Nabi Kambing
Oleh BAMBANG Q ANEES
Sunan Gunung Djati–Ini dongeng buat kita dari Muhammad Iqbal, tak hanya didengar namun juga dapat dijadikan sebagai cermin.
Alkisah dahulu kala, sekawanan kambing hidup bebas di padang rumput yang luas. Mereka hidup aman sentosa, dan dapat berkembang biak dengan leluasa. Tenaga kambing-kambing ini pun begitu kuatnya sampai-sampai sanggup menghalau semua ancaman dari binatang pemangsa.
Waktu berlalu, situasi pun berubah. Bencana mendatangi kawanan kambing itu, dari hutan belantara muncullah kumpulan harimau yang memburu mereka. Memangsa mereka semua. Merebut serta menjajah, harimau-harimau itu merebut kemerdekaan kawanan kambing. Padang rmput hijau itu lalu banjir oleh darah kambing. Sebagian besar kambing-kambing itu mati, kecuali seekor kambing tua yang licik, penuh tipu daya.
Kambing tua itu marah atas kebiadaban sang harimau, ia bertekad mengembalikan kejayaan masa lalunya. Kambing tua itu berpikir, kekuatan yang ia miliki tak mungkin dapat melawan keperkasaan harimau. Kambing tetaplah kambing, tak mungkin sekuat harimau. Kalau ia bermimpi merubah dirinya menjadi kambing seperti ksatria baja hitam itu semua hanya isapan jempol, hanya ada dalam dongeng anak-anak. Maka, kambing tua itu menyusun rencana, “Saya harus merubah harimau itu berhati kambing!” Rencana ini sebenarnya agak mustahil, namun lebih mungkin daripada menumbuhkan cakar pada kaki kambing atau menanam taring pada mulut kambing.
Lalu kambing itu mendatangi kawanan harimau dan mengaku dirinya sebagai Nabi. Ia mendapat ilham atau wahyu dari Tuhan untuk kawanan harimau. Nabi Kambing itu berkata pada kawanan harimau.
“Wahai kawanan harimau yang bengis, yang selalu membuat bencana dan menumpahkan darah di seantero padang rumput. Aku memperoleh kekuatan ruhani pada malam tadi. Ya…sejak malam tadi aku adalah Nabi, utusan Tuhan untuk kalian. Aku datang bagai pelita buat mata buta kalian. Aku membawa kabar gembira, bertobatlah kalian semua.
Wahai kaum pendosa, kembalilah ke jalan yang penuh cahaya
Kita semua, tanpa kecuali, pasti mengalami bencana
Keteguhan hidup duniawi tergantung bagaimana kita menahan diri
Ruh orang shaleh gemar akan makanan yang sederhana saja
Makan sayur mayor membuka jalan menuju cahaya Tuhan
Gigi yang tajam mengundang bencana.
Bila kalian tetap pada kebiasaan lama, akan butalah mata kalian…” Nabi Kambing itu berhenti sejenak. Ia menghela nafas sambil mencuri pandang pada kawanan harimau. Ia mengecek apakah khutbahnya berpengaruh atau tidak. Setelah memastikan bahwa kawanan harimau terpengaruh oleh khutbahnya, ia berkata lagi:
Surga diberikan kepada mereka yang lemah lembut
Kekuatan tenaga dan kekasaran sikap akan menciptakan bencana dan neraka
Bertobatlah kalian yang masih mengejar-ngejar kenikmatan duniawi.
Ketahuilah, kemiskinan lebih manis dari segala harta benda.
Wahai kalian yang menikmati penyembelihan kambing.
Coba kau bunuh dirimu sendiri, niscaya kalian akan mendapatkan prestasi mulia.
Belajarlah pada rumput, kaumku semua. Rumput, lihatlah rumput. Walaupun ia selalu terinjak, rumput tak pernah punah. Ia terus tumbuh dan tumbuh lagi. Itulah kekuatan sejati, tak pernah punah karena ditindas. Rahasia rumput adalah kelembutan, kemiskinan, dan ketakberdayaan. Dalam ketakberdayaan, dalam sikap menerima kemiskinan ditemukan kekuatan.
Jika kalian bijaksana, ayo lupakan dirimu. Lupakan kebiasaanmu memburu dan merasa puas dengan hasil buruanmu. Tahanlah dirimu kembali pada kebiasaan liar. Lupakan dirimu. Kalau kalian tak sanggup menahan diri, melupakan dirimu, berarti kalian mengidap kegilaan. Saya yakin, tak ada satupun yang mau menjadi gila. Maka palingkan perhatianmu dari kesuksesan duniawi, agar jiwamu dan cintamu melangit tinggi.
Ketahuilah dunia ini tidak abadi, sementara saja. Jangan terjebak untuk mencari-cari kesenangan di dunia ini, karena semuanya akan hancur dan saat itu kalian akan kecewa. Dunia ini seperti gelembung sabun, bundar dan terbang ke sana ke mari juga menarik perhatianmu. Kejarlah gelembung sabun itu seperti kebiasaanmu, kejarlah gelembung sabun itu agar kamu kecewa. Karena begitu kamu menadapatkannya, gelembung sabun itu akan pecah dan hanya sisa basah belaka.
Kawanan harimau yang sudah kelelahan melakukan pemburuan setiap hari, seperti mendapat pembenaran. “Iya juga ya, ngapain juga capek-capek berburu. Mendingan duduk santai dan menikmati cinta…apalagi kata Sang Nabi kita ini memberi garansi, dengan kelemahlembutan kita akan mendapatkan surga…surga…bo!”
Lalu kawanan harimau itu mengikuti ajaran agama yang dibawa kambing. Harimau-harimau itu kini gemar berpuasa dan berpantang makan daging. Mereka menahan kemarahan mereka dan mengembangkan sikap welas asih. Tumbuh-tumbuhan yang mereka jadikan makanan lambat laun menumpulkan gigi mereka. Berangsur-angsur pupus sudah kegarangan hariamu-harimau ini. Badan mereka lemah, langkah mereka pun lelah tak bertenaga. Tak ada geraman, tak ada ancaman. Mereka menjadi kawanan binatang yang miskin, waswas, dan rendah amal kebajikan.
***
Nah, bercermin pada dongeng ini, kita bisa memilih: menjadi kambing atau harimau. Bila kita merasa sebagai kambing yang tertindas, Iqbal memberi kita nasehat:
Hai manusia yang lemah
Lindungi dirimu
Biar terjerat penderitaan
Asalkan lolos dari bencana kebiadaban
Badai pasti berlalu
Tapi apabila diperdaya dengan kesumat
Kekacauan besar yang terpikirkan
So, kata Iqbal, kalaupun kita dalam keadaan lemah kita tak boleh menyerah. Kita harus mencoba menyelesaikannya. Caranya berpikirlah seperti kambing tua yang menyamar jadi Nabi Kambing. Jangan pula mendendam terlalu dalam, dendam akan membuat kita jadi terjebak pada pikiran yang kacau. Bertahanlah, selesaikan masalah satu persatu, kuasai pikiran musuhmu sampai mereka lemah.
Kalau saya sih membayangkan diri sebagai harimau yang tertipu itu. Harimau yang semula ganas, namun karena terpedaya tipuan Nabi Kambing lalu menjadi bangsa yang penurut dan terlalu lemah lembut. Saya adalah harimau-harimau itu, pada badan ini masih ada cakar dan taring yang siap untuk mencabik-cabik setiap kambing. Namun cakar dan taring ini sudah lama tak digunakan, saya sudah lupa pada bagaimana meloncat dan menyergap. Saya telah menjadi harimau yang kambing, harimau banci.
Sebagai harimau banci saya akan membangkitkan seluruh keberanian yang dulu pernah ada. Saya akan kembali menjadi harimau dan kembali memburu, kembali menjadi raja hutan. Karena itu saya akan menyusun langkah-langkah menuju penemuan diri saya yang sejati, sebagai harimau, sebagai penentu kehidupan, bukan sebagai pengekor yang selalu waswas.
Kamis, 26 Februari 2009
[+/-] |
Nabi |
[+/-] |
Prahara |
Prahara di Negeri Serba Bisa
Oleh MUHAMMAD ALFAN
Sunan Gunung Djati–Apa yang salah dengan negeri ini?. Negeri kaya yang penuh arti, namun tiada makna. Semua hal dapat dilakukan di negeri ini. Membuat pesawat sampai bedil, bisa. Menghukum mati terpidana narkoba sampai membebaskan koruptor, juga bisa. Dari pejabat sampai pedagang korupsi, bisa juga. Bahkan “tongkat” dan “batu” pun bisa menjadi tanaman (Koes Plus). Memang di negeri ini semua “bisa diatur” dan “bersama kita bisa!”.
Karena semua serba bisa maka, aturan, tata nilai, agama dan moralitas, bisa dimanipulasi. Tidak berperan sebagaimana mestinya. Berbagai persoalan kehidupan dan tata aturan bisa difasirkan berdasarkan kebutuhan. Sehingga berakibat pada maraknya kerusuhan, perampokan, pembunuhan, bahkan korupsi. Semua bisa dilakukan kapan pun dan dimana pun. Akhirnya zaman ini benar-benar bisa menjadi zaman edan, melu edan ora tahan, yen ten melu anglakoni edan ora kaduman (ikut edan tidak sampai hati, tidak ikut edan tidak kebagian).
