Tujuh Abad Kesunyian "i la galigo"
Oleh ZAKY
Tujuh abad silam penulis Sureq Galigo mungkin tak pernah berpikir karya mereka akan dipentaskan di Lincoln Center Festival New York atau dibawa keliling ke berbagai kota penting seperti Paris dan London di Eropa. Bahkan, menurut kabar pada setiap akhir pementasan, mereka selalu mendapatkan standing ovation yang menerbitkan rasa haru.
Padahal, sebelum orang-orang seperti Rhoda Grauer (penulis dramaturgi), Robert Wilson (sutradara), Restu Imansari (koordinator artistik), Rahayu Supanggah (penata musik), dan Elisabetta di Mambro (produser) bertemu dengan Sureq Galigo, epik masyarakat Bugis itu seperti naskah berdebu.
”Galigo sebelum ini sudah sekarat, tak ada orang yang pernah peduli,” ujar penerjemah Sureq Galigo asal Makassar, Mohammad Salim. Ia bahkan harus menyalin teks asli yang tersimpan selama lebih dari 150 tahun di negeri Belanda. ”Saya kerjakan selama lima tahun, itu pun baru separuh dari perkiraan 8.000 halaman,” ujar dia.
Meski tak bisa begitu saja kita sepadankan antara teks Galigo dan pentas I La Galigo, 10-12 Desember 2005 di Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), setidaknya telah terjadi satu introduksi yang gigih dari tim ini kepada publik dunia bahwa di sebuah wilayah bernama Sulawesi Selatan, bagian dari Indonesia, terdapat naskah klasik yang diyakini panjangnya melebihi epik terkenal Ramayana dan Mahabaratha.
”Pentas ini baru kulitnya Sureq Galigo,” kata Mohammad Salim. Dalam kesempatan berbeda Robert Wilson sebagai sutradara malah mengaku, ”Saya tidak tahu apa pun tentang Galigo.”
Pernyataan ini bukan semata upaya merendah, tetapi pembacaan secara menyeluruh terhadap teks Galigo sementara ini menjadi upaya yang mustahil. Selain cukup tebal, belum semua teks asli yang ditulis dalam bahasa Bugis bercampur Sansekerta itu berhasil diterjemahkan. Bahkan, Salim (mungkin) menjadi satu-satunya orang yang bisa membaca teks Galigo dari teks aslinya yang ditulis di atas daun lontar.
Rhoda Grauer yang khusus melakukan studi tentang Galigo sebelum menulis dramaturgi mengatakan teks ini seperti sebatang pohon. ”Banyak sekali cabang cerita yang tidak berhubungan langsung dengan cerita utamanya,” tutur Rhoda.
Puisi mata
Pementasan I La Galigo yang kaya tata cahaya ibarat menyinari tujuh abad kesunyian Sureq Galigo. Teks yang tadinya berdebu, di tangan Robert Wilson hadir menjadi suguhan yang sedap dipandang mata. Ia ibarat puisi yang dijalin dari cahaya menuju cahaya.
Adegan pembuka ketika orang-orang bergerak lambat dengan berbagai sikap tangan kemudian Batara Guru turun dari Dunia Atas (langit) menjadi adegan paling mengesankan sepanjang pertunjukan. Wilson mengikuti teks asli dengan membuat tangga (dari bambu), di mana disebutkan Batara Guru turun lewat sebatang bambu diser petir dan pelangi tujuh warna. Tangga memang menjadi gambaran artifisial, tetapi bukankah sering kita dengar ungkapan seperti ”tangga langit”? Dan itu menjadi ungkapan yang amat puitis, bukan?
Naskah yang disusun sangat naratif oleh Rhoda Grauer tentang diutusnya Batara Guru oleh penguasa langit Patotoqe ke Dunia Tengah sampai berkumpulnya keluarga Sawerigading (anak Batara Guru), karena keahlian Wilson memainkan tata artistik dan cahaya, menjadi sesuatu yang mengesankan.
Sutradara ini jago benar menerjemahkan berbagai situasi dan karakter dengan unsur pencahayaan sehingga pada beberapa adegan kita seperti dibawa ke alam mitologi. Hebatnya mitologi yang tampil telah d**emas sebagaimana kemudian kita tonton di layar televisi. Ia tidak lagi arkaik, tetapi memasuki era audio-visual.
Kita memang tidak bisa menuntut Wilson secara berlebihan memunculkan seluruh moral-etik di dalam Sureq Galigo. Terang-terangan ia bilang Sureq Galigo ”hanya” sebagai inspirasi pementasan I La Galigo.
Karena itu, pementasan ini harus ditempatkan sebagai pembuka jalan bagi teks yang terpendam berabad-abad itu untuk ”memperkenalkan” dirinya kepada publik dunia. Bernada agak ”mistis”, sesepuh warga adat Luwuq, Sulawesi Selatan, Andi Anton Pangeran, mengatakan ada nujuman bahwa pada suatu saat Sureq Galigo akan d**enal dunia.
Ia menganggap lakon I La Galigo dari Robert Wilson telah menjadi bukti kebenaran nujuman itu. Ia bersama Mohammad Salim turut menyer rombongan berpentas keliling dunia.
Di sisi lain, I La Galigo menjadi babak baru bagi naskah klasik asli Indonesia untuk memasuki industri seni pertunjukan dunia. Tidak mudah menembus jaringan kerja Robert Wilson-Elisabetta di Mambro. Restu Imansari, Rhoda Grauer, dan Rahayu Supanggah setelah bertemu Wilson di Bali harus melakukan presentasi di Watermill Center, Amerika, markas salah satu sutradara terkemuka dunia itu, tahun 2001 silam. Dan kejadian pentasnya baru dilakukan tahun 2004 serta menjadikan panggung Esplanade, Singapura, sebagai awal ”petualangan”.
Maka pertanyaan seperti, mengapa harus dimulai orang bule, dijawab Rhoda dengan ringan, ”Sebagai orang asing, saya bangga membawa pulang I La Galigo ke negara saya (Amerika). Kalau ada yang bilang ini dicuri dari pemilik aslinya, I La Galigo bukanlah sepotong roti. Teks kendatipun dikunyah, ia tak akan pernah hilang....” Sureq Galigo telah bangkit dari tidur panjang, menyapa dunia dengan bermandi cahaya.
Nah untuk kalian yang seneng bergelut didunia teater dan yang sejenis, lebih baik kalian kenalan dengan karya i la galigo deh. katanya seeh ceritanya seseru cerita-cerita seperti mahabrata dsb dan yang lebih menarik lagi bahwa epik ini adalah epik terpanjang didunia. so what ar u waiting for, it's time to make you know what haven't knowed yet before, check it out
Kamis, 20 November 2008
[+/-] |
Tujuh |
[+/-] |
Kuliah |
Sepenggal Riwayat Perkuliahan”
-refleksi bagi mahasiswa baru dan semester baru-
Oleh TEDI TAUFIQRAHMAN
(semester tujuh, semester angker ; semester pertama, semester seger)
[1]
“Semester tujuh adalah semester angker” begitu gumamku pada suatu ketika. Ucapan ini muncul di angkot manakala saya habis pulang dari kampus menuju rumah teman. Saya kira ucapan ini tidak terlalu berlebihan, biasa saja. Tapi memang menimbulkan pertanyaan; kenapa angker?
