Efektivitas Pelarangan Ahmadiyah
Oleh UWES FATONI
Forum Umat Islam hari minggu (20/04) kemarin menggelar apel akbar mendukung pembubaran Ahmadiyah di Indonesia. Gerakan tersebut sebagai bentuk dukungan atas keluarnya rekomendasi Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat.
Pemerintah sendiri sedang menggodok SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut.
Gelombang tuntutan pembubaran itu tentu saja memunculkan reaksi dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan beberapa tokoh yang simpati. Mereka meminta presiden untuk tidak terpengaruh oleh desakan ormas Islam tersebut. JAI bahkan akan memperkarakan pemerintah ke pengadilan seandainya mereka benar-benar dilarang. Mereka merasa sudah terlalu lama menjadi korban kekerasan mulai dari pernyataan sesat, perusakan pusat kegiatan atau tempat ibadah dan terakhir penjegalan kegiatan Munas JAI di Bali.
Dalam catatan sejarah JAI sudah lama menjadi duri dalam daging bagi umat Islam. Pemikiran mereka yang menyimpang dari keyakinan mainstream umat menyebabkan mereka senantiasa mendapat cap sebagai aliran sesat. Nahdatul Ulama (NU) dalam Muktamar ke-50 tahun 1930 di Pekalongan telah menganggap Ahmadiyah masuk dalam kriteria kafir. Tahun 1980 MUI dalam Munas II memfatwakan Ahmadiyah sesat dan menyesatkan dan diperkuat kembali dalam Munas VII MUI tahun 2005. Di tingkat internasional Desember 1985 muncul keputusan dari Majma’ al-Fiqh Rabitha’ Alam Islami atau OKI (Organisasi Konferensi Islam) yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran di luar Islam.
Sekalipun begitu gencar tuduhan dan intimidasi ternyata JAI sampai saat ini tetap eksis. Pernyataan sesat tidak menyurutkan gerak langkah mereka untuk terus berkembang bahkan organisasi yang masuk ke Indonesia tahun 1935 ini telah berhasil mengantongi izin resmi sebagai badan hukum tahun 1953. Apakah keputusan pemerintah nanti akan mampu menghentikan gerak JAI atau sama saja tidak efektif seperti keputusan-keputusan yang telah dibuat sebelumnya?
Organisasi Internasional
JAI bukanlah sebuah aliran lokal yang mudah dianggap sesat dan kemudian dilarang seperti Lia “Eden” atau “al-Qiyadah al-Islamiyah” Ahmad Moshaddeq. Ia adalah organisasi yang berinduk di tingkat internasional yaitu Ahmadiyah Qadiyan dengan pusat di Lahore Pakistan.
Menurut situs resmi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (www.ahmadiyya.or.id) cikal bakal organisasi ini dibentuk oleh pendiri sekaligus tokoh utama aliran tersebut yaitu Mirza Gulam Ahmad tahun 1889. Selain menyebarluaskan ajaran tentang masih mau’ud (penyelamat yang dijanjikan) dan menyatakan dirinya sebagai Imam Mahdi serta Nabi setelah Muhamamad Saw dengan kitab suci “Tadzkirah”, Mirza Gulam Ahmad pun menciptakan gerakan al-Wasiyyat, yakni gerakan pengorbanan harta untuk memajukan dan menyebarluaskan Islam versinya ke seluruh dunia. Dibentuk pula sebuah badan utama (Sadr Anjuman) yang bertugas mengelola organisasi Ahmadiyah dengan sistem kepemimpinan khilafat.
Setelah Mirza Ghulam Ahmad wafat, kepemimpinan organisasi tersebut dipegang oleh Khalifatul Masih I, yaitu Hz. Mlv. Hafiz Hakim Nuruddin. Kemudian dilanjutkan oleh Khalifatul Masih II, Hz. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad yang pada masanya Jemaat Ahmadiyah mampu berkembang sampai ke Eropa, Afrika, Amerika dan Asia termasuk ke Indonesia. Tahun 1965 Khalifatul Masih III, Hz. Mirza Nasir Ahmad memegang kepemimpinan. Dan sejak 1982 sampai sekarang Khalifatul Masih IV dipegang oleh Hz. Mirza Tahir Ahmad.
Misi utama organisasi Ahmadiyah ini adalah pengiriman muballigh-muballigh ke mancanegara, penerjemahan Al-Quran dan tafsirnya ke dalam berbagai bahasa, pembangunan mesjid beserta sarana dan prasarananya, pengembangan literatur-literatur tentang keahmadiyahan dan terakhir pendirian televisi satelit MTA (Muslim Television Ahmadiyyah). Kini Jemaat Ahmadiyah telah tersebar di lebih dari 140 negara di dunia.
