Jumat, 28 November 2008

Penyakit

Penyakit Menular di Kampus
Oleh RIDHO EL-FARIZI

Kemarin (20/8), ane tanya sekretaris Himpunan Mahasiswa Jurusan ane.
“Pada kemana neh?”
“Nggak ada.”

Maksudnya ngga ada yang jaga. Ane sebagai warga jurusan yang baik menyempatkan diri ke stand expo jurusan ane. BSA –Bahasa dan Sastra Asing. Ia pun pergi. Ane duduk sendiri di stand tersebut. Ceritanya ikut jaga. Secara ane juga dapat jabatan berarti di Hima-J, sebagai Ketua Bidang Pengembangan Pers Mahasiswa. Lagi-lagi berhubungan dengan pers. Padahal ane kan bukan anak jurnalistik.

Ane duduk sendiri. Tiba-tiba datang seorang senior bernama Anay. Ia duduk di samping ane.

“Kamana wae?” — Kemana aja, tanya ane.

“Aya wae.” — Ada aja, jawabnya singkat.

“Wah, naha teu jaraga?” — Wah, kenapa nggak ada yang jaga.

“Duka, saya ge karek kadieu.” — Nggak tahu, saya juga baru kesini.

“Oh!” — Tak perlu terjemahan!

Nggak terlalu singkat cerita. Ia sedikit curhat kalau di kelasnya ada sedikit perpecahan. Perpecahan itu memang tak asing lagi bagi mahasiswa kampus ane. UIN — Universitas IAIN Negeri. Konon, politik disini begitu kuat. Sehingga rentan terjadi perpecahan antara mahasiswa karena perbedaan cara pandang ideologis organisasi masing-masing. Dan, itu yang ane tangkap dari Anay. Senior ane yang barusan curhat.

Ane cuma tersenyum. Tak terlalu kaget. Setidaknya itulah yang ane lihat dari kelas ane sendiri.

Dulu, orang-orangnya asyik. Kompak. Akrab. Pemikirannya juga masih polos-polos. Sebagian sih. Soalnya, ada yang masuk ke kelas ane dengan membawa beban umur yang berat alias muajdul — maksudnya muka jaman dulu. Tapi biasanya, alumni SMA seperti ane masih membawa jiwa SMA ke dalam kelas dan kampus. Tapi sebab organisasi yang mereka ikuti, ada saja perubahan dari diri mereka. Mengerikannya, perubahan itu dari tingkat wajar hingga tingkat ekstrem.

Kalau ane berpendapat bahwa organisasi itu mendewasakan (lihat tulisan ane sebelumnya), itu memang benar. Tapi tak lupa ane berargumen bahwa kadang banyak teman yang salah kaprah dengan makna organisasinya. Coba, kalau semua ikut Persma mungkin sepakat. Itulah fungsi Persma itu netral. Apalagi di kampus ane yang rentan kena penyakit politik. Atawa, paling tidak teman-teman ikut ekskul yang lebih menekankan pentingnya mengasah bakat. Seperti Persma, pembinaan bahasa, belajar dakwah, atawa olahraga. Ekskul yang ane sebut insyaallah tidak terlalu mendoktrin politik yang terlalu kuat atau bahkan nol. Tapi, bisa juga terjadi karena beberapa sebab yang rumit tuk dibicarakan.
Balik lagi ke teman di kelas ane. Di kampus ane ada tiga organisasi pergerakan mahasiswa yang besar kekuatannya. Ada PMII, ada HMI, ada KAMMI. Semuanya kegiatan ekstra kampus. Seperti jenisnya, organisasi pergerakan biasanya mengumpulkan massa yang banyak. Itu alasannya agar bisa bergerak. Masing-masing punya idealisme. Punya visi misi. Dan, landasan pemikiran yang sama-sama kuat. Organisasi tersebut bagus untuk mahasiswa. Bagus untuk calon pemimpin. Para penguasa. Karena di dalamnya belajar berpolitik secara kompleks. Bagus, pokoknya bagus. Makanya, insyaallah jebolannya pada pintar ngomong. Pintar diskusi, pintar “negoisasi”, juga pintar “berjuang”. Daya ciumnya kuat. Biasa mengendus dan mencium bau kotoran di antara jajaran pemimpin hebat.

Entah kenapa, di balik kehebatannya, ketiga organ tersebut seperti memiliki kepentingan masing-masing. Setiap ada pemilihan rektor, tersulut nama-nama tersebut sebagai salah satu pendukung, teranga-terangan atau tersembunyi. Bahkan di tingkat jurusan pun. Pemilihan ketua Hima-J saja, organ-organ tersebut berperan di belakang nama-nama calon. Padahal organ tersebut adalah organ ekstra kampus. Masing-masing organ mencalonkan sebuah nama. Dan, layaknya parpol, mereka mengumbar janji dan berebut gelar pemenang. Ada apa ini?

Hubungannya dengan kelas dan teman-teman ane? Ya, begitulah potret yang terjadi di kelas ane. Dulu, saat pemilihan ketua Hima-J, calon dari sebuah organ ekstra tersebut menang. Sayangnya, dalam perekrutan pengurus Hima-J, si ketua terpilih nampaknya nggak bisa berlaku adil. Kuota tuk jadi pengurus dari organ ekstra yang berbeda darinya sedikit. Seperti tak diberi kesempatan bagi mereka tuk “berkuasa”. Ditambah kesadaran dari mereka yang “tersisihkan” begitu minim. Tak ada yang mau hadir dalam raker — alias rapat kerja.

Halo? Ane nggak ngerti. Padahal kita kan mau berjuang untuk jurusan kita. BSA — Bahasa dan Sastra Asing. Tapi mengapa perbedaan itu menyulutkan nita tuk berjuang. Malah BSA-nya yang terbengkalai. Jaga stand saja malas. Tak usah tersinggung! Ane menyalahkan diri ane sendiri kok. Toh, ane kan juga pengurus. Tapi ane lebih mentingin jaga stand Persma dari jurusan. Tapi, untungnya ane kan berada di pihak netral. Secara, Pers itu independen. Dan, saatnya Independen Memimpin Kota Bandung, Loh?!?!

Sekali lagi. Ini klimaks ceritanya. Teman-teman ane di kelas juga terjangkit syndrom yang sama. Salah satu kubu dominan di kelas ane. Parahnya, militansinya begitu kuat. Serasa golongan mereka yang paling benar. Yang tersisih adalah yang bukan golongannya. Salah! Bukan itu yang tersisih. Yang tersisih hanyalah yang tak kuat. Biar ane berada di luar kubu-kubu tersebut. Tapi ane bukan orang yang merasa tersisih, toh masih banyak yang musti ane kerjakan di kantor Persma. Yaitu, menulis tentang penyakit yang menular dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yang hanya ada di kawasan isolasi UIN — Universitas IAIN Negeri.

Mereka bisa berkata, para pejabat itu haus kekuasaan. Padahal perilakunya dididik sejak dini, di benak para agen perubahan yang berteriak lantang, para pejabat itu haus kekuasaan.

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Penyakit