Tak terasa. Seperti baru kemarin saya menginjakkan kaki di atas tanah kampus ini, sekarang sudah hampir menuntaskannya. Ya saya sudah semester tujuh. Masih terbayang pakaian hitam putih yang saya kenakan ketika mengikuti taa’ruf seolah ingin mewajahkan semangat empat lima yang berkobar terpancar meruak di dadaku dalam menjalani kehidupan kampus, “tragedi teologis” (perkataan a****huakbar) yang menyambut saya di kampus ini menjadi tantangan dalam benak untuk menjadi “seseorang yang bisa membuat sesuatu”, perkenalan angkuh, congkak, sok pintar sewaktu bertemu teman baru seakan ingin menegaskan citra diri siapa saya sekaligus menutupi siapa saya yang sebenarnya jauh-jauh dalam almari batin—ternyata pertemanan yang dulu kita jalin dibangun atas dasar kepalsuan imaji dan citra diri, apa yang bisa diharapkan dari itu? Hanya pertukaran sosial yang saling memanfaatkan tak lebih dari itu—dan pelbagai macam rentetan peristiwa lainnya yang menyetai menjadi bintang tersendiri dalam melengkapi langit pada malam hari. Bintang itu ada yang cerlang namun juga ada yang meredup.
Rentangan jam semester telah menunjukkan angka tujuh, angka keramat. Angka tujuh setidaknya memberikan tanda jumlah berbilang, itu pertama kali pemahaman saya tentang angka tujuh. Namun ternyata, bilangan 7 telah mempesona manusia sejak zaman dahulu kala, da¬lam sebuah studi yang berjudul Seven, the Number of Creation, Des¬mond Varley berusaha, sebagaimana dilakukan banyak sarjana lain sebe¬lumnya, untuk meringkas segala sesuatu di dunia nyata ini menjadi bi¬langan 7.
Misalnya, dunia ini tersusun atas tiga prinsip kreatif (in¬telek aktif, bawah sadar pasif, dan kekuatan penata dan kerja sama) dan empat materi yang mencakup 4 unsur dan kekuatan sensual yang se¬laras (udara = kecerdasan, api = kehendak, air = emosi, tanah = mo¬ral). Pembagian 7 menjadi dua prinsip penyusun ini, yakni 3 spiritual dan 4 material, telah dilakukan sejak zaman dahulu dan dipakai da¬lam hermeneutik Abad Pertengahan serta merupakan dasar pem¬bagian 7 seni liberal menjadi trivium dan quadrivium.
Hal lain contohnya, ditulis pada akhir abad ke-18, yang menyebutkan bah¬wa periodisasi selalu berkaitan dengan 7, misalnya dalam musik, sa¬tu oktaf terdiri dari 7 not, atau dalam susunan unsur kimia. Ini didasarkan pada pandangan ku¬no yang mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia berlangsung dalam periode 7 dan 9.
Tujuh usia manusia, kata Sha¬kespeare. Philo menulis bahwa pada akhir tujuh tahun pertama tumbuhlah gigi dewasa setelah gigi susu; pa¬da akhir tujuh tahun kedua dimulailah masa puber; dan pada tujuh ta¬hun ketiga tumbuhlah jenggot di janggut seorang pemuda. Tujuh ta¬hun keempat merupakan titik kehidupan yang tinggi, dan tujuh tahun ke¬lima adalah saatnya untuk menikah. Tujuh tahun keenam ditandai de¬ngan kematangan intelektual, sedangkan tujuh tahun ketujuh memu¬liakan jiwa dengan nalar, tujuh tahun kedelapan menyempurnakan ke¬cerdasan dan penalaran, dan pada tujuh tahun kesembilan, nafsu-nafsu te¬lah redup yang berarti melapangkan jalan bagi keadilan dan keseder¬hanaan. Tujuh tahun kesepuluh adalah saat terbaik untuk meninggal, ka¬rena jika pada usia ini masih hidup manusia sudah menjadi tua renta, ti¬dak berguna, dan pikun: sebagaimana Alkitab tegaskan dalam Mazmur 90, batas usia manusia adalah 70 tahun.
Di Cina 7 juga dihubungkan dengan kehidupan manusia, khususnya dengan kehidupan perempuan: gadis mempunyai gigi susu pada usia 7 bulan dan tanggal pada usia 7 tahun; dalam 2 × 7 tahun “roda yin” membuka ketika ia mencapai masa puber, dan pada 7 × 7 = 49 da¬tanglah masa menopause.
Kemudian ditegaskan oleh Pseudo-Hippocrates (di¬kutip oleh Varley), “Bilangan 7 dengan kearifan-kearifan gaibnya cen¬derung membuat segala sesuatu menjadi ada. Bilangan 7 adalah mesin pem¬buat kehidupan dan sumber dari semua perubahan; fase-fase bulan berubah setiap 7 hari. Bilangan ini mempengaruhi semua benda la¬ngit.”
Di Yunani kuno, 7 menduduki tempat penting dalam kait¬annya dengan Apollo dan Athena. Angsa-angsa yang bernyanyi ber¬putar mengelilingi pulau Delos sebanyak 7 kali sebelum Letto melahirkan Apollo yang wajahnya berseri-seri, dan kelahiran ini terjadi pada ha¬ri ketujuh (atau kesembilan), yang karenanya diperuntukkan baginya. Li¬rik yang disenandungkan Tuhan mempunyai 7 ba¬ris. Bahkan ada spekulasi yang menyatakan bahwa Apollo, yang hidup ber¬sama dengan orang-orang Hyperborean selama 7 bulan, berkaitan de¬ngan 7 bulan pada musim dingin, tetapi spekulasi ini agak meragukan.
Kaitannya dengan Athena justru lebih kuat, karena 7 adalah bi¬langan penting yang tidak menghasilkan atau dihasilkan (yakni tidak bi¬sa dibagi dan tidak diketahui faktornya pada dekade pertama). Bi¬langan ini sangat cocok dengan Athena, seorang perawan yang muncul dari kepala Zeus. Hubungan ini diungkapkan secara apik oleh Phi¬lolaus, yang pada abad ke-5 SM menulis bahwa 7 itu “sebanding dengan dewi Athena, pemimpin dan penguasa segala sesuatu, dewi abadi, ko¬koh, tetap, serupa hanya dengan dirinya sendiri, dan berbeda dari se¬mua lainnya”. Fakta bahwa 7 tidak mampu menghasilkan (tidak bisa di¬bagi) diserap oleh mistisisme Yahudi menjadi Sabath, hari ketujuh, ke¬tika umat manusia dituntunkan untuk beristirahat dan tidak melakukan aktivitas apa pun. Di Yunani kuno, ide-ide Pythagorean tentang bi¬langan 7 dielaborasi secara khusus oleh Nicomachus dari Gerasa, yang meng¬kaji hubungan-hubungan antara 7 planet, 7 not dalam satu oktaf, 7 kunci musik, dan 7 vokal dalam bahasa Yunani.
Sekalipun diasosiasikan dengan dewi perawan Athena, 7 juga dikait¬kan dengan pandangan patriarkal yang dikuatkan oleh pemakaian 7 di Roma kuno, dan dengan struktur sosial yang patriarkal. Roma dibangun di atas 7 bukit (yang kebetulan dinisbahkan untuk banyak tempat lainnya). Tujuh adalah bilangan keberuntungan penduduk Roma dan menjamin langgengnya kekuasaan negara yang terus berkembang ini. Ungkapan Roma septemgeminata (tujuh Roma) menunjuk pada ke¬per¬cayaan tersebut. Namun demikian, nilai penting 7 dieks¬presikan dengan baik dalam agama Kristen terdahulu ketika pendeta ge¬reja Roma, Tertullian, menyebut Tuhan dengan “septemplex spiritus qui in tenebris lucebat, sanctus semper” (tujuh ruh kudus yang bersinar da¬lam kegelapan).
