Kamis, 26 Februari 2009

Prahara

Prahara di Negeri Serba Bisa
Oleh MUHAMMAD ALFAN

Sunan Gunung Djati–Apa yang salah dengan negeri ini?. Negeri kaya yang penuh arti, namun tiada makna. Semua hal dapat dilakukan di negeri ini. Membuat pesawat sampai bedil, bisa. Menghukum mati terpidana narkoba sampai membebaskan koruptor, juga bisa. Dari pejabat sampai pedagang korupsi, bisa juga. Bahkan “tongkat” dan “batu” pun bisa menjadi tanaman (Koes Plus). Memang di negeri ini semua “bisa diatur” dan “bersama kita bisa!”.

Karena semua serba bisa maka, aturan, tata nilai, agama dan moralitas, bisa dimanipulasi. Tidak berperan sebagaimana mestinya. Berbagai persoalan kehidupan dan tata aturan bisa difasirkan berdasarkan kebutuhan. Sehingga berakibat pada maraknya kerusuhan, perampokan, pembunuhan, bahkan korupsi. Semua bisa dilakukan kapan pun dan dimana pun. Akhirnya zaman ini benar-benar bisa menjadi zaman edan, melu edan ora tahan, yen ten melu anglakoni edan ora kaduman (ikut edan tidak sampai hati, tidak ikut edan tidak kebagian).

Manusia Absurd
Ketika semua sendi kehidupan diperlakukan sama dan serba bisa, maka semuanya menjadi permisif. Tidak ada beda antara dosa dan pahala, antara moralitas dan kejahatan, bahkan agama dibiarkan berlalu. Koruptor tersenyum menghadapi vonis pengadilan, sedangkan di seberang sana, anak-anak menangis kelaparan. Padahal korban dari keserakahan para pejabat yang korup sungguh luar biasa, tidak hanya kemiskinan dan kebodohan yang dirasakan. Lebih dari itu adalah penderitaan batin, keputusasaan dan ketidakberdayaan. Tindakan menyimpang yang dilakukan pejabat korup, merupakan bentuk penghianatan terhadap hati nurani. Yaitu suatu tindakan yang tidak didasarkan pada moralitas.

Sedangkan moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan manusia dengan norma atau hukum batiniah, tujuannya kebahagiaan sempurna (Lili Tjahjadi, 1991). Oleh sebab itu, jika semua tindakan yang dilakukan manusia tidak mempedulikan tata nilai, maka hal itu merupakan wujud moral manusia absurd. Yaitu segala bentuk tindakannya bertolak belakang dengan persetujuan penuh rasa pasrah terhadap hal yang tak dapat diuraikan maknanya (Albert Camus, 1999).

Jika demikian, kebenaran, agama dan moralitas menjadi absurd, relatif dan mudah dibalak-balikkan sesuai dengan nafsu manusia. Politisasi terhadap agama, moralitas dan pendidikan dibenarkan. Sedangkan politik dan moralitas sulit untuk disatukan, keduanya merupakan bagian terpisah yang berdiri pada dua kutub yang berseberangan.

Keterbelahan itu membelenggu pejabat negara yang tidak dapat memposisikan antara kekuasaan dan moralitas, kebaikan dan keburukan. Apakah ia mampu bertahan dalam kebenaran dan kebaikan, ataukah ia akan terendam dalam kubangan kekuasaan dan kepentingan?. Jawabannya bisa “ya” bisa juga “tidak”, yang pasti selalu bisa.

Prahara Kesedihan
Harapan adanya perubahan pada Presiden yang secara langsung dipilih oleh rakyat, tidak juga terwujud. Rakyat merasa ‘ditinggalkan’ bahkan ‘kehilangan’, setelah ia sandarkan segala rasa dan harapan pada pilihannya. Reformasi ternyata bisa membawa derita bagi kebanyakan rakyat miskin. Padahal masa lalu telah ditinggalkan, namun masa depan belum menampakkan diri.

Situasi demikian oleh Durkheim digambarkan sebagai keadaan yang anomi (anomic), yaitu aturan lama tidak berlaku lagi dan aturan baru belum ada. Dalam keadaan anomi orang merasa seolah-olah dunia dan hidupnya mulai runtuh serta kehilangan ruang (Brouwer, 1984). Kemudian melahirkan prahara, yaitu kekecewaan dan kesedihan. Kedua hal itu mewujud menjadi semacam melankoli, sebuah derita atas hilangnya sesuatu yang dinginkan atau dicintai. Selanjutnya mengalami depresi hebat dan tidak mampu bangkit dari keterpurukannya, ia akan kehilangan kepercayaan diri.

Melankoli akhir-akhir ini diterjemahkan sebagai suatu keputusasaan yang mendalam, sebuah prahara bathin yang luar biasa. Terhentinya minat terhadap dunia luar, munculnya rintangan terhadap semua kegiatan serta menurunya penghargaan terhadap dirinya sendiri sampai pada tingkat paling ekstrim; yaitu sikap mempersalahkan diri sendiri dan bermuara pada hukuman yang bersifat hayali (Antony Storr,1991).

Untuk bangkit dari kesedihan dan prahara, harus memulai dengan menerima adanya fakta bahwa ‘dunia’ mengetuhui keberadaannya dan keadaannya. Membangun mimpinya tentang diri sendiri dan, dilanjutkan dengan munculnya kesadaran agar dapat memilikinya dalam kenyataan. Marx menyebutnya dengan reformasi kesadaran.
Dengan begitu ia akan sadar bahwa dirinya tidak berhadapan dengan sebuah kekosongan besar antara masa lalu dengan saat ini, bahkan pemikiran-pemikiran masa lalu direalisasikan menjadi bentuk nyata. Pada akhirnya, dia akan melihat bahwa umat manusia tidak mengawali suatu tugas baru, namun menyelesaikan tugas-tugas lama dengan kesadaran. Karena keberadaan manusia ditentukan oleh struktur masyarakat di mana dia menjadi bagian di dalamnya, sehingga tidak menjadi terasing di rumahnya sendiri. (Fromm, 2002).

Oleh karena itu, semua persoalan selayaknya diposisi sebagaimana mestinya. Tata nilai, hukum, politik, agama dan moralitas dilaksanakan apa adanya. Dengan tanpa menghilangkan makna “bersama kita bisa!”. Apa?… Wallahualam bisshawab.***

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Prahara