Senin, 18 Februari 2008

Datang

Datang
Oleh FANI AHMAD FASANI

Seminggu yang lalu ia datang padaku, tak akan pernah seperti dulu tentu. Aku sibuk dengan kekhawatiranku sendiri, tentang rindu dendam yang mungkin mengambil alih sikap sebiasanya, aku masih bingung apakah mesti berharap ia seperti dulu, atau sebaliknya.

Barangkali itu sedikit petunjuk bagaimana aku berbuat. Kegugupan itu menyiratkan betapa ia masih menimbang-nimbang apakah ini tindakan yang tepat untuk datang kemari setelah banyak hal terjadi. Dihari yang gerimis ini tanganku berkeringat. Ia duduk disampingku. Aku merasakan kamarku yang tak begitu luas ini menyempit sengit, bahkan tak memberi ruang untuk gerak dadaku saat menghirup udara. Padahal masih kupercaya semesta masih setia mekar kali ini.

Sejak ledakkan di luar waktu itu? Aku ingin mengintrogasi hujan, mungkinkah pernah terencana sejak hujan pertama kali itu, tentang keterjalan suasana ini atau sejak kita masih berenang sebagai setitik hayat di kolam kental, apakah memang sudah menjadi persoalan pelik untuk mencoba menyikapi hati sendiri?, terlebih waktu-waktu yang telah berlalu tiba-tiba membikin lintasan-lintasannya sendiri di kali yang ini. Ia menggapai bungkus rokok di lantai, menyulutnya satu.

Rupanya ia belum berhenti, dan percakapan tentang hal itu tak akan jadi topik yang menarik. Tapi, untuk mengungkit-ungkit masalah yang lalupun aku tak begitu bernyali. Mereka kupaksa menyepi di lidah, melipat rapat menekan cepat ke arah tenggorokan, namun kemudian melonjak, meluncur, meledakkan pengaruh buruk di semesta benak. “Ada apa kemari?” Ia hanya diam dan cuaca di romannya semakin menandakan badai menjelang. Sialnya pertanyaan seperti itu yang keluar dari mulutku. Ah, mungkin ia datang hanya untuk mencari celah yang belum terluka disekujur rasaku, untuk mengukir perih di ruang sisanya. Semoga ia dapat menemukannya, dan asal ia tahu, takkan terlihat perbedaannya.

Seperti tentang tiga bulan yang lalu aku bertemu dengannya di Sabtu menjelang malam, tanpa sengaja. Kami bertemu di sepinggir jalan, ia memanggilku saat aku dan beberapa kawan berjalan bersama sebelum akhirnya menuju arah masing-masing pulang. Temanku meyakinkanku bahwa seseorang memang memanggilku, kemudian mereka mengambil jarak agar aku dapat sejenak berbincang.

“Kamu kemana saja? Nggak pernah datang lagi ke tempatku” Kupikir itu pertanyaan yang hanya wajar diwaktu lalu, meski kujawab juga.
“Aku nggak kemana-mana, hh.. terakhirkali, sebulan yang lalu kamu bilang hari Kamis aku harus datang, tapi kamu sendiri yang nggak ada”.
“Maafkan aku..”
“Kamu terlihat kurang sehat”.
“Ya, cuaca seringkali tak ramah dan sulit ditebak. Kemarin aku kehujanan. Kalau karena tidak lapar, sekarang aku tak akan keluar”.

“Sudah berapa kali kamu bilang akan datang, kapan?” Padahal telah sempat sepakat bahwa pertemuan menjadi hal yang tak semestinya. Memutuskan untuk saling melupakan. Namun, selalu merasa tiba-tiba takkan pernah sempurna keterlupaan itu.
“Mmm.. hari-hari ini aku sibuk, tapi hari selasa saya akan kesana”.
“Baiklah aku tunggu..” Aku kemudian beranjak, kembali ke arah teman-temanku yang agak jauh menunggu, mereka tersenyum ke arahku seakan ada hal yang tidak biasa terlihat di wajahku.

Hari itu ketika aku bangun ada yang lain bangkit juga dari hatiku. Rasa kecewa berkali-kali yang lalu kemudian merengek terhadap dendam untuk diantar menemui Selasa dengan udara yang sesak, serta dari arah langit hujan mengintai. Ya, dalam kepalaku terbetik rencana untuk menghindar, ia akan datang dan aku tak ditemukannya. Aku hanya ingin mengajarinya bagaimana rasa kecewa selalu punya taktik yang sempurna. Sejenak aku diam menyimak udara dan langit yang sinis, ia akan memaksakan diri bangkit dari sehimpit influenza dan ancaman cuaca hanya untuk menemuiku. Tidak bijaksana jika aku takluk pada lingkaran dendam yang hanya menawarkan kepuasan hampa dengan intensitas dangkal, aku kemudian bangkit dan membereskan kamarku. Lalu aku rayu tuhan supaya langit membatalkan misinya.