Manusia Absurd
Ketika semua sendi kehidupan diperlakukan sama dan serba bisa, maka semuanya menjadi permisif. Tidak ada beda antara dosa dan pahala, antara moralitas dan kejahatan, bahkan agama dibiarkan berlalu. Koruptor tersenyum menghadapi vonis pengadilan, sedangkan di seberang sana, anak-anak menangis kelaparan. Padahal korban dari keserakahan para pejabat yang korup sungguh luar biasa, tidak hanya kemiskinan dan kebodohan yang dirasakan. Lebih dari itu adalah penderitaan batin, keputusasaan dan ketidakberdayaan. Tindakan menyimpang yang dilakukan pejabat korup, merupakan bentuk penghianatan terhadap hati nurani. Yaitu suatu tindakan yang tidak didasarkan pada moralitas.
Sedangkan moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan manusia dengan norma atau hukum batiniah, tujuannya kebahagiaan sempurna (Lili Tjahjadi, 1991). Oleh sebab itu, jika semua tindakan yang dilakukan manusia tidak mempedulikan tata nilai, maka hal itu merupakan wujud moral manusia absurd. Yaitu segala bentuk tindakannya bertolak belakang dengan persetujuan penuh rasa pasrah terhadap hal yang tak dapat diuraikan maknanya (Albert Camus, 1999).
Jika demikian, kebenaran, agama dan moralitas menjadi absurd, relatif dan mudah dibalak-balikkan sesuai dengan nafsu manusia. Politisasi terhadap agama, moralitas dan pendidikan dibenarkan. Sedangkan politik dan moralitas sulit untuk disatukan, keduanya merupakan bagian terpisah yang berdiri pada dua kutub yang berseberangan.
Keterbelahan itu membelenggu pejabat negara yang tidak dapat memposisikan antara kekuasaan dan moralitas, kebaikan dan keburukan. Apakah ia mampu bertahan dalam kebenaran dan kebaikan, ataukah ia akan terendam dalam kubangan kekuasaan dan kepentingan?. Jawabannya bisa “ya” bisa juga “tidak”, yang pasti selalu bisa.
Prahara Kesedihan
Harapan adanya perubahan pada Presiden yang secara langsung dipilih oleh rakyat, tidak juga terwujud. Rakyat merasa ‘ditinggalkan’ bahkan ‘kehilangan’, setelah ia sandarkan segala rasa dan harapan pada pilihannya. Reformasi ternyata bisa membawa derita bagi kebanyakan rakyat miskin. Padahal masa lalu telah ditinggalkan, namun masa depan belum menampakkan diri.
Situasi demikian oleh Durkheim digambarkan sebagai keadaan yang anomi (anomic), yaitu aturan lama tidak berlaku lagi dan aturan baru belum ada. Dalam keadaan anomi orang merasa seolah-olah dunia dan hidupnya mulai runtuh serta kehilangan ruang (Brouwer, 1984). Kemudian melahirkan prahara, yaitu kekecewaan dan kesedihan. Kedua hal itu mewujud menjadi semacam melankoli, sebuah derita atas hilangnya sesuatu yang dinginkan atau dicintai. Selanjutnya mengalami depresi hebat dan tidak mampu bangkit dari keterpurukannya, ia akan kehilangan kepercayaan diri.
Melankoli akhir-akhir ini diterjemahkan sebagai suatu keputusasaan yang mendalam, sebuah prahara bathin yang luar biasa. Terhentinya minat terhadap dunia luar, munculnya rintangan terhadap semua kegiatan serta menurunya penghargaan terhadap dirinya sendiri sampai pada tingkat paling ekstrim; yaitu sikap mempersalahkan diri sendiri dan bermuara pada hukuman yang bersifat hayali (Antony Storr,1991).
Untuk bangkit dari kesedihan dan prahara, harus memulai dengan menerima adanya fakta bahwa ‘dunia’ mengetuhui keberadaannya dan keadaannya. Membangun mimpinya tentang diri sendiri dan, dilanjutkan dengan munculnya kesadaran agar dapat memilikinya dalam kenyataan. Marx menyebutnya dengan reformasi kesadaran.
Dengan begitu ia akan sadar bahwa dirinya tidak berhadapan dengan sebuah kekosongan besar antara masa lalu dengan saat ini, bahkan pemikiran-pemikiran masa lalu direalisasikan menjadi bentuk nyata. Pada akhirnya, dia akan melihat bahwa umat manusia tidak mengawali suatu tugas baru, namun menyelesaikan tugas-tugas lama dengan kesadaran. Karena keberadaan manusia ditentukan oleh struktur masyarakat di mana dia menjadi bagian di dalamnya, sehingga tidak menjadi terasing di rumahnya sendiri. (Fromm, 2002).
Oleh karena itu, semua persoalan selayaknya diposisi sebagaimana mestinya. Tata nilai, hukum, politik, agama dan moralitas dilaksanakan apa adanya. Dengan tanpa menghilangkan makna “bersama kita bisa!”. Apa?… Wallahualam bisshawab.***
[+/-] |
Sesat |
Sunan Gunung Djati–Kali pertama tulisan yang pernah dimuat sunangunungdjati mendapat tanggapan kritis dari pembaca. Hal ini terjadi pada karya Radea Juli A Hambali tentang Agama yang “Benar” oleh Abdul Hadi WM dengan menulis Gejala Aliran Sesat. Berikut kritikanya:
Gejala Aliran Sesat
Pertama, gejala aliran sesat bukan gejala baru dalam sejarah agama di dunia. Sejak lama di India, Iran, Eropa, Arab, Jawa, Cina, dan lain-lain telah banyak sekali aliran sesat muncul. Misalnya aliran yang menggunakan hubungan sex sebagai bagian dari puncak ritualnya seperti Satria Piningit Weteng Buwono. Aliran-aliran seperti Tantrisme Kiri di India dan Jawa sejak abad ke-10 sampai kini menggunakan hubungan sex sebagai puncak ritual mereka, terkadang disertai upacara kurban mayat. Mazdakisme di Iran abad ke-3 M mengharamkan perkawinan sebagai kontrak sosial dan membolehkan pengikutnya gonta-ganti pasangan. Di Amerika sekarang banyak berkembang aliran, dan ada yang memakai baju Kristen atau Yahudi. Antara lain Children of God yang ganti nama menjadi Faith International. Aliran lain ialah Thelema, Babalon, dan lain-lain. Di pula Jawa ritual suami istri bertelanjang bulat mengelilingi rumah pada tengah malam untuk mendapat rezeki, pernah ditemui di Sragen dan Yogya. Praktek seperti itu bisa memakai baju Kristen, Hindu, Buddha, dan Islam. Untuk mendapat legitimasi.
Kedua, globalisasi bukan soal baru bagi bangsa Indonesia. Pelajarilah sejarah. Karena kita lupa bahwa sejarah telah memberikan bukti yang banyak dalam kehidupan beragama yang nyeleneh sejak dahulu kala, maka kita mudah sekali menganggap fenomena ini dan itu baru. Begitu juga dengan globalisasi. Dalam sejarah Nusantara ada tiga tahapan globalisasi yang telah dilalui. Pertama, pada abad ke-4 - 12 M, saat penyebaran agama Hindu Buddha yang diantar dengan ramainya kegiatan perdagangan dan pelayaran internasional yang dikuasai orang Hindu dari India. Kedua, abad ke-13 - 17 M saat penyebaran agama Islam dan Kristen/Katholik di Asia Tenggara, yang juga didahului oleh kegiatan -perdagangan dan pelayaran internasional yang dikuasai oleh orang Arab, Turki, Persia, Muslim India, Portugis dan Spanyol. Katholik tampil sebagai pemenang di Filipina, Islam di Indonesia, Malaysia dan Brunei. Buddhisme bertahan di Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos dan Vietnam. Hindu hanya bertahan di pulau Bali. Globalisasi yang ketiga, dimulai dengan munculnya kolonialisme Barat (Belanda, Inggeris, Perancis) di Asia Tenggara. Puncaknya pada abad ke-20 dengan derasnya proses Amerikanisasi yang ditopang oleh ekspansi kapitalisme dan pasar bebas.
Kekerasan? Apakah hanya monopoli organisasi seperti FPI dan FBR? Lihat Tragedi DPRD Sumut atau Medan, siapa pelakunya? Lihat kerusuhan pertandingan Sepak Bola. Lihat konflik Ambon, yag memulai kan preman-preman Kristen? Apa anda tahu betapa garangnya kelompok Pemuda Hindu Bali di Nusa Dua? Siapa pelaku pembantaian orang Madura di Kalim,antan Tengah? Apa orang Islam? Saya harap anda berhati-hati bicara? Siapa yang menyuruh agar sekte Hari Kiamat (Kristen) dihabisi? Siapa yang meminta aliran Hare Rama Krisna (Hindu) dilarang dan pengikutnya, yang kebanyakan keturunan India, dipukuli di pulau Bali? Tolonglah fair dan adil jika bicara. Jangan hanya mengalamatkan hal seperti itu pada kelompok-kelompok tertentu. Berbahaya.
Ini tidak berarti kita membenarkan tindakan kekerasan. Tetapi kemiskinan, kebodohan, dan perlakuan tidak adil (termasuk dalam pemberitaan di mass media) juga sering menjadi pemicu kekerasan.
Berita dan tulisan yang menyakiti juga kekerasan. Begitu halnya kritik yang menyesatkan dan mengandung fitnah, setali tiga uang adalah juga kekerasan. Dan ini sering dilakukan sekelompok cendekiawan dan pejuang hak azasi manusia serta kebebasan berekpresi.
