Dari Toleransi Ke Pluralisme
oleh Mohumad Shofan
KEHADIRAN teks dalam tradisi keagamaan memang telah membawa implikasi yang luar biasa bagi perkembangan intelektual, kebudayaan, dan peradaban. Teks senantiasa menjadi rujukan utama bagi laku beragama, sehingga tak heran bila teks kemudian mampu menentukan langgam serta gaya hidup (life style) umat beragama.
Dalam tradisi Islam, teks sebagai pesan dan bahasa telah menjadi salah satu bagian penting dalam khazanah pembacaan terhadap Alquran. Kedudukan teks begitu sentralnya, sehingga teks menjadi semacam "paradigma" atau cetakan yang mengerangkakan hampir seluruh kehidupan umat Islam dalam seluruh bentangan sejarahnya. Pada aras ini, teks telah menjadi ikon pembentuk peradaban dan budaya masyarakat. Tak salah kiranya, jika tesis Nasr Hamid Abu Zayd sampai pada suatu kesimpulan bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks. Dengan kata lain, peradaban Islam memosisikan teks sebagai poros utamanya.
Dengan demikian bisa dipastikan perilaku keberagamaan umat beragama tak bisa lepas dari pengaruh teks agama berikut penafsirannya. Persoalannya adalah bagaimana kita menafsirkan sebuah teks yang mampu membawa pembaca kepada suatu tafsiran yang tidak terjebak pada otoritarianisme beragama. Yakni, sebuah penafisran yang bersifat otoriter, yakni dalam hal keyakinannya menganut paham absolutisme, sebagaimana banyak dijumpai pada kelompok skripturalis-literalis.
Dalam banyak hal, orientasi kelompok ini cenderung menjadi puris, dalam arti ia tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas pluralis sebagai suatu bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati. Bagi mereka hanya ada satu bacaan, satu penafsiran yang muncul dari kepicikan kesadaran terhadap dialektika hubungan antara masa lalu dengan masa kini, antara tradisi dan temporalitas.
Wajar kalau kemudian fenomena radikalisme, fanatisme, fundamentalisme, bahkan ekstremisme umat beragama banyak dituduhkan bermula dari penafsiran teks yang serba-formalistik simbolik sehingga terkesan kaku, rigid dan tidak fleksibel. Pemahaman yang muncul sering bersifat literalverbal, tekstual, bukan kontekstual. Akibatnya, teks agama hanya dipahami pada tataran permukaan. Sedang hal yang bersifat mendasar terabaikan.
Dampak dari pikiran sempit ini, yang tampak jelas adalah ketegangan dan konflik berkepanjangan antarumat bergama. Pada gilirannya satu sama lain saling memaksakan kebenarannya tanpa membiarkan pilihan bebas umat manusia di dalam menentukan agamanya. Sikap demikian jelas akan menafikan kesadaran hidup pluralisme dalam masyarakat heteroge dan dunia global. Pikiran picik dan literalis muncul dalam klaim kebenaran, yang pada akhirnya kaum beragama akan kehilangan wawasan membangun harmonisme kehidupan bersama.
Buku yang ditulis Zuhairi Misrawi ini setidaknya menggambarkan keprihatinannya terhadap sikap umat beragama yang tidak toleran dan cenderung kaku dalam memahami teks Alquran. Upaya merumuskan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang memberikan alternatif bagi umat Islam dalam pandangannya merupakan sebuh keniscayaan yang tidak bisa ditunda lagi dalam rangka membangun masyarakat yang terbuka dan toleran. Dalam buku ini pula, Zuhairi dengan sangat argumentatif-metodologis membedah secara panjang lebar sejumlah ayat yang secara eksplisit mendorong pada toleransi.
