Jejak
Oleh fani Ahmad Fasani
Ia datang dari arah hilang, perasaan asing dan ditinggalkan. Malam begitu tenang. Beberapa helai doa mengambang di udara yang berat, daun turut jatuh. Suara tangis tertahan dikejauhan, seperti memangil-manggil, seperti aroma kopi meruap mengundang. Tangisan itu bagai pita tipis yang terbentang di udara, menuntun untuk menyusuri jejak-jejak kepedihan ketempat asalnya.
Ada yang bangkit diam-diam, saksi pusara bisu. Seperti saat-saat ziarah ke makam kakek nenek dulunya, ayah memimpin doa dan ibu tertunduk syahdu. Lelaki kecil lebih suka memperhatikan wajah mereka tinimbang mengamini atau sesekali memperhatikan lumut-lumut terpanggang di atas nisan. Kini tinggal jejak, bukan kenangan itu. Ah, kenangan yang mengenang.. Bulan di atas langit tersenyum lesu, daun-daun kestuba tergeletak antara nisan, menyimpan doa dan membisikannya lirih, tenang dan fasih, corak kuning di atas daun itu seperti kaligrafi yang ditulis tangan gaib tak ada cela, daun-daun yang masih di ranting menatap sinis. “Lain kali, nasibkupun menggenggam doa-doa”, memalingkan wajahnya tertiup angin.
Bunga kemboja menahan tawa. Ada yang menyapa bulan dalam diam yang sarat. Ia merasakan kehadiran yang begitu ringan, dan entah kenapa seolah tak perlu bahasa untuk menyatakannya, atau setidaknya tidak dengan bahasa yang dulu mengiringi tiap langkah, gerak, rencana dan sebagainya yang segalanya. Kesederhanaan yang menggelora, pernah saling intai dengan bahasa dan ia sendiri tak pernah merasa cukup tangguh menghadapinya, selalu merasa dipecundangi bekali-kali. Tapi kini ia merasa akrab denganmya, bergandengan tangan menyimak segala ada. Bahkan seribu satu ungkapan lain tentang seorang perempuan menyeka air mata di pipinya, yang pernah datang disuatu siang.
Tak terlalu banyak yang hadir siang itu, matahari dengan jenaka mengerling tajam ketabahan. Tak ada suasana yang berlebihan kecuali keluarga almarhum yang mengambil napas panjang-panjang. Jenazah diturunkan, tubuh dalam kafan terlihat kecil namun berat dan malas. Para penggali menurunkannya dengan menjaga kesan kehati-hatian. Tiga orang bocah menengok ke dalam lubang dengan keriangan dan keingintahuan serta kengerian yang tulus. Mereka menggengam tanah kecil-kecil dan melempar-lemparkannya ke dalam lubang, sejak timbunan tanah pertama. Naya kecil lain lagi, ia menarik-narik rok ibunya.
“Bu, kenapa paman dimasukin ke tanah bu? Apa paman nakal?”
“Tidak sayang, pamanmu tidak nakal, justru ia orang baik makanya sebentar lagi ia bertemu tuhan..”
“Kenapa nggak ketemu di rumah aja bu?”
“Nggak sayang, nggak mungkin ketemu di rumah. Harus di dalam tanah..”
“Apa tuhan malu sama kita ya bu?” Ibu itu tersenyum kemudian mengecup kening Naya kecil, memeluknya.
“Sstt.. jangan berisik sayang, kakek mau berdoa buat paman”
Seorang lelaki tua berjongkok, seorang laki-laki muda menyodorkan buku doa, kemudian dengan jari-jari gemetar lelaki tua itu menerimanya merogoh kacamata dari saku bajunya kemudian membuka mencari-cari halaman untuk doa talqin. Setelah ia mendapati halaman itu, ia menatap para hadirin memastikan mereka mengamini nanti, kemudian mendehem berharap sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya lepas dan menjernihkan suaranya. Dalam hati lelaki tua itu bergumam “Jika nanti dua penanya itu datang, jangan kau bergeming anakku, jawab mereka dengan hati yang lantang, dengan puisi paling cemerlang”. Ia kemudian membaca doa dengan kalimat yang fasih dan hati-hati, tak ada satu huruppun yang diijinkan untuk terpeleset seincipun demi terlaksananya makna, demi petuah yang paling akhir ini.
