Kamis, 26 Februari 2009

Segar

Menyegarkan Kesundaan Kita
Oleh SUKRON ABDILAH

sunangunungdjati–Tanah Sunda, gemah ripah/Nu ngumbara suka betah/Urang Sunda sawawa/Sing toweksa perceka/Nyangga darma anu nyata//Seuweu Pajajaran/Muga tong kasmaran/Sing tulaten jeung rumaksa/Miara pakaya memang sawajibna/Geuten titen rumawat tanah pusaka//

Sebagai produk pemikiran manusia, Sunda bukan sesuatu yang saklek, pasti, dan tidak boleh diubah. Ia (Sunda) adalah kebudayaan yang selalu berkembang mengikuti perputaran ruang dan waktu. Dengan demikian kesundaan akan terus hidup apabila urang Sunda memahaminya dengan pengalaman hidup masing-masing. Keragaman memahami inilah yang nantinya melahirkan sikap menghargai atas kebudayaan non-sunda yang berkembang di Jawa Barat.

Oleh karena itu, pemberlakukan mengajarkan bahasa-bahasa daerah seperti Cirebon dan Betawi bagi siswa sekolah harus diapresiasi. Sebab, meskipun Jawa Barat mayoritas beretnik Sunda, ada daerah yang berbeda dalam hal kebudayaan, terutama dari bahasa tutur keseharian. Apabila pelajaran bahasa Sunda, misalnya, dibebankan kepada daerah-daerah yang mayoritas dihuni etnik non-sunda, sama saja dengan menumpurkan kebudayaan lain.

Laku lampah seperti itu melenceng dari semangat Ki Sunda yang sedari dulu selalu mencoba menjaga kebudayaan orang di luar Sunda yang bermigrasi ke daerahnya. Pesan damai dan toleran Ki Sunda terlihat jelas dari rangkaian larik yang disusun almarhum Mang Koko, yang menjelaskan sikap someah kepada orang luar Sunda sebagai ciri dari kedewasaan (sawawa). Kalau kita mengaku sebagai Sunda sawawa, saya pikir tidak ada salahnya setiap daerah memberikan pelajaran bermuatan lokal yang berkaitan dengan warisan leluhurnya.

Mengikis fanatisme

Syair yang dikreasi almarhum mang Koko memang tepat menggambarkan alam tanah Sunda yang gemah ripah lohjinawi, dan membuat kaum urban suka-betah mengumbara di tempat ini. Selain tanahnya yang subur, masyarakatnya pun memiliki ikatan solidaritas komunal yang tidak tribalistik, tidak mendiskriminasikan suku lain. Bukti ini terlihat dari pemberian gelar kehormatan daeng, aom, aden, habib dan sebagainya kepada etnis luar Sunda yang tinggal di Pasundan.

Seperti menganut agama, kesundaan kita kini cenderung meminggirkan pemahaman manusia Sunda lain tentang kesundaannya. Fanatisme kesundaan saya pikir sangat berbahaya bagi integrasi bangsa ini. Dengan meminggirkan kebudayaan minor di Jabar adalah bentuk fanatisme “berkedok” lokalitas. Tak heran jika ada seseorang yang melenceng dari pemahaman dirinya tentang kesundaan, ia sewot dan bahkan mengklaim mereka sebagai “tidak nyunda”. Padahal, Sunda sangat terbuka terhadap ragam interpretasi. Kesundaan saya hari ini akan berbeda dengan pemahaman urang Sunda generasi 70-an atau 80-an.

Sikap manusia Sunda yang tak berdasar pada nilai-nilai kearifan akan mengubahnya menjadi seorang peragu, tak yakin, dan arogan. Merasa diri adalah berkuasa atas alam tidak akan membentuknya jadi manusia sempurna Sunda. Guru Gantangan sebagai seorang putera Prabu Siliwangi, misalnya, untuk menggapai derajat manusia sempurna dengan melakukan pengembaraan ke dunia luar. Dengan cara inilah, diharapkan manusia Sunda mampu memahami dunia luar yang plural, majemuk, dan dipenuhi diversitas.

Bagi orang yang egois dan fanatis bakal lahir apa yang disebut superioritas sehingga menempatkan orang lain inferior, yang mengakibatkan keretakan hubungan sosial. Maka, memelihara tanah Sunda dan bersikap ramah (someah) kepada kebudayaan di luar Sunda adalah kewajiban seorang Sunda sawawa sebagai petanda tidak terjebak pada romantisme seuweu Pajajaran yang fanatis abis!.

Silang budaya

Bahasa adalah salah satu unsur kebudayaan yang mudah melakukan perkawinan silang dengan bahasa lain. Jika ditelisik secara antropologis, keragaman budaya di Jawa Barat, memberi acuan perilaku pada masyarakat untuk menyadari eksistensi kebudayaan lain di tempat tinggalnya. Pengaruh kebudayaan etnik lain – meminjam teori Denis Lombard – adalah semacam “silang budaya” yang membentuk kesundaan kita hari ini. Salah satu indikatornya persilangan budaya itu bisa terjadi apabila setiap kebudayaan di daerah Jawa Barat dipelihara dan dijaga.

Selain bahasa Sunda, misalnya, pemerintah juga harus tetap menjaga kelestarian bahasa Cirebon, Betawi, China, Arab, Batak, Padang di tanah pusaka ini. Sehingga para penduduk dari luar akan merasa suka betah tinggal atau sekadar berwisata ke Jawa Barat. Secara pribadi, saya merasa iri dengan penguasaan bahasa Sunda masyarakat dari luar. Seandainya sewaktu SMP dulu saya memiliki teman yang mampu berbahasa Jawa, Batak, China, dan Padang; saya akan memintanya menjadi guru bahasa ketiga setelah bahasa Indonesia dan bahasa Sunda.

Sayangnya, ketika mereka sekolah ke daerah-daerah di wilayah Sunda, jarang menggunakan bahasanya. Dan, mencetuskan pemberlakukan muatan lokal bahasa daerah selain bahasa Sunda, saya pikir dapat mendidik anak-anak untuk bertukar kebudayaan dengan orang lain. Dengan inilah perkawinan atau persilangan budaya akan terlihat indah mengemuka. Selain itu, anak-anak Sunda di daerah yang di sekolahnya memberlakukan pelajaran bahasa Cirebon, akan lebih pintar dari saya. Minimalnya, empat bahasa sudah dia kuasai. Inggris, Indonesia, Sunda, dan Cirebon.

Sekadar hiburan, mari kita kutip sisindiran, yang didalamnya terjadi semacam hibridasi bahasa yang dipraktikkan masyarakat Sunda: Miyoto okaino/sora akete/bareto loba kejo/ayeuna hese beleke. Dalam sisindiran itu ada nuansa Japanis yang dipadukan dengan bahasa Sunda. Jadi, betul sekali – seperti disitir Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya – bahwa Indonesia (termasuk Sunda di Jawa Barat–pen) adalah anak segala bangsa.

Kalau tak percaya silahkan resapi kata-kata kiyak (Yak, berarti kerbau dalam bahasa China), Arde (al-ardhi, bumi dalam bahasa Arab), Pestol (pistol, berarti senajata genggam dalam bahasa Belanda), hyang (hyang, berarti Tuhan dalam bahasa Sangsakerta), dan masih banyak lagi bahasa Sunda yang lahir dari “silang budaya” dengan kebudayaan di luar Sunda. Bahkan saya menebak-nebak sebutan “aceng” untuk seorang pemuda teguh beragama terinspirasi oleh Laksamana Cheng Ho yang sempat berlabuh di Karawang.

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Segar