Melestarikan Tradisi Lisan Sunda
ALI NUR
Liburan akhir pekan lepas saya mengunjungi orang tua di Kuningan, Jawa Barat. Kota kecil yang terkenal dalam sejarah Indonesia dengan tempat ’Perjanjian Linggarjati’ antara pemerintah Indonesia dan Belanda ini mempunyai kenangan tersendiri bagi saya terutama akan masyarakatnya yang kuat memelihara tradisi lisan bahasa ibu (bahasa Sunda).
Di tahun 1980-an, ketika saya masih menjadi pelajar di sekolah rendah, masyarakat Kuningan, tua muda dan anak-anak sangat gandrung (favorite) dengan sebuah acara berbahasa Sunda di radio yaitu siaran Dongeng Enteng (Cerita Ringan).
Acara ini adalah cerita bersambung berbahasa sunda yang disampaikan oleh pendongeng bernama Mang Jaya dan disiarkan secara langsung (live) di radio.
Dinamakan Dongeng Enteng karena cerita dalam siaran ini menggambarkan kehidupan keseharian masyarakat Sunda yang mudah dicerna oleh orang kebanyakan di kampung-kampung dengan dialog khas budaya Sunda yang banyak canda.
Cerita kehidupan sehari-hari ini dibumbui dengan kisah dunia persilatan atau pengembaraan seseorang yang sudah menuntut ilmu beladiri kemudian ’turun gunung’ (keluar dari padepokan) untuk mengamalkan ilmunya di masyarakat dalam membela kebenaran dan menumpas kejahatan.
Yang unik dalam acara ini adalah, Mang Jaya, sang pendongeng, bisa mengubah-ngubah jenis suara baik itu suara anak-anak, dewasa, laki-laki dan perempuan. Jadi meskipun dia hanya sendirian, tetapi cerita itu menjadi hidup seolah-olah banyak orang yang berperan dalam berdialog.
Setiap rumah waktu itu akan setia menunggu siaran yang berlangsung selama satu jam dalam satu hari ini. Ketinggalan satu hari saja, para pecinta acara ini akan merasa menyesal. Selain tidak bisa mengikuti alur cerita dengan sempurna, mereka juga akan kehilangan kesempatan mendengarkan petuah-petuah moral dan joke-joke segar khas Mang Jaya.
Satu judul cerita biasanya akan habis dalam waktu satu atau dua bulan tergantung panjangnya cerita.
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari acara Dongeng Enteng ini. Diantaranya adalah pembelajaran kepada masyarakat tentang nilai-nilai moral kebaikan dan perlunya membela kebenaran. Setiap orang yang membela kebenaran dan menumpas kejahatan akan dimenangkan dalam cerita ini.
Dengan Dongeng ini, anak-anak juga secara tidak langsung diajarkan nilai-nilai moral tentang bagaimana menghargai orang tua, pentingnya kejujuran dan nilai-nilai kebaikan lainnya yang perlu dimiliki oleh seorang anak.
Begitu juga nilai moral pentingnya ilmu pengetahuan dalam bermasyarakat. Orang yang berilmu tinggi akan dihormati dimasyarakat digambarkan dalam dongeng itu dalam sosok pendekar.
Pembelajaran lewat dongeng sangat efektif karena sifatnya tidak menggurui tetapi digambarkan dalam sosok seseorang, sehingga anak-anak ingin mencontohnya.
Selain pelajaran nilai moral seperti disebutkan diatas, pelajaran penting lainnya adalah Dongeng Enteng merupakan sarana melestarikan sastera dan bahasa ibu yaitu bahasa Sunda.
Sejak kecil, melalui dongeng itu saya bisa belajar seluk beluk bahasa baik itu pribahasa, tingkatan-tingkatan pemakaian bahasa dan sastra Sunda dari Mang Jaya. Dengan kata lain, Mang Jaya adalah guru bahasa Sunda pertama bagi anak-anak di Kuningan.
Lewat dongeng itu Mang Jaya mengajarkan bagaimana seharusnya bahasa yang halus dan kasar digunakan. Bahasa Sunda yang memang mempunyai tingkatan-tingkatan (hirarki) dalam penggunaannya diajarkan dalam dongeng itu.