Satu dua meninggalkan pemakaman, anak-anak pulang dengan berbagai warna di kepalanya. Tinggal beberapa orang mengaji mengelilingi gundukan tanah merah bisu di tengah terik. Lelaki tua menyeka keringat di keningnya, ada sekelumit rasa di hatinya yang ia tekan, semakin dalam semakin ia kehilangan keseimbangan di batinnya. Tuhan, secepat ini yang paling muda kau jemput, mengapa tidak aku saja. Aku yang bersalah memberi cerminan menyeka harapan di hidup yang berlumpur. Apakah ia hanya patut bagimu?
“Kepalaku pening..”
“Ayah harus pulang dan istirahat sebelum nanti kambuh”. Lekaki muda memegang buku doa. Menatap langkah-langkah tua yang kalah. Seorang perempuan menghampiri lelaki itu.
“Aku turut berduka..”
“Terimakasih, tapi jika kau hendak menuruti rasa dukamu, buat itu untukmu sendiri”. Ia menatap malas pada gundukan tanah, kemudian bibirnya bergerak-gerak seperti menggumamkan doa. “Rencananya telah tuntas, semoga ia puas. Longgarkan hatimu untuk kesalahan adikku, semoga ia benar-benar puas”.
“Maafkan aku, aku tak sempat menengoknya waktu di Rumah Sakit”
“Tak apa, ia selalu bilang pada temannya yang datang. Rumah sakit bukan tempat yang bagus buat bertemu, kau tahu? Ia begitu merindukan warung kopi. Sekarang, hanya mimpi yang mungkin menjadi tempat pertemuan”. Perempuan itu tersenyum pahit.
“Apa ia menyebut-nyebut tentangku?”
“Tidak, yang paling tidak mungkin ia katakan adalah apa yang paling ingin ia katakan. Ia hanya akan menuliskan sesuatu kemudian membuangnya segera”.
“Ia pernah mengirimkannya beberapa kali”. Perempuan itu mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya.
“Simpanlah untukmu saja, atau lebih baik melenyapkannya”. Perempuan itu memasukan kembali kertas-kertas itu. Kemudian menatap makam baru itu dengan perasaan yang rawan, ia merasa bulatan hitam di matanya mencair seketika, pandangannya berkabut, seharusnya ia tak datang kemari pikirnya. Mengapa ia tak puas dengan hanya mendengar kabar.
“Di hari-hari akhirnya kuharap ia tidak merasakan derita..” Lelaki itu tersenyum mendengar gumaman perempuan itu. Kemudian tertunduk dengan mata yang nanar.
“Tidak, ia selalu bilang; kemungkinan terburuk dari kehidupan cuma satu, yaitu kematian. Bukankah semua orang akan mengalaminya? Selaknat apapun derita, mereka takkan lama..”
“Baiklah.. Aku harus segera pergi”. Perempuan itu melangkah, tapi tiba-tiba ia mendengar lelaki itu berbicara dengan kalimat yang ditekan.
“Kau tahu, kami bahkan tak berhak merasa sedih atas ini. Karena kami terpaksa berdoa untuk kematiannya, kami tak sanggup lagi.. melihat ia terlalu lama berpura-pura tidak menderita, dan sialnya kami tak bisa membawanya ke tempat yang lebih baik daripada tempat terakhirnya dirawat. Jantungnya yang tak terlalu kuat itu akhirnya menanggapi doa kami..” Perempuan itu berlalu, melangkah lelah.
