Minggu, 25 Mei 2008

Efek

Efektivitas Pelarangan Ahmadiyah
Oleh UWES FATONI

Forum Umat Islam hari minggu (20/04) kemarin menggelar apel akbar mendukung pembubaran Ahmadiyah di Indonesia. Gerakan tersebut sebagai bentuk dukungan atas keluarnya rekomendasi Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat.


Pemerintah sendiri sedang menggodok SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut.

Gelombang tuntutan pembubaran itu tentu saja memunculkan reaksi dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan beberapa tokoh yang simpati. Mereka meminta presiden untuk tidak terpengaruh oleh desakan ormas Islam tersebut. JAI bahkan akan memperkarakan pemerintah ke pengadilan seandainya mereka benar-benar dilarang. Mereka merasa sudah terlalu lama menjadi korban kekerasan mulai dari pernyataan sesat, perusakan pusat kegiatan atau tempat ibadah dan terakhir penjegalan kegiatan Munas JAI di Bali.

Dalam catatan sejarah JAI sudah lama menjadi duri dalam daging bagi umat Islam. Pemikiran mereka yang menyimpang dari keyakinan mainstream umat menyebabkan mereka senantiasa mendapat cap sebagai aliran sesat. Nahdatul Ulama (NU) dalam Muktamar ke-50 tahun 1930 di Pekalongan telah menganggap Ahmadiyah masuk dalam kriteria kafir. Tahun 1980 MUI dalam Munas II memfatwakan Ahmadiyah sesat dan menyesatkan dan diperkuat kembali dalam Munas VII MUI tahun 2005. Di tingkat internasional Desember 1985 muncul keputusan dari Majma’ al-Fiqh Rabitha’ Alam Islami atau OKI (Organisasi Konferensi Islam) yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran di luar Islam.

Sekalipun begitu gencar tuduhan dan intimidasi ternyata JAI sampai saat ini tetap eksis. Pernyataan sesat tidak menyurutkan gerak langkah mereka untuk terus berkembang bahkan organisasi yang masuk ke Indonesia tahun 1935 ini telah berhasil mengantongi izin resmi sebagai badan hukum tahun 1953. Apakah keputusan pemerintah nanti akan mampu menghentikan gerak JAI atau sama saja tidak efektif seperti keputusan-keputusan yang telah dibuat sebelumnya?

Organisasi Internasional

JAI bukanlah sebuah aliran lokal yang mudah dianggap sesat dan kemudian dilarang seperti Lia “Eden” atau “al-Qiyadah al-Islamiyah” Ahmad Moshaddeq. Ia adalah organisasi yang berinduk di tingkat internasional yaitu Ahmadiyah Qadiyan dengan pusat di Lahore Pakistan.

Menurut situs resmi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (www.ahmadiyya.or.id) cikal bakal organisasi ini dibentuk oleh pendiri sekaligus tokoh utama aliran tersebut yaitu Mirza Gulam Ahmad tahun 1889. Selain menyebarluaskan ajaran tentang masih mau’ud (penyelamat yang dijanjikan) dan menyatakan dirinya sebagai Imam Mahdi serta Nabi setelah Muhamamad Saw dengan kitab suci “Tadzkirah”, Mirza Gulam Ahmad pun menciptakan gerakan al-Wasiyyat, yakni gerakan pengorbanan harta untuk memajukan dan menyebarluaskan Islam versinya ke seluruh dunia. Dibentuk pula sebuah badan utama (Sadr Anjuman) yang bertugas mengelola organisasi Ahmadiyah dengan sistem kepemimpinan khilafat.

Setelah Mirza Ghulam Ahmad wafat, kepemimpinan organisasi tersebut dipegang oleh Khalifatul Masih I, yaitu Hz. Mlv. Hafiz Hakim Nuruddin. Kemudian dilanjutkan oleh Khalifatul Masih II, Hz. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad yang pada masanya Jemaat Ahmadiyah mampu berkembang sampai ke Eropa, Afrika, Amerika dan Asia termasuk ke Indonesia. Tahun 1965 Khalifatul Masih III, Hz. Mirza Nasir Ahmad memegang kepemimpinan. Dan sejak 1982 sampai sekarang Khalifatul Masih IV dipegang oleh Hz. Mirza Tahir Ahmad.