Sebagai tambahan atas tanggapan saya terdahulu terhadap pernyataan Anda, saya kirim dua artikel yang mungkin dapat membantu Anda memahami sumber atau akar berbagai aliran yang dianggap sesat seperti Satria Piningit Weteng Bawana. Yang pertama, uraian ringkas tentang Tantrisme Bhirawa. Ini adalah bentuk Tantrisme Kiri yang pernah dipraktekkan antara lain oleh Adityawarman, penguasa Majapahit di Sumatra pada pertengahan abad ke-14 M. Patungnya dapat anda lihat berupa Bhirawa yang berdiri di atas tumpukan tengkorak di Museum Jakarta. Ritual sanggama bersama masih dipraktekkan sampai kini di banyak tempat di India, dan mungkin juga di Jawa. Yang kedua, tentang aliran keagamaan yang muncul dari tradisi Yudea-Kristen bernama Babalon. Juga ada adegan seks dalam ritualnya. Kini masih dipraktekkan di Amerika Serikat. Tentu masih banyak lagi agama yang memuja setan dan tuyul dipraktekkan orang di berbagai belahan dunia. Jika aliran semacam itu dibiarkan dengan alasan “kebebasan beragama” yang melampaui batas, bagaimana jadinya masyarakat kita? Mengapa orang yang memperjuangkan kebebasan beragama tidak mencegah pelarangan aliran Hare Rama Krisna, Sekte Kristen Hari Kiamat, Yehova, dan lain-lain? Mengapa hanya MUI yang menjadi sasaran tembak?
Jika pertanyaan-pertanyaan saya ini belum anda jawab, begitu pertanyaan sebelumnya, tidaklah patut anda meminta jawaban atas pertanyaan yang anda ajukan. Tetapi semoga apa yang dikemukakan anda berangkat dari ketaktahuan, bukan disebabkan motif mencari kambing hitam atas semua bentuk kekerasan yang muncul di Indonesia selama hampir satu dasawarsa ini.
Pepatah mengatakan: Bila orang ingin didengar, hendaknya dia mendengar. Silakan download kedua tulisan tsb.
Wassalam.
“Abdul Hadi WM”
[+/-] |
Otak |
BEDAH BUKU “Gelegar Otak”
Sunan Gunung Djati–Himpunan Mahasiswa Pendidikan Fisika (HMP FISIKA)
Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
menggelar:
BEDAH BUKU:
“Gelegar Otak”
(Penerbit Salamadani)
HARI/TANGGAL:
Kamis, 26 Februari 2009
WAKTU:
Jam 09.00 – 11.00 WIB
TEMPAT:
Auditorium UIN Sunan Gunung Djati Bandung
PEMBICARA:
Dr.Tauhid Nur Azhar, M.Kes. (Penulis)
Prof.Dr.Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. (Cendekiawan Muslim)
MODERATOR:
Ridwan Efendi, S.Pd.
PESERTA:
Mahasiswa dan Umum
INFO: http://hmpfisikauinsgd.blogspot.com/2009/01/gebyar-fisika-eureka-fisika-viii.html
[+/-] |
Masa |
Masa Lalu, Hari Ini dan Esok
Oleh DASAM SYAMSUDIN
“Yesterday is history, tomorrow is mistery, and today is given” —Guru Oogway, dalam KungFu Panda
Sunan Gunung Djati–Apa yang kamu ingat tentang hari kemarin? Apa yang terkesan dari masa lalumu ? kebahagiaan, kesedihan, pengalaman berharga, atau penyesalan. Adakah yang menyesal hari ini, karena mengingat hari kemarin ? dan, adakah kebaikan mengingatnya ? Apapun yang kamu pikirkan tentang hari kemarin yang pasti kita tidak akan kembali lagi. Sedetik yang lalu, adalah jarak jutaan kilometer yang tidak akan bisa kita tempuh. Masa lalu sangat jauh sekali dari sentuhan tangan hidup yang sedang kita jalani. Semakin banyak cahaya matahari menggulung kehidupan kita, semakin jauh pula masa lalu, dan tidak akan kita temui lagi. Bahkan Imam al-Ghazali mengatakan, ”Jarak yang paling jauh adalah masa lalu, tidak ada yang bisa menempuhnya”.
Ya, masa lalu adalah sejarah yang telah kita gurat di dalam lembaran kehidupan kita. Kesan bahagia dan derita, semuanya akan terasa nikmat jika kita utarakan kepada orang lain. Bukankah begitu? Betapa kita telah menjadi seorang yang hebat tatkala kita bebicara pengalaman penderitaan hidup menantang kematian, dan hari ini kita masih berdiri untuk menceritakannya. Dan, ada kalanya kebahagiaan masa lalu, akan menjadi derita hari ini. Ya, mungkin kita merindukan kebahagiaan itu kembali, saat hari ini kita berdiri bercerita. Oleh karenanya, ada kalanya kebahagiaan hari ini, adalah anugerah penderitaan masa lalu. Derita hari ini, bisa saja karena merindukan, sangat merindukan kebahagiaan masa lalu yang telah hilang.
Masa lalu adalah sejarah yang tidak bisa diulang, sedikit catatan merah yang telah kita tulis dalam sejarah hidup kita, tidak akan bisa di hapus hari ini. Namun, kendati sejarah hidup telah menghina hidup kita, tetap saja kita bisa memperbaikinya. Sejarah memang mutlak tidak bisa dirubah, tapi bukan berarti harus dibiarkan. Jika kemarin adalah sejarah, setiap perjalanan hidup yang telah kita arungi akan menjadi sejarah. Maka, jika hari ini kita masih bisa menghirup udara Bumi, berarti kita mempunyai kesempatan menutup sejarah kita dengan kebaikan. Yang lalu biarlah berlalu, dan hari ini lakukanlah yang lebih baik lagi. Agar sejarah kelam kehidupan lalu, berakhir dengan kebaikan. Sehingga, suatu hari nanti, saat kita mereview keseluruhan hidup kita, akan menjadi sangat berharga dan manis terasa. Karena, histori hidup kita akan berakhir dengan indah kendati melewati jurang yang curam dengan jalan berliku.
Hari ini adalah anugerah, karunia dari Tuhan sang Pemberi sebagai hadiah kepada manusia. Oleh karena itu, jangan pernah menyia-nyiakan hari ini, jika suatu hari nanti tidak mau menjadi sejarah hitam di dalam hidup kita. Lakukanlah yang terbaik hari ini, yang terbaik untuk saat kita berdiri di sini. Jangan melakukan hal untuk hari yang menjadi misteri. Besok, ya besok adalah misteri hidup yang belum tentu kita menemuinya, Jika memang kita harus memenuhi kebutuhan hidup hari ini, jangan melakukannya untuk hari nanti. Tapi, jika memang hari ini kita merasa cukup. Maka, pecahkanlah misteri hidup dengan mencoba menyusun hidup untuk hari nanti.
Jika hidup untuk diri sendiri, untuk apa menumpuk harta yang akan kita buang hari nanti tanpa kita merasakannya. Tapi, jika kita berjuang dan berusaha hari ini untuk orang lain dan diri kita di alam lain. Sisakanlah hasil usahamu, sodakohkan sekarang juga, untuk bekal hari itu yang belum datang. Menyedekahkan harta, dengan cara menyimpannya untuk tubuh kita yang suatu saat akan payah adalah sangat baik. Karena, tubuh ini tidak akan tahan apapbila tidak ada bekel yang cukup. Jadi, segala sesuatunya tetap saja harus dilakukan untuk hari ini demi esok hari. Wallahu A’lam[]
[+/-] |
Jabar |
Mewujudkan Jabar Kreatif
Oleh IU RUSLIANA
Sunan Gunung Djati–Krisis global terus menelan korban. Bangkrutnya beberapa korporasi, ketatnya pengucuran kredit perbankan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri manufaktur seperti tekstil, alas kaki, furnitur dan yang lainnya terus terjadi. Korporasi besar yang masih bertahan nampaknya akan berhati-hati dalam berekspansi. Pertumbuhan ekonomi 5 persen di 2009 adalah angka yang paling realistis.
Kini hanya ada beberapa pelaku dan sektor industri yang bisa diharapkan bakal menjadi kekuatan penggerak ekonomi, yaitu pemerintah dan partai politik. Pemerintah dengan anggaran belanja tahun 2009 seribu triliun rupiah lebih harus menjadi stimulus ekonomi. Termasuk kebijakan untuk menggenjot kredit perumahan kelas menengah ke bawah dan kredit motor serta menurunkan harga BBM (premium dan solar) ke Rp 4.500 per 15 Januari 2009 adalah salah satu kebijakan penting. Demikian juga partai politik, kampanye yang besar-besaran dengan dana triliunan rupiah diyakini akan menggerakkan ekonomi nasional yang tengah terpuruk.
Harapan itu ada, namun apakah akan selamanya begini? Adakah potensi besar yang harusnya disyukuri dan menjadi penopang menuju kemandirian ekonomi? Pada kontek Jawa Barat, misalnya, beberapa industri diperkirakan akan segera melakukan PHK, karena dampak krisis, menyusul menurunnya order dari pasar Eropa dan Amerika Serikat. Dengan jumlah pengangguran yang bakal meningkat, apakah program padat karya yang sifatnya insidental saja yang bisa diandalkan? Bukankah sebaiknya dana bantuan sosial ekonomi yang disalurkan bisa menggerakan ekonomi berbasis masyarakat lokal.
Ekonomi Kreatif
Sebagai bangsa yang kaya sumber daya alam dan keragaman budaya, kita harus menyadari potensi ekonomi yang berasal dari gagasan kreatif masyarakat. Masyarakat Indonesia, apalagi masyarakat Jawa Barat, telah menyatukan diri dengan budaya dan alam sehingga melahirkan pelbagai produk yang unik dan kreatif.