Begitu juga idiom dan peribahasa Sunda yang jarang didapatkan dalam buku-buku bacaan akan dengan mudah diajarkan kepada masyarakat lewat dialog-dialog dalam cerita Dongeng Enteng.
Ini artinya, Mang Jaya, sang pendongeng sangat berjasa dalam melestarikan keberadaan sastera Sunda lewat bahasa lisan.
Sayang, ketika saya berkunjung ke kampung halaman minggu lepas, masyarakat di kampung sudah mulai meninggalkan acara Dongeng Enteng.
Hanya beberapa rumah saja yang masih setia mengikuti acara radio favorite tersebut. Itupun kebanyakan adalah hanya para orang tua, sementara remaja dan anak-anak tampak lebih peduli dengan film-film dan sinetron yang disiarkan televisi.
Nampaknya pemerintah daerah di Jawa Barat terutama Kuningan perlu memepertimbangkan bagaimana caranya agar acara seperti ini tidak kalah bersaing dengan acara hiburan lainnya baik di radio maupun televisi.
Mungkin pemerintah daerah perlu melestarikan acara Dongeng Enteng ini dengan cara merekamnya dalam bentuk Compact Disk (CD) dan mempromosikan penyiarannya di seluruh stasiun radio yang ada di Tatar Sunda, Jawa Barat.
Usaha untuk menuliskan bahasa lisan (dongeng) kedalam bentuk bahasa tulis (buku novel) perlu juga segera dirintis sebelum satu persatu pendongeng bahasa Sunda meninggal dunia. Selain menjaga hilangnya cerita karena meninggalnya sang pendongeng, dibukukannya dongeng dalam bahasa tulis bisa memperkaya referensi bahasa dan sastera Sunda.
Perlu juga dipikirkan untuk mencoba mengangkat cerita Dongeng Enteng ini ke dalam bentuk Film Layar Lebar. Bukankah pesan moral dan pembelajaran bahasa Sunda lewat dialog dalam bentuk visual seperti film akan lebih menarik bagi masyarakat terutama anak-anak.
Nampaknya para pemerhati bahasa dan sastera Sunda perlu belajar dari kegigihan peneliti dari Barat dalam mengalihkan bentuk bahasa lisan ke bentuk bahasa tulisan.
Usaha Julian P. Millie, peneliti dari Monash University, nampaknya perlu dicontoh. Millie, ditahun 2008 berhasil mengalihkan ceramah-ceramah lisan bahasa Sunda (dalam bentuk kaset) dari penceramah terkenal di Jawa Barat allahyarham A.F. Ghazali kedalam bentuk tulisan.
Beberapa ceramah agama allahyarham Ghazali berhasil ditranscript oleh Millie bukan hanya kedalam bentuk buku berbahasa Sunda bahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The People’s Religion: The Sermons of A.F. Ghazali.
Mudah-mudahan dimasa hadapan ada juga usaha-usaha pemerhati bahasa dan sastera Sunda yang mentranscript Dongeng Enteng ke dalam bentuk bahasa tulisan (buku) dan mengangkatnya ke layar lebar sekaligus.
Usaha-usaha pelestarian bahasa ibu tersebut tentunya tidak hanya berlaku bagi bahasa lisan Sunda. Mengalihkan tradisi bahasa lisan kebentuk bahasa tulisan baik itu bahasa Jawa, Melayu, ataupun bahasa lainnya perlu segera diusahakan jika ingin bahasa ibu itu tetap lestari dan bisa dipertahankan oleh generasi-generasi selanjutnya.
Selasa, 10 Februari 2009
[+/-] |
Lisan |
[+/-] |
Kentut |
Beyond of "Kentut"
DASAM SYAMSUDIN
Menurut teori per-konon-an, bahwa suara nyaring kentut bisa menimbulkan efek kaget pada sesorang. Sedangkan getarannya, bisa menimbulkan gempa yang lumayan menggucangkan daerah lokal di bagian tubuh dan tempat yang bersentuhan secara langsung. Memang, getarannya tidak lama seperti getaran Hp dan tidak mencapai angka tingi skalarihter. Paling-paling, kalau memang kentutnya sangat tinggi dan getarannya ganas, hanya akan mengakat bokong sipelaku kentut beberapa kaki dari daratan. Lumayan mengagetkan memang.
