Minggu, 16 November 2008

Janji

Cerpen AMIN R ISKANDAR
Janji Terakhir

Semua taman saya tidak akan percaya. Saya orang, selalu kesepian setiap malam hari datang menyapa. Saya orang. Kesepian karena diputuskan pacar empat bulan silam. Sebab saya orang, yang biasa beri semua teman saya lelucon pemancing tawa. Tapi hanya dalam siang hari saja. Sekali lagi saya katakan. Saya orang, selalu kesepian setiap malam hari menyapa.

Semua teman saya tidak akan percaya. Kebencian pada mantan pacar saya begitu besar. Sungguh saya amat benci dia. Wanita yang saya puja, cinta, sayang setulus hati dan segenap asa dalam jiwa. Tega tanduskan ladang kasih yang pernah saya pupuk dan siram dengan air cinta yang jernih. Mestinya dapat tumbuh subur dan berbunga, pikir saya. Dan pada akhirnya akan berbuah kebahagiaan bersama.

“Aku salut padamu kawan!!!” ucap teman saya suatu hari. “Masih sudi temui mantan pacar kamu. Apalagi sampai hati membantunya” lanjutnya. “Padahal jelas-jelas dia tega hianati kestiaan dan ketulusan cintamu. Jika aku di posisimu, mungkin akan sangat membencinya. Jangankan menemui dan membantunya, melihat mukanya saja aku tak sudi”.

“Kamu salah sobat” saya menjawab singkat.

“Salah gimana???”

Saya diam tak menjawab. Rokok di tangan saya hisap. Kopi hitam pun saya teguk, meski hanya sedikit. Kepulan asap rokok melayang buyarkan harap teman saya akan keterangan ucapan saya tadi.

Sinar matahari panas bakari kulit. Kulit saya yang terlanjur sudah hitam. Tapi kata teman-teman saya, saya nampak manis jika tersenyum. Anehnya cuaca hari saat ini. Meski panas, tingkat kelembaban udara cukup memaksa tubuh menggigil. Padahal ini musim musim kemarau. Bikin kering kulit saja.

“Karena saya amat membencinya. Melebihi kebencian yang kamu utarakan barusan” jawab saya singkat. Lantas diam kemudian, lagi.

Teman saya bengong tanda heran. Heran akan jawaban saya yang menyimpan kebencian yang teramat besar. Saking besar rasa herannya, sampai-sampai tak kuasa tuk tanya lagi.

Memang benar. Jangankan teman saya, saya sendiri tidak kurang herannya. Saya sangat membencinya. Tapi jujur pula harus saya akui, untuk membuang kebencian itu tiada jalan lain. Selain duduk dekat dengannya; bercerita, bercanda, dan sesekali saya tertawa bareng bersamanya. Hanya di sisinya saya merasa nyaman, usir segala bosan dan sepi. Di sisinya pula saya masih bisa merasa bahagia dan bangkitkan gairah hidup.

* * *

Dua bulan terakhir saya tidak jumpai mantan pacar saya. Tidak juga berkomunikasi lewat ponsel. Saya yang sengaja mengambil jalan itu. SMS darinya tak pernah lagi saya jawab. Sederhana saja saya pikir, takut lebih lanjut membara rasa cinta saya dan harus lebih kecewa kemudian.

Mungkin dia bosan kirim SMS tanpa ada balasan. Dia pun berhenti kirim SMS, sudah dua bulan lamanya. Di balik rasa tersiksa. Lumayan, saya jadi bisa melupakannya. Rasa ingin bertemu kian berkurang, bahkan sirna sama sekali. Saking bencinya, saya bertekad untuk tidak menyapa, tidak menghadapkan muka ke arahnya. Biar saya akan selalu berpaling darinya.

Waktu menakdirkan lain. Saya harus berpapasan di tengah jalan, setelah dua bulan lamanya. Tak etis kiranya jika tak bertegur sapa. Lagi-lagi hati saya luluh dan layani sapaannya. Tangannya yang mulus pernah saya sentuh dia ulurkan. Saya sambut dengan tulus. Sperti biasa dia letakkan tangan saya di pipinya. Alamaaaa… sungguh ini yang telah lama saya rindukan.