Pada dasarnya kreativitas manusia dibagi ke dalam dua bentuk, yakni: kreativitas berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge based) dan kreativitas berbasis seni (artistic based). Saat ini, kedua jenis kreativitas ini harus menyatu di berbagai produk sehingga mampu melahirkan kegiatan ekonomi yang sangat besar. Sederhananya, produk teknologi yang didukung seni ataupun produk seni yang didukung teknologi merupakan pilar ekonomi. Ketika produk di atas memasuki pasar, maka didalamnya terdapat potensi ekonomi yang sangat besar. Sektor industri seperti ini populer dengan sebutan industri kreatif. Lahirnya produk ditentukan oleh gagasan-gagasan layak jual yang kreatif dan inovatif.
Ekonomi kreatif adalah sistem perekonomian yang menjadikan kreativitas dan kemampuan intelektual sebagai dagangannya. Ekonomi ini memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan bakat seseorang untuk menciptakan kesejahteraan finansial dan lapangan pekerjaan. Kemampuan seseorang berpikir dan menciptakan gagasan kreatif sangat penting dalam perkembangan industri kreatif.
Kreativitas dapat dihasilkan oleh siapapun tanpa mengenal batas wilayah, umur ataupun golongan. Ada 14 jenis industri kreatif yang berpotensi besar untuk ekspor, seperti film, animasi, software, kerajinan, musik, EO, interior design dan barang-barang yang berbasis pengolahan limbah. Industri kreatif tersebut mempunyai pasar di Eropa dan Timur Tengah, dan Amerika Serikat (Kontan, 23/12/2008).
Departemen Perdaganan (Depdag) mencatat 15 cakupan bidang ekonomi kreatif: (1. Jasa periklanan; (2. Arsitektur; (3. Senirupa; (4. Kerajinan; (5. Desain; (6. Mode (fashion); (7. Film; (8. Musik; (9. Seni pertunjukan; (10. Penerbitan; (11. Riset dan pengembangan; (12. Software; (13. TV dan Radio; (14. Mainan; (15. Video game.
Menurut Agung Bawantara (Most Wanted Creative Jobs, 2007: 2-6), di negara maju Inggris, industri kreatif digenjot untuk menggerakkan perekonomian negara. Hebatnya, sumbangan industri kreatif di negeri ini mencapai 8,7 persen yang melampaui pendapatan Inggris dari sektor industri manufaktur. Lain lagi dengan Negara Singapura. Di Negara ini, industri kreatif menyumbang pendapatan Negara hingga mencapi 47 triliun rupiah per tahun. Di Korea, geliat industri kreatif mengalami pertumbuhan sekitar 20 persen per tahun dan berada pada posisi kedua setelah industri finansial.
Industri kreatif Indonesia menyumbangkan sekitar 4,75% dari Produk Domestik Bruto atau PDB Indonesia pada 2006, berada di atas sektor listrik, gas, dan air bersih. Laju pertumbuhan industri kreatif Indonesia tahun 2006 juga sebesar 7,3% per tahun, melebihi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebesar 5,6%. (Bisnis Indonesia, 24/10/2007).
Maka pemerintah Indonesia, dalam menunjang keajegan industri kreatif, pada tahun 2006 meluncurkan Indonesian Design Power 2006-2010. Ini dilakukan untuk menggenjot industri kreatif sehingga mampu memberikan pendapatan Negara sebesar 10 persen pada tahun 2016. melihat potensi Negara ini, dengan kekayaan budaya dan alam, optimisme mewujudkan program itu bukan isapan jempol. Tentunya dengan memperhatikan pranata pendukung yang dapat mewujudkan cita-cita 10 persen pada tahun 2016.
Pranata yang mesti diperhatikan dalam mengembangkan industri kreatif adalah mulai dari masyarakat lokal, institusi formal (pemerintah), lembaga pendidikan, agen, studio, toko sampai pada keberadaan komunitas dan institusi mesti melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghimpun berbagai pengetahuan dan informasi yang terkait dengan industri kreatif. Aspek-aspek yang terkait dengan pengembangan kreativitas, mulai dari proses sampai pemanfaatan sarana informasi dan pengetahuan yang berhubungan dengan perkembangan ekonomi kreatif, sisi teknologi dan prospek bisnis adalah komoditas yang harus mulai digarap serius.
Mewujudkan Jabar kreatif
Untuk konteks Jawa Barat, potensi ekonomi kreatif telah ada namun perlu kebijakan khusus untuk mengembangkannya. Misalnya, industri kreatif di Kota Bandung, sebagai kota yang dihuni 60 persen kalangan muda di bawah 40 tahun dan tempat berkembangnya perguruan tinggi, industri kreatif tumbuh pesat. Hal ini merupakan potensi besar bagi perkembangan industri kreatif di Jawa Barat. Apalagi sektor industri kreatif menyumbang 7,8 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Barat. (www.tempointeraktive.com).
Badan Pusat Statistik tahun 2005 menyebutkan, setidaknya ada 15 sektor industri kreatif yang tumbuh subur di Jawa Barat. Di antaranya periklanan, arsitektur, pameran dan festival, kerajinan, desain, fesyen (Clothing, footwear dan apparel), film, video dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukkan, penerbitan dan percetakan, jasa komputer dan piranti lunak, riset dan pengembangan serta kuliner.
Penting kiranya mendorong kemampuan masyarakat (individu) agar mampu berkreasi dan menjadi bagian dari sektor industri kreatif. Maka, dua hal yang penting diperhatikan untuk mendorong tumbuhnya budaya kreatif, yaitu: pertama, pemanfaatan internet dan saluran informasi (information tool) untuk dapat memetik dan mempelajari kreativitas dunia; dan kedua, menciptakan pasar domestic dan pasar ekspor yang menyerap berbagai produk kreatif ini. Ketiga, tdengan cara menggandeng komunitas kreatif.
Kita tidak bisa berharap kepada APBD dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) APBN 2009 yang mencapai Rp 23,969 triliun. Itu hanya stimulus saja. Jawa Barat punya potensi ekonomi kreatif yang besar dan unik. Unik karena tiap daerah punya ciri khas dan terbukti menjadi penggerak ekonomi masyarakat di daerah tersebut. Tahu Cibuntu, tahu Sumedang, ubi Cilembu, Tas dan Sepatu Cibaduyut, Kerajinan Rotan Cirebon, kerajinan kulit Garut, dodol Garut, Factory Outlet Kota Bandung, dan sederet potensi ekonomi kreatif yang tak tertandingi dan telah melakukan kegiatan ekspor. Industri ini tak pernah mati karena menjadi bagian dari budaya masyarakat. Namun tak bisa tumbuh pesat karena belum ada sentuhan serius dari pemerintah. Pemerintah daerah tidak perlu mencari-cari ke luar daerah apalagi ke luar negeri. Kita telah punya potensi, tinggal dikembangkan dan dikelola dengan baik.
ITB, IPB, UIN Bandung, UPI dan kampus terkemuka lain ada di Jawa Barat. Mengapa tidak, industri kreatif berbasis teknologi dikembangkan melalui kerjasama pemerintah daerah dengan kalangan akademik. Sinergi stakeholder terkait; pemerintah, komunitas kreatif, dunia usaha, kampus dan masyarakat lokal menjadi penting dilakukan untuk membangun industri kreatif ini.
Ke depan, konsep one village one product (OVOP) bisa dikembangkan, bukan hanya berorientasi pada pasar domestik, tapi juga pasar dunia. Ini soal political will dan merupakan bagian dari pemberdayaan ekonomi masyarakat yang sesungguhnya. Jika ini dikelola dengan serius dan sinergi antar stakeholder tercipta dengan baik, bukan mustahil jika toko sepatu Cibaduyut menjamur di Eropa, dodol Garut jadi menu orang Asia dan sebagainya. Wallahu’alam [Pikiran Rakyat, 18 Februari 2009]
[+/-] |
Segar |
Menyegarkan Kesundaan Kita
Oleh SUKRON ABDILAH
sunangunungdjati–Tanah Sunda, gemah ripah/Nu ngumbara suka betah/Urang Sunda sawawa/Sing toweksa perceka/Nyangga darma anu nyata//Seuweu Pajajaran/Muga tong kasmaran/Sing tulaten jeung rumaksa/Miara pakaya memang sawajibna/Geuten titen rumawat tanah pusaka//
Sebagai produk pemikiran manusia, Sunda bukan sesuatu yang saklek, pasti, dan tidak boleh diubah. Ia (Sunda) adalah kebudayaan yang selalu berkembang mengikuti perputaran ruang dan waktu. Dengan demikian kesundaan akan terus hidup apabila urang Sunda memahaminya dengan pengalaman hidup masing-masing. Keragaman memahami inilah yang nantinya melahirkan sikap menghargai atas kebudayaan non-sunda yang berkembang di Jawa Barat.
Oleh karena itu, pemberlakukan mengajarkan bahasa-bahasa daerah seperti Cirebon dan Betawi bagi siswa sekolah harus diapresiasi. Sebab, meskipun Jawa Barat mayoritas beretnik Sunda, ada daerah yang berbeda dalam hal kebudayaan, terutama dari bahasa tutur keseharian. Apabila pelajaran bahasa Sunda, misalnya, dibebankan kepada daerah-daerah yang mayoritas dihuni etnik non-sunda, sama saja dengan menumpurkan kebudayaan lain.
Laku lampah seperti itu melenceng dari semangat Ki Sunda yang sedari dulu selalu mencoba menjaga kebudayaan orang di luar Sunda yang bermigrasi ke daerahnya. Pesan damai dan toleran Ki Sunda terlihat jelas dari rangkaian larik yang disusun almarhum Mang Koko, yang menjelaskan sikap someah kepada orang luar Sunda sebagai ciri dari kedewasaan (sawawa). Kalau kita mengaku sebagai Sunda sawawa, saya pikir tidak ada salahnya setiap daerah memberikan pelajaran bermuatan lokal yang berkaitan dengan warisan leluhurnya.
