Kamis, 10 Januari 2008

Kebenaran

Soliloqui: Menyantap Kebenaran
Oleh Badru Tamam Mifka

Benarkah setiap "kebenaran" selalu mungkin diberi tanda kurung dan di
dalamnya ia punya kemungkinan untuk bisa dilukai?
Pantaskah saya menjawab "benar" untuk jawaban diatas sebagai
pernyataan miniatur dari keyakinan yang saya pegang?

Saya kesulitan bermain dadu diantara keraguan dan keyakinan yang
mutlak terlukai. Antara harapan untuk meragukan segala sesuatu dan
keyakinan yang tak henti digugat. Tak ada titik final bagi kebenaran,
seperti juga tak ada titik final bagi keberlangsungan eksistensi
manusia dengan segenap perangkat nalar dan sebagainya. Jadi,
barangkali tak terlalu salah jika kita tak akan pernah sampai pada
titik yang sebenarnya. Yang ada hanyalah rasa humor yang tinggi bagi
kecemasan kita dalam memahami dunia, Tuhan dan tetek bengek lainnya.
Tentu saja, dalam selera pandang yang berbeda, dan saya mesti--dalam
hal tertentu--meyakini bahwa saya bisa meyukai humor sampai mati.
Bukankah itu "kebenaran" yang pribadi, dan itu absah.

Persoalannya, kenapa kita tak juga berhenti menghibur diri dalam
pelbagai keyakinan-diri yang dibangun dengan menghalalkan caci-maki,
darah dan sebagainya dan sebagainya? Sementara kita tak peduli pada
akibat-akibat universal, misalnya, dari sebab-sebab parsial seperti
merampas hak orang lain untuk berpikir dan berkeyakinan dengan jujur
dan baik.

Atau barangkali kita seperti menyantap kebenaran diatas meja makan
yang sama, seperti rasa kenyang selalu akan hilang beberapa jam
kemudian...setelah kita membuang sesuatu yang menjijikan dari anus
nalar dan kesombongan kita, diatas kepala orang lain...

Dalam pemikiran dan lainnya, saya hanya punya niat sederhana: setelah
makan malam, saya selalu menyempatkan diri untuk membuktikan-diri
bahwa saya suka humor, seperti juga tusuk gigi yang dibuang setelah
pakai, dan kembali diingat setiapkali saya selesai makan...

Catatan Harian, Desember 2007

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Kebenaran