Minggu, 16 November 2008

Jihad

Teologi Jihad, Bukan Seperti Amrozi cs
Oleh AHMAD SAHIDIN

KASUS eksekusi mati Amrozi cs setidaknya bisa dikatakan selesai—meskipun pihak keluarga dan pengacaranya menggugat ketidakterbukaan (tidak transparan) dalam menentukan eksekusi dan tidak diikutsertakannya pihak pengacara dan keluarga dalam proses eksekusi tersebut.

Di televisi kita menyaksikan bagaimana keluarga korban ‘Bom Bali’merasa puas dengan tindakan hukuman tersebut. Begitu juga sebagian pengamat Islam, menilai tindakan eksekusi mati itu bisa membuat jera ‘generasi’ setelah Amrozi cs dalam aksi-aksi selanjutnya. Tapi sayang, perkiraan awal itu meleset; karena ternyata teror terhadap beberapa instansi dan kedutaan asing malah kian muncul. Ini memang sebuah fenomena yang memerlukan sebuah penelusuran lebih lanjut, terutama aspek yang melatarbelakanginya sehingga bisa melakukan tindakan yang tidak bersahabat dan mencelakakan manusia.

Menurut saya, persoalan tersebut tidak lepas dari pemahaman keislaman dan keimanan yang parsial-harfiah dan tanpa diimbangi dengan ‘pendalaman’ sehingga membentuk watak dan orientasi hidup yang bersifat instan. Hanya untuk surga berani mengorbankan orang-orang yang belum tentu memiliki kesalahan yang dipersoalkan oleh mereka. Padahal, pintu menuju surga itu tidak hanya melalui perang melawan kaum kafir, tapi ada pintu-pintu lainnya; seperti berbagi dan peduli pada kaum dhuafa dan memberdayakan orang-orang miskin. Maksudnya, ‘jihad’ jangan selalu diidentikan dengan perang fisik atau perlawanan berdarah. Tapi ‘jihad’—seperti kata M.Quraisy Shihab—dalam Islam bermakna ‘sebuah upaya yang sungguh-sungguh’ dalam melakukan sebuah perbuatan atau amaliah yang membawa kebaikan; karena hal itu yang menjadi tujuan utama dari risalah Islam dibawa Nabi Muhammad saw—rahmatan lil `alamin.

Bila kita membaca sejarah Islam, keberhasilan Rasulullah saw dalam menjalankan misinya itu didasarkan pada konsep tauhid, keadilan, dan pemberdayaan. Dengan doktrin tauhid ini Nabi saw tidak hanya berhasil menarik massa dalam naungan kalimat la ilaha illallah, tapi juga membebaskan manusia dari belenggu stratifikasi sosial (kasta) sehingga kedudukan umat Islam tidak beda satu sama di mata Allah kecuali karena taqwa dan keimanan.

Doktrin pengakuan keesaan Tuhan ini berimplikasi pada terciptanya keadilan (al-`adl) di seluruh masyarakat Arab, baik Muslim maupun non-muslim. Saat Nabi Muhammad saw, tidak ada yang merasa terdzalimi, tidak ada demonstrasi dikarenakan perlakukan atau kebijakan Nabi, semuanya merasakan ketenangan dan kedamaian dalam masyarakat yang dibangun Nabi. Keadilan memang menjadi inti dari pemerintahan yang dibangun Nabi ketika itu. Kepada anaknya sendiri, Nabi sanggup memberikan hukuman apabila Sayyidah Fahtimah Az-Zahra mencuri. Demikian yang termaktub dalam hadits yang disampaikan Nabi. Sebaliknya, Nabi berani mengusir saudara dari sahabat dekatnya yang menghina dan tak mau mengikuti aturan yang digariskan dalam Al-Quran dan Nabi Muhammad saw. Pendeknya, Nabi Muhammad saw tidak ‘pandang bulu’ dalam menegakkan keadilan bagi masyarakat Muslim maupun non-muslim.

Keadilan memang diberlakukan pada semua komunitas yang berada dalam naungan pemerintahan Islam Nabi Muhammad saw. Namun aspek pemberdayaan tidak semua mendapatkannya, hanya orang-orang yang tertindas dan kemampuan ekonomi serta membutuhkan pencerahan ‘baca-tulis’ saja yang dibantu. Nabi memberikan ampunan kepada tawanan perang dari kaum kafir atau musyrik, apabila bisa ‘membebaskan’ salah seorang Muslim dari kebodohannya (baca: tidak bisa baca tulis) melalui pengajaran. Bentuk pemberdayaan lainnya, mereka yang memiliki potensi bertani diberi keluasan untuk menggarap tanah rampasan perang yang menjadi hak kaum Muslimin. Memberi wewenang menyebarkan risalah Islam ke Abu Dzar di kampungnya. Inilah bentuk pemberdayaannya. Pemberdayaan orang-orang tak mampu dan pembebasan dari ketidakadilan dan dari buta huruf yang dilakukan Nabi saw di masa awal Islam adalah menjadi bukti dari penerapan ‘jihad’yang sesuai maknanya.