Mengikis fanatisme
Syair yang dikreasi almarhum mang Koko memang tepat menggambarkan alam tanah Sunda yang gemah ripah lohjinawi, dan membuat kaum urban suka-betah mengumbara di tempat ini. Selain tanahnya yang subur, masyarakatnya pun memiliki ikatan solidaritas komunal yang tidak tribalistik, tidak mendiskriminasikan suku lain. Bukti ini terlihat dari pemberian gelar kehormatan daeng, aom, aden, habib dan sebagainya kepada etnis luar Sunda yang tinggal di Pasundan.
Seperti menganut agama, kesundaan kita kini cenderung meminggirkan pemahaman manusia Sunda lain tentang kesundaannya. Fanatisme kesundaan saya pikir sangat berbahaya bagi integrasi bangsa ini. Dengan meminggirkan kebudayaan minor di Jabar adalah bentuk fanatisme “berkedok” lokalitas. Tak heran jika ada seseorang yang melenceng dari pemahaman dirinya tentang kesundaan, ia sewot dan bahkan mengklaim mereka sebagai “tidak nyunda”. Padahal, Sunda sangat terbuka terhadap ragam interpretasi. Kesundaan saya hari ini akan berbeda dengan pemahaman urang Sunda generasi 70-an atau 80-an.
Sikap manusia Sunda yang tak berdasar pada nilai-nilai kearifan akan mengubahnya menjadi seorang peragu, tak yakin, dan arogan. Merasa diri adalah berkuasa atas alam tidak akan membentuknya jadi manusia sempurna Sunda. Guru Gantangan sebagai seorang putera Prabu Siliwangi, misalnya, untuk menggapai derajat manusia sempurna dengan melakukan pengembaraan ke dunia luar. Dengan cara inilah, diharapkan manusia Sunda mampu memahami dunia luar yang plural, majemuk, dan dipenuhi diversitas.
Bagi orang yang egois dan fanatis bakal lahir apa yang disebut superioritas sehingga menempatkan orang lain inferior, yang mengakibatkan keretakan hubungan sosial. Maka, memelihara tanah Sunda dan bersikap ramah (someah) kepada kebudayaan di luar Sunda adalah kewajiban seorang Sunda sawawa sebagai petanda tidak terjebak pada romantisme seuweu Pajajaran yang fanatis abis!.
Silang budaya
Bahasa adalah salah satu unsur kebudayaan yang mudah melakukan perkawinan silang dengan bahasa lain. Jika ditelisik secara antropologis, keragaman budaya di Jawa Barat, memberi acuan perilaku pada masyarakat untuk menyadari eksistensi kebudayaan lain di tempat tinggalnya. Pengaruh kebudayaan etnik lain – meminjam teori Denis Lombard – adalah semacam “silang budaya” yang membentuk kesundaan kita hari ini. Salah satu indikatornya persilangan budaya itu bisa terjadi apabila setiap kebudayaan di daerah Jawa Barat dipelihara dan dijaga.
Selain bahasa Sunda, misalnya, pemerintah juga harus tetap menjaga kelestarian bahasa Cirebon, Betawi, China, Arab, Batak, Padang di tanah pusaka ini. Sehingga para penduduk dari luar akan merasa suka betah tinggal atau sekadar berwisata ke Jawa Barat. Secara pribadi, saya merasa iri dengan penguasaan bahasa Sunda masyarakat dari luar. Seandainya sewaktu SMP dulu saya memiliki teman yang mampu berbahasa Jawa, Batak, China, dan Padang; saya akan memintanya menjadi guru bahasa ketiga setelah bahasa Indonesia dan bahasa Sunda.
Sayangnya, ketika mereka sekolah ke daerah-daerah di wilayah Sunda, jarang menggunakan bahasanya. Dan, mencetuskan pemberlakukan muatan lokal bahasa daerah selain bahasa Sunda, saya pikir dapat mendidik anak-anak untuk bertukar kebudayaan dengan orang lain. Dengan inilah perkawinan atau persilangan budaya akan terlihat indah mengemuka. Selain itu, anak-anak Sunda di daerah yang di sekolahnya memberlakukan pelajaran bahasa Cirebon, akan lebih pintar dari saya. Minimalnya, empat bahasa sudah dia kuasai. Inggris, Indonesia, Sunda, dan Cirebon.
Sekadar hiburan, mari kita kutip sisindiran, yang didalamnya terjadi semacam hibridasi bahasa yang dipraktikkan masyarakat Sunda: Miyoto okaino/sora akete/bareto loba kejo/ayeuna hese beleke. Dalam sisindiran itu ada nuansa Japanis yang dipadukan dengan bahasa Sunda. Jadi, betul sekali – seperti disitir Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya – bahwa Indonesia (termasuk Sunda di Jawa Barat–pen) adalah anak segala bangsa.
Kalau tak percaya silahkan resapi kata-kata kiyak (Yak, berarti kerbau dalam bahasa China), Arde (al-ardhi, bumi dalam bahasa Arab), Pestol (pistol, berarti senajata genggam dalam bahasa Belanda), hyang (hyang, berarti Tuhan dalam bahasa Sangsakerta), dan masih banyak lagi bahasa Sunda yang lahir dari “silang budaya” dengan kebudayaan di luar Sunda. Bahkan saya menebak-nebak sebutan “aceng” untuk seorang pemuda teguh beragama terinspirasi oleh Laksamana Cheng Ho yang sempat berlabuh di Karawang.
[+/-] |
Pemilu |
Pemilu dan Dosa
Oleh REZA SUKMA NUGRAHA
Sunangunungdjati-Ada ungkapan menarik dan menggelitik. Penduduk Indonesia dan umat Islam pada umumnya tidak sukses dalam berkarier dan penghidupannya miskin. Maka, jangan ditambah dengan kepastian masuk neraka. Demikian kira-kira yang ditulis oleh budayawan populer, Cak Nun, dalam salah satu tulisannya di salah satu media massa. Semua orang tentu tahu, apa yang sedang ia komentari? Yaitu, menanggapi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) perihal golput.politik, pemilu, dosa, golput, MUI
Suhu politik di Indonesia pada tahun 2009 memang sedang membara. Karena pada tahun ini akan dilangsungkan pesta demokrasi akbar. Tak ubahnya, pasar kaget yang digelar di tengah hiruk pikuk masyarakat yang sedang kebingungan. Bingung mencari “pedagang” mana yang lebih jujur atau paling sedikit curangnya. Karena kerjaannya saling banting dan menjatuhkan. Bingung mencari “barang dagangan” yang lebih berkualitas tapi harganya yang terjangkau. Utamanya, mereka bingung mencari uang untuk belanja barang dagangan tersebut. Hal terakhir memang tak hanya ungkapan konotatif belaka, namun demikian faktanya bahwa masyarakat sedang terhimpit aneka beban, termasuk ekonomi.
Kenyataan tersebut muncul seiring krisis multidimensi yang dialami oleh masyarakat. Hal yang paling signifikan adalah krisis kepercayaan masyarakat kepada para calon pemimpin dan calon wakil-wakil mereka. Masyarakat khawatir para calon pemimpin hanya memanfaatkan mereka dengan mengeksploitasi suara-suara mereka dalam pemilihan umum kelak. Pun dengan para calon wakil-wakil rakyat yang dikhawatirkan hanya mewakili kalangan ekslusif tertentu setelah mereka begitu percaya diri memukau masyarakat luas dengan janji-janji.
Bukan maksud menafikan sosok-sosok yang konsisten terhadap perjuangan dan kebenaran. Namun semua itu hanya sinekdoke belaka. Cap subjektif tersebut muncul seiring menjamurnya krisis ketauladanan dari para pembesar negeri ini. Hingga sebagian masyarakat yang terdiri dari awam, apatis, atau mungkin kritis menghakimi bahwa pemilihan umum mendatang tak memberikan warna lain politik kita. Dengan demikian, putusan hati untuk memilih tidak memilih adalah jawabannya.
Golput, Ekspresi Belaka
Dalam kondisi seperti ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tiba-tiba berperan penting dalam alur drama politik kita. Alih-alih membawa maslahat, Senin (26/1) lahir fatwa yang menyatakan wajib hukumnya memilih pemimpin bila ada pemimpin yang Islami. MUI menilai pemimpin Islami itu ada. Kemudian masyarakat pada umumnya menafsirkannya sebagai fatwa haram bagi tindakan golongan putih (golput). Maka, satu lagi “pantangan” bagi umat muslim Indonesia, yaitu golput dalam Pemilu.
Bagi sebagian besar masyarakat, fatwa tersebut bisa jadi momok mengerikan. Karena masalah selera menentukan nasib akhirat seseorang. Betapa tidak, mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Tak sedikit dari jutaan penduduk muslim merupakan muslim taat dan masih memegang tinggi kredibilitas MUI sebagai pencipta fatwa. Sehingga kata “mengerikan” memang pantas saat MUI dengan maksud yang bias mengeluarkan fatwa tersebut.
Siapakah figur Islami itu? Siapakah figur ideal yang diyakini MUI masih ada dalam deretan nama calon-calon pemimpin masa depan Indonesia? Karena dengan mudah, MUI menganggap masih ada calon yang diharapkan itu. Padahal, persepsi MUI dengan jutaan masyarakat Indonesia terutama muslim akan berbeda. Baik menurut MUI belum tentu baik menurut masyarakat.
Masyarakat terutama umat muslim pun tahu, bahwa dengan tidak memberikan suaranya pada Pemilu mendatang, mereka tetap akan mempunyai pemimpin. Artinya, sangat tidak mungkin seluruh penduduk Indonesia menjadi golput dan akhirnya Indonesia tak memiliki sosok pemimpin. Dengan demikian, putusan golput yang diambil masyarakat bukan dalam rangka Indonesia menjadi negara tak berpemimpin, namun sebuah luapan rasa ketidakpuasan masyarakat pada calon-calon pemimpinnya.