Pada zaman Kristen awal sejumlah pemujaan ke¬¬pada misteri juga tumbuh di Kerajaan Romawi, dan banyak di antara¬nya membagi entitas-entitas suci dan spiritual menjadi tujuh ala pem¬ba¬gian kuno. Pada zaman kuno akhir di Mesir terdapat 7 pembawa tong¬¬kat lambang kekuasaan yang berkaitan dengan 7 planet dan 7 hari. Na¬¬ma-nama mereka menyebar ke Prancis melalui Roma dan kemudian di¬¬ambil oleh tradisi Anglo-Saxon dan Jerman. Makanya, hari-hari kita da¬¬lam satu minggu masih ada hubungannya dengan nama-nama dewa la¬¬ngit yang dimulai dari matahari (Sunday, Minggu) dan bulan (Monday, Senin). Mars tercermin dalam bahasa Prancis mardi ‘Selasa’ atau Dienstag dalam bahasa Inggris dan Jerman, karena Ziu = Thiu bertalian de¬¬ngan Mars.
Selanjutnya, ada Merkurius (Prancis, mercredi; Inggris, Wed¬¬nesday yakni Wodan’s day), Yupiter (Prancis, jeudi; Inggris, Thursday; dan Jerman, Donnerstag, dari kata Tunar, Donar), Venus (Prancis, ven¬dredi; Inggris, Friday; Jerman, Freitag, setelah dewi Freya), dan terakhir Saturday yang berasal dari nama Saturnus.
Islam awal juga mengakui pentingnya bilangan 7. Menurut Alquran, Tu¬han menciptakan langit dan bumi dalam 7 lapis. Tawaf, mengelilingi Ka‘bah di Makkah selama ibadah haji, dilakukan sebanyak 7 kali, de¬mikian juga lari-lari kecil antara Shafa dan Marwa; pada akhir haji, di de¬kat Mina setan dilempar 3 kali masing-masing dengan 7 buah kerikil. Tra¬disi masyarakat mempertahankan 7 syair pujian yang “digantung”, mu‘al¬laqat, sebagai kekayaan puisi pra-Islam di Arab (meskipun 7 telah men¬jadi sebuah bilangan kelompok yang mengawali suatu puisi). Menu¬rut sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, ada 7 dosa besar. Tu¬juh pemuda yang tertidur di gua Kahfi, yang juga dikenal dalam se¬ja¬rah Kristen awal, disebutkan dalam Alquran (al-Kahfi [18]:21), dan n¬a¬ma-nama pemuda saleh ini, “yang kedelapan adalah nama anjing¬nya”, dipakai dalam tradisi Islam dan tradisi gereja Timur Ortodoks se¬bagai azimat, yang sering ditulis dalam kaligrafi nan indah. Surah al-Hijr [15]:87 menyebut 7 matani ‘surah-surah ganda’, yang mungkin me¬ngacu pada 7 ayat al-Fâtihah yang diwahyukan dua kali.
Kelompok Islam yang secara khusus aktif dalam spekulasi nume¬rologis adalah Hurufis di Iran pada akhir abad ke-14. Dengan kepercaya¬an bahwa segala sesuatu terkandung di dalam huruf-huruf dan nilai-ni¬lai numeriknya, mereka secara mudah menarik hubungan-hubungan an¬tara sapta-sapta di dalam Alquran dan 7 bagian tubuh manusia: wajah, rambut, dan bagian-bagian selebihnya.
Dan terakhir ada sebuah pepatah Arab yang menyebut 7 hal yang ti¬dak pernah bisa diraih orang sepenuhnya, yakni “roti yang ditawarkan dengan ramah, daging kambing, air dingin, bahan pakaian yang lem¬but, wewangian yang semerbak, tempat tidur yang nyaman, dan pe¬mandangan yang indah”.
[2]
Terlepas dari pelbagai macam potensi runyam-misterius yang ada dalam angka tujuh, saya sendiri, tidak terlalu mempercayai seratus persen sekaligus percaya seratus persen—pertimbanganku ini dikarenakan belum ada pengaruh mistis yang secara langsung berimplikasi kepada hidup keseharian yang saya jalani. Ruwet?
Maksud saya begini, misal, saya adalah pemain sepakbola kemudian saya memilih angka tujuh untuk menjadi nomor punggung saya, ketika saya berganti nomor punggung dengan angka tujuh kemudian dengan serta merta saya terus menerus beruntung, kalau nendang langsung masuk, ketika melakukan pelanggaran tidak mendapatkan kartu apapun, yang tadinya jomlo kemudian dapat pacar, kentut tidak ketahuan sama orang lain, mau buang air besar wc sedang kosong, dapat tawaran dari klub besar, kehidupan berubah menjadi baik, pokoknya terus beruntung. Tidak bisa disimpulkan bahwa memang angka tujuhlah yang menyebabkan semua itu. Bisa jadi itu adalah sugesti karena ada mitos sebelumnya yang menyatakan bahwa angka tujuh membawa keberuntungan. Tidak ada alasan logis yang menyatakan bahwa angka tujuh bisa membuat seseorang mendapat pacar, mendapatkan pekerjaan, mendapat tawaran dari klub sepakbola yang lebih besar, kentut tidak ketahuan sama orang lain dan wc terus kosong.
Atau kesimpulan kedua, bisa jadi memang angka tujuh bisa menyebabkan itu semua, seperti halnya Tuhan. Apa bedanya angka tujuh dengan Tuhan? Bisa jadi angka tujuh adalah manifestasi dari Tuhan itu sendiri atau sebaliknya? Siapa yang tahu? Siapa yang menjamin? Sebab bukankah kita mempercayai Tuhan hanya lewat perantara kata-kata T-u-h-a-n (Allah dalam Islam dan penyebutan lain dalam agama lain, Yahweh, Hyang dan lain sebagainya), Siapa yang akan menjamin bahwa kata-kata T-u-h-a-n yang telah menciptakan alam semesta, gunung, laut, langit dan kita sendiri?
Nabi? Siapa yang akan menjamin bahwa nabi tidak akan berbohong? Karena nabi juga seperti kita, manusia.
Kitab suci? (Al-qur’an, Injil, Taurat, Veda dan lainnya) apakah memang kita benar-benar percaya terhadap berita yang dibawa oleh kitab suci? Siapa tahu itu hanya kumpulan dusta belaka?
Pada titik ini kepercayaan kita terhadap angka tujuh, sejatinya, tak ada beda dengan kepercayaan kita terhadap Tuhan. Bisa jadi Tuhan adalah sugesti diri kita sendiri? Padahal dalam kenyataannya Tuhan sendiri tidak ada, yang kita percaya hanya kata-kata T-u-h-a-n, tanpa mengetahui apa realitas yang ada di sebaliknya. Apakah memang ada entitas yang lain atau sama sekali kosong? Namun hal ini juga menuai problem, masalahnya siapa yang telah menciptakan kita? Maaf, jangan jawab orang tua kita! Karena jawaban itu sangat kedengaran konyol sekali.
Pertanyaan siapa yang menciptakan kita, adalah problem klasik yang tidak akan pernah tuntas sampai kapanpun, sekalipun pemisahan klasik-modern tidak menjadikan seseorang haram untuk membahasnya. Kemudian saya ganti pertanyaannya; bukan siapa yang menciptakan kita melainkan siapa yang menciptakan realitas sosial yang ada di hadapan kita, siapa yang membuat kenyataan yang ada di hadapan kita seperti ini adanya? Bagaimana menguraikannya? Kalau jelek, bisakah kita membuatnya lebih baik?.
Pada mulanya tulisan ini hanya ingin memotret semester pertama namun dikarenakan susah juga rupanya untuk menulis tanpa menyertakan “diri” di dalamnya, bisa saja sih sebenarnya, namun tulisan itu akan terkesan romantis dengan dibumbui bau doktrin idealis super canggih maka kuurungkan niat itu, sebab saya tidak akan mendakwahkan supaya seseorang menjadi malaikat tetapi saya juga tidak mau melihat seseorang menjadi iblis. Singkatnya, jadilah manusia!!