Misi utama organisasi Ahmadiyah ini adalah pengiriman muballigh-muballigh ke mancanegara, penerjemahan Al-Quran dan tafsirnya ke dalam berbagai bahasa, pembangunan mesjid beserta sarana dan prasarananya, pengembangan literatur-literatur tentang keahmadiyahan dan terakhir pendirian televisi satelit MTA (Muslim Television Ahmadiyyah). Kini Jemaat Ahmadiyah telah tersebar di lebih dari 140 negara di dunia.

Di Indonesia Ahmadiyah masuk tahun 1925, dibawa oleh tiga orang santri Thawalib bernama Zaini Dahlan, Abu Bakar Ayyub, dan Ahmad Nuruddin. Dengan sokongan jaringan internasional, juga iuran anggota, tidak heran bila saat ini JAI memiliki 181 cabang yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia dengan fasilitas dan prasarana yang lengkap.

Selain itu juga kemampuan mereka untuk bertahan dari berbagai tekanan selama lebih dari 75 tahun di Indonesia telah melahirkan semangat dan militansi yang kuat di kalangan anggotanya. Mereka mampu mempertahankan keyakinan sekalipun ancaman dan tudingan datang silih berganti dari berbagai penjuru. Dalam sebuah wawancara di televisi swasta salah seorang juru bicara JAI menyatakan bila pemerintah RI sampai mengeluarkan pelarangan maka hanya organisasi saja yang akan terpengaruh. Adapun peribadatan dan keyakinan secara personal anggota JAI menurutnya akan tetap ada dan bertahan.

Dari sini kita melihat bahwa pelarangan Ahmadiyah oleh pemerintah tidak akan cukup efektif. Secara personal mereka merasa bahwa keyakinannya benar sehingga bila pelarangan tetap dikeluarkan maka tidak akan banyak perubahan. Bila secara organisasi JAI benar-benar dilarang bisa saja mereka mengubah namanya dengan nama lain seperti yang dilakukan Islam Jamaah yang organisasinya berubah berulang kali. Lebih berbahaya lagi bila JAI menjadi organisasi bawah tanah (underground) yang tidak tercatat secara resmi. Hal itu akan menyulitkan pemantuan oleh pemerintah atau masyarakat sekalipun.

Usaha Meminta JAI untuk menyetujui tuntutan dalam 10 butir kesepakatan sebagaimana beberapa waktu lalu dilakukan oleh Bakorpakem juga sangat mustahil untuk dilakukan. JAI adalah bagian dari organisasi internasional. Sangat tidak mungkin mereka akan berbeda faham atau menyalahi aturan organisasinya.

Sekalipun mereka kemudian mau mengubah dogma keyakinannya, justru yang dikhawatirkan itu adalah strategi politik mereka dalam rangka menyembunyikan identitas (taqiyah). Dalam sejarah Islam taqiyah sering digunakan oleh aliran minoritas untuk menyelamatkan diri dan kelompoknya dalam kondisi terjepit. JAI akan berpura-pura menyetujui kesepakatan, padahal suatu saat bila situasi telah kondusif keyakinan lama akan dihidupkan kembali. Ini tentu saja tidak akan menyelesaikan masalah.

Dengan demikian seyogyanya pemerintah tidak hanya mengeluarkan keputusan pelarangan saja tapi juga langkah-langkah follow up-nya. Salah satu diantara langkah persuasif yang mungkin cukup efektif yaitu memasukkan mereka menjadi anggota ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah untuk dibina dan diluruskan. Semoga benang kusut JAI ini bisa diselesaikan secara tuntas sebelum semakin kusut dan semakin sulit untuk diurai. Wallahu’alam

Uwes Fatoni, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Efek