Di Indonesia Ahmadiyah masuk tahun 1925, dibawa oleh tiga orang santri Thawalib bernama Zaini Dahlan, Abu Bakar Ayyub, dan Ahmad Nuruddin. Dengan sokongan jaringan internasional, juga iuran anggota, tidak heran bila saat ini JAI memiliki 181 cabang yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia dengan fasilitas dan prasarana yang lengkap.
Selain itu juga kemampuan mereka untuk bertahan dari berbagai tekanan selama lebih dari 75 tahun di Indonesia telah melahirkan semangat dan militansi yang kuat di kalangan anggotanya. Mereka mampu mempertahankan keyakinan sekalipun ancaman dan tudingan datang silih berganti dari berbagai penjuru. Dalam sebuah wawancara di televisi swasta salah seorang juru bicara JAI menyatakan bila pemerintah RI sampai mengeluarkan pelarangan maka hanya organisasi saja yang akan terpengaruh. Adapun peribadatan dan keyakinan secara personal anggota JAI menurutnya akan tetap ada dan bertahan.
Dari sini kita melihat bahwa pelarangan Ahmadiyah oleh pemerintah tidak akan cukup efektif. Secara personal mereka merasa bahwa keyakinannya benar sehingga bila pelarangan tetap dikeluarkan maka tidak akan banyak perubahan. Bila secara organisasi JAI benar-benar dilarang bisa saja mereka mengubah namanya dengan nama lain seperti yang dilakukan Islam Jamaah yang organisasinya berubah berulang kali. Lebih berbahaya lagi bila JAI menjadi organisasi bawah tanah (underground) yang tidak tercatat secara resmi. Hal itu akan menyulitkan pemantuan oleh pemerintah atau masyarakat sekalipun.
Usaha Meminta JAI untuk menyetujui tuntutan dalam 10 butir kesepakatan sebagaimana beberapa waktu lalu dilakukan oleh Bakorpakem juga sangat mustahil untuk dilakukan. JAI adalah bagian dari organisasi internasional. Sangat tidak mungkin mereka akan berbeda faham atau menyalahi aturan organisasinya.
Sekalipun mereka kemudian mau mengubah dogma keyakinannya, justru yang dikhawatirkan itu adalah strategi politik mereka dalam rangka menyembunyikan identitas (taqiyah). Dalam sejarah Islam taqiyah sering digunakan oleh aliran minoritas untuk menyelamatkan diri dan kelompoknya dalam kondisi terjepit. JAI akan berpura-pura menyetujui kesepakatan, padahal suatu saat bila situasi telah kondusif keyakinan lama akan dihidupkan kembali. Ini tentu saja tidak akan menyelesaikan masalah.
Dengan demikian seyogyanya pemerintah tidak hanya mengeluarkan keputusan pelarangan saja tapi juga langkah-langkah follow up-nya. Salah satu diantara langkah persuasif yang mungkin cukup efektif yaitu memasukkan mereka menjadi anggota ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah untuk dibina dan diluruskan. Semoga benang kusut JAI ini bisa diselesaikan secara tuntas sebelum semakin kusut dan semakin sulit untuk diurai. Wallahu’alam
Uwes Fatoni, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung
Minggu, 25 Mei 2008
[+/-] |
Efek |
[+/-] |
Hasrat |
Paranoid, Hasrat
Oleh AHMAD SAHIDIN
Tiap orang punya hasrat. Besar kecilnya tergantung seberapa kuat dirinya berkiprah dalam usahanya. Ini mungkin yang disebut motivasi, daya dorong, yang mesti dimiliki.
Namun yang paling penting, seberapa besar kita tangguh dan berupaya keras menerjang badai-badai yang sedang menghadang. Kuncinya, adalah kekuatan jiwa dan optimalisasi sepenuhnya terhadap yang kita hasrati itu.
Dengan kata lain, siapkah diri ini berkompetisi secara baik dan benar, atau melawan—jika kita mengidentikan semua pesaing adalah—yang tidak akur (setuju) dengan kita. Maka kita harus berpikir jauh perihal itu. Sebabnya, tidak semua orang merasa dirinya dianggap lawan maupun kawan. Adakalanya lawan sering menjadi kawan. Dan juga sebaliknya, kawan menjadi lawan. Bahkan sejak 15 Abad yang lalu pernah didengungkan seorang menantu Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib, cintailah orang yang kau cintai sekedarnya saja; siapa tahu—pada suatu hari kelak—ia akan berbalik menjadi orang yang kau benci. Bencilah orang yang kau benci sekedarnya saja; siapa tahu—pada suatu hari kelak—ia akan menjadi orang yang kau cintai.