Pembahasan selanjutnya, saya ingin merefleksikan tentang apa saja yang terjadi pada semester pertama yang kemudian dikomparasikan dengan semester tujuh mulai dari gagasan, kebiasaan dan segala sesuatu yang terkait. Mari mulai!
[3]
“Semester pertama adalah semester seger!” itu adalah pemeo saya untuk menggambarkan, semester pertama. Betapa tidak, semester pertama adalah semester dimana seseorang berubah status dari siswa menjadi mahasiswa, perubahan ini seogyanya mengiringi semua perubahan tindak dan laku. Sekalipun murung dan tidak bersemangatnya orang itu untuk kuliah namun di semester pertama setidaknya semua orang akan terhanyut dengan esktase semangat dunia baru. Semangat dunia kampus.
Gelegak semangat itu disertai dengan rasa ingin tahu (curiosity) dan ingin mencoba dunia baru yang di jajakinya. Ibaratnya bayi yang baru lahir, dunia menjadi sesuatu yang sama sekali asing. Mahasiswa baru pada semester pertama adalah bayi yang baru lahir di dunia kampus yang menghadirkan berbagai kegemerlapan.
Berbagai niat seseorang untuk kuliah bercampur satu dalam jasad yang kemudian menimbulkan beberapa sikap beragam. Tak pelak lagi bahwa ketika seseorang merespon kenyataan yang ada di hadapannya selalu merujuk pada persepsi pribadi awalnya. Persepsi pribadi awal ini dibangun dari akumulasi wawasan yang sudah ada sebelumnya yang dirangkai dari niat, motivasi. Maka penyikapan dan keputusan suatu hal selalu berdasarkan, pertama kalinya, kepentingan pribadi. Tak salah orang ketika mengatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini politis. Politis diartikan dengan sederhana yaitu kepentingan, setiap orang berinteraksi sesuai dengan kepentingannya dan kepentingan ini di dorong oleh kebutuhan, begitu Mannheim mengurainya.
Setiap orang akan membawa mental primordialnya sebagai modal dasar dalam interaksi selanjutnya pada dunia baru, pada ruang sosial baru yang akan di tempatinya nanti; misal, seseorang akan memilih jurusan yang berbeda dengan yang lainnya sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing (mentality potention), inilah mengapa kamu memilih sosiologi bukan yang psikologi.
Tetapi adakalanya potensi mental ini (minat, bakat, keinginan, kepentingan, basic needs dan lainnya) akan tersandung oleh realitas sosial yang mesti mau tidak mau dihadapinya. Disintegrasi (ketidaksesuaian) antara potensi mental dan realitas sosial ini akan memunculkan yang disebut disorder of reality (realitas yang kacau). Realitas yang kacau ini pada akhirnya juga akan/mesti direspon oleh potensi mental yang bersangkutan dan pada gilirannya memunculkan sikap baru, realitas yang baru.
Uraian prosesif sosial dasar ini akan menjadi kerangka yang hendak menjelaskan pelbagai macam sikap, perilaku yang terbentuk dalam kenyataan hidup keseharian. Kerangka teoritis di atas akan menyebutkan tesis bahwa pada faktanya banyak mahasiswa baru di UIN tetapi tidak pada kenyataannya.
Kenyataan dan fakta pada asumsi ini sangat berbeda dan sengaja dibedakan, fakta hanya menunjukan data statistik secara kuantitatif sedangkan kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya. Pada faktanya memang banyak yang masuk UIN tetapi pada kenyataannya “tidak”. Ke-tidak-an ini mendapat penjelasannya dalam konsep motivasi dasar seseorang; banyak mahasiwa baru yang masuk UIN karena “terjebak”, “tak ada pilihan lain”, “tertipu”, “terperosok”, “terpaksa” serta motivasi dan alasan lainnya.
Dengan demikian, “kenyataan inheren di dalamnya potensi mental terwujud sedangkan fakta tidak”, maka disebutlah ungkapan “mimpi terwujud menjadi kenyataan” bukan “mimpi terwujud menjadi fakta”. Sesuatu terwujud menjadi kenyataan berbeda dengan sesuatu terwujud menjadi fakta (tentunya term fakta yang dimaksud dalam kerangka durkhemian). Pertanyaan sederhana; apakah perbedaan antara fakta dan kenyataan? Apakah setiap fakta dapat disebut kenyataan? Begitu pula sebaliknya.
Oke! Mari kita simpan sejenak pembicaraan tentang fakta dan kenyataan, nanti kita lanjutkan penjelasan itu di lain kesempatan. Meskipun penjelasan fakta dan kenyataan masih debatable, tetapi dikarenakan kita memerlukan pegangan simpulan untuk melanjutkan pembicaraan ini maka dibutuhkan kebenaran aksiomatik untuk merucutkan penjelasan.
Kebenaran aksiomatik itu dapat dirumuskan seperti ini; kenyataan yang ada dalam diri setiap mahasiswa baru, 1) mahasiswa yang benar-benar pilihannya adalah jurusan sosiologi, 2) mahasiswa yang memilih jurusan sosiologi sebagai pilihan kedua, 3) mahasiswa yang “terpaksa” memilih jurusan sosiologi karena “pilihan tawaran/ketiga” (di UIN ada pilihan semacam ini karena tidak lulus kedua pilihan maka ditawarkan pilihan ketiga, pilihan yang masih kosong kuotanya, pikir-pikir “kasian amat universitas kita ini ya sampai sebegitunya, takut kehilangan pelanggan ya?! Wadugh!! Susah itu!?)
Ketiga jenis taksonomi mahasiswa, yang telah di paparkan di atas, akan serta merta melenyap dalam ekstase semangat mahasiswa baru akan tetapi dalam varietas pertimbangan. yang berbeda. Mahasiswa jenis 1 akan memasang kuda-kuda strategi perkuliahan yang benar-benar jitu, setidaknya demikian, sebab niat awalnya memang masuk jurusan sosiologi. Mahasiswa jenis 2 akan mencari ketertarikan dari jurusan sosiologi ini, kenapa mesti mencari dulu? Sebab pilihan pertamanya bukan sosiologi, bisa saja jurusan lain, dalam pertimbangannya kalau jurusan sosiologi tidak asyik mungkin ia akan pindah ke jurusan atau bahkan pindah universitas. Nah, mahasiswa jenis 3 bisa memilih berbagai macam sikap; sabar, langsung pindah karena tidak menarik (itu juga kalau punya orang tua kaya), atau ikuti saja petunjuk Tuhan; siapa tahu pilihan Tuhan lebih baik ketimbang pilihan kita? Bukankah Tuhan yang menciptakan kita, maka Tuhan pasti tahu apa yang kita mau. (Tapi persoalannya, dari mana kita tahu “ini” adalah pilihan Tuhan dan “itu” bukan?)
Untuk mahasiswa sosiologi baru sekarang, jenis mahasiwa manakah yang paling banyak? Jenis 1, jenis 2 atau malahan semuanya adalah jenis 3? Kalau iya semuanya jenis ke 3, Wadugh?! Repot itu?! Sebab mana mungkin predikat mahasiswa, khususnya sosiologi, sebagai “agent social of change”, “agent social movement”, “agent social control” bisa tercapai kalau persoalan primordialitasnya belum terpecahkan. Dirinya masih bingung, mana mungkin akan membuat perubahan? Jangan-jangan perubahan yang akan dikerjakannya juga membingungkan?
Maka semester pertama adalah semester seger sekaligus angker, dikatakan seger karena perubahan status siswa menjadi mahasiswa (biasanya semenjak siswa status “mahasiswa” ini sangat diidam-idamkan dengan berbagai macam impian-gloriusnya). Dan dengan perasaan ini pula maka citra ideal mahasiswa akan tercipta; saya akan menjadi seperti ini!! begitulah tukasnya.
