Kamis, 26 Februari 2009

Soroush

Abdul Karim Soroush dan Pemikiran Keagamaan
Oleh AHMAD SAHIDIN

sunangunungdjati–Abdul Karim Soroush lahir di Teheran, Iran, tahun 1945. Pendidikan menengah di Sekolah Menengah Murtazawi dan Sekolah Menengah Alawi, dan masuk Jurusan Farmakologi Universitas Teheran, Iran. Kemudian melanjutkan ke program doktor bidang sejarah dan filsafat sains di Chelsea College, London, Inggris.

Semasa belajar di Sekolah Dasar, Soroush menyenangi puisi-puisi karya Sa`di dan sering membuat puisi. Saat di sekolah menengah sempat menjadi anggota Anjoman-e Hojatiyyeh (organisasi yang khusus mengkaji tradisi Syi`ah dan ajaran-ajaran Bahai`) dan terlibat dalam organisasi non-sekterian Muslim Qurani.

Abdul Karim Soroush mengaku bahwa dirinya sangat mengagumi pemikiran keagamaan dan filsafat Ayatullah Murtadha Muthahhari, terutama karya-karya Muthahhari yang berbau filsafat; salah satunya buku komentar dan penjelasan (syarh) atas karya Allamah Muhammad Husain Thabathabai` yang berjudul Ushul Falsafe wa Rawish-e Rialism. Bahkan Soroush mendapatkan bimbingan langsung dari ulama yang direkomendasikan Muthahhari saat meminta padanya untuk diajari filsafat Islam. Kekaguman Soroush pada Muthahhari tidak menutupnya untuk melayangkan kritik yang cukup pedas. Menurutnya, Muthahhari merupakan sosok ulama-intelektual yang pemikiran-pemikirannya terlihat menyakralkan filsafat Islam. Padahal, kata Soroush, filsafat Islam tidak lain hanyalah variasi dari filsafat Yunani dan produk pemikiran manusia yang masih terbuka untuk dikritik dan direvisi ulang.

Selain karya Muthahhari, ia juga membaca ‘Tafsir Al-Mizan’ karya Allamah Muhammad Husain Thabathabai`, ‘Al-Hikmah Al-Muta`aliyah Fi Al-Asfar Al-Aqliyyat Al-Arba`ah’ karya Mulla Shadra, ‘Al-Mahajjah Al-Baidha’ karya Faiz al-Kasyani, ‘Ihya Ulumuddin’ karya Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, dan karya-karya Jalaluddin Rumi dan Hafiz.

Karier yang sempat dijalaninya adalah Direktur Laboratorium (produk makanan) Toiletteries, dosen Universitas Teheran, profesor tamu untuk studi Islam di universitas-universitas Amerika Serikat (Harvard, Yale, dan Princeton), anggota Dewan Revolusi Kebudayaan yang didirikan Imam Khomeini untuk membahas dan mereview silabus pelajaran dan sistem pendidikan Iran; dan saat di Inggris aktif dalam kegiatan ilmiah dan keagamaan di Islamic Center Imam Barah, London.

Kegemaran Soroush dalam membaca dan menulis membuahkan buku-buku seperti ‘Sifat Dinamis Alam Semesta’ (membahas tentang tauhid, al-ma`ad, dan teori harakah al-jauhariyah Mulla Shadra), ‘Ilmu Pengetahuan dan Nilai’ (buku ini ditulis dan diselesaikannya di Inggris saat menempuh pendidikan doktor), ‘Hikmah wa Ma`isyah’, ‘Aushaf-e Parsawan’, ‘The Hermeneutical Expansion and Contraction of Theory of Syari`a’, dan menulis artikel-artikel di Jurnal Kiyan.

Pada masa-masa berlangsungnya gerakan Revolusi Islam Iran, Soroush sering menghadiri ceramah dan diskusi ilmiah cendekiawan Ali Syari`ati yang diselenggarakan di Husainiyah Al-Irsyad dan pengajian-pengajian Murtadha Muthahhari dan ulama lainnya.

Saat menjadi dosen di Fakultas Keagamaan Universitas Teheran, kuliah Soroush banyak diminati para mahasiswa. Dikarenakan pemikirannya berbeda dan kritis pada pemikiran-pemikiran ulama Syi`ah, pada 1995-1996 Abdul Karim Soroush dilarang memberikan kuliah oleh organisasi Anshar-e Hizbullah.

Soroush—sebagaimana dikatakan Goenawan Mohammad—sosok intelektual kritis yang menggugat kebekuan tradisi dan tidak menghendaki adanya otoritas tunggal. Ide-ide liberal dan kritis itulah yang membuat Soroush tak disenangi para ulama Syi`ah dan mendapat kritik dari ulama ternama seperti Muhammad Said Bahman Pour dan Ayatullah Ja’far Subhani.