Kalau saja golput itu memungkinkan Indonesia menjadi tak berpemimpin. Mayoritas muslim di Indonesia mungkin akan terkena dosanya karena telah melalaikan nilai-nilai agama yang mewajibkan sebuah negara memiliki seorang pemimpin. Hanya saja, hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Mengingat Indonesia adalah negara demokrasi, selayaknya peran serta lembaga keagamaan tidak mengintervensi hak-hak pribadi seperti urusan warga dan negaranya dalam partisipasi Pemilu mendatang. Wallahu alam.
[+/-] |
Soroush |
Abdul Karim Soroush dan Pemikiran Keagamaan
Oleh AHMAD SAHIDIN
sunangunungdjati–Abdul Karim Soroush lahir di Teheran, Iran, tahun 1945. Pendidikan menengah di Sekolah Menengah Murtazawi dan Sekolah Menengah Alawi, dan masuk Jurusan Farmakologi Universitas Teheran, Iran. Kemudian melanjutkan ke program doktor bidang sejarah dan filsafat sains di Chelsea College, London, Inggris.
Semasa belajar di Sekolah Dasar, Soroush menyenangi puisi-puisi karya Sa`di dan sering membuat puisi. Saat di sekolah menengah sempat menjadi anggota Anjoman-e Hojatiyyeh (organisasi yang khusus mengkaji tradisi Syi`ah dan ajaran-ajaran Bahai`) dan terlibat dalam organisasi non-sekterian Muslim Qurani.
Abdul Karim Soroush mengaku bahwa dirinya sangat mengagumi pemikiran keagamaan dan filsafat Ayatullah Murtadha Muthahhari, terutama karya-karya Muthahhari yang berbau filsafat; salah satunya buku komentar dan penjelasan (syarh) atas karya Allamah Muhammad Husain Thabathabai` yang berjudul Ushul Falsafe wa Rawish-e Rialism. Bahkan Soroush mendapatkan bimbingan langsung dari ulama yang direkomendasikan Muthahhari saat meminta padanya untuk diajari filsafat Islam. Kekaguman Soroush pada Muthahhari tidak menutupnya untuk melayangkan kritik yang cukup pedas. Menurutnya, Muthahhari merupakan sosok ulama-intelektual yang pemikiran-pemikirannya terlihat menyakralkan filsafat Islam. Padahal, kata Soroush, filsafat Islam tidak lain hanyalah variasi dari filsafat Yunani dan produk pemikiran manusia yang masih terbuka untuk dikritik dan direvisi ulang.
Selain karya Muthahhari, ia juga membaca ‘Tafsir Al-Mizan’ karya Allamah Muhammad Husain Thabathabai`, ‘Al-Hikmah Al-Muta`aliyah Fi Al-Asfar Al-Aqliyyat Al-Arba`ah’ karya Mulla Shadra, ‘Al-Mahajjah Al-Baidha’ karya Faiz al-Kasyani, ‘Ihya Ulumuddin’ karya Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, dan karya-karya Jalaluddin Rumi dan Hafiz.
Karier yang sempat dijalaninya adalah Direktur Laboratorium (produk makanan) Toiletteries, dosen Universitas Teheran, profesor tamu untuk studi Islam di universitas-universitas Amerika Serikat (Harvard, Yale, dan Princeton), anggota Dewan Revolusi Kebudayaan yang didirikan Imam Khomeini untuk membahas dan mereview silabus pelajaran dan sistem pendidikan Iran; dan saat di Inggris aktif dalam kegiatan ilmiah dan keagamaan di Islamic Center Imam Barah, London.
Kegemaran Soroush dalam membaca dan menulis membuahkan buku-buku seperti ‘Sifat Dinamis Alam Semesta’ (membahas tentang tauhid, al-ma`ad, dan teori harakah al-jauhariyah Mulla Shadra), ‘Ilmu Pengetahuan dan Nilai’ (buku ini ditulis dan diselesaikannya di Inggris saat menempuh pendidikan doktor), ‘Hikmah wa Ma`isyah’, ‘Aushaf-e Parsawan’, ‘The Hermeneutical Expansion and Contraction of Theory of Syari`a’, dan menulis artikel-artikel di Jurnal Kiyan.
Pada masa-masa berlangsungnya gerakan Revolusi Islam Iran, Soroush sering menghadiri ceramah dan diskusi ilmiah cendekiawan Ali Syari`ati yang diselenggarakan di Husainiyah Al-Irsyad dan pengajian-pengajian Murtadha Muthahhari dan ulama lainnya.
Saat menjadi dosen di Fakultas Keagamaan Universitas Teheran, kuliah Soroush banyak diminati para mahasiswa. Dikarenakan pemikirannya berbeda dan kritis pada pemikiran-pemikiran ulama Syi`ah, pada 1995-1996 Abdul Karim Soroush dilarang memberikan kuliah oleh organisasi Anshar-e Hizbullah.
Soroush—sebagaimana dikatakan Goenawan Mohammad—sosok intelektual kritis yang menggugat kebekuan tradisi dan tidak menghendaki adanya otoritas tunggal. Ide-ide liberal dan kritis itulah yang membuat Soroush tak disenangi para ulama Syi`ah dan mendapat kritik dari ulama ternama seperti Muhammad Said Bahman Pour dan Ayatullah Ja’far Subhani.
Meski kritik bertubi-tubi terlempar padanya, tapi Soroush tetap dikagumi kaum muda Muslim dan ide-idenya banyak dibicarakan kalangan akademisi, termasuk di Indonesia. Robin Wright, jurnalis Los Angeles Times di Amerika, menokohkan Soroush sebagai ‘Muslim Luther Iran’ dan majalah Time edisi April 2005 menobatkan Soroush sebagai satu dari 100 orang berpengaruh di dunia.
Salah satu pemikiran yang terkenal dari Soroush adalah membedakan antara pengetahuan agama yang merupakan hasil pemahaman dari teks tersebut (syarh) dengan agama sebagai teks suci (syari`); atau Islam sebagai identitas dan Islam sebagai kebenaran. Islam model pertama adalah alat ideologis untuk identitas sekaligus respon terhadap apa yang saat ini kita kenal dengan ‘krisis identitas’. Yang termasuk pada model ini adalah Islam yang berwajah sekte atau mazhab dan Islam yang bercampurbaur dengan budaya lokal. Sementara Islam model kedua merupakan Islam sebagai sumber kebenaran yang menunjukkan jalan kedamaian. Model Islam kedua ini, menurut Soroush adalah Islam yang dijalankan dan didakwahkan oleh Nabi Muhammad saw yang misinya menyeru manusia kepada kebenaran dengan jalan damai.
Pemikirannya ini merupakan bentuk kritik terhadap kalangan Muslim ortodoks yang membuat pengetahuan agama menjadi suatu doktrin yang sakral, bahkan hampir disamakan dengan wahyu. Contohnya disiplin fiqh, tasawuf, teologi (kalam), tafsir, dan filsafat—yang merupakan hasil interpretasi para ulama atas nash-nash Islam—hingga kini masih tertutup untuk dikritisi. Sehingga, bila ada yang berupaya mengkritisinya akan dianggap menentang agama. Fakta ini banyak ditemukan dalam bentuk fatwa-fatwa fiqh. Kaum Muslim tidak berani untuk keluar dari fatwa-fatwa ulama dan bahkan mengikat dirinya dengan produk intrepretasi yang dilegalkan melalui institusi agama maupun otoritas seorang ulama ternama.
Itu sebabnya Soroush berupaya untuk memunculkan kembali wacana tentang agama sebagai produk Ilahi (syari`) dan pemahaman agama yang merupakan produk pemikiran atau penafsiran manusia terhadap agama itu sendiri (syarih). Menurutnya, disiplin agama Islam seperti fiqh, teologi (kalam), tasawuf, dan sistem pemerintahan yang digunakan di negara-negara Islam, pada dasarnya terlahir dari sebuah upaya memahami wahyu. Sehingga kedudukannya tidak sakral dan bisa mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan konteks zaman. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Mereka mengubah pemahaman agama menjadi ideologi atau ideologisasi agama. Mereka lebih senang menggunakan Islam demi kepentingan identitasnya (baca: politik, ekonomi, budaya, dan mazhab) ketimbang sebagai jalan kedamaian dan kebenaran. Fakta adanya kepentingan identitas inilah yang bisa dianggap bentuk ideologisasi agama; dan ini tidak hanya terjadi di dunia Islam, tapi juga pada agama-agama lainnya. Mereka dengan dalih menjaga kesucian agama, menolak berhubugan dengan komunitas agama di luarnya. Akibatnya, agama menjadi tertutup dan kaku karena ideologisasi agama selalu menginginkan yang ideal, bersifat fanatis, dan berpikiran sempit. Inilah bentuk kecacatan dalam agama yang diakibatkan oleh pemahaman para penganutnya.
Dari ideologisasi agama ini, kata Soroush, yang paling berbahaya adalah sikap ketaatan buta kepada ulama dan mencampuradukkan antara ‘agama’(syari`) dengan ‘pemahaman agama’ (syarih). Sikap tersebut akan menjebak umat beragama dalam ajaran yang tidak benar dan melupakan fitrah manusia di tengah kehidupan bermasyarakat. Sikap ketaatan buta ini bila tetap masih melekat maka menjadikan orang yang beragama itu menghambakan dirinya pada ajaran agama (pemahaman agama) dan melupakan Tuhan. Akhirnya, mereka yang terjebak dalam sikap ini hidupnya cenderung asosial, eksklusif, fanatik, dan selalu sentimen kepada pemeluk agama lain. Itulah bahayanya bila pemahaman agama disakralkan dan menjadi ideologi.