Ini mungkin sekedar nasehat. Namun tidak setiap orang suka akan nasehat. Apalagi ketika berada dalam keadaan yang tidak terkendalikan. Mereka yang berada dalam kondisi terguncang—baik itu batin maupun pikirannya—senantiasa memposisikan siapa pun di hadapannya sebagai musuh.
Bahayanya, orang yang terkena penyakit ini—ketika tidak bisa melawan secara terbuka—ia akan menggunakan cara lain, sehingga yang nampak hanyalah akibat yang tidak kita duga-duga. Atau hanya dampaklah yang terasa pada kita. Dan siapa pun tidak akan mampu menggambarkan dampaknya secara lahiriah. Yang muncul hanyalah suasana-intuisi dan keadaan ruang-waktu yang tidak nyaman, dan hal-hal yang berada di luar daya tangkap kita.
Karena itu, siapa pun yang bertindak seperti itu berarti sedang mengidap paranoid. Dan kita perlu merenungi diri sendiri, apakah kita termasuk pada kategori paranoid atau tidak. Bila ya, berarti kita perlu melakukan perbaikan dan penyempurnaan-penyempurnaan. Untuk itu, mari kita menyempurnakan diri sendiri sebelum menyempurnakan yang lain.
[+/-] |
Waisak |
Waisak Bagi Bangsa
Oleh IBN GHIFARIE
Momentum Hari Suci Waisak yang jatuh pada 20 Mei 2008 ini dan bertepatan dengan lahirnya Hari Kebangkitan Bangsa yang menginjak 1 abad (1908-2008).
Sejatinya, Waisak harus menjadi modal dasar evaluasi sekaligus semangat toleransi dan pencerahan bagi seluruh dialog antariman dan pemerintahan yang memegang kebijakan dalam kebebasan beragama di Indonesia.
Waisak juga mesti dijadikan barometer sebagai ajang refleksi seberapa jauh kualitas kita dalam menghargai perbedaan (Suku, Agama, Ras, Budaya) semenjak bangsa ini merdeka.
Pasalnya, dialog antaragama merupakan gerbang menuju kehidupan bermasyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Sesuai dengan cita-cita luhur para pejuang yang memerdekana kepulauan nusantara dari pelbagai rong-rongan penjajah. Kendati dialog antariman tak sebatas bertujuan untuk hidup bersama secara damai dengan membiarkan pemeluk agama lain ‘ada’ (ko-eksistensi), melainkan juga berpartisipasi secara aktif meng-‘ada’-kan pemeluk lain itu (pro-eksistensi). (Hans Kung dan Karl Kuschel: 1999).
Tentunya, dialog ini tak sekedar mengantarkan pada sikap bahwa setiap agama berhak untuk bereksistensi secara bersama-sama. Pun wajib mengakui dan mendukung –bukan berarti menyamakan—eksistensi semua agama. Barangkali inilah yang dimaksudkan oleh Raimundo Panikkar dengan istilah dialog intra-religius. Yaitu yang tak hanya menuntut suatu sikap inklusif, tapi harus tumbuh berkembangnya sikap paralelisme, dengan mengakui bahwa agama merupakan jalan-jalan yang sejajar.
Kini, silang pendapat dalam soal berkeyakinan mulai terlupakan. Hingga berujung jadi petaka pada pengahncuran tempat ibadah, penyiksaan kepada anak-anak, ibu-ibu dan para lansia. Model pembunuhan satu aliran tertentu yang berbeda penafsiran [keimanan] dengan halayak banyak pun menjadi jurus pamungkas dalam menyelesaikan persoalan.
Tengeoklah, perseteruan internal pemeluk ajaran islam antara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dengan Majelis Ulama Islam (MUI) pascapengeluaran 11 Fatwa (2005). Hingga dikeluarkanya SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 Mentri (Mentri Agama, Dalam Negeri dan Jaksa Agung) tentang pelarangan jamaah Ahmadiyah pascapelaporan hasil investigasi Bakor Pakem (Badan Kordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) beberapa pekan yang lalu.
Pesan Suci Waisak
Marik kita mencoba belajar dari agama dan pemahaman orang lain. Salah satunya ajaran Buddhisme—yang tengah merayakan upacara Vesakha Punnami Puja untuk merayakannya dan tujuh hari setelahnya mengadakan Vesakha Atthami Puja untuk memperingati diperabukannya Buddha Gautama.