Meski kritik bertubi-tubi terlempar padanya, tapi Soroush tetap dikagumi kaum muda Muslim dan ide-idenya banyak dibicarakan kalangan akademisi, termasuk di Indonesia. Robin Wright, jurnalis Los Angeles Times di Amerika, menokohkan Soroush sebagai ‘Muslim Luther Iran’ dan majalah Time edisi April 2005 menobatkan Soroush sebagai satu dari 100 orang berpengaruh di dunia.

Salah satu pemikiran yang terkenal dari Soroush adalah membedakan antara pengetahuan agama yang merupakan hasil pemahaman dari teks tersebut (syarh) dengan agama sebagai teks suci (syari`); atau Islam sebagai identitas dan Islam sebagai kebenaran. Islam model pertama adalah alat ideologis untuk identitas sekaligus respon terhadap apa yang saat ini kita kenal dengan ‘krisis identitas’. Yang termasuk pada model ini adalah Islam yang berwajah sekte atau mazhab dan Islam yang bercampurbaur dengan budaya lokal. Sementara Islam model kedua merupakan Islam sebagai sumber kebenaran yang menunjukkan jalan kedamaian. Model Islam kedua ini, menurut Soroush adalah Islam yang dijalankan dan didakwahkan oleh Nabi Muhammad saw yang misinya menyeru manusia kepada kebenaran dengan jalan damai.

Pemikirannya ini merupakan bentuk kritik terhadap kalangan Muslim ortodoks yang membuat pengetahuan agama menjadi suatu doktrin yang sakral, bahkan hampir disamakan dengan wahyu. Contohnya disiplin fiqh, tasawuf, teologi (kalam), tafsir, dan filsafat—yang merupakan hasil interpretasi para ulama atas nash-nash Islam—hingga kini masih tertutup untuk dikritisi. Sehingga, bila ada yang berupaya mengkritisinya akan dianggap menentang agama. Fakta ini banyak ditemukan dalam bentuk fatwa-fatwa fiqh. Kaum Muslim tidak berani untuk keluar dari fatwa-fatwa ulama dan bahkan mengikat dirinya dengan produk intrepretasi yang dilegalkan melalui institusi agama maupun otoritas seorang ulama ternama.

Itu sebabnya Soroush berupaya untuk memunculkan kembali wacana tentang agama sebagai produk Ilahi (syari`) dan pemahaman agama yang merupakan produk pemikiran atau penafsiran manusia terhadap agama itu sendiri (syarih). Menurutnya, disiplin agama Islam seperti fiqh, teologi (kalam), tasawuf, dan sistem pemerintahan yang digunakan di negara-negara Islam, pada dasarnya terlahir dari sebuah upaya memahami wahyu. Sehingga kedudukannya tidak sakral dan bisa mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan konteks zaman. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Mereka mengubah pemahaman agama menjadi ideologi atau ideologisasi agama. Mereka lebih senang menggunakan Islam demi kepentingan identitasnya (baca: politik, ekonomi, budaya, dan mazhab) ketimbang sebagai jalan kedamaian dan kebenaran. Fakta adanya kepentingan identitas inilah yang bisa dianggap bentuk ideologisasi agama; dan ini tidak hanya terjadi di dunia Islam, tapi juga pada agama-agama lainnya. Mereka dengan dalih menjaga kesucian agama, menolak berhubugan dengan komunitas agama di luarnya. Akibatnya, agama menjadi tertutup dan kaku karena ideologisasi agama selalu menginginkan yang ideal, bersifat fanatis, dan berpikiran sempit. Inilah bentuk kecacatan dalam agama yang diakibatkan oleh pemahaman para penganutnya.

Dari ideologisasi agama ini, kata Soroush, yang paling berbahaya adalah sikap ketaatan buta kepada ulama dan mencampuradukkan antara ‘agama’(syari`) dengan ‘pemahaman agama’ (syarih). Sikap tersebut akan menjebak umat beragama dalam ajaran yang tidak benar dan melupakan fitrah manusia di tengah kehidupan bermasyarakat. Sikap ketaatan buta ini bila tetap masih melekat maka menjadikan orang yang beragama itu menghambakan dirinya pada ajaran agama (pemahaman agama) dan melupakan Tuhan. Akhirnya, mereka yang terjebak dalam sikap ini hidupnya cenderung asosial, eksklusif, fanatik, dan selalu sentimen kepada pemeluk agama lain. Itulah bahayanya bila pemahaman agama disakralkan dan menjadi ideologi.