Malam telah sempurna berdandan, merapikan segala nyala disekitar bulan. Ada yang menyelinap antara angin dan perasaan kehilangan. Ia berjalan, menyusuri ingatan yang terarah untuknya, menapaki desir dan kenangan. Angin berhembus melewati celah diatas jendela, suara tangis yang tertahan di dekat lampu tidur temaram saja. Perempuan itu sebentar bangkit menyeka basah di pipi kemudian menyibak gorden menatap bulan, membayangkan sesosok wajah yang pucat dan nyeri. Kemudian dengan tubuh lesu ia terduduk di atas ranjang. Tuhan, aku telah menoreh luka yang terlalu dalam dan panjang di hidupnya yang sejengkal. Lalu mendekap bantal, telungkup menghadap tembok.
“Sudahlah.. tak ada yang mesti ditangisi”, seorang laki-laki memeluk punggungnya, perempuan itu membalikan tubuh, mendapati senyuman ramah dan akrab. Matanya sayu dan tulus, kemudian laki-laki itu mengulurkan tangannya mengusap pipi perempuan. Jari-jarinya lembut, namun perlahan jari-jari itu mengabur perlahan terus beranjak memupus bayangan tangannya, merambat ke dada terus meremang terus.. Perempuan itu ingin menggapai tangan itu, namun hanya udara kosong dan kalimat selamat tinggal yang tak sempat.
Perempuan itu membuka matanya, mendapati bantalnya basah, mengusap tenguknya sendiri. Kemudian ia membalikan bantalnya, tuhan.. jangan kau beri aku mimpi tentang seseorang yang telah mati. Kemudian memejamkan mata, mencoba kembali tidur []
Cileunyi, 11 Februari 2007
Sabtu, 12 Januari 2008
[+/-] |
Jejak |
Kamis, 10 Januari 2008
[+/-] |
Kebenaran |
Soliloqui: Menyantap Kebenaran
Oleh Badru Tamam Mifka
Benarkah setiap "kebenaran" selalu mungkin diberi tanda kurung dan di
dalamnya ia punya kemungkinan untuk bisa dilukai?
Pantaskah saya menjawab "benar" untuk jawaban diatas sebagai
pernyataan miniatur dari keyakinan yang saya pegang?
Saya kesulitan bermain dadu diantara keraguan dan keyakinan yang
mutlak terlukai. Antara harapan untuk meragukan segala sesuatu dan
keyakinan yang tak henti digugat. Tak ada titik final bagi kebenaran,
seperti juga tak ada titik final bagi keberlangsungan eksistensi
manusia dengan segenap perangkat nalar dan sebagainya. Jadi,
barangkali tak terlalu salah jika kita tak akan pernah sampai pada
titik yang sebenarnya. Yang ada hanyalah rasa humor yang tinggi bagi
kecemasan kita dalam memahami dunia, Tuhan dan tetek bengek lainnya.
Tentu saja, dalam selera pandang yang berbeda, dan saya mesti--dalam
hal tertentu--meyakini bahwa saya bisa meyukai humor sampai mati.
Bukankah itu "kebenaran" yang pribadi, dan itu absah.
Persoalannya, kenapa kita tak juga berhenti menghibur diri dalam
pelbagai keyakinan-diri yang dibangun dengan menghalalkan caci-maki,
darah dan sebagainya dan sebagainya? Sementara kita tak peduli pada
akibat-akibat universal, misalnya, dari sebab-sebab parsial seperti
merampas hak orang lain untuk berpikir dan berkeyakinan dengan jujur
dan baik.
Atau barangkali kita seperti menyantap kebenaran diatas meja makan
yang sama, seperti rasa kenyang selalu akan hilang beberapa jam
kemudian...setelah kita membuang sesuatu yang menjijikan dari anus
nalar dan kesombongan kita, diatas kepala orang lain...
Dalam pemikiran dan lainnya, saya hanya punya niat sederhana: setelah
makan malam, saya selalu menyempatkan diri untuk membuktikan-diri
bahwa saya suka humor, seperti juga tusuk gigi yang dibuang setelah
pakai, dan kembali diingat setiapkali saya selesai makan...
Catatan Harian, Desember 2007