Minggu, 16 November 2008

Menulis

Membaca Sastra, Menulis Sastra
Oleh BADRU TAMAM MIFKA

Menulis sastra ternyata sangat menyenangkan. Jika kita punya keinginan,ternyata menciptakan karya sastra, baik cerpen, puisi dsb., bukanlah pekerjaan yang penuh derita, jika pekerjaan menulis, dalam bentuk apapun, dijadikan kegemaran atau hobi yang menghibur.

Jadikan kegiatan menulis sastra seperti kegemaran mengoleksi benda-benda, bermain game, atau kegemaran bermain sepak bola. Simpan saja obsesi membuat karya sastra adiluhung atau keinginan dimuat di media massa. Hiraukan dahulu teori-teori menulis sastra jika rumit. Jangan jadi beban, menulislah seribu cerita dan puisi setiap hari. Di sanalah, kita akan masuk dalam sebuah taman imajinasi yang indah penuh beribu sahabat. Kita melahirkan banyak tokoh-tokoh yang kita inginkan. Kita membuat alur cerita yang kita kehendaki. Kita bermain dengan beribu kata dan cerita, seolah-olah kita tengah menyusun nada-nada di ruang kesunyian, nada-nada yang bersahutan, dan kelak menjelma nyanyian.

Tapi bagaimana memulainya? Tentu saja, kenikmatan menulis akan lahir jika kita sudah punya kenikmatan membaca buku-buku dan keseharian hidup. Sebab dengan membaca, pada gilirannya, kita akan mempunyai kebutuhan untuk menulis dan bicara. Dalam umpama sedikit jorok, membaca buku dan realitas seperti menyantap hidangan ke perut kita, tentu saja tak ada orang yang bisa menolak kebutuhan untuk buang air besar! Orator ulung dan penulis produktif lahir dari kegemaran membaca. Membaca buku dan realitas akan menghadirkan gagasan dan imajinasi dalam kepala kita. Karena dalam buku, kita akan terbiasa mengenali kosa kata, tata kalimat, gagasan, pemikiran, pengalaman, dan sebagainya. Pun mengamati realitas, kita akan belajar mengasah kepekaan yang kelak akan muncul dalam bentuk kebutuhan untuk ditulis atau dibicarakan dan disampaikan pada seseorang.

Begitulah menulis sastra, kita mulai dengan kegemaran membaca karya-karya sastra yang banyak di temukan di koran, majalah dan buku-buku. Kita kenali dan nikmati alur cerita, lalu kita bayangkan kembali. Kita kenali, nikmati dan apresiasi diksi dalam puisi, lalu kita olah dalam benak. Setelah dirasa cukup akrab dengan bentuk cerita dan puisi, bisakah kita membuat cerita dan puisi dengan tema yang sama? Bisakah kita punya alur cerita yang berbeda dan punya pemilihan kata yang lain? Kita bisa mulai dengan menulis cerita-cerita dan puisi-puisi pendek, tentang pengalaman, perasaan dan pendapat kita terhadap sesuatu. Misalnya kita terpesona pada matahari tenggelam, keheningan malam dan keindahan seseorang. Setelah itu, kita berdialog dengan diri sendiri, apa yang menarik dari yang kita lihat? Apa yang kita rasakan ketika menyaksikan dan mengingatnya? Apa menurut kita tentang itu? Kemudian kita buat sebuah puisi dengan pemilihan bahasa yang segar, unik, tidak klise (jarang dipakai), padat dan reflektif. Atau kita buat cerita dengan alur sederhana yang sederhana tentang pengalaman keseharian kita.

Walhasil, teruslah belajar mengakrabi karya-karya sastra yang ada. Masuki dunia sastra dengan terlebih dahulu sebagai penikmat, setelah itu cobalah membuat karya sendiri. Intensitas membaca karya-karya sastra orang lain memungkinkan kita memiliki kekayaan dan kepekaan bahasa dan imajinasi. Jangan berharap bisa membuat puisi yang bagus jika kita tak pernah sedikitpun punya pengalaman membaca puisi, begitupun dengan cerita pendek. Luangkan waktu untuk sendiri, bacalah sebuah cerita atau beberapa puisi, bersedia membuka mata, hati dan pikiran, lantas himpunlah apa yang kita lihat dan rasakan. Saatnya kita rekam setiap kejadian yang melintas di depan mata dan pikiran dalam cerita dan puisi. Teruslah membaca dan menulis sastra setiap hari. Karena karya yang bagus, berawal dari kepingan-kepingan karya tanpa henti yang dibuat setiap harinya…[]

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Menulis