Senin, 18 Februari 2008

Presiden

Presiden Kultural Untuk Bangsa Multikultur
KELIK NURSETIYO WIDIYANTO

Tidak dipungkiri lagi Indonesia merupakan negara dengan beribu suku berlaksa budaya. Beberapa puncak budaya lokal pun tercatat sebagai salah satu peradaban dunia. Sriwijaya, Malaka, Majapahit membumbungkan nusantara dalam perdagangan maritim dunia.

Hal ini diperkuat dengan catatan-catatan perjalanan penjelejah-penjelajah buana seperti Marcopolo, Ibn Batutah dll. Dari merekalah negara-negara Eropa mengenal negeri gemah ripah loh jinawi ini. Berdalih tawaran kerjasama dagang mereka menyebar di nusantara membawa misi 3 G (God, Gold, dan Glory). Awalnya diplomasi tukar menukar rempah-rempah dengan produk Eropa lama kelamaaan berubah menjadi merampas hak-hak inlander.

Imperialis-imperialis itu bukan sekedar mengeruk kekayaan bumi pertiwi, tetapi juga menjajah keragaman budaya asali bangsa. Mereka menganggap peradaban mereka adalah peradaban tertinggi di dunia dan tidak ada yang menyetarainya. Kebudayaan di luar mereka dianggap primitif dan bisa sekenak mereka untuk merubahnya. Dengan dalih objek studi budaya padahal mereka sedang menelusuri lubang-lubang kelemahan budaya bangsa ini. Celah-celah kelemahan itu dijadikan modal memperkuat cengkeraman kekuasaan mereka atas nusantara. Snouck Hugroje membuktikannya dengan patahnya perlawanan rakyat Aceh di awal abad 20.

Begitu kuatnya penjajah menggenggam pemikiran rakyat hingga hasil pengolahan budaya mereka kita anggap sebagai bagian budaya bangsa ini. Kita dibuat lupa dengan jatidiri kita sendiri. Neokasta santri-abangan, penyamaramataan struktur pemerintahan lokal, kitab-kitab undang-undang hukum pidana dan perdata yang hingga kini masih kita gunakan, korupsi-kolusi, merupakan beberapa contoh hasil pengakraban budaya penjajah berdasar budaya lokal. Teramat dalamnya imperialis menanamkan pengaruh mereka ke dalam akar pemikiran rakyat hingga tidak bisa kita berontak dan kabur darinya.

Salah satu bentuk penjajahan budaya lainnya ialah mencentang perenangkan suku-suku di Indonesia. Setiap suku diyakinkan bahwa merekalah suku terbaik, termaju, tercerahkan sementara suku lain tidak. Maka penenpatan kampung-kampung bercorak kesukuanpun banyak berdiri. Kampung Melayu, Pecinan, Kampung Arab, Kampung Jawa, dll contoh pemisahan antar suku di suatu kota. Waktu itu kita menganggapnya sebagai wilayah kesukuan. Kita berfikiran dengan terkonsentrasinya sebuah suku di perantauan dalam suatu wilayah akan mengingatkan kita pada kampung halaman, sekaligus menjaga tradisi tanah leluhur di negeri orang.

Maka tidak heran jika sekarang pun sikap mengganggap sukunya yang terbaik masih melekat disebagian elit suku. Jarangnya pernikahan antarsuku sebagai contoh eksklusifitas sebagian sesepuh suku. Sebaliknya menganggap suku lain sebagai penghambat kemajuan sukunya semakin menebal. Akhirnya pertikaian antarsuku tidak bisa dielakkan. Peristiwa berdarah tak terlupakan di Sampit, Ambon, Poso bukti sisa-sisa kedigjayaan penjajah ketika berkuasa. Entah siapa yang memulai, tetapi tragedi itu mengingatkan kita ratusan tahun yang lalu saat nusantara masih tersekat laut. Saat suku lain adalah musuh yang harus ditaklukan.

Penyelesaian konflik antarsuku itu bukannya tidak dilakukan. Banyak upaya telah dilakukan, tetapi bak bom waktu, perseteruan itu sewaktu-waktu bisa meledak. Bom itu tidak dibuat kemarin, tetapi telah terakit ratusan tahun lalu. Hanya saja tanpa disadari kita menciptakan kehancuran bangsa sendiri. Hal ini diperparah dengan ketidakempatian dari banyak pihak. Pihak ketiga ini justru memprovokatori agar perseteruan ini berlangsung lama. Banyak isu mereka usung dari agama hingga cauvinisme sebuah suku.

Memperlancar komunikasi antarbudaya dan antar suku yang selama ini macet dapat dijadikan salah satu penyelesaian konflik tadi. Ironis, jika kita melihat dunia telah menjadi kampung global sementara Indonesia masih berkutat dengan persatuan dan kesatuan. Untuk bisa terlibat dalam kampung global dibutuhkan kekuatan budaya diri kita dahulu agar tidak terinfiltrasi bentuk penjajahan baru. Bagi sebagain orang kampung global adalah gaya imperialisme baru Barat terhadap Timur.