Tibanya Hari Raya Waisak tiba, mengingatkan kita kepada tiga peristiwa luar biasa yang terjadi dalam kehidupan Guru Agung Buddha Gotama, yaitu kelahiran calon Buddha (Bodhisatta) Siddhattha, pencapaian Pencerahan Sempurna Buddha, serta wafat Buddha atau Parinibbana.
Konon, peristiwa maha agung itu terjadi pada hari purnama sidi di bulan Waisak lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lampau. Tahun 623 S.M. Bodhisatta Siddhattha lahir di Taman Lumbini, India Utara; tiga puluh lima tahun kemudian beliau mencapai Pencerahan Sempurna sebagai Buddha, dan akhirnya Buddha Gotama mangkat pada tahun 543 S.M. Tahun ini Hari Raya Waisak 2552 jatuh pada tanggal 20 Mei 2008.
Peringatan Waisak 2008 dalam kontek Indonesia Sangha Theravada Indonesia bertajuk ”Kehadiran Buddha sebagai Sumber Kebangkitan Moral dan Semangat Mawas Diri” demikian tulis Jotidhammo Mahathera, Ketua Umum (Sanghanayaka)
Kehadiran hari raya Waisak tak sekedar mengingat 3 kejadian dahsat, tapi harus mencoba membangkitkan sosok Sang Buddha di tengah-tengah kehidupan ini. Juga tak berlalu begitu saja, sebab Guru Agung Buddha telah mewariskan Dhamma ajaran Kebenaran yang sampai dengan saat ini masih dijadikan sebagai “jalan hidup” bagi umat Buddha seluruh dunia.
Umat Buddhis masih meyakini tentang Kebenaran Dhamma dapat menuntun hidupnya menjadi lebih baik, lebih bijak, dan tentu lebih berbahagia. Jalan hidup Dhamma yang diajarkan oleh Buddha mengutamakan moral [sila] sebagai landasan bagi penerapan Kebenaran Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua aspek ini diharapkan saling melengkapi. Pasalnya moral tanpa kebenaran Dhamma hanya menjadi norma-norma formalitas belaka tanpa dasar dan arah tujuan jelas, ataupun sebaliknya kebenaran Dhamma tanpa moral hanyalah berupa wacana filosofis semata yang tidak menunjukkan bagaimana penerapan ajaran Kebenaran itu dalam kehidupan sehari-hari (www.samaggi-phala.or.id)
Kebangkitan Bangsa
Jelang 100 tahun nasionalisme bangsa dari pelbagai keterpurukan dan ketidak berdayaan negara dalam mengatasi keterbelakangan pendidikan, kemiskinan dan kebebasan beragama.
Sejatinya perayaan Waisak dapat memberikan ‘energi lain’ dalam menyongsong 1 abad kebangkitan Indonesia. Bila dalam upacara suci di kenal 3 kejadian agung (Bodhisatta) Siddhattha, pencapaian Pencerahan Sempurna Buddha, dan Parinibbana), maka dalam kontek keindonesiaan terlahirnya seorang pemimpin yang dapat mengelurkan kita dari pelbagai krisis yang tak kunjung selesai ini sangatlah kita haratpan sekaligus menuntut hadir. Bukan malah sebaliknya. Yakni membawa bumi pertiwi ini kelubang kelam penderitaan yang tiada berakhir.
Pendek kata, lahir, tercerahkan dan meninggal merupakan sumbangan berharga waisak buat Bangsa.
Runutan proses sekaligus estafeta Sang Buddha menjadi tahapan yang tak bisa dibantah lagai. Kiranya, kita mengikutinya alur Sidhartha Gautama dari kematian, terlahir dan tercerahkan, maka tunggulah kehancuran bumi nusantara ini.
Inilah makna terdalam waisak bagi kebangkitan bangsa. Sepenggal puisi Chairil Anwar ’Sekali berarti, setelah itu mati’ pun layaknya kita dengungkan terus. Semoga apa yang diungkapkan Rizal Mallarangeng ilmuwan politik, Chairil Anwar tidak berbicara tentang kematian. Dengan kalimat tersebut, ia justru bicara tentang kehidupan, tentang esensi membangun, mencipta. Chairil Anwar memang mati muda, namun semangatnya tetap hidup sepanjang masa. Semoga keindahan dalam perbedaan mewujud di Indonesia. Selamat Hari Raya Waisak 2552/2008. Sabbe satta bhavantu sukhitata. Semoga semua mahkluk berbahagia.
*Penulis adalah Pegiat Studi Agama-Agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama.
[Dimuat di Harian Kompas Biro Jabar kolom Forum, 19/05/08]