Selasa, 10 Februari 2009

Lisan

Melestarikan Tradisi Lisan Sunda
ALI NUR

Liburan akhir pekan lepas saya mengunjungi orang tua di Kuningan, Jawa Barat. Kota kecil yang terkenal dalam sejarah Indonesia dengan tempat ’Perjanjian Linggarjati’ antara pemerintah Indonesia dan Belanda ini mempunyai kenangan tersendiri bagi saya terutama akan masyarakatnya yang kuat memelihara tradisi lisan bahasa ibu (bahasa Sunda).

Di tahun 1980-an, ketika saya masih menjadi pelajar di sekolah rendah, masyarakat Kuningan, tua muda dan anak-anak sangat gandrung (favorite) dengan sebuah acara berbahasa Sunda di radio yaitu siaran Dongeng Enteng (Cerita Ringan).

Acara ini adalah cerita bersambung berbahasa sunda yang disampaikan oleh pendongeng bernama Mang Jaya dan disiarkan secara langsung (live) di radio.

Dinamakan Dongeng Enteng karena cerita dalam siaran ini menggambarkan kehidupan keseharian masyarakat Sunda yang mudah dicerna oleh orang kebanyakan di kampung-kampung dengan dialog khas budaya Sunda yang banyak canda.

Cerita kehidupan sehari-hari ini dibumbui dengan kisah dunia persilatan atau pengembaraan seseorang yang sudah menuntut ilmu beladiri kemudian ’turun gunung’ (keluar dari padepokan) untuk mengamalkan ilmunya di masyarakat dalam membela kebenaran dan menumpas kejahatan.

Yang unik dalam acara ini adalah, Mang Jaya, sang pendongeng, bisa mengubah-ngubah jenis suara baik itu suara anak-anak, dewasa, laki-laki dan perempuan. Jadi meskipun dia hanya sendirian, tetapi cerita itu menjadi hidup seolah-olah banyak orang yang berperan dalam berdialog.

Setiap rumah waktu itu akan setia menunggu siaran yang berlangsung selama satu jam dalam satu hari ini. Ketinggalan satu hari saja, para pecinta acara ini akan merasa menyesal. Selain tidak bisa mengikuti alur cerita dengan sempurna, mereka juga akan kehilangan kesempatan mendengarkan petuah-petuah moral dan joke-joke segar khas Mang Jaya.

Satu judul cerita biasanya akan habis dalam waktu satu atau dua bulan tergantung panjangnya cerita.

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari acara Dongeng Enteng ini. Diantaranya adalah pembelajaran kepada masyarakat tentang nilai-nilai moral kebaikan dan perlunya membela kebenaran. Setiap orang yang membela kebenaran dan menumpas kejahatan akan dimenangkan dalam cerita ini.

Dengan Dongeng ini, anak-anak juga secara tidak langsung diajarkan nilai-nilai moral tentang bagaimana menghargai orang tua, pentingnya kejujuran dan nilai-nilai kebaikan lainnya yang perlu dimiliki oleh seorang anak.

Begitu juga nilai moral pentingnya ilmu pengetahuan dalam bermasyarakat. Orang yang berilmu tinggi akan dihormati dimasyarakat digambarkan dalam dongeng itu dalam sosok pendekar.

Pembelajaran lewat dongeng sangat efektif karena sifatnya tidak menggurui tetapi digambarkan dalam sosok seseorang, sehingga anak-anak ingin mencontohnya.

Selain pelajaran nilai moral seperti disebutkan diatas, pelajaran penting lainnya adalah Dongeng Enteng merupakan sarana melestarikan sastera dan bahasa ibu yaitu bahasa Sunda.

Sejak kecil, melalui dongeng itu saya bisa belajar seluk beluk bahasa baik itu pribahasa, tingkatan-tingkatan pemakaian bahasa dan sastra Sunda dari Mang Jaya. Dengan kata lain, Mang Jaya adalah guru bahasa Sunda pertama bagi anak-anak di Kuningan.

