Sabtu, 12 Juli 2008

Toleran

Dari Toleransi Ke Pluralisme
oleh Mohumad Shofan

KEHADIRAN teks dalam tradisi keagamaan memang telah membawa implikasi yang luar biasa bagi perkembangan intelektual, kebudayaan, dan peradaban. Teks senantiasa menjadi rujukan utama bagi laku beragama, sehingga tak heran bila teks kemudian mampu menentukan langgam serta gaya hidup (life style) umat beragama.

Dalam tradisi Islam, teks sebagai pesan dan bahasa telah menjadi salah satu bagian penting dalam khazanah pembacaan terhadap Alquran. Kedudukan teks begitu sentralnya, sehingga teks menjadi semacam "paradigma" atau cetakan yang mengerangkakan hampir seluruh kehidupan umat Islam dalam seluruh bentangan sejarahnya. Pada aras ini, teks telah menjadi ikon pembentuk peradaban dan budaya masyarakat. Tak salah kiranya, jika tesis Nasr Hamid Abu Zayd sampai pada suatu kesimpulan bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks. Dengan kata lain, peradaban Islam memosisikan teks sebagai poros utamanya.

Dengan demikian bisa dipastikan perilaku keberagamaan umat beragama tak bisa lepas dari pengaruh teks agama berikut penafsirannya. Persoalannya adalah bagaimana kita menafsirkan sebuah teks yang mampu membawa pembaca kepada suatu tafsiran yang tidak terjebak pada otoritarianisme beragama. Yakni, sebuah penafisran yang bersifat otoriter, yakni dalam hal keyakinannya menganut paham absolutisme, sebagaimana banyak dijumpai pada kelompok skripturalis-literalis.

Dalam banyak hal, orientasi kelompok ini cenderung menjadi puris, dalam arti ia tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas pluralis sebagai suatu bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati. Bagi mereka hanya ada satu bacaan, satu penafsiran yang muncul dari kepicikan kesadaran terhadap dialektika hubungan antara masa lalu dengan masa kini, antara tradisi dan temporalitas.

Wajar kalau kemudian fenomena radikalisme, fanatisme, fundamentalisme, bahkan ekstremisme umat beragama banyak dituduhkan bermula dari penafsiran teks yang serba-formalistik simbolik sehingga terkesan kaku, rigid dan tidak fleksibel. Pemahaman yang muncul sering bersifat literalverbal, tekstual, bukan kontekstual. Akibatnya, teks agama hanya dipahami pada tataran permukaan. Sedang hal yang bersifat mendasar terabaikan.

Dampak dari pikiran sempit ini, yang tampak jelas adalah ketegangan dan konflik berkepanjangan antarumat bergama. Pada gilirannya satu sama lain saling memaksakan kebenarannya tanpa membiarkan pilihan bebas umat manusia di dalam menentukan agamanya. Sikap demikian jelas akan menafikan kesadaran hidup pluralisme dalam masyarakat heteroge dan dunia global. Pikiran picik dan literalis muncul dalam klaim kebenaran, yang pada akhirnya kaum beragama akan kehilangan wawasan membangun harmonisme kehidupan bersama.

Buku yang ditulis Zuhairi Misrawi ini setidaknya menggambarkan keprihatinannya terhadap sikap umat beragama yang tidak toleran dan cenderung kaku dalam memahami teks Alquran. Upaya merumuskan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang memberikan alternatif bagi umat Islam dalam pandangannya merupakan sebuh keniscayaan yang tidak bisa ditunda lagi dalam rangka membangun masyarakat yang terbuka dan toleran. Dalam buku ini pula, Zuhairi dengan sangat argumentatif-metodologis membedah secara panjang lebar sejumlah ayat yang secara eksplisit mendorong pada toleransi.

Tidaklah terlalu berlebihan, jika saya katakan bahwa buku ini rujukan paling penting -untuk tidak mengatakan satu-satunya buku penting- yang secara komprehensif mengupas tuntas ayat-ayat yang berkaitan dengan toleransi dan kedamaian yang merupakan spirit paling mengemuka di dalam Alquran. Toleransi menjadi perekat yang paling kuat untuk mendekatkan manusia yang satu dengan manusia yang lain. Dalam toleransi ada ketulusan dan kesediaan untuk menerima perbedaan dan pemikiran dari pihak lain. Yang lebih penting dari itu pihak lain akan dipandang sebagai kawan, bukan lawan. Pihak lain akan dipahami sebagai sesama makhluk Tuhan yang mempunyai hati nurani dan akal budi. Perbedaan merupakan kodrat Tuhan, sunnatullah (hlm. 11).

Perbedaan dan keragaman merupakan sebuah keniscayaan yang dititahkan Tuhan kepada setiap makhluk-Nya. Tidak hanya perbedaan antaragama atau intra-agama, tetapi juga perbedaan dan keragaman di hampir semua makhluk di muka bumi. Karena itu, untuk menyikapi keberbedaan itu diperlukan toleransi aktif, bukan pasif, untuk melibatkan diri pada yang lain di tengah keragaman.

Toleransi yang mampu mengembangkan budaya dialog untuk saling mengenali dan menjalin kerja sama. Teologi inklusif merupakan kelanjutan dari toleransi aktif. Inkulusivisme pada hakekatnya memberikan pembelajaran agar tenda toleransi senantiasa digelar dan dibuka, terutama dalam konteks agama-agama. Namun demikian harus diakui bahwa inklusivisme pada umumnya hanya pada level teologis an sich yang bersifat abstrak. Maka inklusivisme harus diperkuat dengan pluralisme sebagai tahapan lanjutan dari inklusivisme.

Buku ini memberikan inspirasi kepada kita perlunya membangun kebersamaan di tengah perbedaan dan keragaman. Buku ini memberi harapan bagi masa depan Islam di Indonesia. Analisisnya yang mendalam dan serius membuat buku ini layak dan perlu dibaca. (*)


[Naskah ini merupakan tinjauan atas buku Alquran dan Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, ditulis oleh Zuhairi Misrawi (2008) dan diterbitkan oleh Fitrah. Tulisan ini pernah dimuat di harian Indopos] pada Minggu, 23 Maret 2008]

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Toleran