canggih daripada pengetahuan logis, sebelum saya tahu bhwa Enstein mengatakan hal serupa. Intuisi saya mengatakan bahwa tuhan sudah menuliskan skenario kisah cinta saya, sperti seorang programer komputer menliskan kode-kode HTML untuk programnya. Meskipun tersiar kabar bahwa permpuan yang namanya tertulis pada kertas di dompet itu sempat hilang dari radar saya, beberapa musim lamanya. Saya percaya dia perempuan yang akan duduk di sisi saya ketika sang penghulu membimbing membacakan kalimat akad. Ternyata intusi itu seperti anjing, selama kita mempercayainya, dia akan mengabdi pada tuannya. Tidak pernah berkhianat. Kalau kamu nggak percaya, datanglah ke rumah saya, kamu pasti disambut seorang perempuan bernama Mila Arilia Zakiah yang sekarang Ibu dari Kafa Billahi Kafila, putri kami: Bukti nyata hasil cinta platonik yang diyakini. Edan teu?

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Cinta