Agar kaum Muslim tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru, harus berupaya memahami makna kebenaran aga itu sendiri. Menurutnya, nilai kebenaran sebuah agama dapat dilihat dari kebenaran teologis dan kebenaran historis. Kebenaran teologis yang mengetahui hanya pencipta agama itu sendiri, yaitu Tuhan. Maka, tak ada satu pihak pun yang berhak merasa (mengaku) paling tahu tentang kebenaran agama. Sementara untuk melacak kebenaran historis sebuah agama dapat dilihat dari sejauhmana agama tersebut bermanfaat dan dapat membebaskan umat manusia dari belenggu-belenggu kejahatan maupun masalah-masalah sosial dan kemanusiaan.
Mengenai kebenaran agama, Soroush menuturkan, “Saya percaya bahwa kebenaran di mana pun sama; tidak mungkin kebenaran berselisih dengan kebenaran. Semua kebenaran adalah pemukim ditempat yang sama dan bintang-bintang dari yang rasi sama. Satu kebenaran yang berada disudut dunia pasti bersesuaian dengan semua kebenaran ditempat lain. Jika tidak, itu bukan kebenaran. Oleh karena itu, saya tidak pernah lelah mencari kebenaran di arena intelek dan opini yang beragam. Kebenaran sungguh suatu rahmat, sebab kebenaran mendorong pencarian secara terus-menerus dan melahirkan pluralisme yang sehat.” (2002:27)
Soroush juga menegaskan bahwa dalam dinamika pemahaman keagamaan sangat diperlukan adanya pemikiran yang bersifat kritis dan progresif. Karenanya, keberadaan ilmu agama atau pemahaman agama harus diposisikan sama dengan ilmu pengetahuan lainnya yang bersifat manusiawi dan relatif karena masalah-masalah zaman dan kebutuhan manusia tidaklah baku, tapi berubah dari waktu ke waktu atau generasi ke generasi. Apabila agama tersebut ingin tetap ada, maka agama sebagai doktrin atau ajaran berupa nash-nash itu harus mampu menjawab tantangan dan persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia serta menjadi solusi ditiap zamannya.
Pada konteks inilah penfasiran terhadap nash-nash agama dan ijtihad harus selalu dilakukan para pemuka agama; sehingga keberadaan agama itu sendiri akan selalu aktual dan mampu menjadi solusi bagi kehidupan manusia. Seperti halnya ilmu biologi, fisika, kimia, astronomi, dan politik, senantiasa mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Mengapa demikian? Soroush menjawab: ilmu atau pemahaman keagamaan tidaklah bersifat sempurna ataupun berlaku sepanjang waktu, sebab ia terikat dengan budaya yang senantiasa berubah. Sehingga pemahaman keagamaan mutlak untuk dikembangkan dan disempurnakan; karena dengan aktivitas itu merupakan salah satu bentuk usaha yang dapat membangkitkan kemajuan umat beragama atau peradaban Islam.
Karena pemikirannya yang bersifat kritis dan sekuler, wajar bila Soroush disebut sebagai Muslim liberal. Ia dijuluki demikian karena menempatkan agama terpisah dari politik dan menentang otoritas kelembagaan agama, khususnya di Iran. Itu sebabnya di Barat Soroush disebut ‘Luther Islam’. Seperti yang dilakukan teolog Martin Luther di Jerman yang mendobrak otoritas tunggal para Bapa Gereja, Soroush pun menggugat sistem ‘wilayah faqih’ yang memberikan wewenang tunggal kepada ulama. Menurutnya, konsep wilayah faqih yang memberikan otoritas penuh kepada ulama merupakan peniruan dari ajaran Kristen yang memberikan hak penuh kepada para Bapa Gereja. Karena itu, Soroush berpendapat bahwa menjadi sekuler asal tidak taqlid adalah sikap yang baik, apalagi bila diimbangi dengan budaya kritis.
“Menjadi sekuler tidak selamanya berpretensi negatif. Saya menjadi bagian dari sekularisasi justru karena ingin menyelamatkan agama dari sekularisasi itu sendiri,” ujarnya. (2002:79-86)
Jadi, menurut Soroush, sekularisasi merupakan perangkat yang bisa menyelamatkan ajaran agama untuk kesejahteraan umat manusia. Jika tidak ada sekularisasi, eksistensi agama akan menjadi hambatan yang besar terhadap kemerdekaan berpikir, keterbukaan wacana, dan kemajuan ilmu pengetahuan. Dari sinilah muncul pemikiran tentang perlunya melakukan ‘pemisahan’ antara wilayah agama (keyakinan) dengan politik (negara), antara dimensi transenden (sakral) dengan yang imanen (profan).
Dari sinilah Soroush mencetuskan teori penyusutan dan pengembangan agama—sebagai metodologi—dan menggulirkan konsep pemerintahan demokrasi agama (democratic religious government). Konsep pemerintahan demokrasi agama yang digagas Soroush ini berupaya untuk menyelaraskan kepuasan rakyat dengan restu Tuhan, menyeimbangkan urusan agama dan non-agama, dan berbuat yang benar terhadap rakyat maupun Tuhan dengan mengakui integritas manusia dengan agama. Artinya, untuk mewujudkan pemerintahan demokrasi agama memerlukan suatu kombinasi antara nalar (aql) dan wahyu (syari`), penghormatan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia, dan memberikan kebebasan (bagi masyarakat) dalam menjalankan agama.
Dalam teori penyusutan dan pengembangan agama, Soroush mengajukan tiga prinsip. Pertama, prinsip koherensi (keterpaduan) dan korespondensi. Pemahaman agama merupakan hasil interpretasi atas nash yang merupakan produk pemikiran manusia dan dipengaruhi aspek-aspek internal dan eksternal dalam menafsirkannya itu. Kedua, prinsip interpenetrasi. Yakni penyempitan atau perluasan di dalam sistem pengetahuan manusia melahirkan pemahaman agama. Ketiga, prinsip evolusi. Sistem pengetahuan manusia itu mengalami perluasan dan penyimpitan (dinamika pemikiran).
Soroush pun menggunakan pendekatan disiplin ilmu-ilmu modern (filafat, sosiologi, politik, ekonomi, etika, dll) dengan disertai ijtihad pribadi dalam mempraktikan teorinya itu. Dengan ilmu-ilmu modern ini, kata Soroush, agama akan mampu menjawab tantangan dan persoalan-persoalan aktual yang dihadapi masyarakat. Dengan melakukan interpretasi terhadap nash-nash agama menjadi jelas bahwa agama merupakan doktrin yang memberikan pemahaman atau penjelasan tentang Tuhan dan perintah-perintahnya. Pemahaman orang terhadap agama inilah yang disebut ilmu agama. Kedudukan ilmu agama tidak sakral karena produk pemikiran manusia; yang berbeda dengan agama itu sendiri. Agama merupakan produk Tuhan, bersifat abadi dan sakral. Sedangkan ilmu agama atau pemahaman agama senantiasa berubah, terbuka peluang kritik, menyusut/menyimpit dan mengembang; sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia dan konteks zaman.
Jika Anda bertanya, apa yang kita dapatkan dari gagasan dan pemikiran-pemikiran cendekiawan Muslim liberal ini? Saya tidak bisa menjawabnya. Namun, sekadar gambaran, saya kutipkan di bawah ini sebuah rangkuman dari seorang aktivis The Indonesian Institute, Jeffrie Geovanie.
Pertama, dari Soroush kita dapat belajar bagaimana ‘mendamaikan’ Islam dan demokrasi. Islam memang bermakna ‘berserah diri’, namun tidak harus mengorbankan kebebasan. Iman yang dipeluk dalam tekanan dan ancaman, bukanlah iman yang benar. Beriman secara benar, harus disertai dengan semangat kebebasan. Kebebasan, termasuk kebebasan dalam beriman, adalah fondasi utama demokrasi.
Kedua, Soroush berhasil menyerasikan kebebasan dengan nalar-rasional. Menurutnya, kebebasan adalah kepunyaan manusia yang rasional. Karena itu, orang-orang yang menobatkan kebebasan sebagai musuh utama kebenaran, pada dasarnya tidak menyadari bahwa kebebasan adalah kebenaran (haq). Manifestasi kebenaran dapat memperkluat kebebasan dan melemahkan kepalsuan karena dunia ini adalah pasar bebas tempat berbagai ide bertukar.
Ketiga, kita belajar dari Soroush tentang membedakan ‘Islam’ dan ‘penafsiran terhadap Islam’. Islam—terutama teks-teks sucinya—tentu bersifat tetap dan tak berubah. Namun, perlu diingat, pemahaman dan penafsiran manusia terhadap Islam dan teks-teks sucinya tidaklah bersifat tetap, dan karena itu selalu berubah setiap saat dan terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Karena itu, tak ada satu pun pemahaman dan penafsiran terhadap Islam yang bersifat absolut atau sakral.
AHMAD SAHIDIN,
alumni Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pernag aktif di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN SGD Bandung, dan kini menjadi anggota blogger http://www.sunangunungdjati.com serta sedang menjalani fase hidup sebagai pekerja buku.
[+/-] |
Ospek |
Mengubah Paradigma Ospek
Oleh ANDRI AGUSTINA
sunangunungdjati–Orientasi studi dan pengenalan kampus, atau yang lebih dikenal dengan istilah ospek, merupakan salah satu rangkaian kegiatan orientasi bagi mahasiswa baru di suatu lingkungan kampus. Secara umum, kegiatan ospek bertujuan untuk memperkenalkan visi-misi kampus, baik secara historis, demografis, maupun karakteristik. Selain itu, ospek menjadi ajang untuk menanamkan perubahan paradigma berpikir dari pola pikir anak sekolahan menjadi pola pikir akademisi yang analitis, logis, dan kritis.