Tetapi di sisi lain angker sebab setiap siswa sebelum mendapatkan predikat mahasiswa telah melewati beberapa fase reality disorder misal SPMB gagal dan bebeberapa kegagalan lainnya. Dalam keangkeran ini sebenarnya setiap orang lamat-lamat telah melepaskan keluguannya terhadap kenyataan kemudian merayap menjadi dewasa dan tahu apa yang harus dihadapi dengan berbagai tanggungan resiko.
[4]
Berbeda dengan semester pertama, semester tujuh adalah semester angker dan tetap angker meski di seger-seger. Ini mungkin ucapan hiperbolik sebab tidak ditunjang dengan berbagai macam validitas data dan terkesan overgeneralisir. Kekuatan argumentasi tesis ini hanya di topang oleh analogi “serampangan” kepercayaan angka tujuh dan Tuhan.
Paling tidak, saya bisa menyebutkan bahwa, hitungan setelah angka tujuh mendekati sepuluh. Dan sepuluh adalah angka tua dalam standar semester, setidaknya bagi sebagian orang dan sebagian orang tua. Semangat perkuliahan mulai melorot tidak lagi melotot seperti semester-semester sebelumnya hal ini bisa disebabkan banyak hal; tersingkapnya realitas di balik kampus, pikiran-pikiran sudah mulai menerawang ke depan (apa yang akan dilakukan setelah beres kuliah?) pikiran ini semakin radikal manakala dia (perempuan/lelaki) sudah memiliki pasangan yang ngebet pengen nikah.
Sementara aktivitas di kampus sudah mulai menjemukan apalagi di tambah dengan sedotan pelbagai macam kebutuhan pragmatis yang menuntut kehidupan sehari-hari, pikiran berkecambah yang sebenarnya belum saatnya dirambah. Para aktivis pun terkena sindrom angker seperti ini, pada semester tujuh mereka mulai melirik perkuliahan, pengen beres-beres nilai, dengan pelbagai macam dalih meski tersandung fallacy of thinking.
Maka dari itu saya mengajukan hipotesis; bagaimana caranya agar pada setiap semester tetap seger? Tesis saya; menulislah!!!!
Wallahu ‘alam bish showab.
Minggu, 16 November 2008
[+/-] |
Janji |
Cerpen AMIN R ISKANDAR
Janji Terakhir
Semua taman saya tidak akan percaya. Saya orang, selalu kesepian setiap malam hari datang menyapa. Saya orang. Kesepian karena diputuskan pacar empat bulan silam. Sebab saya orang, yang biasa beri semua teman saya lelucon pemancing tawa. Tapi hanya dalam siang hari saja. Sekali lagi saya katakan. Saya orang, selalu kesepian setiap malam hari menyapa.
Semua teman saya tidak akan percaya. Kebencian pada mantan pacar saya begitu besar. Sungguh saya amat benci dia. Wanita yang saya puja, cinta, sayang setulus hati dan segenap asa dalam jiwa. Tega tanduskan ladang kasih yang pernah saya pupuk dan siram dengan air cinta yang jernih. Mestinya dapat tumbuh subur dan berbunga, pikir saya. Dan pada akhirnya akan berbuah kebahagiaan bersama.
“Aku salut padamu kawan!!!” ucap teman saya suatu hari. “Masih sudi temui mantan pacar kamu. Apalagi sampai hati membantunya” lanjutnya. “Padahal jelas-jelas dia tega hianati kestiaan dan ketulusan cintamu. Jika aku di posisimu, mungkin akan sangat membencinya. Jangankan menemui dan membantunya, melihat mukanya saja aku tak sudi”.
“Kamu salah sobat” saya menjawab singkat.
“Salah gimana???”
Saya diam tak menjawab. Rokok di tangan saya hisap. Kopi hitam pun saya teguk, meski hanya sedikit. Kepulan asap rokok melayang buyarkan harap teman saya akan keterangan ucapan saya tadi.
Sinar matahari panas bakari kulit. Kulit saya yang terlanjur sudah hitam. Tapi kata teman-teman saya, saya nampak manis jika tersenyum. Anehnya cuaca hari saat ini. Meski panas, tingkat kelembaban udara cukup memaksa tubuh menggigil. Padahal ini musim musim kemarau. Bikin kering kulit saja.
“Karena saya amat membencinya. Melebihi kebencian yang kamu utarakan barusan” jawab saya singkat. Lantas diam kemudian, lagi.
Teman saya bengong tanda heran. Heran akan jawaban saya yang menyimpan kebencian yang teramat besar. Saking besar rasa herannya, sampai-sampai tak kuasa tuk tanya lagi.
Memang benar. Jangankan teman saya, saya sendiri tidak kurang herannya. Saya sangat membencinya. Tapi jujur pula harus saya akui, untuk membuang kebencian itu tiada jalan lain. Selain duduk dekat dengannya; bercerita, bercanda, dan sesekali saya tertawa bareng bersamanya. Hanya di sisinya saya merasa nyaman, usir segala bosan dan sepi. Di sisinya pula saya masih bisa merasa bahagia dan bangkitkan gairah hidup.
* * *
Dua bulan terakhir saya tidak jumpai mantan pacar saya. Tidak juga berkomunikasi lewat ponsel. Saya yang sengaja mengambil jalan itu. SMS darinya tak pernah lagi saya jawab. Sederhana saja saya pikir, takut lebih lanjut membara rasa cinta saya dan harus lebih kecewa kemudian.
Mungkin dia bosan kirim SMS tanpa ada balasan. Dia pun berhenti kirim SMS, sudah dua bulan lamanya. Di balik rasa tersiksa. Lumayan, saya jadi bisa melupakannya. Rasa ingin bertemu kian berkurang, bahkan sirna sama sekali. Saking bencinya, saya bertekad untuk tidak menyapa, tidak menghadapkan muka ke arahnya. Biar saya akan selalu berpaling darinya.
Waktu menakdirkan lain. Saya harus berpapasan di tengah jalan, setelah dua bulan lamanya. Tak etis kiranya jika tak bertegur sapa. Lagi-lagi hati saya luluh dan layani sapaannya. Tangannya yang mulus pernah saya sentuh dia ulurkan. Saya sambut dengan tulus. Sperti biasa dia letakkan tangan saya di pipinya. Alamaaaa… sungguh ini yang telah lama saya rindukan.
“Hai… lama tak jumpa. Bagaimana kabarnya” dia menyapa.
“Saya baik-baik saja” jawab saya tetap singkat. “Situ gi mana?” saya balik Tanya.
“Masih utuh… Seperti dapat dilihat” katanya bercanda. Seraya melempar senyuman khas dari gigi gingsulnya. Sungguh tidak berlebihan bila saya melihat kemiripan wajah dengan Sandra Dewi, pemain sinetron yang lagi naik daun.
“Senang bisa berjumpa. Terutama karena keutuhan dirumu” saya membalas senyumannya. Kami saling bertukar senyuman. Senyuman yang selama dua bulan tidak saling menyapa.
“Kamu sombong akhir-akhir ini. Jangankan berkunjung ke kost-an, balas SMS aja seakan tidak minat”.
Sombong??? Tanyaku dalam hati. I-A kali, saya sedikit sombong. Akibatnya saya tak mampu menjawab kecuali tersenyum malu.
“Sekarang aku mau pulang liburan. Kapan pulang juga?”
“Tidak tau. Saya benci kampung halaman. Di sana hanya memperpanjang catatan penat saja. Di sini lebih rame meski sedikit kere” di akhir sempat saya sisakan senyuman untuknya sebagai penutup.
