Selasa, 05 Februari 2008

Toleran

Pendidikan Toleransi, Dimulai dari Kitab Suci?
Oleh Alinur

Ketika dunia semakin mengglobal dengan ciri pluralismenya dalam berbagai bentuk, kemungkinan benturan antar etnik, budaya dan agama semakin terbuka lebar. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh komponen masyarakat untuk berusaha tetap menjaga keserasian dan perdamaian universal.

Salah satu kelompok yang diharapkan mampu berperan menjaga stabilitas itu adalah para pemuka agama.Darimana semestinya para agamawan memulai membangun paradigma perdamaian universal pada masyarakat global? Mungkinkah toleransi pada masyarakat dunia sekarang ini dimulai dari kitab suci masing-masing?

Tidak bisa disangkal lagi bahwa Kitab Suci adalah sumber utama kebenaran tiap-tiap agama. Sebagai standar kebenaran masing-masing agama, kitab suci sangat berperan penting dalam menentukan stabilitas dan identitas pemeluk agama. Sebagai starting point pendidikan agama, di satu sisi kitab suci mengajarkan identitas dan dasar-dasar etik bagi pemeluknya. Tapi disisi lain terkadang kitab suci juga mempromosikan sikap ekslusivisme dan perbedaan. Karena sempitnya cara berpikir dan sempitnya interpretasi terhadap kitab suci, terkadang masing-masing agama, secara tidak langsung, mengajarkan klaim kebenaran absolut atas kitab sucinya masing-masing. Selama klaim kebenaran masing-masing agama itu terus kental dita-ngan pemeluknya, jangan diharap bahwa pluralisme dan kedamaian abadi bisa tercipta di dunia global sekarang.

Ketika salah satu fungsi setiap kitab suci adalah menekankan pentingnya pendidikan moral dan etik, adalah penting untuk dicatat bahwa bagi pendidikan agama-agama di jaman modern nampaknya perlu mempertimbangkan dimasukkannya paradigma berpikir bahwa masing-masing agama di dunia ini juga mengajarkan kebenaran dengan jalan masing-masing yang mempunyai legitimasi kebenaran sendiri-sendiri.

Perbandingan Isi

Para tokoh agama, baik itu ulama, pendeta, biksu dan apapun sebutannya perlu terus berusaha mengembangkan pendidikan doktrin agama yang lebih terbuka dan tidak narrow-minded. Dalam memberikan pengajaran kitab suci, para tokoh agama dituntut untuk tidak alergi memberikan penjelasan bahwa selain kebenaran yang ada pada kitab suci yang diyakininya, ada juga kitab suci agama lain yang tentunya mengajarkan kebenaran dengan perspektif kitab suci masing-masing. Para agamawan harus berani memberikan stimulus bagi anak didiknya untuk jangan segan-segan membaca dan mempelajari kitab suci agama lain sebagai upaya studi banding.

Para agamawan bisa belajar dari metode pendidikan sekuler di negara-negara Barat ketika mereka mengajarkan paham nasionalisme. Mereka menekankan pentingnya pengajaran budaya negara lain dengan tujuan menghilangkan rasa saling curiga yang bisa menimbulkan paham nasionalisme sempit, dengan cara memberikan pengajaran sejarah peradaban dunia global, selain sejarah dan budaya lokal. Adalah menarik seandainya para agamawan mampu memasukkan pelajaran multiagama dan perbandingan isi kitab suci pada pendidikan agama masing-masing, karena di dunia modern-global, agama-agama tak kalah pentingnya seperti institusi-institusi sekuler, yaitu mempunyai tugas untuk memberikan pengertian kepada masyarakat akan pentingnya saling memahami dan menghormati orang lain yang berbeda komunitas dengan kepercayaan agama yang berbeda pula.

Ketika teks suci agama berfungsi sebagai teks utama dalam pendidikan agama, maka pendekatan penulisan buku-buku agama yang menekankan perbandingan kitab suci agama-agama perlu dibudayakan. Penting juga diusahakan bahwa dalam mempelajari kitab suci, masing-masing tokoh agama diharapkan mampu memberikan arahan perbandingan bahwa dalam kitab suci orang lain pun doktrin semacam itu ada, hanya saja dengan bahasa yang berbeda.

Ada yang Sama

Pemerintah pun bisa turut andil dengan cara menyediakan teks-teks kitab suci yang disusun dengan cara perbandingan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menyusun kitab suci dengan pendekatan tematis dan disusun dengan cara membandingkan dalam satu tema. Diharapkan anak didik secara tidak langsung belajar mengenal doktrin agamanya sendiri serta bisa memahami bahwa dalam agama orang lain pun ada doktrin yang sama. Permasalahannya adalah apakah setiap agama mempunyai tema yang sama, bagaimana cara membandingkannya, dan apakah hal itu tidak terlalu sensitif?

Meskipun kelihatannya sulit untuk dilakukan, paling tidak sosialisasi wacana perlunya perbandingan antar kitab suci bisa dijadikan rujukan bagi para tokoh agama di negeri ini, terutama mereka yang terlibat langsung dengan pendidikan agama. Agamawan bisa memulai dengan menginventarisasi tema sentral kitab suci agama-agama yang menekankan pentingnya perdamaian universal di dunia yang semakin mengglobal ini.

Dalam membandingkan tema-tema perdamaian dalam kitab suci, tentu saja penjelasan yang komprehensif diperlukan, sehingga anak didik tidak salah pengertian, dan murid bisa bersikap bijak dalam memahami kitab suci, sehingga klaim kitab sucinya saja yang paling benar bisa dihilangkan.Juga sikap atau pandangan bahwa isi kitab suci orang lain bersikap bias dan sudah terdistorsi bisa dihindarkan. Dengan demikian, kitab suci dicoba untuk didesain dalam setiap pengajaran agama sebagai jalan untuk mempromosikan kedamain dunia yang universal.[SH, 05/08/05]

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Toleran