Melihat perkembangannya, ospek menjelma menjadi sebuah kegiatan perpeloncoan bagi mahasiswa baru, baik secara fisik maupun psikis. Dan pola didikan ospek seperti ini merupakan warisan turun-temurun dari angkatan-angkatan terdahulu yang entah dari angkatan berapa dimulainya sehingga tiap kampus memiliki semacam kekhasan dalam mengospek mahasiswa barunya.
Memang, diakui atau tidak, kegiatan ospek seperti ini (baca: perpeloncoan) cukup efektif memberikan shock therapy untuk mengubah karakter dan pola pikir. Namun, terlepas dari sisi baik dan buruknya, tetap saja pola-pola perpeloncoan seperti ini harus dikaji secara komprehensif, apakah masih layak diterapkan dalam rangka mencetak seorang akademisi.
Sebagai tinjauan umum, kegiatan ospek ternyata membutuhkan kesiapan dan kesanggupan yang cukup besar, baik bagi panitia maupun bagi mahasiwa barunya. Hal tersebut menyangkut masalah ketahanan fisik, ketahanan mental, dan finansial. Terlebih lagi, panitia harus mampu mengorganisasikan sejauh mana ketahan fisik dan mental setiap peserta sehingga hal-hal yang tidak diharapkan dapat dihindari.
Sebagai contoh, tak jarang dalam rangkaian kegiatan ospek, mabim, PAB, dan lain-lain diwarnai dengan malayangnya nyawa seseorang atau mahasiswa baru. Sebagai ekses dari keteledoran dalam merespon ketahanan fisik seseorang. Dan berbicara soal nyawa, maka urusannya akan semakin rumit, karena sama artinya dengan berurusan dengan pihak berwajib, terancam dikeluarkan dari almamater dan pupusnya satu harapan generasi.
Berkaca dari pengalaman tersebut, perlu kita renungkan bagaimana konsep ospek yang qualified, baik secara materi, isi, maupun kompetensi. Kita (mahasiswa), sebagai agen perubahan, harus mampu melakukan perbaikan yang signifikan dalam mengubah kultur orientasi yang selama ini tersegmentasi. Dan sedikit demi sedikit menciptakan kultur baru dalam menyambut mahasiswa baru. Misalnya dengan melakukan pendekatan secara intuitif sebagai sesama mahasiswa, bukan pendekatan represif sebagai senior ke junior.
Memasukkan materi yang berhubungan dengan penggalian kemampuan Intellectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) dalam ospek merupakan cara lain untuk menanamkan karakter sebagai kaum intelektual sehingga suasana akademis lebih terasa daripada suasana underpressure yang menegangkan. Walaupun porsi untuk meningkatkan ketahanan fisik dan mental tetap harus ada, takarannya harus tetap porposional sehingga diharapkan dapat mencetak agen-agen perubahan yang andal dan tangguh.
Selain itu, perlu adanya kontrol dari pihak-pihak terkait seperti jurusan, dekanat, ataupun rektorat sehingga kegiatan-kegiatan orientasi senantiasa terpantau dan masih dalam lingkup kewenangan suatu institusi. Bukan menggelar kegiatan-kegiatan ilegal yang dampaknya bisa berakibat fatal.
Akhirnya, kita pun harus terus berusaha memperbaiki paradigma ospek sehingga tidak lagi menjadi sesuatu yang perlu ditakuti oleh mahasiswa baru. Dan semoga tidak terdengar lagi adanya korban jiwa yang gugur dalam kegiatan ospek selanjutnya. (*)
ANDRI AGUSTINA, Mahasiswa Kimia Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung [Tribun Jabar, 18 Februari 2009]
[+/-] |
Ali |
Ali Zainal Abidin, Peletak Dasar Tradisi Sufi
Oleh AHMAD SAHIDIN
Sunangunungdjati-Suatu hari terdengar seseorang menangis seraya menggumamkan kalimat, “La ilaha illallah, haqqan haqqa. La ilaha illalah ta`abudan wa riqqa. La ilaha illallah imanan wa shidqa (tidak ada tuhan kecuali Allah, yang sebenar-benarnya. Tidak ada tuhan kecuali Allah, dengan keimanan dan ketulusan).”
“Ya Sayyidi,” kata seseorang dari belakang menegur, ”Belum jugakah datang waktunya dukamu berhenti dan tangismu berkurang.”
“Bagaimana engkau ini,Yakub Ibn Ishaq adalah Nabi dan putra Nabi. Ia mempunyai dua belas putra. Seorang di antara mereka hilang.dan Yakub menderita. Matanya buta karena sering menangis dan rambutnya beruban. Padahal anak yang ditangisinya masih hidup di dunia. Aku melihat ayahku, saudaraku, dan tujuh belas saudaraku dibantai di depanku. Mungkinkah hilang dukaku dan berkurang tangisanku?” jawabnya seraya kembali bersujud melafalkan ayat-ayat Allah.
Ketika menjelang malam ia pergi ke pasar membeli gandum. Setiap melewati rumah kaum mustadh`afin ia singgahi dan memberi makanan secukupnya. Begitulah yang ia kerjakan setiap malam. Ia mengerjakannya tiap hari dan tidak ada yang mengetahui siapa ia. Siapakah manusia mulia ini? Sejarah mencatat bahwa ia adalah putra dari pasangan Husain (putra kedua Fatimah az-Zahra Binti Rasulullah Saw) dan Syahar Banu (putri Yazdarij, raja terakhir kekaisaran Persia) yang lahir di Madinah, 15 Jumadil Ula 36 H, yang dikenal dengan nama Ali Zainal Abidin.
Setelah kesyahidan Husain Ibn Ali beserta saudara-saudaranya, beliau sering kali menangis dan mengisi hidupnya dengan ibadah dan doa. Seorang perawi hadis, Al-Zuhri, berujar, “Aku tidak menjumpai seorang pun dari keluarga Rasulullah yang lebih utama dari putra Husain.” Bahkan dikarenakan seringnya bersujud ia digelari As-Sajjad. Sedangkan nama Zainal Abidin (hiasannya orang-orang ibadah) disandangnya karena taat dalam beribadah. Sampai-sampai ketika hendak shalat wajahnya pucat dan badannya gemetar. Ketika ditanya mengapa demikian, beliau menjawab, “Kamu tidak mengetahui di hadapan siapa aku berdiri (shalat) dan kepada siapa aku bermunajat”.
Tetapi nasibnya tidak begitu mulus. Sebab Yazid Ibn Muawiyah dan Abdul Malik, penguasa dari Bani Umayyah, merantainya ibarat Ibnatang di depan umum. Ia digiring dari Damaskus ke Madinah, lalu kembali lagi ke Madinah. Betapa menderitanya ia diperlakukan seperti itu. Karena perlakuan itu, ia selalu menyendiri (khalwat) dan mengeluhkan deritanya kepada sang Khaliq, Allah Subhanallahu Wa Taala. Bahkan dikarenakan faktor psikologis itu ia tak mau menampakkan ibadah dan amal shalih di hadapan khalayak ramai. Amalannya dilakukan secara sembunyi. Setelah wafat, barulah orang-orang mengetahui betapa besar perhatian Ali Zainal Abidin terhadap kaum mustadhafin—sebagaimana kakeknya, Ali Ibn Abi Thalib yang memikul tepung dan roti dipunggungnya guna dibagi-bagikan kepada fakir miskin di Madinah.
Dalam pergaulannya, beliau ramah bukan hanya kepada kawannya saja melainkan juga kepada yang memusuhinya. Dikisahkan, ia didatangi pejabat kerajaan Banu Umayyah yang memaki, mencaci, dan mengejeknya dengan kasar. Saat diperlakukan seperti itu ia diam dan mendengarkannya sampai selesai. Kemudian ia jamu pejabat itu dengan makanan yang lezat. Ia berikan kuda dan beberapa potong kain kepadanya. ”Terima kasih, sungguh mulia engkau telah berkenan membuka aibku sebelum Allah menghisabku kelak,” ujarnya.
Meskipun Ali Zainal Abidin berada di zaman Al-Hajjaj Ibn Yusuf As-Tsaqafi—seorang tiran dari kerajaan Bani Umayyah yang kejam dan tidak segan-segan membunuh siapa pun yang membela keluarga Rasulullah—tapi masih sempat memberikan tausiyah kepada masyarakat dalam bentuk halaqah kecil di sudut masjid.
Disebabkan begitu kukuh dalam memegang Islam, apa pun yang dilakukan Ali Zainal Abidin, mereka tidak ridha apalagi ketika umat Islam tidak bersimpati kepada pemerintahan Bani Umayyah. Akhirnya, tanggal 25 Muharram 95 Hijriah, ketika Ali Zainal Abidin berada di Madinah, Al-Walid Ibn Abdul Malik Ibn Marwan meracuni makanannya. Ali Zainal Abidin pun wafat meninggalkan keluarga dan catatan-catatan munajat (doa), yang kata-katanya bak mutiara berkilauan.
Karena ketabahan dan kesabarannya dalam menghadapi deraan dan siksaan penguasa Bani Umayyah, Ali Zainal Abidin dalam sejarah dikenal sebagai tokoh sufi awal dan munajat-munajatnya pun dijadikan kitab terpenting (utama) untuk munajat-munajat kepada Allah Azza wa Jalla. Bahkan, dalam beberapa tarekat dan pengamat Islam, Ali Zainal Abidin dianggap sebagai peletak dasar tradisi (praktik) hidup kaum sufi. (Majalah Swadaya)