Dilihat dari jenis suaranya, suara kentut sangat beragam. Dan ragam suaranya itu bisa di interpretasikan dengan kondisi pelakunya. Dengan melakukan penelitian melalui data empiris dari pengalaman sendiri. Saya, bisa membagi interpretasi suara kentut tersebut menjadi beberapa ragam. Mudah-mudahan dengan menginterpretasikan kentut saya bisa jadi profesor. Dari banyaknya ragam suara kentut, besar dan kecil volumenya, juga disertai atau tidaknya dengan getaran. Saya bisa menyimpulkan bahwa suara kentut ada yang menunjukan kondisi seseorang bahagia, sedih, munafik, jahat, tergesa-gesa, dan lain-lain.
1. Kentut bahagia
Ciri kentut bahagia adalah, apabila seseorang kentut dengan suara yang agak nyaring, melepaskannya dengan suasana hati riang, dan suaranya tidak panjang juga tidak pendek. Satu lagi, suaranya tidak meledak dengan singkat, tapi, mengalir begitu saja disertai senyum penuh kenikmatan. Dan biasanya, sembari bokongnya menghembus juga mulutnya bersuara, “aaaaahhhhh…”
2. Kentut sedih
Tentunya kentut sedih sebaliknya dari kentut bahagia. Cuma, biasanya kentut sedih suaranya agak tajam disertai cengkok yang agak lambat dan sekali, seperti, ‘tttttuuuuuuuuuuuuuuuutttttttt’. Satu lagi, seorang yang kentut dengan macam ini. Biasanya membiarkan kentutnya terlepas dengan sendirinya, tidak dipaksa atau ditekan agar keluar dengan nyaring.
3. Kentut munafik atau hipokrit
Kentut munafik biasanya sangat tidak disukai. Karena, kentut jenis ini jelas tidak bersuara hanya mengeluarkan gas yang agak lama. Suaranya, “psssssssssssshhhhhhhhh”. Kendati tidak bersuara, tetap saja bisa diketahui keberadaanya, karena kentut jenis ini biasanya bau. Bahkan, bisa membunuh serangga kecil. Inilah kemunafikannya, keberadaanya sulit dideteksi dari bokong seseorang. Sehingga dari kentut munafiknya bisa menimbulkan keributan, seperti saling menuduh, saling fitnah dan memabukan. Kentut ini bisa berbahaya apabila terjadi pada daerah tertutup dan pengap. Oleh karenanya, apabila dimobil ada yang kentut semacam ini, demi keselamatan disarankan membuka jendela mobil.
4. Kentut jahat
Tidak salah lagi, kentut jahat adalah kentut yang suaranya nyaring dan baunya minta ampun. Jenis ini sangat tidak baik, karena jati diri pelakunya bisa rusak. Selain itu, pelakunya akan tertawa bahagia karena bisa memabukan seseorang dengan kentutnya. Satu lagi, pelakunya tidak merasa menyesal melakukannya, yang ada hanya bangga.
5. Kentut tergesa-gesa
Kentut ini tidak berbahaya. Biasanya terjadi apabila seseorang berjalan atau berlari tidak sempat menenangkan bokongnya, sehingga suara lepas sendiri.
6. Kentut pelit
Kentut ini biasanya dikeluarkan sedikit demi sedikit, karena pelakunya menahannya dan melepaskannya menjadi beberapa bagian yang saling menyusul. Bila seseorang kentutnyaseperti ini, biasanya dia pelit. Karena, jangankan harta, kentut saja pelit mengeluarkannya.
7. Kentut Seni
Nah, biasanya kentut seni kebanyakan keluar dari bokong seniman. Suaranya agak nyaring, dan jelas sekali kentutnya berirama dengan cengkok yang indah. Kalau bukan penyanyi, kalaupun berirama, suara kentutnya tetap akan sumbang atau fals.
