Pelajaran dari Film Laskar Pelangi
Oleh ALI NUR
Sebulan terakhir ini tepatnya sejak 25 September, bioskop-bioskop di Indonesia dibanjiri penonton yang penasaran untuk menonton film Laskar Pelangi.
Sudah lebih dari 2 juta orang menyaksikan film ini sejak mulai diputar sebulan yang lalu.
Kepenasaranan masyarakat Indonesia terhadap film ini juga menggugah Presiden Yudhoyono untuk menontonnya.
Maka pada 8 Oktober yang lalu, didampingi beberapa menteri kabinetnya, Dr. Yudhoyono menyaksikan film ini di Blitzmegaplex Grand, Jakarta.
Apa yang membuat film ini begitu istimewa dan mengundang penasaran para pecinta film untuk menontonnya termasuk seorang kepala negara?
Film ini sebagaimana film popular sebelumnya Ayat-ayat Cinta, diangkat dari sebuah novel terkenal di Indonesia dengan judul yang sama Laskar Pelangi.
Novel ini merupakan novel pertama dari empat novel tetralogi yang ditulis Andrea Hirata. Novel selanjutnya adalah Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah karpov.
Berbeda dengan film Ayat-ayat Cinta yang mengambil setting di Mesir, Laskar Pelangi bercerita tentang sepuluh anak miskin di Belitong, sebuah perkampungan di provinsi Bangka-Belitung, dalam menggapai cita-citanya melalui pendidikan.
Sebagaimana pengakuan penulisnya, novel ini merupakan rekaman masa kecil sang penulis ketika menempuh pendidikan di SD Muhammadiyah Belitong.
Meskipun mereka sekolah di kampong dengan fasilitas terbatas, tetapi semangat untuk belajar dan prestasi akademik para anak Laskar Pelangi ini sangat mengagumkan.
Novel ini membangkitkan semangat melawan segala bentuk keterbatasan dan menunjukkan bahwa kejayaan bisa diraih oleh siapapun, jika mau berusaha.
Inilah yang mengilhami Andrea untuk menebarkan semangat untuk maju kepada anak-anak di seluruh Indonesia lewat novelnya dan sekarang dengan film yang penyutradaraannya diserahkan kepada Riri Reza..
Cerita film ini dimulai dengan situasi menegangkan ketika 9 murid baru disekolah itu bersama guru dan kepala sekolah menunggu satu orang lagi murid agar menjadi genap 10.
Jika tidak sampai 10 orang murid baru maka SD Muhammadiyah itu harus ditutup.
Beruntung, di menit-menit terakhir datanglah Harun, seorang anak berusia 15 tahun dengan keterbelakangan mental, diantar oleh ibunya daftar disekolah ini.
Dari situlah, pergulatan kesepuluh murid dengan julukan Laskar Pelangi diceritakan dalam film ini.
Kesetiakawanan, kebersamaan, keakraban, kehangatan, perjuangan dan pengorbanan 10 anak desa mewarnai cerita film ini.
Beberapa pelajaran bisa diambil dari pergulatan kesepuluh tokoh Laskar Pelangi termasuk peran guru dan kepala sekolahnya.
Pertama, film ini menunjukkan bagaimana perjuangan tanpa henti dengan semangat tinggi untuk maju ditunjukkan oleh anak-anak kampung.
Lintang, salah seorang tokoh sentral dalam film ini, misalkan harus berjuang mengayuh sepeda sejauh 80 kilometre pulang pergi tiap hari untuk berangkat ke sekolah.
Meskipun jauh, dia sabar menjalaninya dan bahkan berhasil menjadi seorang murid yang unggul dan berprestasi.
Dengan kecerdasan dan kegigihannya belajar, Lintang berhasil menjadi juara di kelasnya dan menjadi terkenal setelah berhasil membawa sekolah miskin itu menjadi juara cerdas cermat mengalahkan sekolah elit yang lengkap fasilitasnya.
Perjuangan Lintang mengayuh sepeda ke sekolah dengan berbagai rintangannya dan juga situasi dramatis bagaimana perlombaan cerdas cermat ditunjukkan dengan mengagumkan dalam film ini yang membuat penonton larut terbawa emosi haru, tegang dan gembira ketika menyaksikannya.
Kedua, film ini menunjukkan bagaimana kesetiaan, pengabdian dan integritas seorang guru terhadap profesinya.
Hal ini bisa dilihat dari pengorbanan Ibu Muslimah yang dengan gigih penuh pengorbanan mendidik para Laskar Pelangi untuk menjadi murid yang pintar dan berhasil meskipun berada dalam segala keterbatasan seperti bangunan sekolah yang sederhana dan gaji yang kecil.
Peran yang ditunjukkan Ibu Muslimah ini bisa menginspirasi para guru lainnya untuk berjuang mempersiapkan masa depan sumber daya manusia yang lebih unggul.