Lewat dongeng itu Mang Jaya mengajarkan bagaimana seharusnya bahasa yang halus dan kasar digunakan. Bahasa Sunda yang memang mempunyai tingkatan-tingkatan (hirarki) dalam penggunaannya diajarkan dalam dongeng itu.

Begitu juga idiom dan peribahasa Sunda yang jarang didapatkan dalam buku-buku bacaan akan dengan mudah diajarkan kepada masyarakat lewat dialog-dialog dalam cerita Dongeng Enteng.

Ini artinya, Mang Jaya, sang pendongeng sangat berjasa dalam melestarikan keberadaan sastera Sunda lewat bahasa lisan.

Sayang, ketika saya berkunjung ke kampung halaman minggu lepas, masyarakat di kampung sudah mulai meninggalkan acara Dongeng Enteng.

Hanya beberapa rumah saja yang masih setia mengikuti acara radio favorite tersebut. Itupun kebanyakan adalah hanya para orang tua, sementara remaja dan anak-anak tampak lebih peduli dengan film-film dan sinetron yang disiarkan televisi.

Nampaknya pemerintah daerah di Jawa Barat terutama Kuningan perlu memepertimbangkan bagaimana caranya agar acara seperti ini tidak kalah bersaing dengan acara hiburan lainnya baik di radio maupun televisi.

Mungkin pemerintah daerah perlu melestarikan acara Dongeng Enteng ini dengan cara merekamnya dalam bentuk Compact Disk (CD) dan mempromosikan penyiarannya di seluruh stasiun radio yang ada di Tatar Sunda, Jawa Barat.

Usaha untuk menuliskan bahasa lisan (dongeng) kedalam bentuk bahasa tulis (buku novel) perlu juga segera dirintis sebelum satu persatu pendongeng bahasa Sunda meninggal dunia. Selain menjaga hilangnya cerita karena meninggalnya sang pendongeng, dibukukannya dongeng dalam bahasa tulis bisa memperkaya referensi bahasa dan sastera Sunda.

Perlu juga dipikirkan untuk mencoba mengangkat cerita Dongeng Enteng ini ke dalam bentuk Film Layar Lebar. Bukankah pesan moral dan pembelajaran bahasa Sunda lewat dialog dalam bentuk visual seperti film akan lebih menarik bagi masyarakat terutama anak-anak.

Nampaknya para pemerhati bahasa dan sastera Sunda perlu belajar dari kegigihan peneliti dari Barat dalam mengalihkan bentuk bahasa lisan ke bentuk bahasa tulisan.

Usaha Julian P. Millie, peneliti dari Monash University, nampaknya perlu dicontoh. Millie, ditahun 2008 berhasil mengalihkan ceramah-ceramah lisan bahasa Sunda (dalam bentuk kaset) dari penceramah terkenal di Jawa Barat allahyarham A.F. Ghazali kedalam bentuk tulisan.

Beberapa ceramah agama allahyarham Ghazali berhasil ditranscript oleh Millie bukan hanya kedalam bentuk buku berbahasa Sunda bahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The People’s Religion: The Sermons of A.F. Ghazali.

Mudah-mudahan dimasa hadapan ada juga usaha-usaha pemerhati bahasa dan sastera Sunda yang mentranscript Dongeng Enteng ke dalam bentuk bahasa tulisan (buku) dan mengangkatnya ke layar lebar sekaligus.

Usaha-usaha pelestarian bahasa ibu tersebut tentunya tidak hanya berlaku bagi bahasa lisan Sunda. Mengalihkan tradisi bahasa lisan kebentuk bahasa tulisan baik itu bahasa Jawa, Melayu, ataupun bahasa lainnya perlu segera diusahakan jika ingin bahasa ibu itu tetap lestari dan bisa dipertahankan oleh generasi-generasi selanjutnya.

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Lisan