Agar kaum Muslim tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru, harus berupaya memahami makna kebenaran aga itu sendiri. Menurutnya, nilai kebenaran sebuah agama dapat dilihat dari kebenaran teologis dan kebenaran historis. Kebenaran teologis yang mengetahui hanya pencipta agama itu sendiri, yaitu Tuhan. Maka, tak ada satu pihak pun yang berhak merasa (mengaku) paling tahu tentang kebenaran agama. Sementara untuk melacak kebenaran historis sebuah agama dapat dilihat dari sejauhmana agama tersebut bermanfaat dan dapat membebaskan umat manusia dari belenggu-belenggu kejahatan maupun masalah-masalah sosial dan kemanusiaan.

Mengenai kebenaran agama, Soroush menuturkan, “Saya percaya bahwa kebenaran di mana pun sama; tidak mungkin kebenaran berselisih dengan kebenaran. Semua kebenaran adalah pemukim ditempat yang sama dan bintang-bintang dari yang rasi sama. Satu kebenaran yang berada disudut dunia pasti bersesuaian dengan semua kebenaran ditempat lain. Jika tidak, itu bukan kebenaran. Oleh karena itu, saya tidak pernah lelah mencari kebenaran di arena intelek dan opini yang beragam. Kebenaran sungguh suatu rahmat, sebab kebenaran mendorong pencarian secara terus-menerus dan melahirkan pluralisme yang sehat.” (2002:27)

Soroush juga menegaskan bahwa dalam dinamika pemahaman keagamaan sangat diperlukan adanya pemikiran yang bersifat kritis dan progresif. Karenanya, keberadaan ilmu agama atau pemahaman agama harus diposisikan sama dengan ilmu pengetahuan lainnya yang bersifat manusiawi dan relatif karena masalah-masalah zaman dan kebutuhan manusia tidaklah baku, tapi berubah dari waktu ke waktu atau generasi ke generasi. Apabila agama tersebut ingin tetap ada, maka agama sebagai doktrin atau ajaran berupa nash-nash itu harus mampu menjawab tantangan dan persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia serta menjadi solusi ditiap zamannya.

Pada konteks inilah penfasiran terhadap nash-nash agama dan ijtihad harus selalu dilakukan para pemuka agama; sehingga keberadaan agama itu sendiri akan selalu aktual dan mampu menjadi solusi bagi kehidupan manusia. Seperti halnya ilmu biologi, fisika, kimia, astronomi, dan politik, senantiasa mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Mengapa demikian? Soroush menjawab: ilmu atau pemahaman keagamaan tidaklah bersifat sempurna ataupun berlaku sepanjang waktu, sebab ia terikat dengan budaya yang senantiasa berubah. Sehingga pemahaman keagamaan mutlak untuk dikembangkan dan disempurnakan; karena dengan aktivitas itu merupakan salah satu bentuk usaha yang dapat membangkitkan kemajuan umat beragama atau peradaban Islam.

Karena pemikirannya yang bersifat kritis dan sekuler, wajar bila Soroush disebut sebagai Muslim liberal. Ia dijuluki demikian karena menempatkan agama terpisah dari politik dan menentang otoritas kelembagaan agama, khususnya di Iran. Itu sebabnya di Barat Soroush disebut ‘Luther Islam’. Seperti yang dilakukan teolog Martin Luther di Jerman yang mendobrak otoritas tunggal para Bapa Gereja, Soroush pun menggugat sistem ‘wilayah faqih’ yang memberikan wewenang tunggal kepada ulama. Menurutnya, konsep wilayah faqih yang memberikan otoritas penuh kepada ulama merupakan peniruan dari ajaran Kristen yang memberikan hak penuh kepada para Bapa Gereja. Karena itu, Soroush berpendapat bahwa menjadi sekuler asal tidak taqlid adalah sikap yang baik, apalagi bila diimbangi dengan budaya kritis.

“Menjadi sekuler tidak selamanya berpretensi negatif. Saya menjadi bagian dari sekularisasi justru karena ingin menyelamatkan agama dari sekularisasi itu sendiri,” ujarnya. (2002:79-86)

Jadi, menurut Soroush, sekularisasi merupakan perangkat yang bisa menyelamatkan ajaran agama untuk kesejahteraan umat manusia. Jika tidak ada sekularisasi, eksistensi agama akan menjadi hambatan yang besar terhadap kemerdekaan berpikir, keterbukaan wacana, dan kemajuan ilmu pengetahuan. Dari sinilah muncul pemikiran tentang perlunya melakukan ‘pemisahan’ antara wilayah agama (keyakinan) dengan politik (negara), antara dimensi transenden (sakral) dengan yang imanen (profan).