8. Kentut berbuah
Kentut ini jarang terjadi. Kalaupun terjadi, biasanya kentut ini menghasilkan sesuatu yang tidak diharapkan. Secara audio, bokong seseorang akan menimbulkan suara persis suara kentut, di sisi lain, yang keluar dari bokongnya bukan hanya kentut, namun ada dzat lain yang ikut keluar, semacam agar-agar.
Untuk sementara sekian dulu. Karena jenis yang lain masih dalam tahap eksperimen, uji coba. Bersambung pada bagian dua.
[+/-] |
Jaipong |
Erotiskah Jaipongan?
SUKRON ABDILAH
Beberapa hari ini, seniman Sunda kembali dikejutkan pernyataan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, tentang jaipongan yang gerakannya harus diperhalus kembali. Dari pernyataan ini menyiratkan beberapa kemungkinan. Gerakan jaipongan itu masuk ke dalam gerakan erotis. Sebab Ahmad Heryawan – dengan pandangan subjektif-nya – merasa bahwa gerakan-gerakan jaipongan bisa membangkitkan seksual. Kadung saja, hal ini membuat gerah beberapa seniman Sunda di Jawa Barat. Termasuk saya.
Secara pribadi saya menyukai jaipongan dan merasa bahwa gerakan-gerakannya tidak erotis. Ketika menyaksikan tari jaipongan ini, saya tidak sampai berpikir macam-macam. Setiap gerak jaipongan sangat indah untuk dinikmati sehingga tidak sampai terpikir hal-hal yang dipikirkan lelaki hidung belang. Ini bukan berarti (maaf) pak
Ahmad Heryawan hidung belang, lho. Sebab, saya percaya Gubernur Jawa Barat ini termasuk orang yang bisa menundukan hawa nafsunya. Mungkin, latar belakang pendidikan beliau, yang lulusan Timur Tengah terbiasa dengan pandangan “hitam-putih” sehingga memandang seni dari sisi fisik dan material.
Padahal, seni adalah petanda dari suatu peradaban. Begitu juga dengan tari jaipongan. Di dalamnya ada berbagai gerak yang dinamis, plural, dan estetis untuk menyadari bahwa pergaulan masyarakat Sunda itu “miindung ka waktu, mibapa ka zaman” atau sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam bahasa lain, orang Sunda itu harus dinamis, pluralis, dan menghargai perbedaan. Satu hal yang membuat saya sedikit kecewa dengan pernyataan bahwa jaipongan harus diperhalus lagi gerakannya. Ada semacam intervensi kekuasaan atas kreativitas seni di suatu daerah. Ideologi yang dianut – meminjam Foucault – cenderung mendapatkan kekuatan ketika sebuah kekuasaan diduduki oleh sang penganut ideologi tersebut. Akibatnya, kebebasan berekspresi dalam hal ini, seni tari jaipongan eksistensi keasliannya terancam.
Saya sedikit memberikan saran saja kepada Gubernur Jawa Barat yang bukan berlatar belakang penikmat kesenian. Silahkan bentuk tim yang menciptakan genre baru di dalam jaipongan. Kelincahan para penari jaipongan bukan sebuah cela atau dosa. Seni berkaiatan dengan keindahan. Jadi, saya secara pribadi menganggap jaipongan sah-sah saja, tidak pornografis, apalagi erotis. Ketimbang bermain ke club untuk berdugem ria, lebih baik kita menggelar acara “tayuban”, jaipongan, dan pergelaran seni lainnya. Itu lebih menjaga jati diri kaum muda, kang. Bahkan, bisa menyelamatkan generasi muda dari ancaman narkotika dan obat terlarang. Selain itu, sebagai warga Sunda, jaipongan akan menjadi identitas lokal dan cita rasa khas beraroma Sunda itu bisa disaksikan ketika jaipongan tidak diusik-usik dengan dalih erotis dan pornografis.
Untuk para seniman Jawa Barat juga jangan lantas kebakaran jenggot. Ini tantangan baru untuk menciptakan gerak jaipongan yang sesuai dengan selera masyarakat. Mungkin, banyak masyarakat yang tidak mengapresiasi seni gerak ini dikarenakan alasan yang sama dengan Bapak Gubernur. Ingat, bahwa seni itu terus berkembang dan menciptakan kembali bentuknya yang baru. Dinamis, plural, dan fleksibel; seperti halnya gerak jaipongan yang dimanis itu. Mari kita cari jalan keluarnya bersama-sama.
