Kamis, 26 Februari 2009

Ali

Ali Zainal Abidin, Peletak Dasar Tradisi Sufi
Oleh AHMAD SAHIDIN

Sunangunungdjati-Suatu hari terdengar seseorang menangis seraya menggumamkan kalimat, “La ilaha illallah, haqqan haqqa. La ilaha illalah ta`abudan wa riqqa. La ilaha illallah imanan wa shidqa (tidak ada tuhan kecuali Allah, yang sebenar-benarnya. Tidak ada tuhan kecuali Allah, dengan keimanan dan ketulusan).”

“Ya Sayyidi,” kata seseorang dari belakang menegur, ”Belum jugakah datang waktunya dukamu berhenti dan tangismu berkurang.”

“Bagaimana engkau ini,Yakub Ibn Ishaq adalah Nabi dan putra Nabi. Ia mempunyai dua belas putra. Seorang di antara mereka hilang.dan Yakub menderita. Matanya buta karena sering menangis dan rambutnya beruban. Padahal anak yang ditangisinya masih hidup di dunia. Aku melihat ayahku, saudaraku, dan tujuh belas saudaraku dibantai di depanku. Mungkinkah hilang dukaku dan berkurang tangisanku?” jawabnya seraya kembali bersujud melafalkan ayat-ayat Allah.

Ketika menjelang malam ia pergi ke pasar membeli gandum. Setiap melewati rumah kaum mustadh`afin ia singgahi dan memberi makanan secukupnya. Begitulah yang ia kerjakan setiap malam. Ia mengerjakannya tiap hari dan tidak ada yang mengetahui siapa ia. Siapakah manusia mulia ini? Sejarah mencatat bahwa ia adalah putra dari pasangan Husain (putra kedua Fatimah az-Zahra Binti Rasulullah Saw) dan Syahar Banu (putri Yazdarij, raja terakhir kekaisaran Persia) yang lahir di Madinah, 15 Jumadil Ula 36 H, yang dikenal dengan nama Ali Zainal Abidin.

Setelah kesyahidan Husain Ibn Ali beserta saudara-saudaranya, beliau sering kali menangis dan mengisi hidupnya dengan ibadah dan doa. Seorang perawi hadis, Al-Zuhri, berujar, “Aku tidak menjumpai seorang pun dari keluarga Rasulullah yang lebih utama dari putra Husain.” Bahkan dikarenakan seringnya bersujud ia digelari As-Sajjad. Sedangkan nama Zainal Abidin (hiasannya orang-orang ibadah) disandangnya karena taat dalam beribadah. Sampai-sampai ketika hendak shalat wajahnya pucat dan badannya gemetar. Ketika ditanya mengapa demikian, beliau menjawab, “Kamu tidak mengetahui di hadapan siapa aku berdiri (shalat) dan kepada siapa aku bermunajat”.

Tetapi nasibnya tidak begitu mulus. Sebab Yazid Ibn Muawiyah dan Abdul Malik, penguasa dari Bani Umayyah, merantainya ibarat Ibnatang di depan umum. Ia digiring dari Damaskus ke Madinah, lalu kembali lagi ke Madinah. Betapa menderitanya ia diperlakukan seperti itu. Karena perlakuan itu, ia selalu menyendiri (khalwat) dan mengeluhkan deritanya kepada sang Khaliq, Allah Subhanallahu Wa Taala. Bahkan dikarenakan faktor psikologis itu ia tak mau menampakkan ibadah dan amal shalih di hadapan khalayak ramai. Amalannya dilakukan secara sembunyi. Setelah wafat, barulah orang-orang mengetahui betapa besar perhatian Ali Zainal Abidin terhadap kaum mustadhafin—sebagaimana kakeknya, Ali Ibn Abi Thalib yang memikul tepung dan roti dipunggungnya guna dibagi-bagikan kepada fakir miskin di Madinah.

Dalam pergaulannya, beliau ramah bukan hanya kepada kawannya saja melainkan juga kepada yang memusuhinya. Dikisahkan, ia didatangi pejabat kerajaan Banu Umayyah yang memaki, mencaci, dan mengejeknya dengan kasar. Saat diperlakukan seperti itu ia diam dan mendengarkannya sampai selesai. Kemudian ia jamu pejabat itu dengan makanan yang lezat. Ia berikan kuda dan beberapa potong kain kepadanya. ”Terima kasih, sungguh mulia engkau telah berkenan membuka aibku sebelum Allah menghisabku kelak,” ujarnya.

Meskipun Ali Zainal Abidin berada di zaman Al-Hajjaj Ibn Yusuf As-Tsaqafi—seorang tiran dari kerajaan Bani Umayyah yang kejam dan tidak segan-segan membunuh siapa pun yang membela keluarga Rasulullah—tapi masih sempat memberikan tausiyah kepada masyarakat dalam bentuk halaqah kecil di sudut masjid.

Disebabkan begitu kukuh dalam memegang Islam, apa pun yang dilakukan Ali Zainal Abidin, mereka tidak ridha apalagi ketika umat Islam tidak bersimpati kepada pemerintahan Bani Umayyah. Akhirnya, tanggal 25 Muharram 95 Hijriah, ketika Ali Zainal Abidin berada di Madinah, Al-Walid Ibn Abdul Malik Ibn Marwan meracuni makanannya. Ali Zainal Abidin pun wafat meninggalkan keluarga dan catatan-catatan munajat (doa), yang kata-katanya bak mutiara berkilauan.

Karena ketabahan dan kesabarannya dalam menghadapi deraan dan siksaan penguasa Bani Umayyah, Ali Zainal Abidin dalam sejarah dikenal sebagai tokoh sufi awal dan munajat-munajatnya pun dijadikan kitab terpenting (utama) untuk munajat-munajat kepada Allah Azza wa Jalla. Bahkan, dalam beberapa tarekat dan pengamat Islam, Ali Zainal Abidin dianggap sebagai peletak dasar tradisi (praktik) hidup kaum sufi. (Majalah Swadaya)

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Ali