Dari sinilah Soroush mencetuskan teori penyusutan dan pengembangan agama—sebagai metodologi—dan menggulirkan konsep pemerintahan demokrasi agama (democratic religious government). Konsep pemerintahan demokrasi agama yang digagas Soroush ini berupaya untuk menyelaraskan kepuasan rakyat dengan restu Tuhan, menyeimbangkan urusan agama dan non-agama, dan berbuat yang benar terhadap rakyat maupun Tuhan dengan mengakui integritas manusia dengan agama. Artinya, untuk mewujudkan pemerintahan demokrasi agama memerlukan suatu kombinasi antara nalar (aql) dan wahyu (syari`), penghormatan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia, dan memberikan kebebasan (bagi masyarakat) dalam menjalankan agama.

Dalam teori penyusutan dan pengembangan agama, Soroush mengajukan tiga prinsip. Pertama, prinsip koherensi (keterpaduan) dan korespondensi. Pemahaman agama merupakan hasil interpretasi atas nash yang merupakan produk pemikiran manusia dan dipengaruhi aspek-aspek internal dan eksternal dalam menafsirkannya itu. Kedua, prinsip interpenetrasi. Yakni penyempitan atau perluasan di dalam sistem pengetahuan manusia melahirkan pemahaman agama. Ketiga, prinsip evolusi. Sistem pengetahuan manusia itu mengalami perluasan dan penyimpitan (dinamika pemikiran).

Soroush pun menggunakan pendekatan disiplin ilmu-ilmu modern (filafat, sosiologi, politik, ekonomi, etika, dll) dengan disertai ijtihad pribadi dalam mempraktikan teorinya itu. Dengan ilmu-ilmu modern ini, kata Soroush, agama akan mampu menjawab tantangan dan persoalan-persoalan aktual yang dihadapi masyarakat. Dengan melakukan interpretasi terhadap nash-nash agama menjadi jelas bahwa agama merupakan doktrin yang memberikan pemahaman atau penjelasan tentang Tuhan dan perintah-perintahnya. Pemahaman orang terhadap agama inilah yang disebut ilmu agama. Kedudukan ilmu agama tidak sakral karena produk pemikiran manusia; yang berbeda dengan agama itu sendiri. Agama merupakan produk Tuhan, bersifat abadi dan sakral. Sedangkan ilmu agama atau pemahaman agama senantiasa berubah, terbuka peluang kritik, menyusut/menyimpit dan mengembang; sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia dan konteks zaman.

Jika Anda bertanya, apa yang kita dapatkan dari gagasan dan pemikiran-pemikiran cendekiawan Muslim liberal ini? Saya tidak bisa menjawabnya. Namun, sekadar gambaran, saya kutipkan di bawah ini sebuah rangkuman dari seorang aktivis The Indonesian Institute, Jeffrie Geovanie.

Pertama, dari Soroush kita dapat belajar bagaimana ‘mendamaikan’ Islam dan demokrasi. Islam memang bermakna ‘berserah diri’, namun tidak harus mengorbankan kebebasan. Iman yang dipeluk dalam tekanan dan ancaman, bukanlah iman yang benar. Beriman secara benar, harus disertai dengan semangat kebebasan. Kebebasan, termasuk kebebasan dalam beriman, adalah fondasi utama demokrasi.

Kedua, Soroush berhasil menyerasikan kebebasan dengan nalar-rasional. Menurutnya, kebebasan adalah kepunyaan manusia yang rasional. Karena itu, orang-orang yang menobatkan kebebasan sebagai musuh utama kebenaran, pada dasarnya tidak menyadari bahwa kebebasan adalah kebenaran (haq). Manifestasi kebenaran dapat memperkluat kebebasan dan melemahkan kepalsuan karena dunia ini adalah pasar bebas tempat berbagai ide bertukar.

Ketiga, kita belajar dari Soroush tentang membedakan ‘Islam’ dan ‘penafsiran terhadap Islam’. Islam—terutama teks-teks sucinya—tentu bersifat tetap dan tak berubah. Namun, perlu diingat, pemahaman dan penafsiran manusia terhadap Islam dan teks-teks sucinya tidaklah bersifat tetap, dan karena itu selalu berubah setiap saat dan terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Karena itu, tak ada satu pun pemahaman dan penafsiran terhadap Islam yang bersifat absolut atau sakral.

AHMAD SAHIDIN,

alumni Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pernag aktif di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN SGD Bandung, dan kini menjadi anggota blogger http://www.sunangunungdjati.com serta sedang menjalani fase hidup sebagai pekerja buku.

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Soroush