Hari beranjak siang dan langit menunda geram yang sempat, isyarat kesungguhannya kutanggapi dengan khawatir. Ia tak juga datang dan hatiku panik, takut terjadi sesuatu terhadapnya. Padahal hakku untuk khawatir telah lama terampas dengan beringas, tapi masih saja entah kenapa. Aku kalut dan gugup, seperti harus memberikan sambutan di acara besar dan dihadiri orang-orang penting, atau seperti dalam darurat waktu harus memutuskan keputusan besar tentang keselamatan negara. Ah, siang yang muram dan lambat. Sore datang menyuguhkan pemandangan ngeri untuk mataku yang terganggu. Aku melangkah mencari kabar lewat telepon selularnya.
“Sejak pagi aku tunggu kamu”

“Aku nggak bisa kesana, tak tahu harus memberitahumu tentang ini kemana”. Suaranya agak lain, mungkin karena bersekutu dengan flu.
“Kamu dimana?”

“Aku di kamar, harus mengerjakan sesuatu. Flu-ku juga tambah berat, bahkan temanku mengajakku keluar aku tak bisa”. Untuk kalimat terakhir ini telah berhasil mencubit hatiku. Langit kian lebam.

“Aku capek, kamu selalu seperti ini”. Yeah.. kalimat yang tak seharusnya! Kenapa aku mesti bilang begitu? Kemudian tiba-tiba nada bicaranya meninggi.
“Maksud kamu apa? Jadi aku harus hujan-hujanan datang kesana sementara kamu tahu kondisi kesehatanku kayak gimana!” Diluar langit bersorak dengan butiran-butiran berat mengolok-olokku.

“Baiklah.. sepertinya kita mesti anggap telah terjadi suatu kesepakatan diantara kita, kita nggak pernah saling kenal..” Kuharap aku bersungguh-sungguh.
“Kamu egois!”

“Klik!” Hujan semakin gemuruh, seperti tepuk tangan ketika seorang matador ambruk terpanggang tanduk banteng. Sebagian mereka menjerit histeris, hujan dari jenis perempuan dan anak-anak kukira. Aku berlari menembus desakan hujan, dan di pintu kamar, kekecewaan menyambutku, kemudian memeluk dan menepuk-nepuk bahuku sebagai langganan paling setia. Untunglah saat itu aku tak ingat sepenggalpun sajak.
Inipun tentang setahun lebih yang lalu, ia datang padaku. Ah, bukan hal yang aneh, kami terbiasa saling mendatangi. Bahkan hari sedemikian berat jika tidak bertemu. Tapi, tiap pertemuan tak peduli siapa yang mendatangi siapa, selalu berarti kebahagiaan yang menjulang dari menara kasmaran yang rapuh. Perasaan yang harus ambigu, karena kami terjalin atas kondisi yang seringkali kuanggap lalim. Dan kali ini kedatangannya tentang kabar yang..

“Dia melamarku, dan aku bersedia. Kita harus menghentikan ini”. Aku bingung, mendengar kalimatnya. Seperti seseorang yang berungkali keliru menulis namanya sendiri.

“Ya, kalau kau telah yakin”. Puih.. harusnya aku lebih heroik daripada itu.
“Aku tahu, ini keputusanku yang paling mungkin akan kusesali. Tapi aku harus melakukannya, kita bukan anak kecil lagi”. Ah, apakah memang selama ini aku yang kekanak-kanakan? Oh, tuhan.. apakah dia yang kau kirim untuk mendidikku supaya dewasa? Berhasilkah?

Tidak! Aku yang terlambat memahami. Seharusnya sejak dulu aku merelakannya, ketika dia bilang bahwa aku bukan satu-satunya. Ketika ia meratapi sejarah sekaligus bangga akan hal yang pernah. Sejak itu aku malah kepayahan berupaya membuktikan bahwa aku bisa lebih baik dalam hal mencintai, berlari tertatih diburu cemburu. Dan sia-sia! Justru setelah keyakinan terpaku di dada, tertancap tembus hingga ke punggung. Seharusnya aku tak membiarkan emosiku terlibat jauh dengan airmatanya. Baiklah, ini semua salahku. Aku hanya gagal melakukan apa yang ingin kubuktikan, aku terlalu asik bertukar janji. Sementara hidup ini memiliki aturannya sendiri. Tak mungkin berpihak pada orang yang tak tak memiliki apa-apa, tanpa nyali tanpa bekal.

Dan hidup pernah penuh warna, dua tahun yang lalu. Ketika sepasang manusia dilanda kasmaran. Mereka percaya, atau setidaknya salah seorang diantara mereka, bahwa dengan caranya sendiri tangan takdir telah mempertemukan mereka. Ah, nasib yang tersenyum dan menghampiri kali ini. Tanpa kutahu, bahwa diam-diam tangannya menyelinap ke pinggang menyentuh gagang belati []

Cileunyi, 14 Februari 2007

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Datang