Tidaklah terlalu berlebihan, jika saya katakan bahwa buku ini rujukan paling penting -untuk tidak mengatakan satu-satunya buku penting- yang secara komprehensif mengupas tuntas ayat-ayat yang berkaitan dengan toleransi dan kedamaian yang merupakan spirit paling mengemuka di dalam Alquran. Toleransi menjadi perekat yang paling kuat untuk mendekatkan manusia yang satu dengan manusia yang lain. Dalam toleransi ada ketulusan dan kesediaan untuk menerima perbedaan dan pemikiran dari pihak lain. Yang lebih penting dari itu pihak lain akan dipandang sebagai kawan, bukan lawan. Pihak lain akan dipahami sebagai sesama makhluk Tuhan yang mempunyai hati nurani dan akal budi. Perbedaan merupakan kodrat Tuhan, sunnatullah (hlm. 11).
Perbedaan dan keragaman merupakan sebuah keniscayaan yang dititahkan Tuhan kepada setiap makhluk-Nya. Tidak hanya perbedaan antaragama atau intra-agama, tetapi juga perbedaan dan keragaman di hampir semua makhluk di muka bumi. Karena itu, untuk menyikapi keberbedaan itu diperlukan toleransi aktif, bukan pasif, untuk melibatkan diri pada yang lain di tengah keragaman.
Toleransi yang mampu mengembangkan budaya dialog untuk saling mengenali dan menjalin kerja sama. Teologi inklusif merupakan kelanjutan dari toleransi aktif. Inkulusivisme pada hakekatnya memberikan pembelajaran agar tenda toleransi senantiasa digelar dan dibuka, terutama dalam konteks agama-agama. Namun demikian harus diakui bahwa inklusivisme pada umumnya hanya pada level teologis an sich yang bersifat abstrak. Maka inklusivisme harus diperkuat dengan pluralisme sebagai tahapan lanjutan dari inklusivisme.
Buku ini memberikan inspirasi kepada kita perlunya membangun kebersamaan di tengah perbedaan dan keragaman. Buku ini memberi harapan bagi masa depan Islam di Indonesia. Analisisnya yang mendalam dan serius membuat buku ini layak dan perlu dibaca. (*)
[Naskah ini merupakan tinjauan atas buku Alquran dan Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, ditulis oleh Zuhairi Misrawi (2008) dan diterbitkan oleh Fitrah. Tulisan ini pernah dimuat di harian Indopos] pada Minggu, 23 Maret 2008]
Sabtu, 12 Juli 2008
[+/-] |
Toleran |
[+/-] |
Tarix |
The Tarix Jabrix: Konvensi dan Kucing di Tengah Jalan
oleh Eric Sasono
Seekor kucing di tengah jalan bisa berarti banyak buat hidup seseorang. Ia menyebabkan Valdin yang sedang balapan mendadak mengerem motor sportnya. Valdin pun terlempar ke rerumputan di tepi jalan.
Ia kalah. Menanglah pemuda kerempeng berjuluk Cacing pada balapan jalanan itu. Selain kehilangan harga diri, Valdin tak boleh lagi mendekati Callista, perempuan cantik kebule-bulean yang jadi rebutan. Agak basi memang, cerita semacam ini sehingga saya tak merasa sedang melakukan pembocoran jalan cerita ketika memberitahu Anda, para pembaca.
Sejak premis, film ini sudah basi, sekalipun penilaian macam itu masih bisa ditunda sampai film selesai. Premis basi masih bisa mengelak dari klise kalau proses menonton dihargai. Penghargaan terhadap proses itu lah yang tak ada dalam film ini. Sekujur naskah dipenuhi pemecahan pintas yang rasanya tak bertanya kontemplatif: kira-kira penonton bisa terima nggak ya kebetulan-kebetulan sebanyak dan sekonyol ini?
Soal kucing tadi adalah salah satunya.
Banyak lagi contoh yang melelahkan jika disebut satu-satu. Kita buat saja daftar sekenanya: Mulder yang tiba-tiba membawa motor sport untuk balapan, anak buah Max yang tiba-tiba nyedot heroinnya dari tangan sambil berdiri sehingga bisa dilihat oleh gerombolan The Tarix Jabrix dan sebagainya. Banyaknya bolong-bolong ini membuat saya tak berselera meringkaskan cerita jalan film ini. Belum lagi rumusan yang memang sudah baku yang kelewat jadi sandaran bagi plot.