Kita lihat aliran musik yang jumlahnya ratusan sehingga sampai sekarang, musik masih menempatkan diri di puncak seni yang banyak dinikmati banyak orang. Itu karena musik tidak berhenti berkreasi. Mungkin, pernyataaan Ahmad Heryawan adalah tantangan bagi seniman di Jawa Barat untuk kembali berkreasi menciptakan jaipongan seperti halnya yang dilakukan maestro tari tradisional Gugun Gumbira.
Begitu saja unek-unek dari saya. Seorang warga Sunda yang tidak ingin melihat jaipongan mati dalam hal ragam gerakannya yang indah. Saya tidak tahu teori tentang jaipongan, tetapi ketika menyaksikan jaipongan yang di setiap daerah berbeda-beda, terhanyut untuk ngibing bersama mereka. Tetapi, karena saya hanya duduk di bangku penonton, akhirnya pundak, tangan, dan kaki bergerak-gerak sendiri. Bahkan, hanya di dalam hati saja saya melakukan gerakan yang sama dengan si penari. Walah...mungkin pak Heryawan juga menari dan menginginkan gerakan yang sesuai dengan seleranya. Kalau begitu, mari kita ciptakan aliran baru dalam jaipongan. Sekadar informasi saja.
[+/-] |
Pemilu 2009 |
Pemilih Kritis atau Golput?
IU RUSLIANA
TAHUN 2009 merupakan tahun pemilu, karena bangsa Indonesia melaksanakan hajatan besar demokrasi untuk memilih anggota legislatif dari tingkat kota/kabupaten, provinsi dan pusat, perwakilan daerah (DPD), serta dilanjutkan dengan pemilihan presiden. Pada momen ini gairah demokrasi menampakkan iklim mengagumkan, karena memberikan peluang kepada siapa pun yang memiliki hak memilih dan dipilih, untuk menggunakan atau tidak.
Di tengah riuhnya arus demokrasi di Indonesia ini, muncul perdebatan soal seruan golput (pilihan untuk tidak memilih) dan perlu tidaknya fatwa haram, bagi yang tidak menggunakan hak pilih. Fenomena golput disinyalir akan mewarnai demokratisasi Pemilu 2009. Golput sebagai sikap politik, tentu mengundang perdebatan dari pelbagai kalangan, tak terkecuali Majelis Ulama Indonesia yang memfatwakannya sebagai haram. MUI mengimbau umat Islam menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009, karena keputusan golput dinilai akan membuat mubazir dana pemilu yang jumlahnya triliunan rupiah.
Lantas, bagaimana kita menjawab pertanyaan golput ataukah menggunakan hak pilih pada Pemilu 2009? Kecenderungan apakah yang menyebabkan angka golput semakin tinggi, dengan ditandai rendahnya tingkat partisipasi pemilik suara di setiap pelaksanaan pilkada?
Fatwa golput
Yang harus dicermati sekarang bukan apakah fatwa itu layak dikeluarkan atau tidak, salah atau tidak orang yang menyerukan golput. Namun, yang harus dijawab adalah masih adakah keputusan politik individu yang mungkin dilakukan secara objektif-rasional.
Secara umum, keputusan untuk tidak memilih dan golput bisa disebabkan dua hal. Pertama, buruknya sistem administrasi pemerintahan, sehingga banyak rakyat yang memiliki hak pilih kehilangan dan menghilangkannya. Fakta buruk itu terungkap dengan adanya kasus calon pemilih yang memiliki kartu pemilih dua dan lebih, bahkan sudah meninggal pun tetap mendapatkan undangan memilih.
Kedua, keputusan tidak memilih didasarkan pada argumentasi bahwa realitas di lapangan, sampai saat ini belum ada kebijakan politik yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Hanya elite politik yang merasakan keuntungan dari hajatan tersebut. Pemilu hanya merupakan dagelan politik yang tidak memiliki peran signifikan bagi perubahan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi yang lebih baik. Padahal biaya yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah sangat besar. Sementara yang terjadi hanyalah pergantian rezim, dengan perilaku politik dan memproduksi kebijakan yang kurang lebih sama.
