Minggu, 10 Februari 2008

Main

Permainan, Asah Empati Sosial Anak
Oleh Sitta R Muslimah

Harian Kompas ( 12/03/2007 ) memberitakan bahwa di daerah Malang seorang ibu dan 4 anaknya tewas (bunuh diri) dengan cara menenggak racun potasium akibat tak kuat menanggung beban persoalan ekonomi. Dengan adanya kasus bunuh diri ini mengindikasikan bahwa kebanyakan masyarakat kita telah menanggalkan solidaritas dan tidak ada kekuatan empati sosial.

Bahkan, kejadian ini adalah bukti nyata dari ketidakpedulian lembaga pemerintah terhadap rakyat miskin. Akar penyebab dari persoalan kasus bunuh diri ini terletak pada tumpulnya implementasi untuk saling asah, saling asih, dan saling asuh pada masyarakat modern yang cenderung individualistik.

Oleh sebab itu, menciptakan generasi yang memiliki solidaritas dan empati sosial yang kokoh, tangguh dan kuat dalam jiwanya adalah misi utama dari lembaga pendidikan prasekolah. Dalam merealisasikan misi utama tersebut, diperlukan sebuah lembaga pendidikan yang sejak dini mendidik anak-anak untuk peka terhadap kondisi lingkungan sosial sekitar. Tujuannya guna menciptakan kepekaan diri ketika nanti disekitarnya ada orang yang membutuhkan pertolongan.

Maka, lembaga pendidikan prasekolah mestinya menerapkan model pembelajaran moral dengan bentuk metode yang mengasyikkan sesuai dengan perkembangan jiwa anak. Misalnya, memanfaatkan media permainan yang tidak hanya mengasah kecerdasan intelektual saja, tetapi dapat juga mengasah kecerdasan sosial anak sejak dini.

Permainan kooferatif

Prinsip bermain sambil belajar sangat berpengaruh pada perkembangan jiwa anak usia prasekolah. Permainan yang melibatkan anak-anak secara kolektif dimaksudkan untuk menguatkan kecerdasan sosial. Ketika mereka telah terbiasa dengan permainan yang dilakukan bersama, akan berimplikasi positif terhadap kemantapan perkembangan psiko-sosial anak.

Maka, untuk menciptakan sebuah kondisi psiko-sosial yang mantap pada anak usia dini, Taman Kanak-kanak (TK) atau Playgroup mestinya mengikuti prinsip bermain kooferatif. Suatu kegiatan bermain yang dilakukan anak-anak secara berkelompok dan didalamnya terjadi interaksi sosial yang kuat. Dari sinilah, seorang anak akan belajar menghargai dan mengakui eksistensi anak-anak sepermainan lainnya. Mereka akan memiliki solidaritas dan empati sosial yang kuat ketika menginjak usia dewasa karena telah terbiasa berinteraksi secara harmonis melalui kegiatan bermain bersama.

Di dalam permainan kooferatif juga seorang anak mestinya diajarkan untuk tidak sekali-kali merendahkan orang lain. Jika saja mereka masih berbuat demikian, tentu saja masa dewasanya akan dipenuhi tindakan yang mementingkan diri sendiri. Mungkin juga ketika mereka berkeluarga, kasus bunuh diri seperti yang dilakukan oleh warga di daerah Malang akan merebak menjadi fakta sosial. Bahkan, tidak menutupkemungkinan juga ketika mereka menjadi pemimpin di sebuah instansi pemerintahan akan melakukan praktik kejahatan (korupsi) karena tumpulnya empati sosial.

Oleh sebab itu, lembaga pendidikan prasekolah – dalam hal ini TK dan Playgroup – dianjurkan untuk memberikan pembelajaran moral secara atraktif dan mengasyikkan sehingga membekas dikedalaman rasa. Misalnya, dengan cara membangun rumah-rumahan bersama, menyusun balok-balok hingga membentuk sebuah bangunan, mengekspresikan bahasa cinta-kasih kepada temannya, bernyanyi bersama dan lain sebagainya. Dengan permainan kooferatif seperti ini, niscaya benih-benih kebersamaan akan tumbuh dalam jiwanya sehingga membentuk karakter positif di masa mendatang.

Merasakan penderitaan sesama

Kita mestinya tahu bahwa masa usia 4-6 tahun adalah masa untuk bermain dan bercanda ria. Oleh sebab itu, untuk menanamkan solidaritas sosial pada anak usia dini, bijaksana rasanya jika menggunakan metode pembelajaran yang mendidik dan menghibur. Pokoknya harus sesuai dengan karakter psikologis seorang anak. Alhasil, nilai-nilai sosial (untuk merasakan penderitaan orang lain) tatkala masa usia dewasa tiba akan menguat, mengkarakter, dan implementatif dalam keseharian. Itulah manusia yang dapat mempribadikan dan menyatukan diri dengan dunia sosial karena mereka merasakan penderitaan sesama.

Sebetulnya perkembangan anak-anak dipengaruhi oleh apa yang dimainkannya semenjak kecil. Bermain juga merupakan salah satu kegiatan yang dapat menstimulasi perkembangan kognitif, psikososial, psikomotorik, dan model komunikasi positif jika dikreasikan secara mengasyikkan oleh lembaga pendidikan prasekolah. Jadi, jelas sudah bahwa model pembelajaran yang diberikan kepada anak usia dini mesti berpijak pada prinsip bermain.

Mengasingkan anak-anak dari dunia sosial adalah kesalahan pertama yang akan berdampak pada melemahnya rasa sosial di dalam dirinya. Tidaklah mengherankan jika setelah usianya menginjak remaja, mereka tidak peka lagi terhadap persoalan yang sedang dihadapi orang lain. Ketika kondisinya terjadi seperti ini, penulis pikir pantas jika negara ini disebut dengan negara yang kehilangan generasi dan akan coreng moreng dengan tingkah laku patologis yang dipraktikkan penduduk negeri ini. Andai saja tertancap kuat solidaritas dan empati sosial dalam masyarakat mendatang, kasus bunuh diri akibat tidak kuat menanggung beban ekonomi seperti yang terjadi di daerah Malang mungkin dapat dihindari. Ke depan, tempat bertumpunya harapan seperti ini terletak pada pundak anak-anak. Jadi, memperkokoh dan menanamkan solidaritas sosial di dalam dirinya, sekarang ini adalah kemutlakan. Tentu saja, dengan menggunakan metode yang atraktif, mengasyikkan dan tidak menjenuhkan lewat permainan. Wallahua’lam

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Main