Ketiga, film ini mengajarkan bagaimana perlunya saling menghargai sesama warga bangsa Indonesia yang multikultural.
Hal ini bisa dilihat bagaimana sekolah Islam (SD Muhammadiyah) mau menerima A Kiong seorang beretnis Tionghoa dan berlatar belakang Konghucu untuk bersekolah di SD tersebut.
Pertemanan akrab diantara para Laskar Pelangi tanpa memandang etnis dan agama ditunjukkan dalam film ini.
Penonton seolah diajarkan bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia yang multikulturalis bisa hidup saling berdampingan dan bersama-sama bisa maju seperti persahabatan para Laskar Pelangi.
Hal ini menjadi sangat signifikan terutama bagi para pelajar di Indonesia yang perlu ditanamkan sejak dini bagaimana hidup saling menghargai, menghormati dan hidup rukun meskipun berasal dari keluarga yang berbeda agama dan etnis.
Persahabatan antar etnis juga ditunjukkan dalam film ini ketika Ikal seorang Melayu (tokoh lainnya dalam film ini) tanpa sungkan jatuh cinta pada A Ling, seorang Chinese anak pemilik Toko Sinar Harapan.
Keempat, film ini juga menunjukkan bahwa kemiskinan bukan halangan untuk maju.
Sangat jelas bahwa pesan utama dari film ini adalah untuk menunjukkan bahwa kemiskinan seperti terlihat dari latar belakang ekonomi keluarga anak-anak Laskar Pelangi, bukanlah halangan bagi anak-anak itu untuk menggapai cita-cita setinggi langit.
Artinya, meskipun hidup dalam kemiskinan, seorang anak sekolah harus mempunyai mimpi menggapai cita-cita yang luhur.
Pesan ini juga terlihat jelas dalam permulaan syair soundtrack film ini yang dinyanyikan oleh group band Nidji sebagai berikut:
Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukkan dunia
Berlarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya
Nampaknya pesan moral dari film Laskar Pelangi ini tidak hanya cocok bagi situasi Indonesia tapi juga bagi negara-negara lain terutama bagi kalangan yang peduli terhadap pendidikan dan sumber daya manusia.
Pesan moral menanamkan sikap saling menghargai dan menghormati sejak dini pada anak-anak bagi warga bangsa yang multikultural juga bisa dicontoh.
Pesan moral lainnya tentu masih banyak yang bisa diambil dari film Laskar Pelang ini tergantung dari sisi mana penonton melihatnya.
Mudah-mudahan film ini tidak hanya beredar di Indonesia tapi juga bisa merambah negara jiran seperti Singapore atau Malaysia yang juga merupakan bangsa yang multukultural.
Selasa, 11 November 2008
[+/-] |
Film Nasioanl |
[+/-] |
Silaturahim |
"Pancakaki", Silaturahim Urang Sunda
Oleh Sukron Abdilah
Kompas, Sabtu, 1 November 2008
Hari Lebaran lalu, saya kedatangan tamu dari desa lain. Kakak saya yang paling besar (cikal) memperkenalkannya dan melontarkan kata-kata, "Sok, pancakaki heula maneh teh (Silakan berkenalan dulu kamu ini)". Ternyata, setelah mengobrol panjang lebar, tamu itu adalah keponakan (alo) dari ayah saya (alm), yang telah sekian lama tidak bersilaturahim. Sejak kecil, baru sekarang ia ber-pancakaki dengan keluarga saya karena kebetulan bertemu dengan kakak saya di Jakarta. Ternyata tamu itu satu garis keturunan dengan saya.
Penelusuran garis keturunan (sakeseler) dalam khazanah kesundaan diistilahkan dengan pancakaki. Dalam Kamus Umum Basa Sunda (1993), pancakaki diartikan dengan dua pengertian. Pertama, pancakaki menunjukkan hubungan seseorang dalam garis keluarga (perenahna jelema ka jelema deui anu sakulawarga atawa kaasup baraya keneh). Kita pasti mengenal istilah kekerabatan, seperti indung, bapa, aki, nini, emang, bibi, euceu, anak, incu, buyut, alo, suan, kapiadi, kapilanceuk, aki ti gigir, dan nini ti gigir.
Istilah tersebut merupakan sistem kekerabatan masyarakat Sunda yang didasarkan pada hubungan seseorang dalam sebuah komunitas keluarga. Dalam sistem kekerabatan urang Sunda diakui juga garis saudara (nasab) dari bapak dan ibu, seperti bibi, emang, kapiadi, kapilanceuk, nini ti gigir, dan aki ti gigir.
Kedua, pancakaki juga bisa diartikan sebagai proses penelusuran hubungan seseorang dalam jalur kekerabatan (mapay perenahna kabarayaan). Secara empiris, ketika kita mengunjungi suatu daerah, pihak yang dikunjungi akan membuka percakapan, "Ujang teh ti mana jeung putra saha (Adik itu dari mana dan anak siapa)?" Ini dilakukan untuk mengetahui asal-usul keturunan tamu sehingga sohibulbet atau pribumi akan lebih akrab atau wanoh dengan semah guna mendobrak kekikukan dalam berinteraksi dan berkomunikasi.
