Selasa, 10 Februari 2009

Pemilu 2009

Pemilih Kritis atau Golput?
IU RUSLIANA

TAHUN 2009 merupakan tahun pemilu, karena bangsa Indonesia melaksanakan hajatan besar demokrasi untuk memilih anggota legislatif dari tingkat kota/kabupaten, provinsi dan pusat, perwakilan daerah (DPD), serta dilanjutkan dengan pemilihan presiden. Pada momen ini gairah demokrasi menampakkan iklim mengagumkan, karena memberikan peluang kepada siapa pun yang memiliki hak memilih dan dipilih, untuk menggunakan atau tidak.

Di tengah riuhnya arus demokrasi di Indonesia ini, muncul perdebatan soal seruan golput (pilihan untuk tidak memilih) dan perlu tidaknya fatwa haram, bagi yang tidak menggunakan hak pilih. Fenomena golput disinyalir akan mewarnai demokratisasi Pemilu 2009. Golput sebagai sikap politik, tentu mengundang perdebatan dari pelbagai kalangan, tak terkecuali Majelis Ulama Indonesia yang memfatwakannya sebagai haram. MUI mengimbau umat Islam menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009, karena keputusan golput dinilai akan membuat mubazir dana pemilu yang jumlahnya triliunan rupiah.

Lantas, bagaimana kita menjawab pertanyaan golput ataukah menggunakan hak pilih pada Pemilu 2009? Kecenderungan apakah yang menyebabkan angka golput semakin tinggi, dengan ditandai rendahnya tingkat partisipasi pemilik suara di setiap pelaksanaan pilkada?

Fatwa golput

Yang harus dicermati sekarang bukan apakah fatwa itu layak dikeluarkan atau tidak, salah atau tidak orang yang menyerukan golput. Namun, yang harus dijawab adalah masih adakah keputusan politik individu yang mungkin dilakukan secara objektif-rasional.

Secara umum, keputusan untuk tidak memilih dan golput bisa disebabkan dua hal. Pertama, buruknya sistem administrasi pemerintahan, sehingga banyak rakyat yang memiliki hak pilih kehilangan dan menghilangkannya. Fakta buruk itu terungkap dengan adanya kasus calon pemilih yang memiliki kartu pemilih dua dan lebih, bahkan sudah meninggal pun tetap mendapatkan undangan memilih.

Kedua, keputusan tidak memilih didasarkan pada argumentasi bahwa realitas di lapangan, sampai saat ini belum ada kebijakan politik yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Hanya elite politik yang merasakan keuntungan dari hajatan tersebut. Pemilu hanya merupakan dagelan politik yang tidak memiliki peran signifikan bagi perubahan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi yang lebih baik. Padahal biaya yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah sangat besar. Sementara yang terjadi hanyalah pergantian rezim, dengan perilaku politik dan memproduksi kebijakan yang kurang lebih sama.

Akibat kekecewaan itu, rakyat memandang bahwa memilih saat pemilu atau pilkada hanyalah kesia-siaan. Mereka berpendapat bahwa tetap bekerja atau istirahat di rumah lebih baik. Memilih untuk golput adalah hak politik individu. Namun, pilihan itu juga kurang tepat, mengingat sistem pendukung untuk menghasilkan kebijakan politik pembangunan diawali dengan memilih anggota DPRD, DPR, DPD, wali kota, bupati, gubernur, dan presiden, serta wakilnya.

Golput adalah politik protes. Namun, politik protes ini hanya berada di luar lingkar pembentukan kekuasaan yang dicita-citakan. Mungkin, jika yang memilih golput jumlahnya di atas 50 persen bisa terjadi huru-hara politik baru. Potensi penggulingan kekuasaan juga menjadi mungkin, walau sistem politik di Indonesia masih belum memungkinkan. Eksistensi pemerintahan terpilih bakal diragukan, karena bukan sebagai wakil suara mayoritas.

Mereka yang memilih golput, sesungguhnya bertujuan dan memiliki harapan untuk memiliki wakil rakyat atau pemimpin yang berpihak kepada rakyat. Golput lahir sebagai reaksi dan apatisme atas semua fenomena politik yang dipandang telah rusak secara akut. Sementara itu, eksistensi dan peran partai tidak memenuhi harapan masyarakat. Partai politik beserta para kadernya tidak "mengenal" dan "dikenal" rakyat, karena gerakannya cenderung sporadis. Misalnya, mereka sekadar menebar janji politik saat pemilihan.

Pemilih kritis

Kondisi di atas, tentunya memicu kekecewaan sebagian warga sehingga memengaruhinya dalam penentuan sikap pada Pemilu 2009. Kalaulah demikian, mengapa kita tidak melakukan perlawanan dengan menolak politikus busuk dan memilih secara kritis? Waktu kampanye yang cukup panjang, seharusnya menjadi kesempatan untuk mengidentifikasi partai, caleg, dan capres yang pantas dipilih. Memilih secara kritis berarti memilih secara cerdas.

Pemilih cerdas artinya memilih dengan nurani serta mencari informasi yang cukup, tentang calon akan dipilih pada Pemilu 2009. Hak pilih itu ada dalam setiap warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih, sebagaimana diatur undang-undang. Maka, hak pilihnya seharusnya dapat digunakan untuk kepentingan masa depan sendiri dan bangsa. Kondisi bangsa ke depan semestinya ditentukan oleh rakyat dengan cara memilih secara kritis. Sebab, pilihan kita sangat berpengaruh bagi penentuan arah perjalanan bangsa ke depan.

Dengan demikian, selain faktor pemilih yang harus aktif mencari informasi, peran partai dan lembaga pendidikan pemilih serta penyelenggara pemilu (parpol dan KPU) menjadi penting untuk mengedukasi calon pemilih. Sesungguhnya masih ada politikus yang bersih –meski sedikit– dan di pundak merekalah harapan perubahan bangsa itu terletak. Selain itu, masih ada partai politik yang mampu memproduksi kader yang berkualitas dan memiliki integritas moral yang tinggi.

Nah, kepada politikus dan partai politik semacam itulah, kita dapat memberikan suara dan menyalurkan aspirasi. Suara hati (nurani) dan pengetahuan kita juga yang dapat menentukan mana politikus dan partai politik yang bersih. Oleh karena itu, mengakses pengetahuan dan penyampaian informasi kepada publik secara tepat dan akurat merupakan sesuatu yang penting. Pada konteks Pemilu 2009, memilih secara kritis artinya memilih dengan berlandaskan pada pengetahuan mengenai kualitas calon anggota legislatif dan platform yang diusung partai politik. Dengan demikian, partai politik berkewajiban memberitahukan kepada publik mengenai track record seseorang, yang akan dicalonkan partai politik. Wallaahu a’lam.***

Iu rusliana, staf pengajar Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, pemilih terdaftar pada Pemilu 2009, tinggal di Bandung.
(Artikel ini dimuat di Pikiran Rakyat, 09/02/2009)

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Pemilu 2009