Film genre, baik berdasarkan mood seperti komedi, maupun berdasarkan setting seperti “film motor”, memang dipenuhi berbagai rumus baku. Rumus dalam film genre ini mirip dengan rumus lawakan Srimulat. Semakin dikenal, semakin ampuh ia bekerja. Penonton sudah mengantisipasinya dan masih saja tertawa melihat ulangan-ulangan macam itu.
Namun bolong-bolong naskah film ini membuat rumus-rumus baku itu jadi terkupas, telanjang bulat. Usaha tambal sulam para pembuat film ini jadi terlalu terlihat. Akhirnya, konvensi film genre jadi andalan ketimbang mendahulukan proses memanjakan penonton dengan cerita dan bangunan plot yang terjaga.
Misalnya, ketidakjelasan motivasi menjadi anggota geng motor dikompensasi dengan konvensi bahwa demikianlah adanya sebuah film motor. Begitu juga dengan pemecahan konflik berupa balapan antara Valdin melawan Cacing. Maka apa yang seharusnya sejak awal film diantisipasi penonton untuk menjadi punch-line malahan berubah menjadi klise demi klise yang mudah sekali diterka. Tak ada kenikmatan mengikuti proses bagaimana klise itu disampaikan.
Padahal The Tarix Jabrix bisa menghindar dari klise-klise ini untuk beberapa alasan. Pertama, tentu saja alasan teknis. Sang sutradara Iqbal Rais yang berumur 24 tahun ini punya keterampilan teknis yang tak buruk. Ia mampu mempertahankan ritme filmnya dan lumayan dalam soal timing. Komedi tersampaikan, padahal itu merupakan hal yang tergolong sulit. Dengan syarat memaklumi penyutradaan yang merupakan copycat gaya Get Married dan menerima konvensi tanpa banyak tanya, The Tarix Jabrix masih bisa bercerita lancar dengan pengadeganan yang lumayan terjaga.
Alasan teknis lain adalah akting gerombolan The Changchuters yang terlihat tak berusaha kelewat keras. Mungkin karena mereka menjadi diri mereka sendiri. Mereka terasa lepas dan tak terlalu repot dengan peran mereka. Catatan untuk Tria Changcut yang menjadi Cacing. Dengan mengambil model Jim Carrey, terlihat usahanya untuk menjadi lokomotif film ini. Sebenarnya ia cukup berhasil. Namun pergerakan kamera dan editing film ini lebih dekat dengan Spion 025-nya Benyamin S. ketimbang Ace Ventura (coba lihat adegan mengintai dan kemudian gerombolan The Tarix Jabrix melepaskan Ciko di gudang). Dengan penggarapan seperti ini, peniruan Jim Carrey oleh Tria membuatnya seperti cacing kepanasan sendirian.
Mungkin karena Ace Ventura lebih mudah dicari videonya dan kemudian dirujuk ketimbang Spion 025, apalagi oleh para pekerja film berusia 20-an tahun macam mereka. Namun biasanya para pekerja seni mencoba memelajari sejarah kesenian yang mereka geluti demi menghindar klise yang pernah dibuat oleh pendahulu mereka. Atau jangan-jangan memang film sudah lama tak dianggap seni lagi di negeri ini?
Kita tunda pertanyaan terakhir tadi entah sampai kapan, untuk membicarakan alasan kedua potensi film ini untuk menghindar dari klise. Materi film ini berpeluang untuk melakukan semacam homage terhadap film motor Indonesia dekade 1970-an. Homage biasanya dibuat berdasarkan selera canggih dengan mengacu elemen-elemen klise dan basi justru untuk merayakannya. Homage terkadang bisa menjadi begitu campy (norak, berlebihan, dengan sadar) seperti misalnya ketika Uma Thurman, dalam Kill Bill, memakai jaket kulit ala Bruce Lee dan melepaskan jaket itu dan di dalamnya ia memakai pakaian training dengan warna yang sama persis.
