Sabtu, 12 Juli 2008

Tarix

The Tarix Jabrix: Konvensi dan Kucing di Tengah Jalan
oleh Eric Sasono

Seekor kucing di tengah jalan bisa berarti banyak buat hidup seseorang. Ia menyebabkan Valdin yang sedang balapan mendadak mengerem motor sportnya. Valdin pun terlempar ke rerumputan di tepi jalan.

Ia kalah. Menanglah pemuda kerempeng berjuluk Cacing pada balapan jalanan itu. Selain kehilangan harga diri, Valdin tak boleh lagi mendekati Callista, perempuan cantik kebule-bulean yang jadi rebutan. Agak basi memang, cerita semacam ini sehingga saya tak merasa sedang melakukan pembocoran jalan cerita ketika memberitahu Anda, para pembaca.

Sejak premis, film ini sudah basi, sekalipun penilaian macam itu masih bisa ditunda sampai film selesai. Premis basi masih bisa mengelak dari klise kalau proses menonton dihargai. Penghargaan terhadap proses itu lah yang tak ada dalam film ini. Sekujur naskah dipenuhi pemecahan pintas yang rasanya tak bertanya kontemplatif: kira-kira penonton bisa terima nggak ya kebetulan-kebetulan sebanyak dan sekonyol ini?

Soal kucing tadi adalah salah satunya.

Banyak lagi contoh yang melelahkan jika disebut satu-satu. Kita buat saja daftar sekenanya: Mulder yang tiba-tiba membawa motor sport untuk balapan, anak buah Max yang tiba-tiba nyedot heroinnya dari tangan sambil berdiri sehingga bisa dilihat oleh gerombolan The Tarix Jabrix dan sebagainya. Banyaknya bolong-bolong ini membuat saya tak berselera meringkaskan cerita jalan film ini. Belum lagi rumusan yang memang sudah baku yang kelewat jadi sandaran bagi plot.

Film genre, baik berdasarkan mood seperti komedi, maupun berdasarkan setting seperti “film motor”, memang dipenuhi berbagai rumus baku. Rumus dalam film genre ini mirip dengan rumus lawakan Srimulat. Semakin dikenal, semakin ampuh ia bekerja. Penonton sudah mengantisipasinya dan masih saja tertawa melihat ulangan-ulangan macam itu.

Namun bolong-bolong naskah film ini membuat rumus-rumus baku itu jadi terkupas, telanjang bulat. Usaha tambal sulam para pembuat film ini jadi terlalu terlihat. Akhirnya, konvensi film genre jadi andalan ketimbang mendahulukan proses memanjakan penonton dengan cerita dan bangunan plot yang terjaga.

Misalnya, ketidakjelasan motivasi menjadi anggota geng motor dikompensasi dengan konvensi bahwa demikianlah adanya sebuah film motor. Begitu juga dengan pemecahan konflik berupa balapan antara Valdin melawan Cacing. Maka apa yang seharusnya sejak awal film diantisipasi penonton untuk menjadi punch-line malahan berubah menjadi klise demi klise yang mudah sekali diterka. Tak ada kenikmatan mengikuti proses bagaimana klise itu disampaikan.

Padahal The Tarix Jabrix bisa menghindar dari klise-klise ini untuk beberapa alasan. Pertama, tentu saja alasan teknis. Sang sutradara Iqbal Rais yang berumur 24 tahun ini punya keterampilan teknis yang tak buruk. Ia mampu mempertahankan ritme filmnya dan lumayan dalam soal timing. Komedi tersampaikan, padahal itu merupakan hal yang tergolong sulit. Dengan syarat memaklumi penyutradaan yang merupakan copycat gaya Get Married dan menerima konvensi tanpa banyak tanya, The Tarix Jabrix masih bisa bercerita lancar dengan pengadeganan yang lumayan terjaga.

Alasan teknis lain adalah akting gerombolan The Changchuters yang terlihat tak berusaha kelewat keras. Mungkin karena mereka menjadi diri mereka sendiri. Mereka terasa lepas dan tak terlalu repot dengan peran mereka. Catatan untuk Tria Changcut yang menjadi Cacing. Dengan mengambil model Jim Carrey, terlihat usahanya untuk menjadi lokomotif film ini. Sebenarnya ia cukup berhasil. Namun pergerakan kamera dan editing film ini lebih dekat dengan Spion 025-nya Benyamin S. ketimbang Ace Ventura (coba lihat adegan mengintai dan kemudian gerombolan The Tarix Jabrix melepaskan Ciko di gudang). Dengan penggarapan seperti ini, peniruan Jim Carrey oleh Tria membuatnya seperti cacing kepanasan sendirian.

Mungkin karena Ace Ventura lebih mudah dicari videonya dan kemudian dirujuk ketimbang Spion 025, apalagi oleh para pekerja film berusia 20-an tahun macam mereka. Namun biasanya para pekerja seni mencoba memelajari sejarah kesenian yang mereka geluti demi menghindar klise yang pernah dibuat oleh pendahulu mereka. Atau jangan-jangan memang film sudah lama tak dianggap seni lagi di negeri ini?

Kita tunda pertanyaan terakhir tadi entah sampai kapan, untuk membicarakan alasan kedua potensi film ini untuk menghindar dari klise. Materi film ini berpeluang untuk melakukan semacam homage terhadap film motor Indonesia dekade 1970-an. Homage biasanya dibuat berdasarkan selera canggih dengan mengacu elemen-elemen klise dan basi justru untuk merayakannya. Homage terkadang bisa menjadi begitu campy (norak, berlebihan, dengan sadar) seperti misalnya ketika Uma Thurman, dalam Kill Bill, memakai jaket kulit ala Bruce Lee dan melepaskan jaket itu dan di dalamnya ia memakai pakaian training dengan warna yang sama persis.

Namun butuh kesadaran terhadap medium untuk sengaja menjadi campy. Kesadaran itu tak ada pada The Tarix Jabrix. Berbagai klise dalam film motor, ditiru karena dipercaya bahwa hal itu masih bekerja ampuh. Termasuk perempuan yang diperebutkan lewat perkelahian dan balapan motor (catatan iseng yang mungkin “OOT” (Out of Topic): kerjasama Hanung Bramantyo dan Starvision selalu menghasilkan perempuan yang dijadikan bahan rebutan).

Tapi menjadi campy memang sebuah estetika yang canggih. Kemungkinan besar penonton lebih suka dengan konvensi sederhana dan menerima saja bolong-bolong naskah demikian rupa. Penonton disodori saja konvensi-konvensi itu dan selamat tinggal lah usaha-usaha pencarian cara tutur baru atau sodoran tema baru.

Konvensi itu mungkin bekerja, tetapi plausibility dan kerapihan skenario terkorbankan. Maka untuk mencari jalan keluar supaya Cacing tetap menang balapan, diletakkanlah kucing di tengah jalan.*** [Sumber rumahfilm]

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Tarix