Akibat kekecewaan itu, rakyat memandang bahwa memilih saat pemilu atau pilkada hanyalah kesia-siaan. Mereka berpendapat bahwa tetap bekerja atau istirahat di rumah lebih baik. Memilih untuk golput adalah hak politik individu. Namun, pilihan itu juga kurang tepat, mengingat sistem pendukung untuk menghasilkan kebijakan politik pembangunan diawali dengan memilih anggota DPRD, DPR, DPD, wali kota, bupati, gubernur, dan presiden, serta wakilnya.
Golput adalah politik protes. Namun, politik protes ini hanya berada di luar lingkar pembentukan kekuasaan yang dicita-citakan. Mungkin, jika yang memilih golput jumlahnya di atas 50 persen bisa terjadi huru-hara politik baru. Potensi penggulingan kekuasaan juga menjadi mungkin, walau sistem politik di Indonesia masih belum memungkinkan. Eksistensi pemerintahan terpilih bakal diragukan, karena bukan sebagai wakil suara mayoritas.
Mereka yang memilih golput, sesungguhnya bertujuan dan memiliki harapan untuk memiliki wakil rakyat atau pemimpin yang berpihak kepada rakyat. Golput lahir sebagai reaksi dan apatisme atas semua fenomena politik yang dipandang telah rusak secara akut. Sementara itu, eksistensi dan peran partai tidak memenuhi harapan masyarakat. Partai politik beserta para kadernya tidak "mengenal" dan "dikenal" rakyat, karena gerakannya cenderung sporadis. Misalnya, mereka sekadar menebar janji politik saat pemilihan.
Pemilih kritis
Kondisi di atas, tentunya memicu kekecewaan sebagian warga sehingga memengaruhinya dalam penentuan sikap pada Pemilu 2009. Kalaulah demikian, mengapa kita tidak melakukan perlawanan dengan menolak politikus busuk dan memilih secara kritis? Waktu kampanye yang cukup panjang, seharusnya menjadi kesempatan untuk mengidentifikasi partai, caleg, dan capres yang pantas dipilih. Memilih secara kritis berarti memilih secara cerdas.
Pemilih cerdas artinya memilih dengan nurani serta mencari informasi yang cukup, tentang calon akan dipilih pada Pemilu 2009. Hak pilih itu ada dalam setiap warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih, sebagaimana diatur undang-undang. Maka, hak pilihnya seharusnya dapat digunakan untuk kepentingan masa depan sendiri dan bangsa. Kondisi bangsa ke depan semestinya ditentukan oleh rakyat dengan cara memilih secara kritis. Sebab, pilihan kita sangat berpengaruh bagi penentuan arah perjalanan bangsa ke depan.
Dengan demikian, selain faktor pemilih yang harus aktif mencari informasi, peran partai dan lembaga pendidikan pemilih serta penyelenggara pemilu (parpol dan KPU) menjadi penting untuk mengedukasi calon pemilih. Sesungguhnya masih ada politikus yang bersih –meski sedikit– dan di pundak merekalah harapan perubahan bangsa itu terletak. Selain itu, masih ada partai politik yang mampu memproduksi kader yang berkualitas dan memiliki integritas moral yang tinggi.
Nah, kepada politikus dan partai politik semacam itulah, kita dapat memberikan suara dan menyalurkan aspirasi. Suara hati (nurani) dan pengetahuan kita juga yang dapat menentukan mana politikus dan partai politik yang bersih. Oleh karena itu, mengakses pengetahuan dan penyampaian informasi kepada publik secara tepat dan akurat merupakan sesuatu yang penting. Pada konteks Pemilu 2009, memilih secara kritis artinya memilih dengan berlandaskan pada pengetahuan mengenai kualitas calon anggota legislatif dan platform yang diusung partai politik. Dengan demikian, partai politik berkewajiban memberitahukan kepada publik mengenai track record seseorang, yang akan dicalonkan partai politik. Wallaahu a’lam.***
Iu rusliana, staf pengajar Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, pemilih terdaftar pada Pemilu 2009, tinggal di Bandung.
(Artikel ini dimuat di Pikiran Rakyat, 09/02/2009)