“Kalau pulang, jangan lupa main ke rumah. Aku juga akan sama, di rumah pasti bosan”.
“Saya tidak janji. Kalo sempat pulang akan mampir. Kalo tidak, saya tak akan memaksakan diri”
“Terus, di sini mau ngapain? Bukankah sama-sama libur”
Kali ini juga saya tidak menjawab selain memberi dia senyuman.
Sayang, namanya berpapasan, tidak pernah lama, lalu kami berpisah lagi. Dia tempuh jalan dan tujuannya. Saya tempuh jalan dan tujuan saya. Sama-sama menempuh jalan dan tujuan masing-masing. Kami pun benar-benar berpisah.
Tapi sebelum berpisah saya sempat berkata untuknya. “Jangan lupa, kita masih punya satu janji”.
“Janji apa???” dia menyerang dengan Tanya. Kulit dahinya mengerut tanda mengeryit. Heran sepertinya dia, atau tidak mengerti.
“Menikmati cahaya purnama bersama. Sehabis pulang nanti saya akan menagih janji itu” lantas saya pergi, tak beri dia kesempatan tuk ngomong lagi.
Dalam perjalanan di balik perpisahan, sempat saya melihat tatapan matanya. Tiada banyak yang berubah. Masih menyimpan rasa itu. Rasa sanyang yang pernah saya dapatkan. Rasa sayang yang sedikit telah terkecewakan. Karena tak beri kesempatan lagi. Karena menolak keinginan untuk terus bersahabat.
* * *
“Purnama, kini kehadiranmu yang ditunggu benar-benar tiba. Terang-terangan kau hadir kepermukaan seterang cahayamu” hati saya meracau di malam purnama. Dia, mantan pacar saya duduk di samping saya. Di atas rumput hijau di bawah kaki gunung.
“Tak percaya rasanya mesti tumbuh seusia jagung” kata saya pelan.
Dia diam. Tangan saya letakkan melingkari pinggulnya. Dia sandarkan punggungnya di dada. Hewan malam bersiul tembangi kami. Sungguh syahdu saya rasa. Saya usap kepalanya, membelai panjang rambutnya, dan saya ucapkan dalam hati. Sungguh aku masih sayang kamu, Andriani.
Tidak lebih dari dua jam, waktu mamaksa kami pulang. Saya antar dia pake motor hingga depan kamar tidurnya. Sebelum pisah saya selipkan secarik kertas di saku jaketnya.
Kertas yang saya tulis di dalamnya. “Ini adalah malam terakhir hubungan kita. Pada akhirnya tiada lagi janji yang mesti dipenuhi. Saya berharap kita tak pernah bertemu lagi, apalagi menjalin hubungan kasih bersama. Terimakasih untuk malam ini, good bye”.
AMIN R ISKANDAR
Lahir di Tasikmalaya, 28 Juli 1985,
Mahasiswa Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati
bergiat di komunitas Qaf Wau Sin.
[+/-] |
Buruk |
Cai Buruk Milu Mijah
Oleh DHIPA GALUH PURBA
SASARINA mah ngojay téh tara ngajak motor. Ari dina peuting harita mah (23/04/06), kapaksa kudu ngojay bari nungtun motor. Kétang, da teu aya niat rék ngojay tadina mah. Biasa baé, rék nepungan si manéhna di wewengkon Dayeuhkolot.
Najan hujan ngagebrét dibarung kilat patingburinyay tur dor-dar gelap matak kapiuhan jalma sawan, tapi pikeun kuring henteu jadi halangan. Geus kadung jangji, najan kudu ngayonan galura motah atawa unggah gunung, moal rék pugag léngkah pikeun nepungan si manéhna.
Bada Magrib, ngabiur ti Cibiru, nyorang Jalan Bypass nepi ka Cigéréléng. Tuluy méngkol ka kénca, Jln. Moch. Toha, bras ka wewengkon Palasari—anu ngahubungkeun Jl Moch Toha jeung Dayeuhkolot. Teu wudu rada hookeun ningali jalan anu ngadadak robah jadi balong.
“A, mending uih deui! Jero pisan…!” aya hiji lalaki mépélingan, basa nyaksian kuring anu tuluy nyebrut, meulah cai nu nguyumbang saparat jalan. Teu didéngé, angkanan téh geus pangalaman ieuh motor kuring mah, da ampir saban hujan, pasti ngaliwatan banjir cileuncang di Gedebagé. Palakiah mawa motor dina banjir mah gampil, kari panteng wé gasna. Sabab, manteng gas, hartina kenalpot ngaluarkeun angin. Sabalikna, lamun gas dikendoran, kenalpot nyedot angin. Puguh baé ana kaayanana banjir mah, anu kasedot téh lain angin, tapi cai. Ari motor kaasupan cai, nya tangtu bakal paéh.
Hanjakal pisan palakiah éta téh, henteu metu ngayonan banjir di wewengkon Palasari mah. Teu mangga pulia deui, motor téh paéh. Kilang kitu urang teu kudu hariwang, da motor mah najan paéh ogé, sok bisa hirup deui (conto séjén nu paéh bisa hirup deui). Taya deui jalan, iwal ti didorong, da piraku ari nu nyupiranna kudu milu paéh mah tangtu moal bisa hirup deui.
Jok motor ampir kakeueum. Kuring asa keur ngojay wé, ngan bédana harita mah bari nungtun motor téa. Sangkan henteu pati karasa capé, kuring ngabayangkeun anu keur dituungtun téh si manéhna anu keur diajar kokojayan bari maké baju ngojay. Tapi bangga diajak badamina imajinasi téh. Nu puguh mah haté ngocoblak, nyarékan laklak dasar ka manusa tukang ngaruksak alam, anu temahna matak balangsak masarakat. Sabab, kajadian banjir téh tangtu aya sabab-musababna. Buktina, di lembur kuring mah tara aya banjir, da kalumangsungan alam téh masih kapiara.
Lamun kaayaanana wanci beurang, kawasna bakal kaciri, yén cai anu ngeueum Palasari mah béda warnana, henteu sakadar coklat. Sabab, lain sakali-dua kali nyorang banjir cileuncang di wewengkon Palasari. Tong boro hujan ngagebrét, dalah hujan leutik ngaririncik ogé di wewengkon éta mah sok banjir cileuncang samet mumuncangan baé mah. Warna caina rupa-rupa, aya beureum, héjo, abu-abu, jsb. Boa-boa éta mah lain sabanjir-banjirna, siga limbah industri anu ngahaja dipiceun kalayan ngagunakeun kasempetan dina mangsana hujan.
Puguh deui ari walungan mah, saperti Citarum anu geus jadi pamiceunan limbah industri tina rébuan pabrik anu ngajajar sapanjang sisi walungan. Kangaranan cairan anu dipiceun ku pabrik, sajabana ti bau téh katambah ngandung zat racun anu ngabahayakeun (B3). Sanajan méméh dipiceun diolah heula ku IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) atawa water threathmen, tetep baé lain hiji jaminan cairan ti pabrik aman (komo anu henteu diolah heula). Tong boro bisa diinum, dipaké masak, atawa dipaké mandi, dalah dipaké kaperluan tatanén ogé moal bisa. Kilang kitu, ulah aya nu kumawani nyarék pabrik, da maranéhna mah apan geus nyepeng Surat Izin Pembuangan Limbah Cair (SIPLC). Ka hareupna, SIPLC téh alusna mah kudu meunang idin heula ti masarakat. Sabab, lamun Citarum henteu diurus baé, 76 héktar kacamatan Dayeuhkolot bakal salawasna jadi langganan banjir.