Namun butuh kesadaran terhadap medium untuk sengaja menjadi campy. Kesadaran itu tak ada pada The Tarix Jabrix. Berbagai klise dalam film motor, ditiru karena dipercaya bahwa hal itu masih bekerja ampuh. Termasuk perempuan yang diperebutkan lewat perkelahian dan balapan motor (catatan iseng yang mungkin “OOT” (Out of Topic): kerjasama Hanung Bramantyo dan Starvision selalu menghasilkan perempuan yang dijadikan bahan rebutan).
Tapi menjadi campy memang sebuah estetika yang canggih. Kemungkinan besar penonton lebih suka dengan konvensi sederhana dan menerima saja bolong-bolong naskah demikian rupa. Penonton disodori saja konvensi-konvensi itu dan selamat tinggal lah usaha-usaha pencarian cara tutur baru atau sodoran tema baru.
Konvensi itu mungkin bekerja, tetapi plausibility dan kerapihan skenario terkorbankan. Maka untuk mencari jalan keluar supaya Cacing tetap menang balapan, diletakkanlah kucing di tengah jalan.*** [Sumber rumahfilm]
Senin, 07 Juli 2008
[+/-] |
Wahib |
Sayembara Penulisan Esai Ahmad Wahib Award 2008
Forum Muda Paramadina, Himpunan Mahasiswa Falsafah dan Agama (HIMAFA) Universitas Paramadina, dan Soetrisno Bachir Foundation menyelenggarakan sayembara penulisan esai Ahmad Wahib Award bagi mahasiswa (S1) seluruh Indonesia.
Total hadiah: Rp. 45 Juta.
Ketentuan Sayembara:
1. Naskah harus asli, bukan terjemahan, saduran, atau mengambil dari karya yang sudah ada.
2. Belum pernah diterbitkan di media apapun, dan tidak sedang diikutkan dalam sayembara apapun;
3. Peserta sayembara memilih salah satu dari tiga tema yang telah ditentukan;
4. Sayembara esai ini menekankan aspek argumentasi, ketajaman pemikiran, dan gaya penulisan;
5. Lima orang nominator penulis esai terbaik akan diwawancarai oleh Dewan Juri. Pemberitahuan akan disampaikan kemudian;
6. Keputusan Dewan Juri bersifat mutlak, mengikat dan tidak bisa diganggu-gugat;
7. Naskah yang masuk menjadi hak panitia dan tidak dikembalikan;
8. Sayembara ini tidak berlaku bagi panitia.
Persyaratan- Persyaratan:
1. Peserta hanya boleh mengirim 1 (satu) naskah;
2. Naskah sayembara dikirim rangkap 2 (dua), diketik di atas kertas ukuran kuarto (margin 3 cm di setiap sisi), spasi ganda, menggunakan jenis huruf Times New Roman berukuran 12 point, dengan panjang naskah antara 20-30 halaman;
3. Kiriman naskah harus dilengkapi dengan identitas penulis: biografi singkat; fotokopi Kartu Tanda Mahasiswa (KTM); 2 (dua) lembar foto berwarna ukuran 3 x 4; dan alamat lengkap, nomor telepon, serta alamat e-mail;
4. Naskah dimasukkan ke dalam amplop tertutup, dengan di sudut kiri atas amplop ditulisi “Sayembara Esai Ahmad Wahib Award�;
5. Naskah dikirim ke alamat panitia: Pondok Indah Plaza III, Blok F 4-6. Jl. TB. Simatupang, Jakarta, 12310;
6. Naskah dikirim paling lambat, Jumat, 29 Agustus 2008 (cap pos atau diantar langsung).
Rincian Hadiah:
Juara I Rp. 20..000.000,-
Juara II Rp. 15.000.000,-
Juara III Rp. 10.000.000,-
Pengumuman Pemenang
Kamis, 30 Oktober 2008
Di Universitas Paramadina, Jakarta
Tema
- Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Ahmad Wahib dan Kebinekaan Indonesia
- Ahmad Wahib dan Islam Warna-Warni: Menyikapi Perbedaan dalam Ber-Islam
- Berpikir Bebas bersama Ahmad Wahib, Siapa Takut?