Komunikasi antarbudaya semakin penting ketika kita berada di komunitas budaya yang berbeda. Dalam komunikasi antarbudaya perbedaan budaya merupakan modal utama lahirnya komunikasi baru. Selain bahasa pertukaran budaya lokal dapat menjadi instrumen penguat keberadaan negara. Selain Indonesia banyak negara di dunia lahir karena keragaman budaya. Amerika Serikat, Malaysia, Australia adalah contoh negara yang menempatkan kekuatan lokal sebagai ciri bangsa.

Memperkuat regulasi pemerintah pusat terhadap penerapan hukum yang adil dan bijaksana dapat dijadikan cara lain penyelesaian konflik. Jika daerah tidak bisa mengelola otonomi daerah seluas-luasnya potensi konflik sesungguhnya lebih besar terjadi. Konfrensi Malino sebuah contoh keterlibatan pemerintah pusat dalam konflik daerah, dan itu sudah seharusnya. Walau konfrensi ini menyisakan pekerjaan rumah namun kehendak untuk saling memahami antar faksi yang bertikai menunjukan bahwa bangsa Indonesia sesungguhnya mencintai perdamaian.

Melihat akar konflik tadi bukan tidak mungkin jika bangsa ini tidak memiliki seorang pemimpin yang mampu mengelola keanekaragaman etnis sebagai modal pembangunan. Permasalahan tadi akan terjawab ketika pemimpin Indonesia adalah seorang manajer antarbudaya yang cakap untuk mengurai potensi perpecahan itu. Kita tidak bisa yakin dengan slogan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saja tanpa semua rakyat merasakan keberadaannya. Seorang manajer budaya itu ialah seorang yang memiliki kearifan budaya lokal. Manajer itu akan lebih leluasa mengambil keputusan jika ia orang nomor satu negeri ini.

Di tengah kemajemukan bangsa Indonesia adakah seorang calon presiden sekaligus manajer antarbudaya? Di sisi lain kandidat presiden yang ada sekarang justru meretas potensi konflik baru. Mereka secara terang-terangan mendikotomikan Jawa-non Jawa, Militer-sipil, Santri-Nasionalis. Koalisi kebangsaan bersaing dengan koalisi kerakyatan. Secara nyata pula mereka sedang mendulang suara dengan perbedaan itu. Fokus utama para calon presiden adalah bagaimana menuju istana dengan dukungan sesuatu yang sesungguhnya bertentangan. Mereka menjadikan rakyat sebagai objek belum menjadi subjek politik.

Seorang presiden sekaligus manajer antarbudaya bukan orang yang terjebak dalam pertentangan itu. Tetapi mereka adalah putra bangsa terbaik yang, selain seorang yang memiliki kearifan budaya, juga seorang yang memiliki jiwa toleransi yang tinggi. Ia bukan seorang yang pernah terlibat pertentangan itu, bukan pula seorang yang justru memiliki potensi untuk berkonflik. Jika, ketika ia baru menjadi capres saja sudah meresahkan dan menanamkan bibit pertikaian, tentunya ketika ia jadi penguasa dan duduk di kursi kepresidenan buah pertikaian yang ia tuai.

Syarat lain seorang capres sekaligus manajer antarbudaya memiliki sikap demokratis. Suku-suku di Indonesia memiliki sikap demokratis yang tinggi dalam hal penyelesaian masalah. Mereka lebih suka berdialog sebelum genderang perang ditabuh. Kasus-kasus konflik antarsuku beberapa waktu lalu didorong pihak ketiga. Mudahnya bangsa Indonesia menerima ajaran Islam, salah satu sebabnya karena Islam mengajarkan kedamaian. Islam pun agama yang paling cocok dengan kultur transenden bangsa-bangsa di Indonesia. Islam memiliki Tuhan Yang Satu yang sama dengan hampir seluruh tuhan di suku-suku di Indonesia.

Menjadi presiden sekaligus sebagai manajer antarbudaya tentunya ia harus memiliki trade record sebagai agen budaya. Di waktu lalu, Ir. Soekarno, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, merupakan contoh seorang pemimpin sekaligus manajer antarbudaya yang tangguh. Bukan saja antarbudaya di bumi pertiwi tetapi dibuktikannya sebagai pemersatu negara-negara baru dalam konferensi Asia Afrika. Sebab ia memiliki latarbelakang keragaman budaya. Ayah Jawa, Ibu Bali, mengenyam pendidikan di tatar parahyangan, berinteraksi dengan pemuda-pemuda di seluruh nusantara bahkan dunia. Tidak dipungkiri lagi kepiawaian Bung Karno sebagai agen budaya bangsa.

Konflik antaretnis dapat disebabkan pula oleh krisis multidimensi yang memporakporandakan tatanan nilai bangsa. Soeharto dengan tangan militernya berusaha mengangkat derajat bangsa. Dibalik keberhasilan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa ternyata menyisakan virus-virus kesenjangan sosial yang bisa menyerang kapan saja. 1998, sejarah mencatatnya.

Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati presiden setelah setengah abad kemerdekaan Indonesia tidak juga mampu memahami Indonesia sebagai negara berbudaya tinggi. Melihat potensi kebudayaan calon pemimpin bangsa ini, entah budaya apa lagi yang akan digunakan mereka dalam menakhodai perahu besar dengan lubang dimana-mana yang sedang berlayar di tengah badai nan dahsyat ini. Presiden memang memegang kendali bangsa tetapi Anda yang menentukan ke dermaga mana bangsa ini kelak melempar sauhnya.

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Presiden