Ayeuna, sabada geus taya lolongkrang pikeun miceun limbah ka walungan, naha jalan raya ogé rék ‘dirékrut’ jadi pamiceunan? Deudeuh teuing urang Bandung, mani bangga rék leumpang-leumpang ogé. Lemah cai nu subur ma’mur téh kiwari mah tinggal susuluk. Solokan, walungan, tug nepi ka jalan raya, geus pinuh ku limbah industri. Pamaréntah ogé kawasna geus ngarasa weudeu ngaspal jalan di wewengkon Palasari, sabab tara kungsi awét. Rék awét kumaha, da ampir saban mangsa kakeueum cai buruk nu milu mijah (wewengkon éta, lain hiji-hijina tempat anu mindeng kakeueum ku cai buruk dina mangsana hujan). Ceuk sawangan, cai warna-warni anu mindeng mijah di jalan raya téh, asa piraku ari jolna ti sabangsaning limbah loték atawa bajigur mah, pamohalan kabina-bina.
“A, badé didorong?” aya budak leutik nyampeurkeun, kukucuprakan dina cai.
“Sok, dorong lah!” témbal téh. Budak leutik semu atoheun.
“Wios ku duaan, A?”
“Pék baé tiluan ogé…”
Tilu urang budak leutik katingali mani ocrak. Motor hiji didorong ku opatan, dibarung ku tingcikikik.
Aya kénéh seuri dina mangsa katarajang musibah alam. Sanajan rada bangga ngabédakeunana, naha éta seuri téh kaasup kana seuri maur, seuri konéng, atawa seuri nanahaon.
*
“Geus nyata karuksakan di darat jeung di laut dilantarankeun ku pagawéan leungeun-leungeun manusa, supaya Alloh ngarasakeun ka maranéhna sabagéan tina akibat pagawéanana, sangkan maranéhna mulang ka jalan anu bener.” (Q.S. Ar Rum: 41)***
Dayeuhkolot, 25 Rabiul Awal 1427 H
Ieu seratan dimuat di KSM Galura, Minggu I, Juni 2006
[+/-] |
Menulis |
Membaca Sastra, Menulis Sastra
Oleh BADRU TAMAM MIFKA
Menulis sastra ternyata sangat menyenangkan. Jika kita punya keinginan,ternyata menciptakan karya sastra, baik cerpen, puisi dsb., bukanlah pekerjaan yang penuh derita, jika pekerjaan menulis, dalam bentuk apapun, dijadikan kegemaran atau hobi yang menghibur.
Jadikan kegiatan menulis sastra seperti kegemaran mengoleksi benda-benda, bermain game, atau kegemaran bermain sepak bola. Simpan saja obsesi membuat karya sastra adiluhung atau keinginan dimuat di media massa. Hiraukan dahulu teori-teori menulis sastra jika rumit. Jangan jadi beban, menulislah seribu cerita dan puisi setiap hari. Di sanalah, kita akan masuk dalam sebuah taman imajinasi yang indah penuh beribu sahabat. Kita melahirkan banyak tokoh-tokoh yang kita inginkan. Kita membuat alur cerita yang kita kehendaki. Kita bermain dengan beribu kata dan cerita, seolah-olah kita tengah menyusun nada-nada di ruang kesunyian, nada-nada yang bersahutan, dan kelak menjelma nyanyian.
Tapi bagaimana memulainya? Tentu saja, kenikmatan menulis akan lahir jika kita sudah punya kenikmatan membaca buku-buku dan keseharian hidup. Sebab dengan membaca, pada gilirannya, kita akan mempunyai kebutuhan untuk menulis dan bicara. Dalam umpama sedikit jorok, membaca buku dan realitas seperti menyantap hidangan ke perut kita, tentu saja tak ada orang yang bisa menolak kebutuhan untuk buang air besar! Orator ulung dan penulis produktif lahir dari kegemaran membaca. Membaca buku dan realitas akan menghadirkan gagasan dan imajinasi dalam kepala kita. Karena dalam buku, kita akan terbiasa mengenali kosa kata, tata kalimat, gagasan, pemikiran, pengalaman, dan sebagainya. Pun mengamati realitas, kita akan belajar mengasah kepekaan yang kelak akan muncul dalam bentuk kebutuhan untuk ditulis atau dibicarakan dan disampaikan pada seseorang.
Begitulah menulis sastra, kita mulai dengan kegemaran membaca karya-karya sastra yang banyak di temukan di koran, majalah dan buku-buku. Kita kenali dan nikmati alur cerita, lalu kita bayangkan kembali. Kita kenali, nikmati dan apresiasi diksi dalam puisi, lalu kita olah dalam benak. Setelah dirasa cukup akrab dengan bentuk cerita dan puisi, bisakah kita membuat cerita dan puisi dengan tema yang sama? Bisakah kita punya alur cerita yang berbeda dan punya pemilihan kata yang lain? Kita bisa mulai dengan menulis cerita-cerita dan puisi-puisi pendek, tentang pengalaman, perasaan dan pendapat kita terhadap sesuatu. Misalnya kita terpesona pada matahari tenggelam, keheningan malam dan keindahan seseorang. Setelah itu, kita berdialog dengan diri sendiri, apa yang menarik dari yang kita lihat? Apa yang kita rasakan ketika menyaksikan dan mengingatnya? Apa menurut kita tentang itu? Kemudian kita buat sebuah puisi dengan pemilihan bahasa yang segar, unik, tidak klise (jarang dipakai), padat dan reflektif. Atau kita buat cerita dengan alur sederhana yang sederhana tentang pengalaman keseharian kita.
Walhasil, teruslah belajar mengakrabi karya-karya sastra yang ada. Masuki dunia sastra dengan terlebih dahulu sebagai penikmat, setelah itu cobalah membuat karya sendiri. Intensitas membaca karya-karya sastra orang lain memungkinkan kita memiliki kekayaan dan kepekaan bahasa dan imajinasi. Jangan berharap bisa membuat puisi yang bagus jika kita tak pernah sedikitpun punya pengalaman membaca puisi, begitupun dengan cerita pendek. Luangkan waktu untuk sendiri, bacalah sebuah cerita atau beberapa puisi, bersedia membuka mata, hati dan pikiran, lantas himpunlah apa yang kita lihat dan rasakan. Saatnya kita rekam setiap kejadian yang melintas di depan mata dan pikiran dalam cerita dan puisi. Teruslah membaca dan menulis sastra setiap hari. Karena karya yang bagus, berawal dari kepingan-kepingan karya tanpa henti yang dibuat setiap harinya…[]
[+/-] |
Jihad |
Teologi Jihad, Bukan Seperti Amrozi cs
Oleh AHMAD SAHIDIN
KASUS eksekusi mati Amrozi cs setidaknya bisa dikatakan selesai—meskipun pihak keluarga dan pengacaranya menggugat ketidakterbukaan (tidak transparan) dalam menentukan eksekusi dan tidak diikutsertakannya pihak pengacara dan keluarga dalam proses eksekusi tersebut.
Di televisi kita menyaksikan bagaimana keluarga korban ‘Bom Bali’merasa puas dengan tindakan hukuman tersebut. Begitu juga sebagian pengamat Islam, menilai tindakan eksekusi mati itu bisa membuat jera ‘generasi’ setelah Amrozi cs dalam aksi-aksi selanjutnya. Tapi sayang, perkiraan awal itu meleset; karena ternyata teror terhadap beberapa instansi dan kedutaan asing malah kian muncul. Ini memang sebuah fenomena yang memerlukan sebuah penelusuran lebih lanjut, terutama aspek yang melatarbelakanginya sehingga bisa melakukan tindakan yang tidak bersahabat dan mencelakakan manusia.