Maka, pancakaki pada pengertian ini adalah proses pengorekan informasi keturunan untuk menemukan garis kekerabatan yang sempat putus. Biasanya hal ini terjadi ketika seseorang nganjang ke suatu daerah dan di sana ia menemukan bahwa antara si pemilik rumah dan dirinya ada ikatan persaudaraan. Maka, ada peribahasa bahwa dunia itu tidak selebar daun kelor. Antara saya dan Anda, mungkin kalau ber-pancakaki, ternyata dulur. Minimal sadulur jauh.
Asal-usul keturunan
Menurut Edi S Ekadjati (Kebudayaan Sunda, 2005), urang Sunda memperhitungkan dan mengakui kekerabatan bilateral, baik dari garis bapak maupun ibu. Ini berbeda dengan sistem kekerabatan orang Minang dan Batak yang menganut sistem kekerabatan matriarkal dan patriarkal, yaitu hanya memperhitungkan garis ibu dan garis keturunan bapak.
Pancakaki dalam bahasa Indonesia mungkin agak sepadan dengan silsilah, yakni kata yang digunakan untuk menunjukkan asal-usul nenek moyang beserta keturunannya. Akan tetapi, ada perbedaannya. Menurut Ajip Rosidi (1996), pancakaki memiliki pengertian hubungan seseorang dengan seseorang yang memastikan adanya tali keturunan atau persaudaraan. Namun, menjadi adat istiadat dan kebiasaan yang penting dalam hidup urang Sunda, karena selain menggambarkan sifat-sifat urang Sunda yang ingin selalu bersilaturahim, itu juga merupakan kebutuhan untuk menentukan sebutan masing-masing pihak dalam menggunakan bahasa Sunda.
Mengapa? Sebab, pancakaki sebagai produk kebudayaan Sunda diproduksi karuhun Ki Sunda untuk menciptakan relasi sosial dan komunikasi interpersonal yang harmonis dalam komunitas, salah satunya ajen-inajen berbahasa. Tidak mungkin, jika kita tahu si A atau si B memiliki hubungan kekerabatan dengan kita, dan lebih tua, kita mencla-mencle berbicara tak sopan. Jadi, dengan ber-pancakaki sebetulnya kita (urang Sunda) tengah membina silaturahim dengan setiap orang.
Komponen kebudayaan
Kuntowijoyo dalam buku berjudul Budaya dan Masyarakat (2006:6), menulis bahwa dalam budaya kita akan ditemukan adanya tiga komponen pokok, yaitu lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya (norma-norma). Lembaga budaya menanyakan siapa penghasil produk budaya, pengontrol, dan bagaimana kontrol itu dilakukan. Isi (substansi) budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau simbol-simbol apa saja yang diusahakan. Adapun efek budaya menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan.
Maka, anomali budaya (kebudayaan disfungsional) akan terjadi jika simbol dan normanya tidak lagi diejawantahkan masyarakat. Akibatnya, muncul kontradiksi sehingga memicu lahirnya kelumpuhan dasar-dasar relasi secara sosiologis. Ini akan terjadi juga dalam ruang lingkup relasi sosial kemasyarakatan urang Sunda jika pancakaki sebagai isi kebudayaan lokal tidak mendapatkan porsi pengamalan dan pelestarian. Efek kebudayaan pun tidak akan dirasakan, seperti menggejalanya keterputusan komunikasi dan relasi antar-dulur (kerabat) yang satu dengan yang lain.
Ketika tidak memiliki efek budaya, hal itu akan memicu lahirnya anomali akibat minimnya keinginan kita untuk mengaktifkan simbol kebudayaan, salah satunya pancakaki, dalam hidup keseharian. Tradisi silaturahim atau silaturahim khas Sunda (baca: pancakaki) ini sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan umatnya untuk menyebarkan keselamatan. Silaturahim juga merupakan salah satu penentu masuk surga dan terciptanya keharmonisan interaksi.
Namun, bagi urang Sunda kiwari, ber-pancakaki tidak hanya dilakukan untuk menelusuri garis keturunan, tetapi juga menelusuri dari mana asal diri kita. Karena itu, seorang pengusaha dan pejabat, umpamanya, sadar bahwa sebetulnya mereka berasal dari rakyat.
Karena itu, saatnya kita ber-pancakaki. Lirik kiri-kanan, jangan-jangan ada keluarga dekat atau jauh, bahkan rakyat miskin yang tak bisa makan. Sebab, dalam ajaran agama, semua manusia bersaudara. Semua berasal dari Nabi Adam AS. Jadi, dulur sadayana oge manusa mah! Wallahualam.
SUKRON ABDILAH Pegiat Studi Agama dan Kearifan Lokal Sunda