Kamis, 26 Februari 2009

Ospek

Mengubah Paradigma Ospek
Oleh ANDRI AGUSTINA

sunangunungdjati–Orientasi studi dan pengenalan kampus, atau yang lebih dikenal dengan istilah ospek, merupakan salah satu rangkaian kegiatan orientasi bagi mahasiswa baru di suatu lingkungan kampus. Secara umum, kegiatan ospek bertujuan untuk memperkenalkan visi-misi kampus, baik secara historis, demografis, maupun karakteristik. Selain itu, ospek menjadi ajang untuk menanamkan perubahan paradigma berpikir dari pola pikir anak sekolahan menjadi pola pikir akademisi yang analitis, logis, dan kritis.

Melihat perkembangannya, ospek menjelma menjadi sebuah kegiatan perpeloncoan bagi mahasiswa baru, baik secara fisik maupun psikis. Dan pola didikan ospek seperti ini merupakan warisan turun-temurun dari angkatan-angkatan terdahulu yang entah dari angkatan berapa dimulainya sehingga tiap kampus memiliki semacam kekhasan dalam mengospek mahasiswa barunya.

Memang, diakui atau tidak, kegiatan ospek seperti ini (baca: perpeloncoan) cukup efektif memberikan shock therapy untuk mengubah karakter dan pola pikir. Namun, terlepas dari sisi baik dan buruknya, tetap saja pola-pola perpeloncoan seperti ini harus dikaji secara komprehensif, apakah masih layak diterapkan dalam rangka mencetak seorang akademisi.

Sebagai tinjauan umum, kegiatan ospek ternyata membutuhkan kesiapan dan kesanggupan yang cukup besar, baik bagi panitia maupun bagi mahasiwa barunya. Hal tersebut menyangkut masalah ketahanan fisik, ketahanan mental, dan finansial. Terlebih lagi, panitia harus mampu mengorganisasikan sejauh mana ketahan fisik dan mental setiap peserta sehingga hal-hal yang tidak diharapkan dapat dihindari.

Sebagai contoh, tak jarang dalam rangkaian kegiatan ospek, mabim, PAB, dan lain-lain diwarnai dengan malayangnya nyawa seseorang atau mahasiswa baru. Sebagai ekses dari keteledoran dalam merespon ketahanan fisik seseorang. Dan berbicara soal nyawa, maka urusannya akan semakin rumit, karena sama artinya dengan berurusan dengan pihak berwajib, terancam dikeluarkan dari almamater dan pupusnya satu harapan generasi.

Berkaca dari pengalaman tersebut, perlu kita renungkan bagaimana konsep ospek yang qualified, baik secara materi, isi, maupun kompetensi. Kita (mahasiswa), sebagai agen perubahan, harus mampu melakukan perbaikan yang signifikan dalam mengubah kultur orientasi yang selama ini tersegmentasi. Dan sedikit demi sedikit menciptakan kultur baru dalam menyambut mahasiswa baru. Misalnya dengan melakukan pendekatan secara intuitif sebagai sesama mahasiswa, bukan pendekatan represif sebagai senior ke junior.

Memasukkan materi yang berhubungan dengan penggalian kemampuan Intellectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) dalam ospek merupakan cara lain untuk menanamkan karakter sebagai kaum intelektual sehingga suasana akademis lebih terasa daripada suasana underpressure yang menegangkan. Walaupun porsi untuk meningkatkan ketahanan fisik dan mental tetap harus ada, takarannya harus tetap porposional sehingga diharapkan dapat mencetak agen-agen perubahan yang andal dan tangguh.

Selain itu, perlu adanya kontrol dari pihak-pihak terkait seperti jurusan, dekanat, ataupun rektorat sehingga kegiatan-kegiatan orientasi senantiasa terpantau dan masih dalam lingkup kewenangan suatu institusi. Bukan menggelar kegiatan-kegiatan ilegal yang dampaknya bisa berakibat fatal.

Akhirnya, kita pun harus terus berusaha memperbaiki paradigma ospek sehingga tidak lagi menjadi sesuatu yang perlu ditakuti oleh mahasiswa baru. Dan semoga tidak terdengar lagi adanya korban jiwa yang gugur dalam kegiatan ospek selanjutnya. (*)


ANDRI AGUSTINA, Mahasiswa Kimia Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung [Tribun Jabar, 18 Februari 2009]

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Ospek