Menurut saya, persoalan tersebut tidak lepas dari pemahaman keislaman dan keimanan yang parsial-harfiah dan tanpa diimbangi dengan ‘pendalaman’ sehingga membentuk watak dan orientasi hidup yang bersifat instan. Hanya untuk surga berani mengorbankan orang-orang yang belum tentu memiliki kesalahan yang dipersoalkan oleh mereka. Padahal, pintu menuju surga itu tidak hanya melalui perang melawan kaum kafir, tapi ada pintu-pintu lainnya; seperti berbagi dan peduli pada kaum dhuafa dan memberdayakan orang-orang miskin. Maksudnya, ‘jihad’ jangan selalu diidentikan dengan perang fisik atau perlawanan berdarah. Tapi ‘jihad’—seperti kata M.Quraisy Shihab—dalam Islam bermakna ‘sebuah upaya yang sungguh-sungguh’ dalam melakukan sebuah perbuatan atau amaliah yang membawa kebaikan; karena hal itu yang menjadi tujuan utama dari risalah Islam dibawa Nabi Muhammad saw—rahmatan lil `alamin.
Bila kita membaca sejarah Islam, keberhasilan Rasulullah saw dalam menjalankan misinya itu didasarkan pada konsep tauhid, keadilan, dan pemberdayaan. Dengan doktrin tauhid ini Nabi saw tidak hanya berhasil menarik massa dalam naungan kalimat la ilaha illallah, tapi juga membebaskan manusia dari belenggu stratifikasi sosial (kasta) sehingga kedudukan umat Islam tidak beda satu sama di mata Allah kecuali karena taqwa dan keimanan.
Doktrin pengakuan keesaan Tuhan ini berimplikasi pada terciptanya keadilan (al-`adl) di seluruh masyarakat Arab, baik Muslim maupun non-muslim. Saat Nabi Muhammad saw, tidak ada yang merasa terdzalimi, tidak ada demonstrasi dikarenakan perlakukan atau kebijakan Nabi, semuanya merasakan ketenangan dan kedamaian dalam masyarakat yang dibangun Nabi. Keadilan memang menjadi inti dari pemerintahan yang dibangun Nabi ketika itu. Kepada anaknya sendiri, Nabi sanggup memberikan hukuman apabila Sayyidah Fahtimah Az-Zahra mencuri. Demikian yang termaktub dalam hadits yang disampaikan Nabi. Sebaliknya, Nabi berani mengusir saudara dari sahabat dekatnya yang menghina dan tak mau mengikuti aturan yang digariskan dalam Al-Quran dan Nabi Muhammad saw. Pendeknya, Nabi Muhammad saw tidak ‘pandang bulu’ dalam menegakkan keadilan bagi masyarakat Muslim maupun non-muslim.
Keadilan memang diberlakukan pada semua komunitas yang berada dalam naungan pemerintahan Islam Nabi Muhammad saw. Namun aspek pemberdayaan tidak semua mendapatkannya, hanya orang-orang yang tertindas dan kemampuan ekonomi serta membutuhkan pencerahan ‘baca-tulis’ saja yang dibantu. Nabi memberikan ampunan kepada tawanan perang dari kaum kafir atau musyrik, apabila bisa ‘membebaskan’ salah seorang Muslim dari kebodohannya (baca: tidak bisa baca tulis) melalui pengajaran. Bentuk pemberdayaan lainnya, mereka yang memiliki potensi bertani diberi keluasan untuk menggarap tanah rampasan perang yang menjadi hak kaum Muslimin. Memberi wewenang menyebarkan risalah Islam ke Abu Dzar di kampungnya. Inilah bentuk pemberdayaannya. Pemberdayaan orang-orang tak mampu dan pembebasan dari ketidakadilan dan dari buta huruf yang dilakukan Nabi saw di masa awal Islam adalah menjadi bukti dari penerapan ‘jihad’yang sesuai maknanya.
Benarkah aksi Amrozi cs itu termasuk ‘jihad’? Secara hakikat saya tak tahu. Tapi bila merujuk kepada Ahmad Syafii Maarif—dalam wawancara detikcom, Ahad (09/11/2008)—bahwa tindakan Amrozi cs itu didasarkan pada konsep teologi maut. “Prinsip teologi maut, yakni mereka berani mati karena tidak berani hidup. Kecuali hanya mengagungkan sejarah, marah, menganggap yang tidak sepaham dengannya sebagai musuh,” tuturnya.
Ayat-ayat jihad
Lalu, apa makna jihad yang terdapat dalam Al-Quran? Cendekiawan Muslim Muhammad Quraisy Shihab mengemukakan bahwa kata jihad terulang dalam Al-Quran sebanyak empat puluh satu kali dengan berbagai bentuknya. Jihad berasal kata ‘jahd’ yang berarti letih atau sukar. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari akar kata ‘juhd’ yang artinya kemampuan.
Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang berhubungan dengan arti jihad di atas. Antara lain surat Ali ‘Imran: 142, 169; Al-Baqarah: 214, 155; Al-Tawbah:19, 24, 44, 81; A1-Ankabut: 6, 69; Luqman: 15; Al-Hajj: 78; dan lainnya. Dalam ayat-ayat tersebut, ‘jihad’artinya berkaitan dengan ujian manusia yang harus dilalui dengan penuh kesabaran dan ketabahan dalam menjalani hidup, kesungguhan dalam aktivitas sehingga mencapai tujuan, serta bersifat fitrah kemanusiaan. Bila bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan nilai-nilai Islam, maka aktivitas tersebut di luar kategori ‘jihad’ atau sesuatu yang tidak dibenarkan. Namun entah mengapa arti ‘jihad’—yang terdapat Al-Quran—tidak muncul, malah yang bersifat kekerasan atau perlawanan bersenjata (perang fisik). Ini mungkin karena kurangnya ‘pendalaman’ dalam memahami ayat-ayat Allah.
Jihad dan mujadah
Ar-Raghib Al-Isfahani dalam kamus “Mu’jam Mufradat Al-Fazh Al-Quran” menerangkan bahwa makna ‘jihad’ dan ‘mujahadah’ adalah sama, yaitu mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan musuh yang nyata, menghadapi setan, dan menghadapi nafsu dalam diri sendiri. Sebagaimana tertuang dalam Surat Al-Hajj ayat 78, “Berjihadlah demi Allah dengan sebenar-benarnya jihad”; “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad dengan harta dan diri mereka di jalan Allah, hanya mengharapkan rahmat Allah” (QS Al-Baqarah [2]: 218); dan “Wahai Nabi, berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat” (QS At-Tawbah [9]: 73 dan At-Tahrim [66]: 9). Juga hadits Rasulullah saw, “Jahiduw ahwa akum kama tujahiduna ‘ada akum” (Berjihadlah menghadapi nafsumu sebagaimana engkau berjihad menghadapi musuhmu); dan “Jahidu Al-kuffar ba aidiykum wa al-sinatikum” (Berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dengan tangan dan lidahmu).
Jika dilihat dari ayat dan hadits tersebut tampak bahwa jihad adalah ‘perjuangan’ dengan seluruh potensi yang dimiliki manusia, sehingga ‘musuh’ tidak lagi melakukan tindakan yang merugikan manusia dan menghadapi orang kafir dan munafik yang jelas-jelas menentang Allah dan Rasul-nya serta menghalangi terwujudnya kemaslahatan umat. Jihad bukan hanya perang fisik, tapi juga sikap dan rasa tanggungjawab yang luhur terhadap amanah yang diemban dan menuntun diri sendiri agar selamat dunia dan akhirat. Bila makna ini yang dipegang kaum Muslimin, maka jihad dalam dimensi teologi Islam akan menciptakan kehidupan manysyarakat yang gandrung dengan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Saya kira semua orang merindukannya. Semoga saja terwujud di negeri ini. Amien ya rabbal `alamin.
AHMAD SAHIDIN adalah Editor Penerbit Salamadani Bandung