Dewan Juri
- Budhy Munawar-Rachman
- Ihsan Ali-Fauzi
- Lies Marcoes-Natsir
- Luthfi Assyaukanie
- Maria Hartiningsih
Contact Person:
Achun (0856 9768 5005), Indra (0856 7907 785)
www.paramadina.or.id
[+/-] |
Surat |
Surat Untuk Tuhan
Seorang yang miskin kebingungan. Ia tak tahu harus pada siapa meminta bantuan untuk melunasi utang dan memenuhi kebutuhan–kebutuhan hidupnya. Memang telah mencoba ke tetangganya, tapi karena keseringan minta bantuan, ia agak malu untuk mengulanginya.
Meski sedang kepepet, namun ia tak mau melakukan perbuatan yang a-moral atau tindakan kriminal. Ia teringat pada pengajian yang pernah diikutinya beberapa tahun silam, bahwa Tuhan merupakan tempat mengadu dan meminta pertolongan. Ia tersenyum sambil bergumam, “saya mau minta pada Tuhan”.
Namun, beberapa saat kemudian terdiam dan bergumam kembali, “bagaimana caranya, berdoa kan sudah kulakukan”.
Kembali diam. Ia beringsut ke keluar ruangan. Ia bolak-balik sambil terus memegang kepalanya mencari ide yang terbaik dan jitu. Tiba-tiba setengah meloncat ia berujar, ”Aha, saya akan kirim surat saja”.
Ia langsung membuka buku tulis yang sudah agak kucel. Ia pegang pulpen dan mulai menuliskan maksudnya. Selanjutnya, surat itu dilipat dan dimasukkan pada amplop.
”Aduh….alamatnya dimana ya?” ujarnya, sambil garuk-garuk kepala. ”Ah…pasti pak Pos tahu. Saya tulis untuk Tuhan,” gumamnya.
Ia berangkat ke kantor pos dan menitipkannya pada pak pos. Pak pos yang menerimanya bingung, ”Kok ga ada alamatnya. Kepada Tuhan, di mana ya????”
Bingung. Pak pos bingung harus dikirim ke mana surat tersebut. ”Ah…saya kasih aja ke kantor polisi. Mungkin si penyurat lagi butuh bantuan dan polisi bisa membantunya,” pikir pak pos. Sesampainya di kantor polisi, diberikannya pada polisi yang berjaga hari itu.
”Ini ada surat buat Tuhan, tapi tak ada alamatnya. Saya tak tahu, mungkin orang yang menulis surat ini sedang kacau pikirannya. Bapak mungkin bisa bantu,” kata pak pos sambil memberikan surat.
”Makasih ya pak,” jawab polisi. Polisi membukanya. Membacanya. Polisi itu tersenyum,
”Oooh…. dia lagi butuh uang”.
Polisi itu kemudian datang ke teman-temannya. Ia menggalang dana dari teman-temannya. Ketika terkumpul uang sebesar 250 ribu,- polisi itu langsung datang ke alamat si pengirim surat. Setibanya di sana, polisi itu langsung menyerahkan amplop berisi uang sambil berujar, ”Ini ada titipan dari Tuhan untuk saudara”.
”Oh…dari Tuhan ya Pak, makasih ya Pak!” kata si penyurat tersebut.
Setelah polisi pergi, ia langsung membuka amplop. ”Terimakasih Tuhan. Mohon lain kali kalau kirim uang jangan melalui polisi, saya yakin kalau tidak melalui polisi jumlahnya akan lebih dari itu,” ujarnya.
(Ditulis kembali oleh AHMAD SAHIDIN dari cerita Kepala Polisi Daerah (Kapolda) Jawa Barat, Susno Diadji, saat memberikan pencerahan dalam Tausiyah Senin Pagi di Masjid Pesantren Daarut Tauhiid Bandung, 23 Juni 2008)