Benarkah aksi Amrozi cs itu termasuk ‘jihad’? Secara hakikat saya tak tahu. Tapi bila merujuk kepada Ahmad Syafii Maarif—dalam wawancara detikcom, Ahad (09/11/2008)—bahwa tindakan Amrozi cs itu didasarkan pada konsep teologi maut. “Prinsip teologi maut, yakni mereka berani mati karena tidak berani hidup. Kecuali hanya mengagungkan sejarah, marah, menganggap yang tidak sepaham dengannya sebagai musuh,” tuturnya.


Ayat-ayat jihad
Lalu, apa makna jihad yang terdapat dalam Al-Quran? Cendekiawan Muslim Muhammad Quraisy Shihab mengemukakan bahwa kata jihad terulang dalam Al-Quran sebanyak empat puluh satu kali dengan berbagai bentuknya. Jihad berasal kata ‘jahd’ yang berarti letih atau sukar. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari akar kata ‘juhd’ yang artinya kemampuan.

Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang berhubungan dengan arti jihad di atas. Antara lain surat Ali ‘Imran: 142, 169; Al-Baqarah: 214, 155; Al-Tawbah:19, 24, 44, 81; A1-Ankabut: 6, 69; Luqman: 15; Al-Hajj: 78; dan lainnya. Dalam ayat-ayat tersebut, ‘jihad’artinya berkaitan dengan ujian manusia yang harus dilalui dengan penuh kesabaran dan ketabahan dalam menjalani hidup, kesungguhan dalam aktivitas sehingga mencapai tujuan, serta bersifat fitrah kemanusiaan. Bila bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan nilai-nilai Islam, maka aktivitas tersebut di luar kategori ‘jihad’ atau sesuatu yang tidak dibenarkan. Namun entah mengapa arti ‘jihad’—yang terdapat Al-Quran—tidak muncul, malah yang bersifat kekerasan atau perlawanan bersenjata (perang fisik). Ini mungkin karena kurangnya ‘pendalaman’ dalam memahami ayat-ayat Allah.

Jihad dan mujadah
Ar-Raghib Al-Isfahani dalam kamus “Mu’jam Mufradat Al-Fazh Al-Quran” menerangkan bahwa makna ‘jihad’ dan ‘mujahadah’ adalah sama, yaitu mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan musuh yang nyata, menghadapi setan, dan menghadapi nafsu dalam diri sendiri. Sebagaimana tertuang dalam Surat Al-Hajj ayat 78, “Berjihadlah demi Allah dengan sebenar-benarnya jihad”; “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad dengan harta dan diri mereka di jalan Allah, hanya mengharapkan rahmat Allah” (QS Al-Baqarah [2]: 218); dan “Wahai Nabi, berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat” (QS At-Tawbah [9]: 73 dan At-Tahrim [66]: 9). Juga hadits Rasulullah saw, “Jahiduw ahwa akum kama tujahiduna ‘ada akum” (Berjihadlah menghadapi nafsumu sebagaimana engkau berjihad menghadapi musuhmu); dan “Jahidu Al-kuffar ba aidiykum wa al-sinatikum” (Berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dengan tangan dan lidahmu).

Jika dilihat dari ayat dan hadits tersebut tampak bahwa jihad adalah ‘perjuangan’ dengan seluruh potensi yang dimiliki manusia, sehingga ‘musuh’ tidak lagi melakukan tindakan yang merugikan manusia dan menghadapi orang kafir dan munafik yang jelas-jelas menentang Allah dan Rasul-nya serta menghalangi terwujudnya kemaslahatan umat. Jihad bukan hanya perang fisik, tapi juga sikap dan rasa tanggungjawab yang luhur terhadap amanah yang diemban dan menuntun diri sendiri agar selamat dunia dan akhirat. Bila makna ini yang dipegang kaum Muslimin, maka jihad dalam dimensi teologi Islam akan menciptakan kehidupan manysyarakat yang gandrung dengan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Saya kira semua orang merindukannya. Semoga saja terwujud di negeri ini. Amien ya rabbal `alamin.

AHMAD SAHIDIN adalah Editor Penerbit Salamadani Bandung

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Jihad