“Hai… lama tak jumpa. Bagaimana kabarnya” dia menyapa.

“Saya baik-baik saja” jawab saya tetap singkat. “Situ gi mana?” saya balik Tanya.

“Masih utuh… Seperti dapat dilihat” katanya bercanda. Seraya melempar senyuman khas dari gigi gingsulnya. Sungguh tidak berlebihan bila saya melihat kemiripan wajah dengan Sandra Dewi, pemain sinetron yang lagi naik daun.

“Senang bisa berjumpa. Terutama karena keutuhan dirumu” saya membalas senyumannya. Kami saling bertukar senyuman. Senyuman yang selama dua bulan tidak saling menyapa.

“Kamu sombong akhir-akhir ini. Jangankan berkunjung ke kost-an, balas SMS aja seakan tidak minat”.

Sombong??? Tanyaku dalam hati. I-A kali, saya sedikit sombong. Akibatnya saya tak mampu menjawab kecuali tersenyum malu.

“Sekarang aku mau pulang liburan. Kapan pulang juga?”

“Tidak tau. Saya benci kampung halaman. Di sana hanya memperpanjang catatan penat saja. Di sini lebih rame meski sedikit kere” di akhir sempat saya sisakan senyuman untuknya sebagai penutup.

“Kalau pulang, jangan lupa main ke rumah. Aku juga akan sama, di rumah pasti bosan”.

“Saya tidak janji. Kalo sempat pulang akan mampir. Kalo tidak, saya tak akan memaksakan diri”

“Terus, di sini mau ngapain? Bukankah sama-sama libur”

Kali ini juga saya tidak menjawab selain memberi dia senyuman.

Sayang, namanya berpapasan, tidak pernah lama, lalu kami berpisah lagi. Dia tempuh jalan dan tujuannya. Saya tempuh jalan dan tujuan saya. Sama-sama menempuh jalan dan tujuan masing-masing. Kami pun benar-benar berpisah.

Tapi sebelum berpisah saya sempat berkata untuknya. “Jangan lupa, kita masih punya satu janji”.

“Janji apa???” dia menyerang dengan Tanya. Kulit dahinya mengerut tanda mengeryit. Heran sepertinya dia, atau tidak mengerti.

“Menikmati cahaya purnama bersama. Sehabis pulang nanti saya akan menagih janji itu” lantas saya pergi, tak beri dia kesempatan tuk ngomong lagi.

Dalam perjalanan di balik perpisahan, sempat saya melihat tatapan matanya. Tiada banyak yang berubah. Masih menyimpan rasa itu. Rasa sanyang yang pernah saya dapatkan. Rasa sayang yang sedikit telah terkecewakan. Karena tak beri kesempatan lagi. Karena menolak keinginan untuk terus bersahabat.

* * *

“Purnama, kini kehadiranmu yang ditunggu benar-benar tiba. Terang-terangan kau hadir kepermukaan seterang cahayamu” hati saya meracau di malam purnama. Dia, mantan pacar saya duduk di samping saya. Di atas rumput hijau di bawah kaki gunung.

“Tak percaya rasanya mesti tumbuh seusia jagung” kata saya pelan.

Dia diam. Tangan saya letakkan melingkari pinggulnya. Dia sandarkan punggungnya di dada. Hewan malam bersiul tembangi kami. Sungguh syahdu saya rasa. Saya usap kepalanya, membelai panjang rambutnya, dan saya ucapkan dalam hati. Sungguh aku masih sayang kamu, Andriani.

Tidak lebih dari dua jam, waktu mamaksa kami pulang. Saya antar dia pake motor hingga depan kamar tidurnya. Sebelum pisah saya selipkan secarik kertas di saku jaketnya.

Kertas yang saya tulis di dalamnya. “Ini adalah malam terakhir hubungan kita. Pada akhirnya tiada lagi janji yang mesti dipenuhi. Saya berharap kita tak pernah bertemu lagi, apalagi menjalin hubungan kasih bersama. Terimakasih untuk malam ini, good bye”.


AMIN R ISKANDAR
Lahir di Tasikmalaya, 28 Juli 1985,
Mahasiswa Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati
bergiat di komunitas Qaf Wau Sin.

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Janji